BAB I MENGUSIK ROMANTISME TENTANG SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan Tradisional Demokrasi merupakan salah satu hal esensial dalam tata kelola pemerintahan yang saat ini selalu didengung-dengungkan. Secara gamblang, demokrasi selalu dimaknai sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Secara terminologi, kata demokrasi tersebut berasal dari kata „demos‟ yang berarti rakyat dan „kratos‟ yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, rakyat menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi di dalam sebuah negara. Sesudah perang dunia kedua berakhir (1939-1945), gagasan demokrasi kemudian juga diterapkan di beberapa negara di kawasan Asia seperti India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia, meskipun setiap negara tersebut memakai bentuk pemerintahan yang berbedabeda.1 Selanjutnya, perdebatan gagasan dan definisi demokrasi sampai dengan saat ini tidak pernah usai. Artinya demokrasi menjadi sebuah gagasan fleksibel yang selalu bisa dikaitkan dengan nilai-nilai yang ingin dibawa oleh sebuah negara. Selanjutnya, istilah demokrasi yang masih terlalu umum tersebut mendorong berbagai pemikir menyumbangkan gagasannya tentang demokrasi. Salah satu tokoh terkenal yang memiliki pemikiran khas tentang demokrasi berasal dari Timur Tengah yaitu Anwar Sadat sebagai pemimpin Mesir yang menggantikan rezim otoritarianisme Nasser. Secara umum, Anwar tidak memiliki pemikiran tentang demokrasi yang sempurna, tetapi setidaknya Anwar Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan demokrasi yaitu multi partai, kebebasan pers, dan kebijakan pintu terbuka.2 Munculnya gagasan demokrasi tersebut kemudian dijadikan landasan bagi Sadat untuk menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya. Salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya gagasan demokrasi menurut Anwar Sadat 1
Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2000, hal.51. Lihat skripsi Achmad Baehaki, Inkonsistensi Anwar Sadat Tentang Demokrasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007, hal.57. Diakses melalui http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8494/1/ACHMAD%20BAEHAKI-FUF.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul 11.50 WIB. 2
1
tersebut adalah kecintaannya terhadap beberapa tokoh dunia seperti Mahatma Ghandi, Hitler, Zahran, dan lain sebagainya. Pada ranah politik nasional, gagasan tentang demokrasi juga pernah disumbangkan oleh Amien Rais dan Nurcholis Madjid. Berangkat dari konsep tauhid, Amien Rais secara tegas menyatakan bahwa perjuangan politik umat Islam untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang lebih baik hanya bisa dilakukan melalui sistem demokrasi. 3 Seperti halnya dengan ajaran agama Islam, Amien Rais meyakini bahwa demokrasi tidak hanya memuat aspek-aspek yang bersifat mengubah, tetapi juga mengandung aspek perpaduan dan penyatuan. Di sisi lain, Nurcholis Madjid melihat bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem demokrasi tidak hanya didukung dan dibenarkan oleh ajaran Islam, tetapi juga sebagai aturan permainan politik terbuka.4 Gagasan tentang demokrasi tersebut nantinya juga akan membawa dampak pada tindakan politik tokoh yang bersangkutan. Banyaknya gagasan atau pendapat yang dikemukakan terkait dengan demokrasi menjadi salah satu bukti bahwa demokrasi menjadi gagasan baru dan lebih modern. Bahkan setiap orang hampir selalu memuji demokrasi sebagai sebuah sistem yang cukup sempurna untuk diterapkan di berbagai belahan dunia hingga saat ini. Tidak mengherankan apabila banyak sistem-sistem tradisional kemudian digantikan oleh sistem demokrasi. Mulai dari munculnya demokrasi yang prosedural hingga demokrasi yang lebih substansial. Oleh karena itu, demokrasi sebagai sebuah gagasan masih menjadi sesuatu hangat untuk terus-menerus dibahas di kalangan akademisi ataupun praktisi. Keluar dari gagasan demokrasi masih luas tersebut, gagasan terhadap demokrasi juga bisa dilekatkan dengan kebudayaan Jawa. Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan adalah
3
Lihat Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal.96. 4 Lihat skripsi Misbahul Huda, Analisis Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Demokrasi, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2009, hal.61. Diakses melalui http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/97/jtptiain-gdl-misbahulhu-4817-1-skripsi_-6.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul 12.38 WIB.
2
keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dihasilkan dengan cara belajar.5 Dalam konsep politik demokrasi Jawa, rakyat diyakini sebagai jelmaan Tuhan sehingga rakyat menjadi pemimpin dan pemegang kekuasaan yang sebenarnya.6 Merujuk pada konsep tersebut, maka raja seharusnya mampu bertindak adil dan bertanggungjawab kepada rakyat yang dipimpinnya sehingga raja tidak berorientasi pada kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya. Konsep tersebut tentu berkebalikan dengan kepercayaan kuno yang menganggap bahwa seorang raja merupakan jelmaan dari Tuhan yang memiliki wewenang tanpa batas untuk mengatur rakyatnya. Berbicara mengenai demokrasi dan kebudayaan Jawa, maka sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak dapat dilepaskan dari kajian tersebut. Melacak pemikiran Sri Sultan HB IX tentang demokrasi pada dasarnya menjadi hal menarik untuk dilakukan. Meskipun demikian, keinginan peneliti untuk melacak pemikiran sultan tersebut sulit untuk dilakukan karena terdapat beberapa limitasi, termasuk dari sosok sultan sendiri yang sulit untuk dimengerti. Hal tersebut diperkuat dengan tulisan John Monfries yang menyimpulkan bahwa Sri Sultan HB IX adalah sosok yang memiliki banyak paradoks dan kontradiksi di sepanjang karir politiknya, terlebih sultan relatif sedikit membuat pernyataan publik, meskipun dirinya cukup mencolok di kancah politik nasional.7 Dengan demikian, peneliti dalam tulisan ini hanya sebatas menarik penafsiran terhadap tindakan politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX.
5
Selengkapnya lihat Heru Wahyukismoyo, Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Dharmakaryadhika Publisher, Yogyakarta, 2008, hal.96. 6 Selengkapnya lihat Mulyana (ed), Demokrasi Dalam Budaya Lokal, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005, hal.6. 7 Pernyataan tersebut banyak didukung oleh temuan Monfries dalam penelitiannya. Pertama, Monfries melihat gejala yang tidak lazim dimana sultan adalah sosok pangeran Jawa, tetapi dalam banyak keputusan yang dibuatnya, sultan tidak dapat dibedakan dengan politisi ala Barat. Kedua, sultan adalah penganut Islam ortodoks, tetapi dalam pidato atau tulisannya, sultan jarang menjadikan Islam, Allah, atau Nabi Muhammad sebagai rujukannya. Kedua hal tersebut secara tidak langsung bahwa sultan adalah sosok yang sulit untuk dimengerti. Lihat John Monfries, A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta, ISEAS, Singapore, 2015, hal.2-5.
3
Menafsirkan tapak politik demokrasi yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX pada dasarnya menjadi alternatif lain ketika pemikiran sultan sulit untuk disimpulkan, khususnya terkait dengan demokrasi. Kajian tentang penafsiran tapak politik Sri Sultan HB IX yang diangkat oleh peneliti ini setidaknya juga bisa dijadikan referensi tambahan dalam melihat karakter politik Sri Sultan HB IX yang terkait dengan demokrasi. Meskipun untuk melacak pemikiran sultan terdapat limitasi data atau hal yang lainnya, kajian ini setidaknya masih tetap memiliki relevansi dengan kajian pemikiran politik seseorang. Bahkan hasil dari kajian yang dilakukan oleh peneliti nantinya bisa memberikan sudut pandang yang lain dalam melihat Sri Sultan HB IX sebagai sosok yang memiliki kecerdasan dalam berpolitik. Sebagai seorang Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB IX telah melakukan berbagai keputusan yang sifatnya demokratis. Banyak faktor yang kemudian membuat Sri Sultan HB IX mengeluarkan berbagai kebijakan atau keputusan yang bersifat demokratis semasa menjadi raja sekaligus gubernur di Yogyakarta. Semasa menjalankan kewenangannya sebagai seorang raja, Sri Sultan HB IX memegang prinsip sufistik yaitu sumarah mawi pasrahSuwung pamrih tebih ajrih-Langgeng tan ana susah lan bungah-Anteng meneng sugeng jeneng yang mengandung maksud bahwa dirinya berserah diri kepada Allah SWT tanpa pamrih apapun, jauh dari rasa takut, dalam kehidupan tidak ada kesedihan dan kegembiraan, tetapi yang ada hanyalah kedamaian demi menjaga nama dan kehormatan.8 Hal tersebut menandakan bahwa sultan masih memegang teguh keluhuran budi sebagai seorang raja. Menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan HB IX tersebut menjadi menarik mengingat tapak politik yang dilakukan sultan memiliki maksud yang tersembunyi. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa tapak politik tersebut berasal dari Sri Sultan HB IX yang notabene merupakan seorang raja yang identik dengan nilai-nilai monarki dan jauh dari sistem pemerintahan yang demokratis. Sri Sultan HB IX telah memperlihatkan 8
Lihat Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Jokowi, Araska, Yogyakarta, 2013, hal.142.
