BAB I PENDAHULUAN
“Manusia harus melampaui konflik dengan menemukan metode yang menolak balas dendam, agresi dan pembalasan.” -Martin Luther King Jr-
A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia Pada tanggal 18 Januari 2015, mengeksekusi enam terpidana mati kasus narkotika. Keenam terpidana yang dieksekusi itu adalah Marco Archer Cardoso (Brasil), Ang Kiem Soei alias Tommy Wijaya (Belanda), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (Cianjur, Jawa Barat), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo (Nigeria), dan Tran Thi Bich Hanh (Vietnam). Tidak berhenti sampai di situ, pada tanggal 29 April 2015 pemerintah Indonesia juga melakukan eksekusi Mati gelombang kedua. Eksekusi lanjutan ini terdiri dari 10 terpidana mati dari berbagai kewarganegaraan. Dari 10 terpidana mati, 8 terpidana di eksekusi dan 2 orang terpidana lain mendapatkan penundaan hukuman. Mereka adalah Martin Anderson (Ghana), Rahem agbaje Salami (Spanyol), Zaenal Abidin (Indonesia), Myuran Sukumaran alias Mark, Andrew Chan (Australia), Silvester Obiekwe Nwaolise (Nigeria), Okwudili Oyatanze (Nigeria) dan yang mendapatkan penundaan hukuman adalah Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina) dan Serge Areski Atlaoui ( Prancis). 1 Sikap Indonesia mengeksekusi terpidana mati ini menuai protes keras dari negara-negara asal terpidana yang telah dieksekusi mati, yakni Brasil, Belanda, dan Australia. Presiden Brasil Dilma Rousseff marah dan kecewa karena warganya, Marco Archer Cardoso, dieksekusi mati oleh pemerintah Indonesia. Rousseff menganggap bahwa eksekusi mati warganya itu akan 1
‘Tidak Ada Ampun Buat Terpidana Mati Narkoba’, Tempo (Daring) 18 Desember 2014,< http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/18/063629393/Jokowi-Tak-Ada-Ampun-buat-Terpidana-MatiNarkoba> Diakses pada 12 Februari 2015.
merusak hubungan bilateral kedua negara dan memanggil pulang Duta Besar Brasil untuk Indonesia di Jakarta. Reaksi serupa berasal dari Belanda, Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders juga menarik duta besarnya di Jakarta setelah
Indonesia mengeksekusi
mati
warga mereka.
Australia
juga
memberikan respon terhadap warga negaranya yang dieksekusi mati di Indonesia. 2 Perdana Menteri Australia Tony Abbott bahkan mengecam Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi, Protes ini bertujuan untuk membatalkan eksekusi mati dua warga negaranya. Protes juga dilakukan oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), PBB berupaya mencegah adanya pelaksanaan hukuman mati terhadap gembong narkoba dengan melakukan protes dan mengirimkan surat ke Indonesia, agar indonesia mempertimbangkan kembali untuk tidak melakukan hukupman mati terhadap terpidana narkoba karena itu melanggar Norma Ham internasional yang sudah diratifikasi Indonesia. 3 Rangkaian eksekusi mati pada terpidana narkotika ini tercatat merupakan rangkaian praktek eksekusi mati terbanyak yang pernah dijatuhkan dalam satu kali rangkaian eksekusi, dan ini juga merupakan yang kedua terbanyak dalam hal jumlah korban terpidana dalam satu rezim pemerintahan, setelah
rezim
presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono
(SBY). 4 Dunia
Internasional menganggap Indonesia telah melanggar dan tidak menghormati perjanjian internasional International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah diratifikasi Indonesia pada tahun 2005 5 melalui legislasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Norma Ham ini juga telah diadopsi dalam dasar hukum Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengandung pasal tentang “hak untuk hidup” bagi setiap manusia. Ini terdapat 2
‘Presiden Jokowi Dimusuhi Tiga Negara’, Tempo (Daring), 18 Januari 2015, Diakses pada 15 Februari 2015 3 ‘Beberapa Alasan Komnas Ham Tak Setuju Eksekusi Mati Duo Bali Nine, Republika (Daring), 28 Februari 2015< http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/02/28/nkg5jn-beberapa-alasan-komnas-ham-tak-setujueksekusi-mati-duo-bali-nine> Diakses pada 15 Maret 2015 4 Dapat dilihat dalam < http://www.deathpenaltyworldwide.org/country-search-post.cfm?country=Indonesia > 5 ‘International Covenant on Civil and Political Rights’, UN Treaties, 16 December 1966 Diakses pada 28 Februari 2015
