BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Maraknya kasus mengenai pelanggaran pencantuman tulisan halal pada label produk pangan di Indonesia akhir-akhir ini, menimbulkan keresahan bagi konsumen di Indonesia terutama bagi konsumen yang beragama Islam. Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan yang wajib bagi umat muslim, baik itu pangan, obat-obatan maupun barang-barang konsumsi lainnya. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam, 6,96% agama Protestan, 2,9% agama Katolik, 1,69% agama Hindu, 0,72% agama Buddha, 0,05% agama Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.1 Maka dengan sendirinya pasar Indonesia merupakan pasar konsumen muslim yang demikian besar. Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji.2 Badan Pengawas Obat dan Makanan ( selanjutnya disebut BPOM) menemukan lima merek dendeng dan abon yang dilabeli terbuat dari sapi, tapi berbahan baku daging babi. BPOM melakukan sampling dan pengujian terhadap 15 produk dendeng dan 20 produk abon. Hasilnya ditemukan lima merek produk abon/dendeng babi yang dijual dengan label abon/dendeng sapi.
1
Wikipedia, 2010, "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia. diakses tanggal 14 Januari 2015. 2
yang
Dianut",
URL
:
Yusuf Sofie, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, GhaliaIndonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf SofieI), h.17.
Kelima produk yang terbukti mengandung DNA babi itu meliputi Dendeng/Abon Sapi Gurih Cap Kepala Sapi (250 gram), Abon/Dendeng Sapi Asli Cap ACC, dan Abon & Dendeng Sapi Cap LIMAS (100 gram) produksi Langgeng, Salatiga. Merek Dendeng Sapi Istimewa Beef Jerky 'Lezaaat' (100 gram) produksi MDC Food Surabaya, dan Dendeng Daging Sapi Istimewa No.1 Cap 999 (250 gram) produksi S.Hendropurnomo, Malang. Produk dengan merek 'Lezaaat' bahkan mencantumkan label halal pada kemasannya, tindakan itu mencederai hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar tentang produk makanan.3 Teknologi yang berkembang dengan pesatnya di samping membawa dampak positif juga negatif. Terlihat dari penemuan dan
pemakaian zat tambahan (additive) yang akan
mempengaruhi dalam penentuan status kehalalan produk, seperti pangan, obat-obatan, dan kosmetika. Produsen dituntut menghasilkan produk yang murah dan terjangkau harganya. Usaha untuk mencapai tuntutan itu para produsen makanan banyak menggunakan zat tambahan (zat additive). Konsumen dalam hal ini berada dalam posisi yang kurang menguntungkan karena konsumen hanya mengetahui informasi yang berasal dari para pelaku usaha, tanpa mengetahui kebenaran dari label halal yang tercantum pada produk-produk tersebut. Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia. 4
3
Suaramerdeka,2009,‘’BPOMTemukan5MerekAbonBabi‘’,http://www.suaramerdeka.com. diakses tanggal 2 maret 2015 4
Girindra Aisjah, 2006, Menjamin Kehalalan dengan Label Halal, Perspektif Food Review Indonesia Vol.1 No 9, Bogor, (selanjutnya disingkat Girindra Aisjah I), h.12-13
Secara filosofis, regulasi bidang perlindungan konsumen tidak lain dari upaya mewujudkan tujuan negara Indonesia yang di amanatkan dalam Alinea keempat. Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa : Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Secara teknis Departemen Kesehatan (selanjutnya disebut Depkes) telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Dalam lampiran SK tersebut yakni pada Bab V tentang Persyaratan higiene pengolahan telah dijelaskan aturan-aturan baku dalam proses pembuatan makanan halal dan persyaratan higiene pengolahan makanan menurut syariat Islam. Kemudian ketetapan tersebut dirubah menjadi Surat Keputusan Nomor: 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan ‘’halal’’ pada Label Makanan, dimana pada Pasal 8 disebutkan Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan ‘’halal’’ wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disebut MUI) dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal. Tahun 2001 Departemen Agama juga mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. SK Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, yaitu