4
bahwa tidak selamanya sebuah kerajaan menerapkan sistem yang monarki, tetapi justru bisa menjadi inspirasi bagi pelaksanaan demokrasi di wilayah lainnya. Fenomena tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa sultan sebagai seorang raja yang modern tidak hanya memiliki keluhuran budi semata, tetapi juga memiliki kecerdasan dalam berpolitik. Setidaknya ada beberapa hal yang mencerminkan sikap demokratis Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Beberapa kebijakan demokratis (bentuk demokrasi prosedural) yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX di luar keraton yaitu merintis terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Daerah (BP-KNID) Yogyakarta yang pada akhirnya nanti merupakan cikal bakal badan legislatif di tingkat provinsi, memberikan ide otonomi daerah yang bertumpu pada daerah swantara tingkat kota atau kabupaten, dan membentuk demokrasi pada tingkat keluharan (membentuk lembaga legislatif kelurahan). Secara lebih rinci, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII pada saat itu mengeluarkan beberapa Maklumat yang mengatur tentang DPR Desa, Lurah Desa beserta perangkatnya, dan Majelis Permusyawaratan Desa. Dewan Desa pada saat itu dipilih langsung oleh rakyat desa dan memiliki wewenang untuk membuat peraturan desa yang nantinya dilaksanakan oleh pamong desa dan pegawainya. 9 Pada aspek yang lain, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga telah melakukan demokratisasi di dalam keraton. Bentuk demokratisasi tersebut yaitu menghilangkan jabatan Pepatih Dalem dan menyederhanakan upacara-upacara (berdana besar dan rumit) keraton tanpa menghilangkan maknanya.10 Selain itu, keraton di bawah Sultan Hemengku Buwono IX juga menjadi lebih terbuka dan demokratis dengan adanya jabatan pamong praja yang anggotanya tidak hanya berasal dari lingkungan atau kerabat keraton, tetapi juga bisa berasal
9
Lihat Julius Pour dan Nur Adji (ed), Sepanjang Hayat Bersama Rakyat: 100 Tahun Sultan Hamengku Buwono IX, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2012, hal.45. 10 Pepatih Dalem merupakan jembatan antara raja dan rakyat sehingga semua urusan yang berhubungan dengan rakyat akan sampai ke raja setelah raja menerima laporan dari Pepatih Dalem. Penghapusan jabatan tersebut secara tidak langsung telah mendekatkan raja dengan rakyatnya.
5
dari masyarakat umum yang memiliki prestasi.11 Pada aspek yang lebih jauh, demokratisasi di dalam keraton juga dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan menghilangkan Pengadilan Darah Dalem yang dahulunya merupakan pengadilan istimewa bagi para bangsawan.12 Berangkat dari beberapa hal yang telah dipaparkan sebelumnya, maka telah terlihat secara jelas bahwa sistem monarki sebagai sebuah gagasan yang tradisional mulai tergeser eksistensinya oleh gagasan yang lebih modern yaitu demokrasi. Fenomena tersebut bisa dilihat dengan munculnya beberapa kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sultan sebagai salah satu sosok yang masih memegang erat gagasan tradisional yang dimaksud. Tergesernya gagasan tradisional tersebut tidak lain karena adanya tuntutan zaman dimana aspek partisipasi, kompetisi, dan kebebasan berekspresi di kalangan rakyat harus diakomodir. Hal tersebut tentu bertentangan dengan gagasan monarki dimana seorang raja memiliki kekuasaan yang absolut terhadap rakyat yang dipimpinnya. Menariknya, Sri Sultan HB IX sebagai tokoh yang masih memegang gagasan tradisional tersebut juga tidak menolak munculnya gagasan tentang demokrasi. Hal tersebut dibuktikan oleh sultan ketika dirinya banyak membuat kebijakan-kebijakan yang dinilai demokratis. Pada aspek yang lebih mengakomodir zaman, keputusan sultan tersebut tentu didukung oleh banyak kalangan, khususnya para cendekiawan yang pada waktu itu juga memiliki pengetahuan tentang demokrasi. Di sisi lain, kebijakan sultan tersebut memunculkan kontrovesi dimana seorang feodal justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai tradisional yang sebenarnya masih dipegang oleh sultan. Fenomena inilah yang sebenarnya menarik untuk ditelisik lebih jauh yaitu untuk menguak latar belakang di balik keputusan-keputusan sultan yang demikian.
11
Selengkapnya lihat Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik, Galang Press, Yogyakarta, 2011, hal.221-222. 12 Lihat Atmakusumah (ed), Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal.61.
6
Kontroversial tentang sosok Sri Sultan HB IX tersebut kemudian juga semakin terlihat ketika sultan memiliki sepak terjang yang tidak biasa sebagai seorang raja. Hal tersebut bisa dilihat dari pengaruhnya sebagai seorang raja yang kemudian memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri dalam kerangka sebuah negara republik (menjadi seorang kepala daerah) hingga karir tertingginya sebagai seorang wakil presiden (pemimpin republik). Bagi publik, karir sultan tersebut adalah hal wajar seorang negarawan untuk mengabdikan dirinya bagi kepentingan nusa dan bangsa. Pada aspek yang lain, sepak terjang sultan justru memiliki misi tersembunyi dimana di era yang semakin modern, Sri Sultan HB IX ingin menunjukkan eksistensinya sebagai seorang raja yang masih memiliki pengaruh di republik. Hanya saja, sepak terjang sultan tersebut tertutupi oleh kewibawaannya yang masih dianggap publik sebagai keluhuran budi seorang sultan. Sebagai seorang lulusan pendidikan Barat, Sri Sultan HB IX secara cerdas memainkan perannya sebagai sosok yang memiliki keluhuran budi tinggi sehingga kebijakankebijakan yang dikeluarkannya tidak dianggap menyimpang oleh publik. Kecerdasan dalam berpolitik itulah yang kemudian membawa citra Sri Sultan HB IX masih tetap sempurna di mata publik dimana dirinya berhasil mengombinasikan ide-ide Barat dengan sentuhansentuhan ajaran adiluhung. Dalam praktiknya, sultan telah berhasil memainkan perannya sebagai seorang raja, kepala daerah, dan politisi. Oleh karena itu, peneliti ingin menguak tapak politik dan menafsirkannya dengan tujuan untuk melihat siasat seorang sultan dengan menggunakan ide-ide demokrasi sebagai gagasan modern untuk mempertahankan kekuasaan tradisional (ide-ide monarki) yang dimilikinya. B. Rumusan Masalah Bagaimana penafsiran tapak politik demokrasi yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX ?
7
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menafsirkan tapak politik yang dilakukan Sri Sultan HB IX dalam mengambil berbagai kebijakan atau keputusan yang bersifat demokratis di Yogyakarta. Artinya peneliti ingin menarik benang merah atas berbagai latar belakang yang mempengaruhi tindakan Sri Sultan HB IX untuk melakukan demokratisasi di Yogyakarta, termasuk untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi gagasan Sri Sultan HB IX. Secara lebih jelas, setidaknya ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian tersebut. Pertama yaitu menambah khasanah keilmuan baru terkait dengan teori pemikiran politik dan demokrasi yang dikaitkan dengan salah satu tokoh nasional yaitu Sri Sultan HB IX. Kedua yaitu mampu menguak hal-hal baru yang mendasari beberapa keputusan Sri Sultan HB IX yang dinilai demokratis. Artinya penelitian tersebut bertujuan untuk menemukan data-data baru yang belum menjadi temuan bagi peneliti maupun peneliti buku tentang Sri Sultan HB IX. D. Studi tentang Sri Sultan HB IX Dari beberapa buku yang telah ditelaah oleh peneliti tentang Sri Sultan Hamengku Buwono IX, banyak diantaranya yang mengulas perjalanan hidup Raja Yogyakarta yang kesembilan tersebut. Beberapa buku yang menceritakan perjalanan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX yaitu Tahta Untuk Rakyat yang ditulis oleh Atmakusumah (editor), Sejarah Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX tulisan Purwadi, Sepanjang Hayat Bersama Rakyat tulisan Julius Pour dan Nur Adji (editor), dan Sri Sultan Hari-hari Hamengku Buwono IX yang ditulis dalam presentasi majalah Tempo. Beberapa literatur tersebut lebih menekankan pada kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, termasuk karir Sri Sultan Hamengku Buwono IX di dalam pemerintahan republik. Selain itu, ada beberapa literatur yang menuliskan tentang karakter kepemimpinan dan sifat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam bertindak. Adapun literatur yang dimaksud 8
adalah buku berjudul Hamengku Buwono IX Inspiring Prophetic Leader tulisan Parni Hadi dan Nasyith Majidi (editor), Sri Sultan Hamengku Buwono IX Penjaga Demokrasi Indonesia tulisan Sunardian Wirodono, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tulisan Moedjanto, dan Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Jokowi yang ditulis oleh Sri Wintala Achmad. Literatur yang telah disebutkan tersebut lebih menyoroti sifat dan karakter pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai seorang raja, sekaligus sebagai tokoh nasional. Selanjutnya, peran spesifik Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada Yogyakarta dan Republik Indonesia juga dituangkan ke dalam sebuah buku. Beberapa literatur tersebut berjudul Sukarno, Hatta, dan Hamengkubuwono IX yang ditulis oleh Moedjanto, Mengawal Transisi Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pemerintahan Transisi Republik Indonesia di Yogyakarta 1949 tulisan Aan Ratmanto, Hamengkubuwono IX: Dari Serangan Umum 1 Maret sampai Melawan Soeharto, Benarkah Hamengkubuwono IX Anggota CIA tulisan K.Tino, dan Wasiat HB IX Yogyakarta Kota Republik tulisan Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo. Tulisan-tulisan tersebut pada dasarnya lebih menitikberatkan pada peran dan kebijakan Sri Sultan HB IX setelah dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta. Dari beberapa literatur yang telah disebutkan, ada beberapa literatur yang secara spesifik membahas tentang pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX, khususnya terkait dengan status keistimewaan Yogyakarta yang pada tahun-tahun sebelumnya menjadi hal yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu buku yang menceritakan pemikiran Sri Sultan HB IX adalah Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditulis oleh Heru Wahyukismoyo. Di dalam buku tersebut, penulis menceritakan beberapa keputusan Sri Sultan HB IX yang menyatakan bahwa Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia,
9
termasuk beberapa kebijakan Sri Sultan HB IX yang dianggap demokratis dan secara tidak langsung dianggap sebagai pembaharuan. Berangkat dari tulisan-tulisan tersebut, maka peneliti mencoba untuk keluar dari romantisme tentang Sri Sultan HB IX. Dengan kata lain, peneliti ingin melihat strategi yang digunakan oleh sultan dalam rangka mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Langkah tersebut dilakukan dengan cara melakukan penafsiran terhadap tapak politik yang dilakukan oleh sultan, baik dalam kapasitasnya sebagai seorang raja, kepala daerah, dan politisi. Dari hasil penafsiran tersebut nantinya diharapkan dapat menghasilkan sebuah refleksi akhir yang menggugah kesadaran publik bahwa tidak selamanya seorang sultan memegang teguh prinsip sufistik atau keluhuran budi pekerti, tetapi mereka (sultan) juga memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya dengan cara berpolitik melalui caranya yang khas sebagai seorang sultan. E. Kerangka Konseptual E.1 Tapak Politik: Kombinasi Aspek Kognisi, Interaksi, dan Kebutuhan Untuk Aksi Tapak politik dan tindakan seseorang pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sosiologi pengetahuan sebagai sebuah konsep yang dikemukakan oleh Karl Mannheim menjadi salah satu terobosan baru dalam melihat pemikiran dan aktivitas manusia. Selain itu, Max Scheler dalam bukunya berjudul Problems of a Sociology of Knowledge tahun 1980 mengatakan bahwa yang menjadi isu sentral sosiologi pengetahuan adalah bentuk upayanya dalam menyingkap asal-usul sosiologis semua bentuk pengetahuan, pemikiran, dan kesadaran dari seluruh aktivitas mental manusia. 13 Bahkan, secara keilmuan dapat dicatat bahwa sosiologi pengetahuan muncul sebagai bentuk dari kritik terhadap idealisme. Lebih lanjut, kesadaran, menurut Karl Mannheim, tidak
13
Lihat Andy Dermawan, Dialektika Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan Sosiologi Pengetahuan, Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol.7, No.2, 2013, hal.254.