di pasal 28A tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang memiliki hak untuk hidup, serta mempertahankan hidup dan kehidupannya” 6 Dalam perjanjian yang diratifikasi Indonesia dalam ICCPR menyebutkan bahwa: “Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law no one shall be arbitrarly deprived of his life” 7 Terdapat hak-hak asasi manusia dalam jenis non-derogable, (yaitu hakhak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak) Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Salah satu diantaranya adalah hak untuk hidup (Rights to Life). Ini membuat Indonesia memiliki
kewajiban
untuk
tidak
melakukan
hukuman
mati,
dengan
ditandatanganinya ratifikasi itu, Indonesia harus siap mengikuti standarnya dan menjadi hukum nasional. Dengan adanya dasar hukum internasional ini, menurut masyarakat internasional, dengan mengeksekusi mati para terpidana narkoba, Indonesia telah melanggar norma HAM Internasional. Padahal dalam ruang lingkup hubungan internasional, negara memiliki kewajiban untuk melaksanakan norma-norma internasional atau menghindari melakukan pelanggaran internasional sebagai sebuah itikad baik dalam menghormati norma-norma internasional. 8 Dengan mengeksekusi mati terpidana, Indonesia tidak hanya melanggar norma internasional yang bersifat mengikat, tetapi juga sudah tidak menghormati norma tersebut. Ketidakpatuhan inilah yang menjadi alasan banyaknya protes yang dilakukan oleh negara-negara yang warga negaranya dieksekusi di Indonesia dan juga oleh PBB. Penerapan eksekusi mati Indonesia ini berada ditengah Perkembangan norma HAM tentang penghapusan (abolisi) hukuman mati yang gencar 6
‘Peraturan UUD RI Tahun 1945’, Kemenkumham Diakses pada 15 Maret 2015 7 International Covenant on Civil and Political Rights’, UN Treaties,16 December 1966 Diakses pada 28 Februari 2015 8 Yang juga terkenal sebagai asas Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) Pacta sunt Servanda adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik) jika telah melakukan ratifikasi diambil dari UN Conventions on the Laws of Treaties, Viena (23 May 1969), Article 26
digaungkan oleh PBB juga oleh actor non-negara seperti Amnesti internasional, Tesis ini akan menganalisis proses dan alasan serta logika apa yang dipakai Indonesia dari mulai mengapa Indonesia meratifikasi ICCPR dan disisi lain tetap menerapkan Hukuman mati. Mengacu pada negara Indonesia yang telah berkomitmen dengan telah meratifikasi perjanjian ICCPR dan juga sudah melakukan legelisasi kedalam undang undang dalam negeri. Identifikasi tersebut memunculkan pola kepatuhan yang dilakukan oleh Indonesia dalam menjalankan peraturan dan kebijakan rezim internasional. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, pola kepatuhan Indonesia dipengaruhi kuat oleh dua indikator ini, pertama logika Kepatuhan yang kedua faktor-faktor ketidak patuhan karena itu maka untuk memudahkan pemecahan masalah dan sebagai pedoman dalam pembahasan lebih lanjut, penulis ingin memastikan beberapa hal berikut terjawab: 1)
Bagaimanakah Logika Kepatuhan Indonesia terhadap Rezim
ICCPR yang diterapkan Indonesia dalam pengaplikasian hukuman mati? 2)
Bagaimanakah pola kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR dan
apa faktor-faktor yang menyebabkannya? C. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penulisan ini selain memang ketertarikan penulis tentang Permasalahan HAM yang terjadi di Indonesia, juga dikarenakan diskursus yang penulis temukan mengenai hal ini masih sedikit, terlebih lagi yang mengambil studi kasus di Indonesia. Tujuan akhir dari tulisan ini dimaksudkan sebagai manifestasi dan implementasi dari penerapan teori yang pernah diperoleh penulis dibangku kuliah yang juga akan dijadikan Tesis sebagai syarat memperoleh gelar sarjana S-2 pada Jurusan Hubungan Internasional, fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. D. Tinjauan Pustaka
Dalam bagian Tinjauan Pustaka ini penulis mengunakan beberapa artikel dari para ahli untuk rujukan penelitian. Artikel yang yang pertama berjudul The Death Penalty under International Law: A Background Paper to IBAHRI Resolution on the Abolition of the Death Penalty oleh International Bar Association. 