adalah MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (selanjutnya disebut LPPOM) dan SK Nomor 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal. Pengaturan mengenai pencantuman label dalam hukum positif Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Konsumen). Yakni diatur dalam Pasal 8 ayat 1 butir (h) yang menyatakan bahwa: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “Halal” yang dicantumkan dalam label.” Selanjutnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan sehingga diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan (selanjutnya disebut Undang-undang Pangan) yaitu terdapat pada Bab VIII Label Dan Iklan Pangan. Dalam Pasal 97 ayat (1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan. Lebih lanjut dalam Pasal 97 ayat (2) Undang-undang Pangan menentukan Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai pelaksana dari Undang-undang Pangan, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (selanjutnya disebut PP tentang Label dan Iklan Pangan). Diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut “Halal” bagi umat manusia, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau
tulisan halal pada label. Dalam Peraturan Pemerintah Pasal 11 ayat (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan-peraturan di atas belum efektif untuk mencegah adanya pelanggaran pencantuman tulisan halal pada label produk pangan, terlihat dari masih sedikitnya perusahaan yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan sertifikasi halal dari MUI. Perusahaan yang mendaftarkan diri, sebagian besar merupakan perusahaan-perusahaan besar, sedangkan jarang Industri Kecil Menengah (selanjutnya disebut IKM) yang mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikasi halal tersebut. Produk-produk makanan yang beredar di masyarakat Indonesia, banyak yang sudah mencantumkan label halal, namun belum mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Ini artinya bahwa pencantuman tulisan halal pada label produk pangan hanya merupakan inisiatif dari produsen yang dapat merugikan konsumen. Pengetahuan masyarakat akan makanan halal cukup tinggi namun kesadaran untuk memverifikasi barang yang terjamin kehalalnya masih lemah. Tentu saja hal ini harus didukung dengan sistem pengaturan yang dapat memberikan legitimasi yang kuat. Berdasarkan uraian dan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan mengadakan penelitian bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang menjadi korban pelanggaran pencantuman tulisan halal pada label produk pangan serta pengaturan label halal dalam hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu, penulis memilih judul penulisan hukum ini adalah: “ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENCANTUMAN TULISAN HALAL PADA LABEL PRODUK PANGAN”. 1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan pencantuman tulisan halal pada label produk pangan dalam hukum positif di Indonesia? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen yang menjadi korban pelanggaran pencantuman tulisan halal pada label produk pangan? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Skripsi ini membahas lebih spesifik mengenai pencantuman tulisan halal pada label pada produk pangan. Untuk mencegah terjadinya pembahasan yang berlebihan dan agar suatu masalah tidak keluar jauh menyimpang dari pokok permasalahan, maka penulis perlu memberikan batasan-batasan terhadap ruang lingkup masalahnya yang lebih menekankan pada pengaturan mengenai perlindungan konsumen terhadap pencantuman tulisan halal pada label produk pangan dari segi hukum. 1.4.
Orisinalitas Penelitian Perbedaan penulisan hukum ini dengan karya peneliti lain adalah: Tabel I
Nomor
Peneliti
Judul
Rumusan Masalah
1.
Anung Razaini
Tinjauan Yuridis
1. Bagaimana pengaturan
Firmansyah,
Pengaturan
Surakarta,
Perlindungan Hukum
labelisasi halal sebagai
E0005098,
Terhadap Pemalsuan
bentuk legitimasi
Fakultas Hukum
Sertifikasi dan
Universitas
Labelisasi Halal
Sebelas Maret,
Sebagai Bentuk
sertifikasi dan
kehalalan produk di Indonesia? 2. Bagaimana bentuk
Tahun 2010
Legitimasi Kehalalan
perlindungan hukum
Produk di Indonesia
bagi konsumen terhadap pemalsuan sertifikasi dan labelisasi halal?