10
muncul secara otomatis, tetapi bergantung pada kondisi dan realitas material. 14 Dengan kata lain, gagasan seseorang tidak muncul secara otomatis. Kesadaran atau pemikiran dalam hal tersebut tidak hanya lahir dari dialektika internal atau psikologis, tetapi juga pemikiran dari orang yang bersangkutan tidak lepas dari selimut sejarah yang mewarnai periode tertentu.15 Dengan kata lain, sosiologi pengetahuan berusaha untuk menemukan proses lahirnya sebuah pemikiran melalui konteks dan dinamika historis yang terkait dengan konteks sosial masyarakatnya. Sebagai contohnya, apabila zaman yang sedang dihadapi atau sedang berlangsung adalah era konflik atau krisis, maka kondisi sosiologis dalam masyarakat akan banyak menimbulkan ide-ide persaingan, filsafat politik, ideologi, dan beragam produk budaya. Dengan demikian, konteks lingkungan sosial yang sedang terjadi secara tidak langsung akan mempengaruhi tindakan seseorang terhadap sesuatu secara sosiologis. Berangkat dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan oleh manusia atau seseorang saat ini tidak bisa dilepaskan dari konteks realitas sosial dan historisnya.16 Tidak hanya terkait dengan tindakan, tetapi juga terkait dengan pemikiran manusia. Asumsi dasar yang dibangun dalam sosiologi pengetahuan ini adalah teks dan konteks.17 Konteks dalam hal tersebut diartikan sebagai pijakan sosial dari sebuah realitas yang ada, sedangkan teks meliputi aktivitas manusia seperti proses berpikir, mental, dan perilaku sosial. Merujuk pada hal tersebut, maka realitas teks dan konteks dalam sosiologi pengetahuan berfokus pada kerangka historisnya. Oleh karena itu, menurut Karl Mannheim, sosiologi pengetahuan bertujuan untuk menemukan kriteria-kriteria untuk menemukan keterkaitan antara pemikiran dan tindakan, serta mengembangkan suatu teori yang cocok 14
Ibid., hal.255. Selengkapnya lihat Arie Putra, Pemikiran Islam Ahmad Syafii Maarif: Dari Etika Al-Quran Menuju Masyarakat Demokratis, Skripsi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hal.14. 16 Lihat Andy Dermawan, op.cit. 17 Ibid., hal.256. 15
11
untuk zaman seperti saat ini mengenai faktor-faktor non-teoritis yang menentukan dalam pengetahuan.18 Untuk melihat gagasan dan tapak politik seseorang, maka realitas sosial dan historis menjadi faktor utama yang dapat mempengaruhinya. Sebelum pemikiran politik itu muncul, tentu ada sebuah proses yang pada dasarnya terdapat di dalam realitas sosial dan historis dari seseorang yang bersangkutan. Dalam proses tersebut setidaknya ada 3 hal yang dapat mempengaruhi pemikiran dan tindakan politik seseorang yaitu kognisi, interaksi, dan kebutuhan untuk aksi. Kognisi dalam hal ini dijelaskan sebagai usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman yang dilalui. Dengan kata lain, melalui pengalaman yang didapatkannya, seseorang akan mendapatkan sesuatu baru yang sebelumnya belum pernah didapatkan. Interaksi dalam hal ini dijelaskan sebagai bentuk saling berhubungannya seseorang dengan orang lainnya melalui komunikasi. Terakhir adalah kebutuhan untuk aksi dimana dari hasil interaksi dan kognisi yang didapatkannya akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dorongan untuk melakukan aksi tersebut yang kemudian akan diejawantahan menjadi pemikiran politik yang produknya dapat berupa sistem atau pandangan.
18
Selengkapnya lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Kanisius, Yogyakarta, 1991, hal.287.
12
Sosiologi pengetahuan sebagai sebuah konsep yang dikemukakan oleh Karl Mannheim pada dasarnya digunakan untuk menganalisis perkembangan suatu pemikiran dengan melihat adanya pengaruh lingkungan (realitas sosial dan historis) secara kronologishistoris, sehingga dapat ditemukan makna dan maksud dari sebuah pemikiran. 19 Apabila dikaitkan dengan tiga hal yang dikemukakan diatas, maka pengaruh lingkungan (realitas sosial dan historis) seseorang merupakan sebuah proses dimana pemikiran politik seseorang tersebut akan muncul. Dengan kata lain, kognisi, interaksi, dan kebutuhan untuk aksi merupakan proses yang bekerja di dalam realitas sosial dan historis seseorang yang nantinya akan memunculkan sebuah pemikiran politik. Oleh karena itu, secara sosiologi, pemikiran dan tindakan politik seseorang muncul tidak dapat dilepaskan dari realitas sosial dan historis yang dialaminya. E.2 Gagasan Demokrasi Secara Universal Salah satu penjelasan tentang demokrasi yang cukup dikenal yaitu penjelasan demokrasi yang dikemukakan oleh Jean Jaques Rousseau. Rousseau menjelaskan bahwa demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk mendapatkan kesejahteraan.20 Dari pernyataan tersebut sebenarnya dapat diambil poin penting bahwa demokrasi hanyalah menjadi sebuah jembatan negara untuk menyejahterakan masyarakatnya. Meskipun demikian, demokrasi secara universal tetap dimaknai sebagai sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Hanya saja, corak demokrasi yang ada di setiap wilayah akan berbeda, meskipun esensi dari demokrasi tersebut tetap sama. Di sisi lain, ada salah satu tokoh juga yang mengemukakan penjelasan tentang tren perkembangan demokrasi yaitu Robert Dahl. Berdasarkan penelitian yang
19
Selengkapnya lihat Kaelan dalam Muhammad Irfan Helmy, Pemaknaan Hadis-hadis Mukhtalif Menurut AsySyafii: Tinjauan Sosiologi Pengetahuan, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014, hal.11. 20 Selengkapnya lihat Thalhah, Teori Demokrasi Dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans Kelsen, Jurnal Hukum, Vol.16, No.3, 2009, hal.414-415. Diakses melalui http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/3%20HM.%20Thalhah.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul 17.05 WIB.
13
dilakukannya, Robert Dahl memaparkan bahwa gagasan dan penerapan demokrasi di beberapa negara di dunia menunjukkan tren peningkatan. Pada tahun 1860, gagasan demokrasi baru diterapkan di satu negara, tetapi sampai dengan tahun 1990, gagasan demokrasi telah diterapkan di enam puluh lima negara dunia, meskipun demokrasi yang diterapkan tersebut memiliki corak-corak yang berbeda.21 Sebagai sebuah gagasan yang luas dan selalu diperdebatkan, ada berbagai macam tipe atau jenis demokrasi menurut berbagai akademisi. Selain itu, nilai-nilai yang terkandung di dalam demokrasi juga menjadi salah satu hal penting untuk melihat demokratis atau tidaknya sebuah sistem pemerintahan. Meskipun demikian, penelitian ini tidak bertujuan untuk mengukur sebuah kualitas demokrasi, tetapi pemaparan nilai-nilai tersebut akan membantu peneliti untuk mengidentifikasi pemikiran politik seseorang. Selanjutnya, setidaknya ada 5 tipe demokrasi menurut Pinkey yang saat ini telah dikenal yaitu demokrasi liberal, terpimpin, sosialis, radikal, dan konsosiasional.22 Kelima tipe demokrasi tersebut selanjutnya akan dipaparkan secara lebih rinci untuk mempermudah pemahaman bahwa pada dasarnya demokrasi merupakan sebuah konsep yang luas apabila tidak ditambah dengan adjective atau kata sifat. Demokrasi liberal secara umum dapat dikatakan sebagai bentuk demokrasi yang pemerintahannya dibatasi oleh undang-undang dan dalam konteks pergantian kekuasaannya dilaksanakan pemilihan umum yang bebas secara ajeg atau rutin. Di sisi lain, aspek sosial dan ekonomi seseorang justru menjadi urusan privat yang terlepas dari intervensi dan struktur politik.23 Hal tersebut sejalan dengan konsepsi bahwa berangkat dari tradisi liberal,
21
Selengkapnya lihat Robert Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 10-11. 22 Selengkapnya lihat Komarudin Sahid, Memahami Sosiologi Politik, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hal.307308. 23 Lihat Thomas Meyer, Demokrasi Sosial dan Libertarian: Dua Model yang Bersaing dalam Mengisi Kerangka Demokrasi Liberal, FES, Jakarta, 2012, hal.10. Diakses melalui http://library.fes.de/pdffiles/bueros/indonesien/09834.pdf pada hari Rabu tanggal 25 Juni 2014 pukul 17.04 WIB.