9 Penulis menjadikan jurnal ini sebagai gambaran awal (outline) bagaimana status pelaksanaan hukuman mati menurut hukum internasional. Dalam artikel ini menjelaskan artikel artikel yang terkait dengan usaha masyarakat internasional untuk berkampanye bersama menghapus hukuman mati di dunia. Pembahasan jurnal ini tmenjadi penting bagi penulis karena jurnal ini membahas tentang artikel 6 ICCPR yang merupakan pangkal dari kampanye mengenai penghilangan Hukuman mati di Dunia Penulis membutuhkan penjelasan lebih dalam tentang tidak legalnya hukuman mati terutama untuk kasus terkait narkotika menurut hukum internasional terdapat dalam referensi jurnal lain yang berjudul The Death Penalty For Drug Offences: A Violation Of International Human Rights Law oleh Rick Lines 10 secara garis besar Lines berargumen bahwa eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba merupakan sebuah pelanggaran terhadap norma HAM Internasional. Lebih lanjut penelitian ini menjelaskan mengenai hukuman mati yang belum bisa dihapuskan sepenuhnya dalam hukum internasional, tetapi dalam pengaplikasian hukuman mati di negara yang masih melakukan eksekusi hukuman mati harus menaati pengecualian-pengecualian yang diperbolehkan oleh UN untuk melakukan eksekusi mati. Jurnal ini sangat penting untuk tesis ini karena memberikan pandangan objektif masyarakat internasional
terkait
eksekusi
hukuman
mati
di
negara-negara
yang
mengaplikasikannya. Referensi yang dipakai selanjutnya ditulis oleh Pranoto Iskandar dalam bukunya yang berjudul Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar
9
International Bar Association, The Death Penalty Under International Law: A Background Paper to IBAHRI Resolution on the Abolition of the Death Penalty. Ibanet, London 2008 Hal 1-5 10 Rick Lines, The Death Penalty For Drug Offences : A Violation Of International Human Rights Law dalam Harm Reduction and Human Rights (HR2) ,International Harm Reduction Association , London 2007
Kontekstual 11. Penting dpahami bahwa hukum internasional merupakan sebuah platform berisi kumpulan norma, aturan, dan hukum yang dominan untuk menentukan perilaku negara-bangsa. Dan buku ini membahas mengenai penalaran hukum (legal reasoning dalam hukum HAM. Pranoto memulai asumsi dengan hubungan antara rezim hukum lokal dan internasional merupakan sebuah hal yang menjadi perhatian utama dalam studi HAM dan buku ini berupaya untuk membahas segala persoalan yang melingkupi HAM. Berbeda dengan buku-buku hukum tradisional yang lain yang tetap berada dalam koridor ‘legal’ buku ini mencoba keluar dari koridor tersebut dan menangkap apa saja permasalahan yang terjadi dalam persepsi dan aplikasi negara dalam hubungannya dengan hukum internasional. Karena itu buku ini menyajikan pemahaman yang menyeluruh dan tidak parsial.Buku ini tidak bermaksud untuk memberikan gambaran utuh atas isu-isu yang ada dalam hukum HAM. Tapi buku ini dimaksudkan untuk menjadi pengantar dalam memahami HAM lebih lanjut secara utuh sesuai dengan konteks yang menyertainya. Maka pembahasan aas berbagai tema yang ada di dalam buku ini diberikan secara singkat sebagai rujukan primer yang sangat mendukung pendalaman lebih lanjut untuk tesis ini. Pranoto membagi buku ini dalam tiga bagian, yang mana sangat berarti untuk tesis ini. Bab 1 menerangkan tentang aspek ontologis HAM. Bagian kedua buku ini membahas tentang apa yang dimaksud dengan natur dari Hak secara umum berikut konsepsi tentang HAM itu sendiri dilanjutkan dengan pembahasan pada aspek historis dari HAM dan tinjauan terhadap evolusi pemikiran
HAM.kemudian
dilanjutkan
dengan
pembahasan
terahdap
kontroversi HAM dalam tataran sosiologis dan antropologis. Bagian ketiga pembahasan difokuskan pada mekanisme-mekanisme maupun norma-norma baik yang ditujukan sebagai upaya perlindungan maupun promosi yang terdapat dalam hukum HAM, khususnya rezim Hukum HAM universal yang ditujukan sebagai objek pembahasan. 11
Dilanjutkan pembahasan pada konteks yang
Pranoto Iskandar(2012) Hukum Ham internasional : Sebuah Pengantar Kontekstual , IMR Press: Cianjur Hal.6
melingkupi rezim HAM internasional, lembaga-lembaga HAM dalam PBB sebagai terdepan dalam promosi dan perlindungan dalam norma HAM universal serta 2 konvenan PBB (ICCPR dan ICESCR) berserta organ pengawasnya bersama DUHAM yang disebut sebagai International Bills of Rights. Serta pembahasan-pembahasan lain terkait isu krusial HAM yang melingkupi pembahasan kelompok-kelompok rentan di dalam isu-isu HAM dan kelompok HAM. Tetapi buku ini juga memiliki kelemahan, diantaranya analisis permasalahan terkesan menjadi melebar karena ruang lingkup pembahasannya yang luas, karena itu buku ini cocok menjadi buku panduan untuk pemahaman yang luas dalam isu hukum HAM internasional. Bukan sebagai buku yang secara spesifik membahas ICCPR dan penerapan hukuman mati seperti yang ingin disampaikan oleh tesis ini. E. Kerangka Konseptual 1.