2.
Maseratih
Perlindungan Hukum
Dewintha,
Terhadap Konsumen
perlindungan hukum
E1A008109,
Dilihat Dari Aspek
terhadap konsumen
Fakultas Hukum
Kebijakan Kriminal
dilihat dari aspek
Universitas
Pada Sertifikasi Dan
kebijakan kriminal
Jenderal
Labelisasi Halal MUI
pada sertifikasi dan
Soedirman,
Untuk Produk
labelisasi halal MUI
Tahun 2012
Penyedap Makanan
untuk kasus AJI-NO-
AJI-NO-MOTO
1. Bagaimana bentuk
MOTO ini? 2. Bagaimanakah keberpihakkan bentuk perlindungan hukum tersebut kepada konsumen itu sendiri?
Tabel II Nomor
Peneliti
Judul
1.
Ni Putu Desi
Aspek Hukum
Antari,
Perlindungan
1103005252,
Konsumen Terhadap
pencantuman
Fakultas
Pencantuman Tulisan
tulisan halal pada
Hukum
Halal Pada Label
label produk
Universitas
Produk Pangan
pangan dalam
Udayana, Tahun 2015
Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaturan
hukum positif di Indonesia? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang menjadi korban pelanggaran pencantuman tulisan halal pada produk label produk pangan?
1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui aspek hukum perlindungan konsumen terhadap pencantuman tulisan halal pada label produk pangan. 1.5.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pencantuman tulisan halal pada label produk pangan dalam hukum positif di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang menjadi korban pelanggaran pencantuman tulisan halal pada label produk pangan. 1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat teoritis Manfaat secara teoritis dari hasil penelitian ini yaitu hasil penelitian ini akan dapat bermanfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pengembangan disiplin ilmu hukum khususnya yang berkenaan dengan hukum perlindungan konsumen terutama mengetahui pengaturan mengenai pencantuman tulisan halal pada label produk pangan dalam hukum positif Indonesia serta perlindungan hukum terhadap konsumen yang menjadi korban pelanggaran pencantuman tulisan halal pada label produk pangan. 1.6.2. Manfaat Praktis 1. Bagi Penulis Memperluas dan menambah pengetahuan tentang pengaturan mengenai label halal dalam hukum positif Indonesia serta perlindungan hukum terhadap konsumen yang menjadi korban pelanggaran pencantuman tulisan halal pada label produk pangan.
2. Bagi Aparat Penegak Hukum Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai wawasan dan bahan pertimbangan untuk menambah pengetahuan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan suatu kasus hukum khususnya mengetahui pengaturan mengenai label halal dalam hukum positif Indonesia serta perlindungan hukum terhadap konsumen yang menjadi korban pelanggaran pencantuman tulisan halal pada label produk pangan. 3. Bagi Masyarakat Diharapkan agar masyarakat mendapatkan informasi mengenai pengaturan label halal dalam hukum positif Indonesia serta perlindungan hukum terhadap konsumen yang menjadi korban pelanggaran pencantuman tulisan halal pada label produk pangan. 1.7.
Landasan Teoritis Menurut Pasal 1 ayat (3) dari PP tentang Label dan Iklan Pangan menentukan bahwa
yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Sedangkan dalam Undangundang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 11 Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan selanjutnya disebut Undang-undang Pangan. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan
bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indoneasia Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label Dan Iklan Pangan Pasal 1 ayat (1). Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Berdasarkan cara pengolahannya, pangan dapat dibedakan menjadi tiga: a.
Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung, yakni dijadikan bahan baku pengolahan pangan.
b.
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Contoh : teh manis, nasi, pisang goreng, dan sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi pangan olahan siap saji dan tidak siap saji. -
Pangan olahan siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah diolah dan siap disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.