14
demokrasi mendapatkan momentumnya dari hak individual.24 Selanjutnya, demokrasi terpimpin pada dasarnya merupakan tipe demokrasi dimana pemerintahannya ditentukan oleh sang pemimpin atau penguasa. Tipe demokrasi ini secara tidak langsung juga telah mengandung karakter otoriter dari sang penguasa. Dengan kata lain, praktik demokrasi terpimpin sejatinya adalah bentuk pemerintahan otoriter yang „berkelambu‟ atau dibungkus dengan kata demokrasi.25 Identiknya tipe demokrasi tersebut dengan sistem otoritarian pada dasarnya bisa dilihat dari kata tambahan „terpimpin‟ yang secara tidak langsung menggambarkan bahwa sistem pemerintahan hanya dipegang oleh satu atau beberapa orang semata. Selanjutnya, demokrasi sosialis merupakan salah satu bentuk demokrasi yang berusaha untuk mewujudkan kekayaan dan sumber daya yang merata. Artinya demokrasi pada tipe ini berfungsi sebagai alat untuk memastikan bahwa segala sumber daya dapat dibagikan secara rata kepada masyarakat atau warga negara tanpa membedakan-bedakan. Dengan demikian, demokrasi sosialis setidaknya dapat dijadikan sarana untuk menghindari ketimpangan antar masyarakat, khususnya dalam hal pembagian sumber daya secara merata. Pada tipe yang lain, demokrasi radikal lebih menekankan pada suara mayoritas. Artinya suara mayoritas menjadi penentu sebuah kebijakan atau keputusan pemerintah. Oleh karena itu, demokrasi pada tipe ini juga disebut sebagai demokrasi yang melaksanakan keinginan mayoritas. Ketika mayoritas rakyat atau masyarakat menghendaki sebuah hal, maka pemerintahan yang sedang menjalankan roda kekuasaan tentu akan melaksanakan kehendak tersebut.
24
Lihat Muhammad Faishal, Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoritik, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.11, No.1, 2007, hal.4. 25 Lihat Rogaiyah dan Alfitri, Demokrasi Indonesia: Mewujudkan Kesetaraan atau Melahirkan Kesenjangan, Jurnal PPKn & Hukum, Vol.4, No.1, 2009, hal.1. Diakses melalui http://eprints.unsri.ac.id/725/2/Demokrasi_Indonesia%253BMewujudkan_Kesetaraan_atau_Melahirkan_Kesenjangan.pdf pada hari Rabu tanggal 25 Juni 2014 pukul 17.25 WIB.
15
Terakhir, demokrasi konsosiasional pada dasarnya merupakan bentuk demokrasi dimana pemegang kekuasaan atau pemerintahan berasal dari kelompok-kelompok utama di dalam sebuah struktur masyarakat. Tipe demokrasi ini pada dasarnya merujuk pada adanya pemegang kekuasaan yang berasal dari kelompok utama di dalam masyarakat. Kelompok utama tersebut bisa jadi merupakan kelompok mayoritas di dalam sebuah struktur masyarakat. Dengan demikian, apabila ada pemegang kekuasaan yang tidak berasal dari kelompok utama, maka akan bisa terjadi penolakan dari sebagian masyarakat yang ada di sebuah negara. Oleh karena itu, konsepsi dari, oleh, dan untuk rakyat tersebut hanya berlaku pada sebatas pada kelompok-kelompok utama di dalam masyarakat. Dengan demikian, pada akhirnya pemegang kekuasaan yang dikehendaki oleh rakyat adalah mereka yang berasal dari kelompok utama atau mayoritas dalam struktur masyarakat. E.3 Tapak Politik Demokratis: Partisipasi, Kompetisi, dan Kebebasan Berekspresi Berangkat dari berbagai tipe demokrasi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka sejatinya demokrasi bisa dilihat sebagai sebuah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, kedaulatan berada di tangan rakyat dan berbagai hal yang menyangkut tentang tata kelola pemerintahan secara otomatis juga harus melibatkan rakyat. Demokrasi juga memungkinkan rakyat untuk bisa mengambil peran dalam proses pembangunan sebuah bangsa dan negara. Bahkan, beberapa golongan dari rakyat tersebut bisa menjadi pemegang jalannya roda pemerintahan (baik eksekutif maupun legislatif) sehingga roda pemerintahan bisa dijalankan sesuai dengan keinginan rakyat. Merujuk pada tipe-tipe demokrasi yang telah disebutkan sebelumnya, maka setidaknya ada 3 dimensi atau komponen utama dalam demokrasi politik. Ketiga komponen tersebut adalah partisipasi, kompetisi, dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat.26
26
Lihat Eko Taranggono, Islam dan Demokrasi, Upaya Mencari Titik Temu, Jurnal Al-Afkar, Edisi VI, Tahun ke-5, 2002, hal.2.
16
Artinya ketiga komponen tersebut selalu ada di setiap tipe demokrasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Tanpa adanya ketiga komponen tersebut, maka akan sulit dikatakan bahwa sistem yang sedang berjalan di sebuah tempat tersebut adalah demokratis. Dari ketiga komponen tersebut, dapat dilihat secara jelas bahwa rakyat selalu menempatkan dirinya di dalam ketiga dimensi tersebut. Artinya ketiga komponen tersebut akan bekerja secara maksimal apabila rakyat secara aktif melibatkan diri dalam sebuah sistem politik tersebut. Ketiga dimensi ini pada dasarnya digunakan oleh peneliti untuk menelusuri tapak politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX. Dengan kata lain, peneliti nantinya akan menggunakan ketiga jenis dimensi ini untuk melihat sisi kedemokratisan sultan melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh dirinya. Hal ini nantinya juga akan memberikan gambaran secara lebih mendalam terkait dengan kategorisasi kebijakan sultan, khususnya dalam hal partisipasi politik, kompetisi, dan kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat. Dengan demikian, kebijakan sultan berupa tapak politik tersebut nantinya dapat dilihat sebagai strategi sultan untuk membuka dimensi-dimensi dalam demokrasi yang nantinya akan dijelaskan lebih mendalam. E.3.1 Dimensi Partisipasi Partisipasi politik pada dasarnya menjadi salah satu elemen atau komponen penting dalam demokrasi. Partisipasi politik dalam hal ini mendorong masyarakat untuk turut serta secara aktif dalam pemilihan-pemilihan yang diselenggarakan untuk memilih anggota eksekutif ataupun legislatif. Dengan kata lain, partisipasi politik masyarakat bisa diwujudkan dengan memilih wakil-wakilnya secara bebas yang selanjutnya akan berperan dalam menjalankan roda pemerintahan. Lebih dari itu, partisipasi politik tidak hanya berhenti pada urusan memilih dan dipilih, tetapi juga terkait dengan hal lain yang lebih luas seperti ikut menyelesaikan permasalahan publik, memberikan masukan kepada elit pemerintahan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, partisipasi politik mendorong masyarakat untuk terlibat 17
secara aktif dalam proses pemerintahan untuk menuju ke arah cita-cita bangsa yang diinginkan. E.3.2 Dimensi Kompetisi Kompetisi atau persaingan memungkinkan masyarakat untuk saling berebut posisi di dalam pemerintahan berdasarkan konstitusi. Pada aspek tersebut, masyarakat secara individual ataupun melalui partai politik bisa mendapatkan kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan dengan dukungan dari kalangannya sendiri (berasal dari rakyat). Munculnya persaingan tersebut tentu dalam rangka asas keadilan dimana setiap orang berhak untuk bersaing dalam rangka mendapatkan posisi tertentu di dalam pemerintahan. Selain itu, kompetisi tersebut juga dilakukan dalam rangka pergantian kekuasaan secara rutin untuk menghindari sistem politik yang sewenang-wenang dari pemimpin yang sedang berkuasa. Lebih jauh lagi, kompetisi untuk merebut posisi di dalam pemerintahan tersebut juga memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengimplementasikan idealismenya. E.3.3 Dimensi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Adanya kebebasan untuk mengeluarkan dan mengekspresikan pendapat tanpa takut oleh kekuatan manapun. Pada aspek yang ketiga ini, kebebasan menjadi salah satu poin penting dalam demokrasi karena dengan adanya kebebasan tersebut, masyarakat bisa melibatkan diri dalam berbagai kesempatan, termasuk di dalam kompetisi maupun partisipasi politik. Bahkan, demokrasi pada dasarnya merupakan sebuah tatanan dimana kebebasan masyarakat untuk berpendapat dilindungi dan diapresiasi oleh konstitusi. Kebebasan untuk berpendapat tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari hakikat demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara. Oleh karena itu, kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat menjadi salah satu komponen penting dalam demokrasi.