Konsep Compliance
Untuk mengetahui alasan ketidakpatuhan Indonesia dalam ICCPR. Maka penulis menggunakan indikator kepatuhan dari konsep Compliance and Enforcement yang diajukan oleh Jana von Stein. Sebelum lebih jauh membahas tentang konsep ini, diperlukan sebuah pemahaman definitif dari konsep-konsep terkait. Kita akan memulai pembahasan kerangka konseptual dengan membahas apa pengertian dari konsep compliance dan konsep enforcement. Konsep Compliance diartikan sebagai sebuah tingkatan penyesuaian diri sebuah negara dimana tingkah laku negara untuk menyesuaikan sebuah hukum perjanjian Internasional yang telah diproduksi melalui kesepakatan kesepakatan oleh negara-negara untuk menentukan mana hal yang dilarang dan mana yang tidak dilarang oleh perjanjian tersebut. 12Tetapi tingkat kepatuhan akan sebuah perjanjian internasional merujuk kepada tingkah laku negara itu sendiri. Seperti yang dijelaskan di awal, dalam pandangan hubungan internasional yang realis, spektrum yang yang anarki membuat negara melihat 12
J.V. Stein, ‘International Law: Understanding Compliance and Enforcement,’ The International Studies Encyclopedia, 2010
sebuah perjanjian internasional sebagai sebuah manifestasi akan kebijakan dalam negerinya. Dalam kaitannya dengan kepatuhan, negara mungkin dapat saja mematuhi semua aturan yang telah disepakati dari perjanjian tertentu, bagimana jika negara tidak memiliki kepentingan dalam mematuhi perjanjian tersebut, bisa saja mematuhi ataupun tidak, ini tergantung dengan apa subjektifitas sebuah negara dalam melihat seberapa penting perjanjian tersebut bagi kepentingan dalam negeri negara tersebut. Dalam kasus penerapan hukuman mati di Indonesia, kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR memiliki pola yang berubah-ubah, guna memahami pola tersebut penulis merasa perlu untuk mengetahui terlebih dulu logika apa yang dipakai Indonesia dalam meratifikasi ICCPR dan logika apa yang dipakai Indonesia setelah indonesia meratifikasi ICCPR dan tetap menerapkan hukuman mati di Indonesia. Untuk memahami hal tersebut penulis mencoba mengarahkan diskursus dari konsep compliance von Stein untuk menggunakan logika compliance dari Ronald B. Mitchell. 13 Pola kepatuhan yang berubahubah dari pemerintah Indonesia terhadap ICCPR dan logika yang digunakan Mitchell dapat menjelaskan mengenai pola kepatuhan yang dilakukan banyak negara untuk mengaplikasikan peraturan yang ditetapkan oleh legislatif tingkat atas dalam memandang permasalahan atau kasus yang menjadi kepentingan bersama. 14Pada teori ini lebih memfokuskan pandangan dan pemahaman terhadap perilaku yang berhubungan dengan kepatuhan suatu negara untuk menjalankan hukum baik internasional maupun domestik dan juga menjelaskan alasan–alasan dibalik perilaku tersebut. Teori ini menggambarkan aktor baik itu negara ataupun non-negara yang dipengaruhi oleh satu sistem hukum pada satu permasalahan yang dianggap memenuhi syarat untuk diberlakukan bersama. Logika ini ini fokus pada bentuk perilaku yang dapat dipahami pada permasalahan HAM dan menyebabkan diratifikasinya ICCPR. Konsep kepatuhan yang dilakukan oleh aktor baik itu pemerintah, negara maupun 13
Ronald B Mitchell(2007) “ Compliance Theory : Compliance, Effectiveness and Behaviour Change in international Environmental Law ”. Editors : Jutta Brunee, Daniel Bodansky, Ellen Hey, Oxford University Press, Hal. 893-921. 14 Ronald B Mitchell , Compliance Theory ,Hal.894