-
Pangan olahan tidak siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah mengalami proses yang sudah mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutan untuk dapat dimakan atau diminum.
c.
Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukan bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan. Contoh:
ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untukorang yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya.
5
PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 1 angka 5 Pangan Halal adalah pangan yang tidak mengadung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat muslim, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam. Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 1 Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Kemudian di dalam Pasal 33 dari Undang-undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ( selanjutnya disebut Undang-undang Jaminan Produk Halal) yaitu, Bab V Tata Cara Memperoleh Sertifikat Halal, Bagian Keempat Penetapan Kehalalan Produk ditentukan bahwa: (1). Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI. (2). Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal. (3). Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait. (4). Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH. (5). Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI. (6). Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
5
Saparinto Cahyo dan Diana Hidayati, 2006, Bahan Tambahan Pangan, Kanisius, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Saparinto Cahyo dan Diana Hidayati I), h. 12-13
Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.6 Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua macam yaitu : 1.
Sarana Perlindungan Hukum Preventif Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
2.
Sarana Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
6
Philipus M. Hadjon, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon I), h. 25
asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.7 1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Pendekatan hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Disamping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap factor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. 8 Ada dua jenis penelitian hukum yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan atau penelitian yang didasarkan pada data sekunder (data kepustakaan). Penelitian hukum normatif juga sering disebut sebagai penelitian teoritis. Sedangkan penelitian hukum empiris adalah penelitian yang didasarkan pada data primer.9 Penelitian hukum empiris juga dimaksudkan untuk mengetahui
7
8
Ibid, h. 30
Soeryono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 43 Lembaga Administrasi Negara, 1997, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jilid II Edisi Ketiga, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, h. 53-55. 9
hukum yang tidak tertulis berdasarkan hukum yang berlaku dimasyarakat. Dalam penelitian hukum empiris harus berhadapan dengan warga masyarakat yang menjadi obyek penelitian sehingga banyak peraturan yang tidak tertulis berlaku dalam masyarakat. Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian normatif, karena penelitian ini menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.10 Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait. Penelitian ini bertolak pada adanya norma kosong karena di dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengatur lebih rinci mengenai label sedangkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Pangan kurang memadai. Jenis Pendekatan dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan (the statue approach), pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analtical & conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakam karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian itu.11 Pendekatan perundang-undangan digunakan berdasarkan pada peraturan
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji I), h. 13. 11
Ibrahim Jonhny, 2006, Teori Metologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, (selanjutnya disingkat Ibrahim Jonhny I), h. 302.
perundang-undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan label halal pada produk pangan. Pendekatan fakta digunakan berdasarkan pada fakta atau kenyataan aktual yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan pencantuman label halal pada produk pangan. Pendekatan analisis konsep hukum digunakan memahami konsep-konsep aturan tentang label halal pada produk pangan di Indonesia. 1.8.2. Sumber Bahan Hukum Pada penelitian hukum ini menggunakan beberapa sumber bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 1.
Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan yang bersifat mengikat. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah: 1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). 2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360). 3) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295 Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 5604) 4) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
2.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian adalah: 1) Buku-buku hukum (text book). 2) Jurnal-jurnal hukum. 3) Karya tulis hukum. 4) Pandangan ahli hukum atau doktrin. 5) Skripsi dan makalah.
3.
Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier berupa kamus hukum Indonesia, kamus bahasa Inggris, kamus bahasa Belanda dan encyclopedia.
1.8.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Setelah kepustakaan dilakukan dengan system kartu (card system) yaitu mencatat dan membahas masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1.8.4.
Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder dikumpulkan,
selanjutnya diolah dan dianalisis dengan metode deskritif-analisis dan dengan menggunakan teknik argumentatif, yaitu dengan menguraikan dan menghubungkan dengan teori-teori dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan kemudian melakukan penafsiran,
sehingga dapat di tarik suatu kesimpulan dalam bentuk argumentasi hukum untuk mendapatkan hasil yang akurat.