18
E.4 Lima Jalan Menafsirkan Tapak Politik Demokratis Sang Sultan Untuk menguak makna lain di balik tapak politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX, maka peneliti menggunakan teknik penafsiran. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), menafsirkan berarti mengartikan, memberi makna, atau menjabarkan. Lebih jauh lagi, peneliti menggunakan tradisi semiotik dengan tujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung di dalam sebuah tanda sehingga diketahui bagaimana komunikator mengonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak dapat dilepaskan dari perspektif atau nilainilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat dimana simbol tersebut diciptakan.27 Semiotik pada dasarnya juga mempelajari tentang sistem, aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki sebuah arti atau makna.28 Berangkat dari hal tersebut, maka penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh subjektivitas peneliti yang memaknai sesuatu dari perspektif tertentu yaitu politik. Dengan menggunakan perspektif politik, maka peneliti mencoba untuk mengartikan dan memberi makna atas berbagai tindakan politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX. Penafsiran tersebut juga tidak semata-mata dilakukan secara tunggal, tetapi peneliti juga melihat faktorfaktor lain yang mendukung argument peneliti untuk menafsirkan tapak politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX sehingga menjadi penting untuk juga mengetahui konteks lingkungan, baik secara regional maupun global ketika Sri Sultan HB IX masih hidup. Dengan demikian, pemberian makna yang dilakukan oleh peneliti bisa dirangkai menjadi sebuah hubungan sebab akibat berdasarkan tapak politik yang dilakukan oleh sultan.
27
Selengkapnya lihat artikel Arif Budi Prasetya, Semiotik: Simbol, Tanda, dan Konstruksi Makna, 2014, diakses melalui http://arifbudi.lecture.ub.ac.id/2014/03/semiotik-simbol-tanda-dan-konstruksi-makna/ pada hari Senin tanggal 12 Oktober 2015 pukul 20.46 WIB. 28 Lihat Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2007, hal.261.
19
Dalam rangka menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan HB IX, maka peneliti membahas nilai-nilai demokrasi secara substansial. Adapun nilai-nilai substansial tersebut yaitu adanya kebebasan atau hak asasi manusia (HAM), kesetaraan, budaya menghormati kebebasan orang lain, adanya pluralisme, toleransi dan anti intimidasi (kekerasan). 29 Meskipun demikian, peneliti juga tidak menutup mata untuk melihat aspek prosedural yaitu terkait dengan pergantian kekuasaan atau pemilihan umum karena hal tersebut menjadi poin menarik tersendiri untuk menafsirkan tapak politik demokrasi sultan. Selanjutnya, peneliti menggunakan teori nilai-nilai demokrasi dari Henry B.Mayo karena sesuai dengan perkembangan pengetahuan tentang demokrasi substansial. Berdasarkan pandangannya, maka setidaknya ada lima hal yang menjadi nilai penting dari demokrasi yaitu menyelesaikan masalah dengan damai dan melembaga serta menggunakan paksaan sedikit mungkin, menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah, pergantian penguasa dengan teratur dan damai melalui pemilu yang kompetitif, menjunjung tinggi nilai keanekaragaman, dan menegakkan keadilan sebagai inti moralitas politik.30 E.4.1 Adanya Penyelesaian Masalah Secara Damai Demokrasi pada dasarnya masih dianggap sebagai satu-satunya sistem yang membuka ruang bagi siapapun untuk mengekspresikan sesuatu dalam hal politik seperti pertikaian dalam kepentingan maupun pendapat. Meskipun demikian, demokrasi juga menjadi sarana untuk membuka ruang penyelesaian masalah secara lebih damai. Dengan kata lain, demokrasi dapat mengatur penyelesaian masalah secara damai (melalui kompromi) yang melembaga melalui perundingan politik. Lebih jauh lagi, demokrasi menawarkan penyelesaian masalah yang jauh dari kekerasan. Apabila dikaitkan dengan tindakan politik seseorang, maka poin ini merujuk pada seberapa jauh orang tersebut mampu menjadi aktor yang bisa menyelesaikan
29
Lihat Achmad Riyanto, Konsep Demokrasi di Indonesia Dalam Pemikiran Akbar Tandjung dan A.Muhaimin Iskandar, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hal.19. 30 Lihat Misbahul Huda, op.cit., hal.22-23.
20
permasalahan secara damai. Sebagai contoh, tokoh tersebut mampu membuka ruang dialog untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul. E.4.2 Menjamin Terjadinya Perubahan Secara Damai dalam Suatu Masyarakat yang Selalu Berubah Hal tersebut mengandung maksud bahwa demokrasi telah menjadi sarana yang ampuh untuk menjamin kestabilan sosial dan politik masyarakat ketika kondisinya selalu berubah. Artinya proses perubahan tersebut kemudian tidak dipaksakan begitu saja kepada masyarakat, tetapi dilakukan secara lebih halus mengingat masyarakat tidak akan terhindar dari sebuah perubahan ke arah yang lebih modern. Pada konteks kepemimpinan seseorang, maka bisa dikaitkan dengan seberapa efektifkah pemimpin tersebut mampu menjadi tokoh yang bisa melakukan pembaharuan tanpa menimbulkan kegoncangan di dalam masyarakat yang dipimpinnya. Selain itu, tokoh tersebut juga menjamin adanya kestabilan sosial di dalam masyarakat yang dipimpinnya, meskipun pemimpin tersebut mengeluarkan berbagai kebijakan yang bisa jadi tidak dapat diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini, kewibawaan dan kharisma menjadi faktor yang cukup mempengaruhi. E.4.3 Adanya Pergantian Penguasa Secara Teratur Melalui Pemilihan Umum Pergantian penguasa secara teratur sejatinya sejalan dengan esensi demokrasi bahwa penguasa hendaknya dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui pemilu. Adanya pergantian secara teratur tersebut secara tidak langsung telah menjauhkan masyarakat dari sistem politik yang diktator dan otoriter. Lebih jauh lagi, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan juga bisa berpartisipasi secara aktif untuk mempraktikan hak dipilih dan memilih sebagai warga negara. Nilai ini adalah salah satu esensi dari demokrasi prosedural yang sebenarnya mudah untuk menjadi tolak ukur kedemokratisan sebuah sistem. Apabila dikaitkan dengan sikap seorang penguasa, maka penguasa yang baik dan dianggap demokratis adalah dia yang mampu membuat sebuah sistem mapan untuk menjamin 21
berjalannya pemilihan secara langsung oleh rakyat. Hal tersebut secara tidak langsung juga telah melibatkan rakyat dalam kegiatan politik. E.4.4 Menjunjung Nilai Keanekaragaman Menjunjung nilai keanekaragaman berarti melihat keanekaragaman tidak hanya sebagai sesuatu yang diakui dan sah, tetapi juga melihat hal tersebut sebagai sebuah kebebasan. Oleh karena itu, dengan adanya demokrasi, masyarakat diharapkan dapat membuka pandangannya bahwa tidak ada satupun nilai yang dapat ditarik pada batas yang mutlak. Artinya masyarakat harus berpikir bahwa mereka tidak seharusnya memaksakan kehendaknya berdasarkan sebuah golongan tertentu yang mayoritas atau besar karena demokrasi pun menghendaki adanya keanekaragaman yang selalu dijaga. Dalam konteks kepemimpinan,
pemimpin
yang
demokratis
adalah
dia
yang
mampu
menjaga
keanekaragaman dimana pemimpin tersebut mampu menjamin sebuah harmonisasi di tengah keberagaman yang ada di masyarakat. Terlebih lagi, pemimpin bisa dikatakan demokratis apabila dirinya mampu mengalahkan kepentingan dirinya daripada kepentingan umum. E.4.5 Menegakkan Keadilan Sebagai Inti Moralitas Politik Demokrasi pada dasarnya menghendaki suasana kompetitif dalam hal pergantian kekuasaan dengan cara yang adil. Adapun penyelesaian dari berbagai pertikaian yang nantinya akan terjadi juga telah ditawarkan dengan cara-cara yang damai sesuai dengan kehendak bersama (perundingan politik). Dengan adanya prinsip kompetisi dan partisipasi dari masyarakat, maka nilai keadilan akan tumbuh secara otomatis sehingga penghargaan terhadap keadilan bisa dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua pihak yang menjadi bagian dari hal tersebut. Apabila dikaitkan dengan konteks kepemimpinan seseorang, maka pemimpin yang demokratis juga harus mampu menempatkan keadilan sebagai prinsip yang harus dipegang selama memimpin. Keadilan tersebut mengandung makna bahwa pemimpin
22
harus mampu menjadi tokoh penengah yang adil di tengah masyarakat yang selalu berubahubah. Berbagai tipe dan dimensi demokrasi yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya akhirnya mengantarkan peneliti pada bagian kristalisasi dimana ada nilai-nilai demokrasi di setiap tipe demokrasi yang telah dipaparkan sebelumnya. Bahkan, dimensi-dimensi demokrasi juga secara tidak langsung telah terkandung ke dalam lima nilai demokrasi yang dikemukakan oleh Henry B.Mayo. Kelima nilai demokrasi tersebut selanjutnya akan digunakan oleh peneliti sebagai batasan kerangka teori yang digunakan untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa nilai-nilai demokrasi yang dipaparkan oleh Henry B.Mayo digunakan untuk melihat demokratis atau tidaknya sebuah negara atau bangsa. Di sisi lain, nilai-nilai demokratis tersebut akan digunakan oleh peneliti untuk menafsirkan tapak politik demokratis seseorang yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX melalui berbagai kebijakan atau tindakan yang dilakukannya selama masa hidupnya. F. Menelisik Misteri Dibalik Romantisme Sang Sultan F.1 Bertindak Demokratis: Sebuah Tuntutan atau Kebutuhan? Untuk menelisik sisi lain dari sosok Sri Sultan HB IX, maka aspek pertama yang akan dibahas di dalam penelitian ini yaitu terkait dengan tindakan atau sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan kata lain, hal tersebut pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor sosialhistoris Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang terdiri dari faktor kognisi, interaksi, dan kebutuhan untuk aksi. Ketiga faktor tersebut selanjutnya menjadi salah satu aspek penting untuk melihat pengalaman menarik dari kisah hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan politik sultan tersebut akan dipaparkan