individu mengalami perluasan makna diakibatkan oleh sistem norma yang berlaku dalam cakupan lokal. Sistem yang diterapkan dalam norma itu langsung mengenai masyarakat atau lingkungan sekitar sehingga implementasinya sangat mudah sekali untuk dijalankan. 15 ICCPR ini merupakan norma yang menciptakan rezim penghapusan (abolisi) hukuman mati rezim internasional yang menangani kasus hukuman mati, secara umum ICCPR telah memberikan efek besar terhadap implementasi negara pada hukum domestik dan regulasi suatu negara. Karakteristik dan kondisi masing-masing negara memiliki perbedaan dan hukum yang dijadikan secara general. Maka pemberlakuan hukum domestik yang diikuti dengan perlakuan masing masing negara tersebutlah yang menjadi tujuan besar ICCPR merumuskan gagasan bersifat global. Mitchell menjelaskan logika ini dengan membaginya menjadi 2, yang pertama adalah logika kepantasan (logic of appropriatenes) yang kedua adalah logika konsekuensi (logic of consequencess): Logic
of
appropriateness:
Dalam
logika
kepantasan
lebih
memfokuskan pada titik kekuatan aturan-aturan yang bersifat normatif, kekuatan pendekatan ide persuasif dan kewajiban yang legal, serta pada pengaruh pengetahuan terhadap pola kepentingan negara. 16Sehingga ini bisa dikatakan sebagai kepatuhan tanpa adanya paksaan karena kekuatan saling memiliki dan membutuhkan yang mendasari pola ini berkembang dengan baik. Teradapat indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menganalisa logika ini, indikator-indikator tersebut adalah : Variabel
15 16
Indikator
Ronald B Mitchell , Compliance Theory ,Hal.894 Compliance Theory “Making law work: Environmental Compliance and SuSteinable Development” hal. 57
Logic Of
-
Norms
Appropriatness
-
Behaviours
(Logika
-
Social Identities
Kepatuhan)
-
Legal Implementation
-
Internationalization
Logic of consequencess : Sedangkan pada logika konsekuensi lebih menitikberatkan pada penguatan titik kesatuan, rasional, kepentingan diri sebagai aktor sehingga pemahaman ini lebih memfokuskan pada kalkulasi untung rugi dalam segala aspek pemenuhan peraturan sebelum diadopsi dan sesudah diadopsi dalam perkembangan dunia internasional. Sehingga pembagiannya sangat banyak menurut perspektif yang ada dalam kajian Hubungan Internasional. Di pembahasan ini akan dijelaskan dua perspektif dominan yakni realism dan liberalism dimana pada pandangan realism melihat hukum internasional tidak akan memiliki efek yang sangat besar untuk perkembangan kepentingan negara karena kesadaran akan power itu akan lebih memiliki pengaruh yang besar daripada menentukan hukum yang perlu dipatuhi. 17Sedangkan untuk liberalism memandang compliance sebagai pola yang tidak hanya negara sebagai unitary actor sehingga dia memisahkan negara dan wilayah sebagai fokus proses politik domestik. Sistem kepatuhan itu datang karena ada timbul pengaruh hukum internasional dan institusi legal dan kepentingan domestik
yang
mampu
memobilisasi tekanan pemerintah
dalam melakukan kepatuhan. 18 Dalam pendekatan ini nengara dipersepsikan sebagai individu yang rasional, self-interested dan menilai kalkulasi untung-rugi berdasarkan kerangka tata dunia internasional yang anarkis, setidaknya, apabila negara percaya pada hukum internasional, enfeorcement dan detterence adalah cara utama untuk membuat negara patuh pada hukum internasional. Kelompok 17
Hans Joachim Morgenthau, “Politics Among Nations:The Struggle fo r Power and Peace”. 5th edition 1978 Hal.299 18 Laurence R.Hefler & Anne- Marie Slaughter. “toward a theory Effective supranational Adjudication” Yale LJ hal.107
(neo)realis melihat bahwa kepatuhan hanya sebatas ketidaksengajaan atau hasil dari kekuatan internasional yang dinamis. 19 Patuh pada hukum internasional merupakan sebuah strategi. 20 Memberikan efek jera penting agar negara dapat tetap patuh pada hukum internasional. Kelompok liberalisme menilai kepatuhan akan muncul apabila terdapat keuntungan bagi kepentingan domestik 21 Kepatuhan tersebut merupakan bentukan dari keberhasilan hukum domestik.