23
di dalam bab II tersebut ditulis dalam bentuk perjalanan hidup sultan dari masa-masa kelahirannya hingga sultan tutup usia. Pada bagian ini, alur pola pikir yang dibangun dimulai dengan memaparkan sejarah singkat perjalanan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Beberapa pengalaman menarik yang dialami oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yaitu masa kecilnya yang dititipkan ke keluarga Belanda, menuntut ilmu hingga ke Belanda, pidato penobatan sultan yang terkenal, hingga peran sultan di era kolonialisme dan kemerdekaan. Pada era itulah sebenarnya gagasan dan kebutuhan untuk aksi Sri Sultan HB IX mulai terbentuk, khususnya di era kolonialisme. Proses terbentuknya gagasan tersebut tentu dipengaruhi oleh pendidikan yang didapatkannya secara formal maupun informal, interaksinya dengan tokoh nasional dan orang Belanda, serta rencana dirinya untuk melakukan pembaharuan di Yogyakarta. Dari perjalanan panjang Sri Sultan HB IX, peneliti mengindikasikan adanya kepentingan khusus yang dibawa oleh sang sultan. Di tengah adanya arus demokratisasi, kekuasaan tradisional yang dimiliki oleh sultan (sistem monarki) secara tidak langsung terdesak oleh gagasan modern (demokrasi). Berbekal dengan pengetahuannya tentang sistem demokrasi dan kekuasaan yang dimilikinya, sultan tidak kehilangan ide untuk merancang sebuah siasat supaya kekuasaan tradisional yang dimilikinya tidak hilang ditelan oleh zaman. Sebelum dinobatkan menjadi seorang raja, sultan telah merancang sebuah kebijakan demokratis yang nantinya akan diterapkan di wilayah kekuasaannya yaitu Yogyakarta. Tidak hanya itu, sultan juga berencana untuk menjadikan dirinya sebagai tokoh demokratis untuk menutupi kekuasaan tradisional yang dimilikinya. Berangkat dari tersebut, maka muncul pertanyaan apakah rencana sultan tersebut sebuah tuntutan ataukah kebutuhan. F.2 Tiga Tapak Politik Sang Sultan Ketika gagasan politik seseorang mulai terbentuk dan terinternalisasi, maka salah satu aspek penting yang harus dipaparkan untuk menafsirkan tapak politik seseorang adalah 24
tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh tokoh yang bersangkutan. Bahkan, ketika tokoh tersebut memiliki posisi politik yang vital dalam struktur pemerintahan, maka setiap kebijakan yang dikeluarkan akan lebih mudah untuk dilacak. Untuk menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX, maka ada 3 hal penting yang digunakan oleh peneliti untuk menata alur pola pikir yaitu dimensi partisipasi, kompetisi, dan kebebasan untuk berekspresi. Digunakannya ketiga dimensi demokrasi tersebut untuk mempermudah peneliti menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX melalui berbagai kebijakan yang pernah dikeluarkannya. Lebih jauh lagi, kebijakan tersebut akan dibedakan berdasarkan kapasitas Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai seorang raja, kepala daerah, dan pemegang jabatan lainnya. Beberapa poin tersebut nantinya akan dipaparkan pada bagian bab III. F.2.1 Tapak Pertama: Sri Sultan HB IX Mendemokratisasikan Keraton Pada bagian ini, peneliti memaparkan berbagai kebijakan atau tapak demokratis yang dilakukan oleh sultan dalam kapasitasnya sebagai seorang raja. Tapak politik pertama ini nantinya menjadi pintu masuk penting untuk melihat sisi demokratis dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sultan di dalam lingkup kerajaannya. Kebijakan yang dibuat sultan dalam ranah keraton ini menjadi penting karena keraton adalah lingkungan pertama dan asli Sri Sultan HB IX dimana sultan berasal. Beberapa perubahan dilakukan sultan untuk mengarahkan pemerintahan keraton menuju ke arah pemerintahan yang lebih demokratis. Oleh karena itu, tapak politik yang dilakukan sultan pada pintu pertama ini lebih mendorong kesadaran lingkungan keraton untuk mulai terbuka terhadap ide-ide demokrasi ala Barat yang dibawa oleh sultan sepulangnya dari Belanda. Keluar dari romantisme dari sosok Sri Sultan HB IX sendiri, demokratisasi yang dilakukan sultan di dalam lingkungan keraton pada dasarnya tidak hanya untuk kepentingan masyarakat dan keluarga besar keraton, tetapi lebih menjadi siasat sultan untuk mengubah 25
mindset lingkungan dalam keraton bahwa demokrasi menjadi ide yang harus dilaksanakan. Pekerjaan sultan untuk melakukan demokratisasi di dalam keraton pada dasarnya tidak mengalami kendala yang berarti mengingat sultan masih menjadi sosok yang berkharisma dan berwibawa di dalam keraton dimana adat istiadat menjadi kunci utamanya. Dengan kata lain, keluarga besar keraton (termasuk abdi dalem) akan senantiasa tunduk dan patuh terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh sultan yang sedang bertahta sehingga hal tersebut memudahkan Sri Sultan HB IX melakukan pembaharuan untuk melaksanakan misi yang diusungnya. F.2.2 Tapak Kedua: Sultan Membangun Citra Demokratis di Daerah Setelah sultan menyelesaikan misinya untuk melakukan demokratisasi di lingkaran pertama, maka lingkungan selanjutnya yang perlu untuk didemokratiskan adalah lingkup daerah yaitu Yogyakarta. Hal ini dilakukan sultan ketika Yogyakarta telah dinyatakan oleh sultan dan pakualam sebagai bagian dari Republik Indonesia. Dengan bergabungnya Yogyakarta sebagai bagian dari republik, maka konsekuensinya adalah adanya jabatan politik yang melekat di sebuah daerah yaitu gubernur atau kepala daerah yang sebenarnya juga berlaku untuk daerah-daerah lainnya. Untuk tetap menjadi penguasa secara politik di wilayahnya, Sri Sultan HB IX secara cerdas telah mengeluarkan amanat yang isinya menjelaskan bahwa sultan dan pakualam akan menjadi pemimpin Yogyakarta dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Pernyataan itulah yang sampai sekarang masih dijadikan landasan dalam pola pemerintahan di Yogyakarta. Selanjutnya, misi sultan untuk melakukan demokratisasi di lingkup daerah tidak dapat dilepaskan dari posisi Yogyakarta yang menjadi bagian dari republik. Selain itu, sultan juga perlu menciptakan kesadaran masyarakat secara luas bahwa demokrasi adalah ide baru yang harus diimplementasikan di wilayah Yogyakarta yang sebenarnya masih menganut sistem monarki. Bahkan, misi sultan tersebut tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa 26
Yogyakarta sebagai daerah monarki justru mampu menjadi pionir bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia, termasuk keberhasilan sultan membuat citra Yogyakarta sebagai daerah paling demokratis pertama di Indonesia. Hal tersebut tentu membuat posisi sultan sendiri aman dari tekanan-tekanan masyarakat yang menolak adanya sultan atau sistem monarki. Pada aspek yang lain, Yogyakarta justru mendapatkan status istimewa yang sebenarnya juga membuat posisi keraton Yogyakarta dalam posisi yang telah terjaga. F.2.3 Tapak Ketiga: Sultan Menjadi Politisi yang Demokratis di Kancah Nasional Sosok Sri Sultan HB IX pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah nasional bangsa Indonesia. Perannya untuk mengabdikan diri membangun bangsa juga tidak perlu diragukan lagi oleh masyarakat. Bahkan sultan dianggap sebagai sosok negarawan yang sejati. Pada aspek yang lain, hadirnya sultan ke panggung politik nasional pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kepentingan yang sebenarnya melekat pada sang sultan. Bahkan Monfries melihat sosok sultan sebagai sosok yang sering berperilaku layaknya politisi gaya Barat. Karir politik sultan yang mulus ke kancah nasional pada awalnya tidak dapat dilepaskan dari keputusan dirinya yang menawarkan Yogyakarta kepada pemimpin republik sebagai ibukota sementara. Semenjak itu, sultan dilihat sosok yang memiliki peran besar bagi keberlangsungan republik. Secara politis, keputusan sultan tersebut tentu membawa dampak pada citra sultan yang melambung tinggi ke ranah politik nasional. Selain dipercaya menjadi menteri, sultan juga pernah menjadi orang nomor dua di republik. Hal tersebut sebenarnya membawa keuntungan sendiri bagi pembangunan citra sultan sebagai sosok yang demokratis. Meskipun sultan dikenal sebagai keturunan feodal, kiprah sultan di kancah nasional membuat citra sultan menjadi positif dan demokratis. Hal tersebut tentu melanggengkan kekuasaan sultan yang tidak lain merupakan seorang raja di keratonnya. Keberhasilan sultan untuk masuk ke lingkaran ketiga (ranah nasional) telah memuluskan misi sultan untuk membangun citra yang 27
demokratis secara luas sehingga hal tersebut menguatkan posisi kekuasaannya pada titik yang cukup aman. F.3 Merangkai Siasat Politik Sang Sultan Melalui Nilai-Nilai Demokrasi Berdasarkan kebijakan atau tindakan aksi yang telah dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, maka peneliti dapat menafsirkan tapak politik sultan tentang demokrasi berdasarkan latar balakang yang mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh sultan. Berbagai latar belakang tersebut pada dasarnya juga tidak dapat dilepaskan dari prinsip dan karakter hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sejatinya terbentuk selama perjalanan hidupnya. Prinsip hidup itulah yang kemudian menjadi tafsiran tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi. Adapun tafsiran tapak politik demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX tersebut dapat dilacak dengan menggunakan nilai-nilai demokrasi yang dikemukakan oleh Henry B.Mayo yang terdiri dari lima poin. Kelima poin nilai-nilai yang mencerminkan sikap demokratis seseorang tersebut yaitu menyelesaikan permasalahan secara damai, menjamin perubahan secara damai di dalam masyarakat yang selalu berubah, adanya pergantian kekuasaan secara teratur, mengakui nilainilai keanekaragaman, dan menegakkan keadilan sebagai inti moralitas politik. Dari kelima hal tersebut, maka selanjutnya dapat ditarik beberapa tafsiran tapak politik Sri Sultan HB IX tentang demokrasi yang sejatinya merupakan sikap dan pendirian sultan. Dengan demikian, maka selanjutnya peneliti dapat mengerucutkan hal tersebut menjadi satu konsep kepemimpinan demokratis khas Sri Sultan HB IX yang tidak lain digunakan untuk sultan untuk mempertahankan kekuasaannya di arus demokratisasi global. Adapun hasil penafsiran yang dilakukan oleh peneliti pada dasarnya merupakan penjabaran dari berbagai tapak politik yang telah dilakukan oleh sultan sebagai siasat sultan dalam menjalankan misinya. Misi yang dimaksud adalah misi sultan untuk melanggengkan kekuasaan yang dimilikinya dengan bertindak sedemokratis mungkin supaya citra yang 28
terbangun tidak bertentangan dengan ide-ide Barat yang sedang berkembang (demokrasi). Digunakannya nilai-nilai demokrasi dari Henry B.Mayo sejatinya mempermudah peneliti untuk melihat sisi kedemokratisan sultan sendiri. Selain itu, setiap nilai demokrasi yang dijelaskan oleh Mayo, peneliti kemudian menjabarkannya kembali ke dalam beberapa poinpoin penting yang sejatinya bisa dimaknai sebagai prinsip atau karakter dari sultan. G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif karena metode ini dinilai cocok untuk mengintepretasi data yang ada. Lebih jauh lagi, metode penelitian kualitatif dapat mempermudah peneliti untuk memahami alur peristiwa secara kronologis (sebab-akibat) dan memperkuat sejumlah penjelasan yang bermanfaat.31 Hal tersebut tentu tidak bisa dilepaskan mengingat objek yang diteliti adalah gagasan seorang individu. Peneliti juga memiliki kepentingan untuk merangkai alur peristiwa atau perjalanan hidup seorang Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk memahami setiap kejadian yang dialami oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari sisi sebab dan akibat. Setiap kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi keputusannya tersebut. Di sisi lain, peneliti juga berkepentingan untuk memperkuat alur tersebut dengan berbagai data primer maupun sekunder yang nantinya akan didapatkan oleh peneliti melalui metode kualitatif. Selain itu, metode kualitatif juga memungkinkan peneliti untuk mendapatkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari objek penelitian yang diteliti oleh peneliti.32 Untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi, data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan menjadi sesuatu yang cukup penting dan vital, meskipun data lisan tersebut tidak bisa didapatkan langsung dari objek
31
Lihat Matthew B Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia, Jakarta, 1992, hal.2. 32 Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, hal.4.
29
yang diteliti karena objek yang diteliti (seseorang) sudah tidak ada. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk melacak data-data tertulis, baik dari tulisan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri ataupun data-data tertulis lain yang menceritakan perjalanan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selain itu, metode tersebut juga memungkinkan peneliti untuk mendapatkan data lisan dari kerabat atau rekan-rekan Sri Sultan Hamengku Buwono IX semasa hidupnya sehingga data yang didapatkan juga valid berdasarkan pengalaman nyata. Berangkat dari hal tersebut, maka metode penelitian kualitatif sesuai dengan kebutuhan analisis peneliti untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi. Hal tersebut pada dasarnya juga tidak bisa dilepaskan dari peran metode kualitatif yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, termasuk dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah.33 Dengan menggunakan metode tersebut, maka peneliti diharapkan bisa menemukan data-data menarik terkait dengan perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan dari objek yang diteliti. Menariknya, objek yang diteliti adalah seorang individu yang diharapkan memiliki kefokusan penelitian yang lebih baik dibandingkan penelitian yang dilakukan untuk melihat perilaku sebuah kelompok masyarakat. Secara lebih spesifik, peneliti menggunakan metode penelitian atau pendekatan biografi. Metode biografi secara umum digambarkan sebagai sebuah metode penelitian yang digunakan untuk menuliskan cerita hidup seseorang atau individu secara ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lebih tepatnya lagi, metode penelitian biografi adalah studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan
33
Ibid., hal.6.
30
dokumen dan arsip.34 Leon Edel juga menyatakan bahwa menulis biografi berarti menuliskan cerita kehidupan seseorang.35 Metode ini secara luas juga bertujuan untuk mengungkap epipani atau pengalaman menarik yang mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang. Metode tersebut tentu sesuai dengan kebutuhan peneliti dimana peneliti mencoba mengungkap pengalaman menarik seorang Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menafsirkan tapak politik demokrasi. Selain itu, metode biografi tersebut juga memungkinkan peneliti untuk melihat peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang pada akhirnya dapat mempengaruhi gagasan sultan. Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam menulis penelitian dengan menggunakan metode biografi adalah independensi peneliti. Dengan menggunakan metode tersebut, peneliti memiliki kecenderungan untuk tidak bersikap netral. Artinya peneliti atau peneliti juga tanpa sadar telah memuja seseorang atau kelompok yang ditulis. Hal tersebut secara tidak langsung menggambarkan bahwa sosok yang diteliti dilihat sebagai sosok yang tanpa cela sehingga tidak ada sisi „negatif‟ yang bisa ditemukan oleh peneliti. Kecenderungan tersebut tentu pada dasarnya harus dihindari oleh peneliti sebagai peneliti yang netral sehingga independensinya bisa dipertanggungjawabkan. Dengan menghasilkan sebuah karya dalam bentuk naratif nantinya, peneliti pada dasarnya diharapkan mampu menjaga kenetralannya dalam menuliskan biografi seseorang yang ditelitinya. Tidak hanya berguna untuk menemukan epipani semata, metode atau pendekatan biografi juga berguna untuk memberi paparan tentang tahap-tahap perkembangan individu atau masyarakat (secara mikro) dengan segala refleksinya. 36 Hal tersebut juga sesuai dengan
34
Lihat Pupu Saeful Rahmat, Penelitian Kualitatif, Jurnal Equilibrium, Vol.5, No.9, 2009, hal.6. Diakses melalui http://yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/Jurnal-Penelitian-Kualitatif.pdf pada hari Selasa tanggal 13 Januari 2015 pukul 11.18 WIB. 35 Lihat Norman K.Denzin & Yvonna S.Lincoln dalam Yema Siska Purba, Pemikiran Nasionalisme Amir Syarifuddin: Studi tentang Pemikiran dalam Konteks Revolusi Indonesia, Skripsi, Yogyakarta, 2013, hal.26. 36 Lihat Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006, hal.238.
31
karakteristik penelitian biografi yang membutuhkan pengeksplorasian. 37 Informasi yang nantinya didapatkan oleh peneliti nantinya juga dapat diklasifikasikan dan disistematisasikan dalam rangka mendapatkan kejelasan substansi. Mengacu pada hal tersebut, maka menjadi penting bagi peneliti untuk melihat perkembangan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX sejak masa anak-anak hingga akhirnya memiliki jabatan terakhir sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia pada tahun 1973-1978. Bahkan, sepanjang perjalanan hidupnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentu memiliki banyak pengalaman menarik yang bisa digunakan sebagai data analisis untuk menafsirkan tapak politik demokrasi yang dilakukan oleh sultan. H. Teknik Pengumpulan Data Menurut Lofland dan Lofland (1984), sumber data kualitatif yang utama adalah katakata, tindakan, dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, sumber data tertulis, foto, dan statistik.38 Mengingat objek yang diteliti (Sri Sultan Hamengku Buwono IX) telah meninggal, maka peneliti menggunakan studi literatur atau dokumen dan wawancara sebagai teknik pengumpulan data utama. Studi dokumen dalam hal ini juga bisa disebut dengan kajian pustaka dimana peneliti mencoba untuk melakukan teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan berbagai literatur yang membahas tentang kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di sisi lain, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara guna mendapatkan data yang relevan dengan berbagai aktor yang memiliki pengalaman hidup dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tidak hanya terbatas dalam hal itu, peneliti juga bisa melakukan wawancara dengan aktor-aktor yang mengetahui peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX selama hidupnya.
37
Lihat Jhon W.Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, Sage Publication Inc, London, 1998, hal.65. 38 Lihat Lexy Moleong, op.cit., hal.157.