Dimana
kepatuhannya
terhadap
hukum
internasional
ditransformasikan ke hukum domestik. Teori tersebut merefleksikan alasan negara mau berperilaku dibawah koridor aturan dalam ICCPR padahal secara kenyataanya ICCPR tidak mampu memberikan pengaruh banyak terhadap negara tersebut. Proses negosiasi internasional yang dilakukan oleh Amenesti Internasional untuk mengkampanyekan ICCPR telah menggambarkan secara jelas
bahwa
pada
dasarnya
pola kepatuhan dan konsekuensi tersebut
dibangun dari pondasi kesadaran masing-masing negara untuk memandang permasalahan yang nantinya akan berdampak pada negara itu sendiri, baik itu dalam aspek keberlanjutan ekonomi, kestabilan politik dan keamanan nasional. 2.
Konsep Enforcement
Sedangkan konsep Enforcement adalah adanya sebuah sangsi atau konsekuensi yang didapat negara jikalau negara melakukan non-complience (tidak memenuhi/ melanggar perjanjian internasional) 22 yang kebanyakan menjadi sebuah problematika di sini bukanlah permasalahan definitif dari konteks perjanjian, tetapi lebih terletak pada dimana letak enforcement sebuah perjanjian internasional yang membuat negara dapat patuh, kerena tidak ada supremasi hukum dan otoritas yang dapat memaksakan / enforce sebuah negara untuk dapat patuh dengan hukum internasional. Jana von Stein memberikan beberapa indicator yang menyebabkan kepatuhan sebuah negara the Sources of
19
Andrew T Gusman. (2002), A compliance-based theory of International Law, California Law Review 90, no 6 Andrew T Gusman. A compliance-based theory of International Law,Hal.1839 21 Andrew T Gusman. A compliance-based theory of International Law,Hal.1841 22 J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.2 20
Enforcement terhadap sebuah hukum internasional yaitu: International Coercion, reputation, reciprocity, and Enforcement in domestic institutions a. International Coercion (Paksaan Internasional) The Sources of Enforcement yang pertama adalah International Coercion, sebuah negara melakukan tindakan coercion dikarenakan negara tersebut memiliki kepentingan secara substansial dalam kepatuhan negara lain. Paksaan yang dilakukan negara lain tersebut dapat implikasi negatif dan positif bagi negara yang dipaksa. Paksaan yang berimplikasi negatif akan berbentuk punishment seperti mendapatkan hukuman sangsi perdagangan, penurunan bantuan pembangunan, dan intervensi militer, sedangkan yang berimplikasi positif akan berbentuk reward seperti peningkatan bantuan, tidak adanya sangsi perdagangan dll. Aktor yang melakukan pemaksaan kepada negara yang tidak patuh pada suatu perjanjian tidak hanya negara tetapi aktornya bisa juga dari Organisasi Internasional (IO) yang berpengaruh bagi negara negara yang memiliki ketergantungan terhadap organisasi internasional tersebut. Seperti contohnya adalah ketika World Bank (Bank Dunia) mengurangi bantuan untuk negara kepada negara yang menghormati HAM ataupun intervensi militer yang kerap dilakukan oleh NATO. Permasalahan yang sering muncul adalah dalam tahapan Renegotiation: bahwa pertama jikalau Punishment terlalu beresiko untuk sebuah negara, negara pastinya tidak berkomitmen lagi untuk melakukan perjanjian tersebut. Problematika yang lain adalah keterlibatan IO dalam Enforcement. Dalam beberapa kasus IO memiliki keinginan melakukan Enforcement terhadap negara yang tidak patuh, begitu pula negara-negara lain dalam sebuah perjanjian. Tetapi terkadang negara memilih untuk bersikap acuh tak acuh (free-ride) dengan ketidakpatuhan sebuah negara. 23 Kebijakan hukuman mati Indonesia merupakan ketidakpatuhan Indonesia terhadap Norma HAM Internasional. Dengan meratifikasi ICCPR Indonesia memiliki iktikad untuk menghormati norma yang dibawa oleh
23
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.4
ICCPR , tetapi indonesia tidak meratifikasi renegotiation yang berupa Second Oprional Protocol of ICCPR yang didalamnya terdapat pasal tentang Abolishing Death Penalty dikarenakan Enforcement yang diterima begitu besar dan dikarenakan indonesia belum dapat menghilangkan kebijakan hukuman mati di Indonesia. b. Reciprocity (Resiprositas) Definisi Reciprocity (resiprositas) menurut Kohane yang juga dijelaskan oleh Stein adalah : “Pertukaran nilai kira-kira setara di mana tindakan masing-masing pihak yang bergantung pada tindakan sebelum yang lain sedemikian rupa yang baik adalah kembali untuk yang baik , dan buruk bagi buruk .” Resiprositas merupakan sebuah pertukaran nilai timbal-balik yang setara antara para negara-negara suatu perjanjian. Apabila hubungan timbal balik yang diinginkan saling menguntungkan maka mereka menguntungkan satu sama lain begitu juga untuk yang sebaliknya pertukaran yang buruk akan menghasilkan yang buruk. Jika negara dalam sutu perjanjian memperoleh keuntungan dalam kepatuhan daripada tidah patuh maka mereka akan memilih untuk patuh. Namun apabila kepatuhan mereka tetap berada pada status quo hal tersebut menggiring para negara anggota untuk berbalik menjadi tidakpatuh dalam suatu perjanjian. Reciprocity menjadi sebuah hal yang vital dalam kepatuhan negara dalam sebuah perjanjian Internasional. 24Harus ada sebuah kondisi yang dijaga agar terjadi resiprositas antar negara negara. Tetapi kondisi ini sering kali tidak terjadi terhadap kasus HAM. Ini dikarenakan dikarenakan besarnya cakupan norma HAM, banyaknya negara yang terlibat dalam perjanjian,
dan
luasnya
lintas-batas
geografis
negara-negara
yang
meratifikasinya. 25Salah satu contohnya bagaimana wanita diperlakukan negara
24 25
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.4 J.V. Stein International Law: Understanding Compliance and Enforcement Hal.4
di Arab mungkin membuat Swedia berang dikarenakan perbedaan standar perlakuan negara terhadap wanita berbeda dengan bagaimana Swedia memperlakukan Wanita di Swedia. Tetapi Swedia tidak bisa memaksa Arab Saudi
untuk
memperlakukan
wanita
di
Arab
sebagaimana
Swedia
memperlakukan wanita di Swedia. Seperti halnya Australia tidak dapat menyalahkan Standar eksekusi hukuman mati di Indonesia karena perbedaan standar hukuman mati antara Indonesia dan Australia. Australia tidak dapat memaksakan Resiprositas Indonesia dalam memperlakukan terpidana narkoba sama dengan bagaimana Australia memperlakukan terpidana narkoba di negaranya. Karenanya perlu adanya sikap negara yang dikondisikan agar memunculkan adanya resiprositas antar negara. Hal lain yang menjadi poin penting dalam reciprocity (hubungan timbal balik) ini adalah the shadow of future. Secara definitif dapat diartikan sebagai sebuah kepentingan jangka panjang dari negara-negara yang melakukan perjanjian. 26 Jikalau shadow of future nya tidak jelas dan tidak menguntungkan maka dengan komitmen negara terhadap sebuah perjanjian akan menghilang. Indonesia tidak melihat adanya the shadow of future yang menguntungkan dari adanya Second Optional Protocol of ICCPR yang didalamnya terdapat pasal tentang Abolishing Death Penalty bagi kepentingan Indonesia terkait praktek eksekusi mati terpidananya, karena itu indonesia tidak meratifikasinya. c.