32
Studi pustaka dilakukan peneliti tidak hanya dalam rangka untuk dicatat dan ditulis kembali, tetapi untuk selanjutnya dianalisis berdasarkan kebutuhan peneliti. Dengan kata lain, data-data yang didapatkan oleh peneliti nantinya akan disesuaikan dengan teori dan tema yang diangkat oleh peneliti yaitu terkait dengan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi. Segala kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh beliau semasa hidupnya tentu akan dianalisis oleh peneliti, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi tindakannya tersebut sehingga peneliti dapat menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi. Oleh karena itu, tindakan yang lebih diprioritaskan oleh peneliti untuk dianalisis adalah segala tindakan beliau yang dilihat sebagai kebijakan yang demokratis. Di sisi lain, dokumen juga berfungsi sebagai alat pengumpul data utama karena pembuktiannya bisa dilakukan melalui pendapat, teori, dan hukum yang diterima.39 Untuk memperoleh data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan, peneliti akan melakukan pengumpulan data dengan cara menganalisis cerita hidup dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari buku-buku yang telah menjelaskan kehidupan beliau. Ada dua buku utama yang digunakan peneliti untuk menelusuri latar belakang kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yaitu sebuah buku yang disunting oleh Atmakusumah dengan judul Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX dan tulisan yang disunting oleh Julius Pour dan Nur Adji yang berjudul Sepanjang Hayat Bersama Rakyat: 100 Tahun Sultan Hamengku Buwono IX. Tidak hanya itu, sebagai tambahan untuk melihat karakteristik kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, peneliti juga menggunakan buku yang disunting oleh Parni Hadi dan Nasyith Majidi dengan judul Sultan Hamengku Buwono IX: Inspiring Prophetic Leader. Ketiga buku tersebut nantinya akan menjadi buku acuan untuk menulis cerita kehidupan atau latar belakang Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
39
Lihat Hadari Nanawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, hal.141.
33
Selanjutnya, peneliti juga akan mengumpulkan data dari buku-buku sekunder yang menceritakan penggalan-penggalan kisah kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari berbagai sisi. Artinya sudah banyak tulisan peneliti atau peneliti yang mencoba untuk menguak peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam berbagai situasi seperti buku yang berjudul Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik karya Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 karya Suwarno, Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan DIY karya Heru Wahyukismoyo, dan lain sebagainya. Buku-buku tersebut tentu kemudian akan menjadi bahan analisis peneliti untuk mengungkap pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berkaitan dengan demokrasi. Studi literatur tidak hanya dilakukan oleh peneliti melalui buku, tetapi juga melalui surat kabar, media online, dokumen Keraton Yogyakarta, tulisan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan dokumen lain yang menjelaskan kehidupan sultan. Peneliti nantinya juga akan menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara, meskipun objek yang diteliti telah lama meninggal dunia. Adapun wawancara tersebut nantinya dilakukan kepada orang-orang yang memiliki pengalaman khusus dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, termasuk kerabat Keraton Yogyakarta. Hal tersebut menjadi penting untuk dilakukan sebagai proses untuk mengonfirmasi data-data yang telah didapatkan oleh peneliti dalam proses studi literatur. Bahkan peneliti bisa mendapatkan datadata tambahan yang sebelumnya belum direkam dalam bentuk tulisan di beberapa literatur yang menceritakan kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Lebih jauh lagi, wawancara juga memiliki kelebihan sendiri yaitu aktor yang diwawancari bisa menceritakan berbagai dampak dari kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam kerangka kebijakan yang demokratis.
34
I. Teknik Analisis Data Dalam teknik analisa kualitatif, peneliti tidak mencari kebenaran, tetapi lebih untuk mencari pemahaman. Menurut Bogdan dan Biklen (1982), analisa data kualitatif dilakukan dengan mengorganisasikan data, memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting, dan memutuskan bagian mana yang bisa diceritakan kepada orang lain. 40 Teknik analisis data pada dasarnya menjadi penting untuk mengetahui data-data yang digunakan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Apabila dikaitkan dengan pendekatan biografi, maka urutan analisis data menjadi sesuatu yang patut untuk diperhatikan mengingat menulis biografi sama dengan menulis cerita kehidupan seseorang secara runtut dan tepat. Bahkan peneliti dituntut untuk menemukan pengalaman menarik dari seseorang yang ditelitinya. Oleh karena itu, setidaknya ada tiga tahapan analisa yang bisa dilakukan oleh peneliti. Pertama, data primer yang didapatkan dari studi literatur akan diringkas untuk mengurutkan peristiwa atau jalan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan kata lain, peneliti akan meringkas bagian-bagian terpenting dari kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX mulai dari masa kecilnya hingga sebelum meninggal pada tahun 1988. Tidak hanya itu, peneliti juga akan mencatat setiap kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh beliau, khususnya ketika beliau menjabat sebagai Raja Keraton Yogyakarta yang identik sebagai pemimpin atau penguasa. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan juga bahwa peneliti akan menelisik kebijakan-kebijakan lainnya yang masih berhubungan dengan asas demokrasi yang dijunjung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kedua, data yang telah didapatkan diringkas tadi kemudian dikategorisasikan berdasarkan kebutuhan peneliti. Sebagai contohnya, peneliti akan mengategorisasikan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan atau 40
Lihat selengkapnya Lexy Moleong, op.cit., hal.248.
35
tindakan beliau selama menjabat sebagai Raja Keraton Yogyakarta. Pengategorisasian tersebut pada dasarnya akan mempermudah peneliti untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi karena data-data yang didapatkan tersebut selanjutnya akan dihubungkan dengan berbagai teori yang digunakan oleh peneliti, khususnya teori demokrasi. Pencocokan antara data dan teori tentu akan lebih mudah apabila sebelumnya peneliti telah mengetahui nilai-nilai demokrasi yang dilihat untuk menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX tersebut. Ketiga, setelah mengategorisasikan data dan dihubungkan dengan teori-teori yang sudah ada, peneliti kemudian akan mendapatkan gambaran terkait tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi. Langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu melakukan
rekonstruksi
kehidupan
dari
data-data
yang
telah
didapatkan
dan
dikategorisasikan. Selain itu, peneliti juga akan melihat faktor-faktor yang membentuk proses kehidupan beliau. Selanjutnya, diharapkan peneliti dapat menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX terkait demokrasi dan mencoba untuk mengaitkan benang merah tersebut dengan teori yang digunakan oleh peneliti. Lebih jauh lagi, peneliti juga diharapkan bisa mendapatkan makna lain dibalik tafsiran tapak politik yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. J. Sistematika Bab Untuk mempermudah memahami tulisan ini, maka peneliti akan membagi tulisan ini menjadi beberapa bab utama. Hal ini dilakukan untuk memperjelas hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Pada bab kedua, peneliti akan memaparkan riwayat hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mulai dari beliau lahir hingga meninggal. Pemaparan tentang riwayat hidup tersebut menjadi penting untuk dilakukan mengingat Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang hidup di pra dan pasca kemerdekaan memiliki peran yang cukup penting untuk pembangunan nasional. Oleh karena itu, pada bab ini, peneliti akan memaparkan perjalanan 36
hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mulai dari menjadi putra mahkota, menjadi Raja Keraton Yogyakarta, menteri di era Orde Baru, hingga menjadi wakil presiden pada tahun 1973-1978. Bab dua tersebut juga akan membantu peneliti untuk menemukan realitas sosial dan historis Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang nantinya dapat mempengaruhi gagasan beliau. Pada bab tiga, peneliti akan memaparkan secara lebih rinci terkait dengan kebijakan, keputusan, atau tindakan penting yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX semasa menjabat sebagai Raja di Keraton Yogyakarta Hadiningrat, kepala daerah, dan politisi. Beberapa momen penting yang bisa dilihat salah satunya ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX menawarkan Yogyakarta sebagai Ibukota Republik pada tahun 1946 ketika Jakarta dalam keadaan darurat. Dengan tangan terbuka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyambut para pemimpin nasional yang berbondong-bondong datang ke Yogyakarta. Tentu keputusan tersebut bukanlah keputusan yang mudah mengingat keputusan tersebut sangat penting bagi keberlanjutan sistem politik di Indonesia. Sisi demokratis sultan setidaknya bisa dilihat dari kebersediaan dirinya sebagai penguasa Yogyakarta untuk menjadikan Yogyakarta sebagai benteng terakhir perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada bab keempat, peneliti akan memaparkan benang merah dari segala keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selama menjabat sebagai Raja Keraton Yogyakarta Hadiningrat, kepala daerah, dan politisi. Benang merah tersebut didapatkan dari hasil analisis data yang dilakukan oleh peneliti, khususnya dalam menelaah berbagai keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada bagian ini, peneliti mencoba untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan cara mencocokan kebijakan tersebut dengan teori demokrasi yang digunakan. Melalui berbagai nilai-nilai demokrasi yang digunakan, maka peneliti akan sampai kepada sebuah kesimpulan yang menjelaskan tapak politik dari Sri Sultan Hamengku 37
Buwono IX. Selain itu, peneliti nantinya juga dapat melihat siasat-siasat politik yang dilakukan oleh sultan untuk mempertahankan eksistensinya. Selanjutnya, pada bab lima, peneliti akan menuliskan kesimpulan akhir dan refleksi atas penelitian yang dilakukan. Dengan kata lain, peneliti akan menegaskan kembali argumen yang telah dibangun di bab-bab sebelumnya yang menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tentu hal tersebut akan menjadi bahan refleksi yang menarik untuk direnungkan. Menafsirkan tapak politik demokrasi menjadi menarik karena dibalik kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh sultan sejatinya mengandung beberapa kepentingan atau maksud tertentu yang tidak lain untuk mempertahankan eksistensi dirinya sendiri sebagai seorang raja, termasuk eksistensi keraton sebagai sebuah lembaga yang menjalankan sistem monarki. Sebagai sosok yang memiliki peran penting di eranya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pantas dijadikan salah satu tokoh yang setiap tindakan dan kebijakannya ditafsirkan secara lebih mendalam, khususnya dalam hal demokrasi.
38