Reputation (Reputasi)
Menurut Henkin seperti yang dijelaskan Stein dalam jurnalnya : “Kebijakan luar negeri Setiap bangsa tergantung secara substansial [ ... ]untuk mempertahankan harapan bahwa itu akan hidup sampai adat istiadat dan kewajiban internasional .. 27
26 27
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.2 J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.5
Negara memiliki dimensi normatif dari reputasi adalah untuk menjaga janji dan menghormati perjanjian internasional. Kenapa hal ini penting, karena pertama, dengan menjaga janji dan norma yang negara buat, negara dapat menjamin adanya kepercayaan yang berkesinambungan dari negara lain di masa depan dalam isu terkait. Begitu juga jika negara mendapatkan reputasi yang buruk dan tidak dapat dipercaya dalam isu terkait. Negara juga akan sulit mendapatkan reputasi yang baik dalam isu tersebut. Reputasi yang baik dan buruk ini akan menyebar dan berbanding lurus dengan impact yang didapat negara dari masyarakat internasional. Kedua, reputasi kepercayaan negaranegara terhadap satu negara di suatu perjanjian internasional terkadang tidak berbanding lurus dengan adanya keinginan sebuah negara tersebut untuk menaati perjanjian. Negara negara kuat seperti AS tercatat pernah diberikan tenggang waktu untuk menaati kewajiban finansialnya terhadap UN meskipun AS gagal memenuhi tenggang waktu yang ditentukan. Isu ini memberikan analisa bahwa negara negara yang melanggar perjanjian berbanding lurus dengan reputasi negara tidak berlaku. Karena negara dengan melanggar perjanjian internasional tidak berarti mereka serta merta kehilangan reputasi mereka, mereka masih dapat mempertahankan kepercayaan negara-negara lain dan menerapkan kepentingannya dalam perjanjian internasional. Terdapat kecenderungan yang menarik dalam penelitian yang dilakukan Tomz. 28Dengan menggunakan mekanisme wawancara terhadap individu dan pengampu kebijakan di berbagai negara, beliau menemukan bahwa ada kecenderungan bagi kelompok ini untuk melawan kebijakan yang dapat melanggar perjanjian internasional daripada kebijakan yang sama tetapi tidak melanggar perjanjian internasional. Tetapi Tomz juga menguak batas dari mekanisme Reputation ini yaitu jikalau secara moral dan material memang harus memaksa negara untuk melakukan ketidakpatuhan terhadap hukum internasional, maka mereka lebih memilih untuk mendukung negara untuk tidak menaati peraturan internasional. 28
Tomz, M. (2008) Reputation and the Effect of International Law on Preferences and Beliefs. Unpublished manuscript. Stanford University,<www.stanford.edu/~tomz/working/Tomz-IntlLaw-2008-02-11a.pdf>
Contohnya dalam pertimbangan Indonesia dalam tidak mematuhi ICCPR dalam kebijakan eksekusi mati terpidana narkoba, Indonesia menanggap bahwa isu narkoba merupakan isu yang mendesak dan Indonesia harus mengeksekusi terpidana. Isu ini juga didukung oleh banyak institusi domestik seperti MUI 29dan BNN 30. Institusi tersebut melihat bahwa negara memerlukan hukuman mati dikarenakan tingkat urgensinya yang tinggi yang menyangkut harkat martabat masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Meskipun akhirnya indonesia melanggar perjanjian dan reputasi Indonesia memburuk di mata Internasional. d.
Enforcement in Domestic Institutions (Tekanan Institusi
Domestik) Tekanan dalam Institusi domestik memiliki peranan yang sangat penting dalam mempromsikan kepatuhan. Von Stein melihat adanya hubungan demokrasi yang berkembang di sebuah negara berbanding lurus dengan dengan kepatuhan negara tersebut terhadap perjanjian internasional. Ini dikarenakan di sebuah negara yang demokratis peran institusi domestik dan masyarakat sipil sangat besar dalam mempengaruhi tingkah-laku pemerintahan negara tesebut. Fungsi institusi domestik ini terfokus pada dua penekanan yaitu yang bersumber dari pemilihan langsung dan pengadilan.Fungsi dari mekanisme pemilihan ini adalah sebagai pengikat apabila suatu anggota/negara yang telah membuat komitmen namun kemudian negara tersebut mengingkarinya. Pada saat itulah letak peran domestik atau masyarakat sipil untuk menekan dan mengontrol pemerintah terkait perjanjian yang diikuti. Tekanan dari domestik bisa berupa pembikotan pemilihan langsung, aksi demonstrasi, membuat petisi dan lain sebagainya.Kemudian peran dari sistem yuridis dalam mempromosikan kepatuhan ini terletak pada obligasi internasional dalam artian seberap patuh 29
‘MUI Dukung Kebijakan Presiden Tolak Grasi Terpidana Narkoba’, Warta Ekonomi (Daring), 11 Februari 2015 Diakses pada 5 juni 2015 30 ‘BNN Dukung Penolakan ICCPR dan Grasi terpidana Mati Kasus Narkoba’, Kriminalitas Diakses (Daring), pada 5 juni 2015
negara-negara yang menjadi anggota dalam suatu perjanjian tersebut. Pendapat lain yang mengkritisi indikator ini. Menurut Gartzke and Gleditsch yang juga dijelaskan oleh Stein menjelaskan bahwa sebuah komitmen internasional yang tidak populer di dalam negeri sebuah negara membuat pemerintah kesulitan untuk mengabaikan sentimen publik terhadap komitmen tersebut, terutama dalam krisis internasional. Kritik lain terkait hubungan demokrasi dan kepatuhan diutarakan Dai. Menurut Dai, dalam sebuah negara yang paling menentukan dalam kepatuhan bukanlah sistem kenegaraan tersebut,bukanlah demokratis ataupun tidak demokratisnya negara tersebut. Hal yang paling menentukan adalah the political attributes of competing interests, yaitu bagaimana pemerintah membawa isu ini ke publik. Apakah Pemerintah memberikan penghormatan terhadap hukum internasional atau tidak tergantung pada apakah kelompok yang membawa pengaruh politik dan yang memiliki keuntungan Informasi mendukung atau menentang kepatuhan terhadap Hukum Internasional. Dalam tesisnya pada tahun 1985 beliau menemukan bahwa tingkat tertinggi kepatuhan sebuah negara terhadap norma Internasional ada pada negara yang memiliki tingkat aktivis domestik yang aktif dan kritis dalam menyuarakan kritik pada pemerintahan dan juga berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan dari masyarakat terhadap problem dari perjanjian yang telah dibuat pemerintah. 31 Dalam merespon kebijakan eksekusi mati yang dilakukan pemerintah indonesia, sebenarnya banyak aktifis yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah, tetapi peranan aktifis tersebut terhambat dikarenakan kurangnya antusiasme masyarakat terhadap kasus ini, selain itu masih kurangnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap apa yang sebenarnya indonesia langgar dan apakah problematika dalam kasus ini membuat pemerintah tetap dapat melaksanakan
eksekusi
meskipun
akhirnya
itu
internasional.
31
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.5
melanggar
perjanjian
F.
Argumentasi Utama
Merujuk pada pokok permasalahan dan untuk menganalisa kasus ini, penulis memiliki 2 argumentasi utama yaitu : Logika
Kepatuhan
Indonesia
terhadap
norma
HAM
ICCPR
dipengaruhi kuat oleh dua indikator berikut : Sikap indonesia ke luar dipengaruhi kuat oleh Variabel Indikator Logic Of Appropriatness (Logika kepantasan)dan sikap Indonesia yang masih menerapkan hukuman mati di kebijakan dalam negerinya dipengaruhi oleh Logic Of Consequences (Logika Konsekuensi)” Alasan mengapa Indonesia tidak mematuhi ICCPR dikarenakan political will aktor dan faktor faktor domestik dominan lain yang berhubungan dengan indikator the source of enforcement G.
Metodologi Penelitian
1.
Tingkatan Analisa
Penulis menganalisa kasus dengan menggunakan unit analisa / Variable dependent-nya adalah Indonesia sebagai sebuah negara sehingga level of analysis-nya adalah Aktor sebagai representasi State, dan Unit Eksplanasinya / Variable Independent-nya adalah : norma Ham Internasional sehingga unit eksplanasinya adalah Structure , karena Unit Analisa lebih tinggi tingkatannya daripada Unit eksplanasi, penulis menggunakan analisa Induksionis 32 2.
Metode Penulisan
Penelitian ini disusun dengan konsep deskriptif analitis. Penulis akan memaparkan data-data dan teori yang digunakan dalam penulisan penelitian ini, kemudian dengan konsep dari teori yang telah dipaparkan, data-data tersebut akan dianalisa. Spesifikasi data yang diperlukan dalam menyusun penelitian ini antara lain
32
Masoed, Mohtar , Ilmu Hubungan Internasional:Disiplin dan Metodologi, PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1994 Hal 38
3.
Metode Pengumpulan Data
Metode penggumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (Library Research) yaitu dengan menerapkan pola pengolahan data yang diperoleh dari berbagai literatur, media massa, data-data dari berbagai macam website, serta dari berbagai sumber yang mempunyai keterkaitan dan mendukung permasalahan yang ada. 4.
Jangkauan Penelitian
a.
Batasan Masalah : Menjelaskan mengenai Pola kepatuhan
Indonesia terhadap ICCPR dan kaitannya dengan penerapan Hukuman Mati di Indonesia b.
Batasan Wilayah : Kawasan Indonesia
c.
Batasan Waktu : Difokuskan pada tahun 2005-2015 Dimulai
dari penandatanganan ICCPR oleh Indonesia sampai 2015 dimana isu ini kembali memanas d.
Batasan Keilmuan : Studi Hubungan Internasional dan
difokuskan lagi pada studi politik Hukum Internasional
H.
Sistematika Penulisan
BAB I: Pendahuluan Bab pendahuluan berisi tentang struktur awal penelitian, seperti Alasan
pemilihan
Judul,Latar
Belakang
Masalah,
Rumusan
Permasalahan,Tujuan Penelitian ,Tinjauan Pustaka, Kerangka konseptual, Argumentasi Utama, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II: ICCPR Sebagai Rezim HAM Internasional Bab ini akan menjelaskan mengenai sejarah ICCPR, Komite ICCPR, Standar-standar ICCPR dan fungsi ICCPR dan Hubungannnya dengan norma HAM internasional dan Hukuman Mati.
BAB III : Logika Ratifikasi ICCPR dan Penerapan Hukuman Mati di Indonesia Bab
ini
menjelaskan
tentang
logika
kepatuhan
dan
hubungannya dengan praktek hukuman mati di Indonesia, dalam bab ini penulis mulai menggunakan konsep logic of aproppriateness
untuk
menjelaskan logika ratifikasi ICCPR, paradoks dalam adanya penerapan hukuman mati di Indonesia dan logika consequencess dari adanya ratifikasi tersebut. BAB IV: Pola Kepatuhan Indonesia yang Berubah-ubah Terhadap ICCPR dan Faktor-Faktor Penyebabnya Bab ini menjelaskan faktor-faktor yang penyebab diperlukannya hukuman mati dan alasan-alasan politis yang menyebabkan diperlukannya Eksekusi di Indonesia. faktor-faktor tersebut dipengaruhi dengan kuat oleh international cohercion, reciprocity, dan Domestic Institutions.dan akhirnya dapat ditemukan adanya sebuah pola dalam kepatuhan indonesia Terhadap ICCPR.
BAB V: Penutup Bab ini berisi tentang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya, Pada bagian ini juga berisikan saran saran masukan untuk pemerintah dalam kebijakan terkait kasus ini kedepannya selain itu bab ini juga merupakan penutup dari penulisan ini.