1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya sehari-hari selalu menginginkan adanya ketentraman,
ketertiban
maupun
keteraturan.
Keinginan
tersebut
selalu
berkembang dalam pergaulan hidup manusia di masyarakat dimana ia bertempat tinggal. Dalam proses mencapai ketentraman, ketertiban dan keteraturan ini tidak jarang kita temukan pula terjadinya pertentangan-pertentangan kepentingan yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan. Mengatasi hal yang demikian, maka perlu kiranya dibuat suatu perangkat aturan untuk mengatur diri manusia itu agar supaya tercapai dan tercipta ketertiban. Aturan yang dimaksud tidak lain berupa patokan atau pedoman untuk berprilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu pandangan dan sekaligus harapan. Patokan-patokan tersebut sering dikenal dengan sebutan norma atau kaedah yang mengatur diri pribadi manusia dalam pergaulan hidup di masyarakat.1 Harus kita sadari bersama timbulnya pertentangan kepentingan-kepentingan tersebut diatas tentunya akan berpeluang besar menimbulkan adanya friksi-friksi tertentu dalam kehidupan masyarakat yang muaranya dapat mengakibatkan munculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat telah 1
Soerjono Soekanto, 2013, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. ke-12, Rajawali Press, Jakarta, h. 1.
1
2
bergeser dari norma-norma atau kaedah yang ada. Pada umumnya prilaku kontradiktif tersebut hanya dilakukan oleh segolongan minoritas masyarakat namun akibatnya dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat lainnya. Salah satu bentuk pelanggaran hukum khususnya hukum pidana adalah dalam bidang ketertiban umum seperti misalnya mengenai masalah gelandangan dan pengemis. Masyarakat umum lebih populer menggunakan singkatan “Gepeng” untuk menyebutkan keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut.2 Eksistensi gelandangan dan pengemis (gepeng) dalam lingkungan masyarakat jelaslah sangat meresahkan karena disamping sebagai pelanggaran hukum juga merupakan salah satu penyakit sosial yang tidak boleh dianggap sebagai masalah sepele dan dibiarkan begitu saja. Apalagi dalam kenyataannya kehadiran gepeng dalam masyarakat tidak dapat dibendung, bahkan kian hari jumlahnya cenderung makin banyak dan sulit ditanggulangi secara tuntas. Kalau ditinjau lebih jauh masalah gelandangan dan pengemis ini adalah merupakan masalah yang terus mewarnai kehidupan bangsa Indonesia dari dahulu hingga sekarang. Kemiskinan yang terus melanda sebagian masyarakat Indonesia disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab utama berkembangnya masalah ini dari jaman ke jaman. Disamping itu, gelandangan dan pengemis jelas merupakan salah satu dampak negatif
pembangunan,
khususnya
pembangunan
perkotaan.
Keberhasilan
percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi atau urbanisasi dari 2
Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, 2004, Muntigunung Profil Sebuah Dusun, Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, Denpasar, h. 7.
3
desa ke kota yang antara lain dapat memunculkan gelandangan dan pengemis karena sulitnya mendapatkan pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan.3 Saat ini di sejumlah kota besar di Indonesia ternyata persebaran maupun jumlah gelandangan dan pengemis tersebut cukup tinggi. Begitu pula halnya dengan kota-kota yang ada di Propinsi Bali, fenomena hadirnya gelandangan dan pengemis telah menjadi masalah serius yang harus dihadapi dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah dapat kita lihat di Kota Denpasar yang mana di beberapa sudut kota dan pusat keramaian sangat mudah kita temukan gelandangan dan pengemis tersebut. Masalahnya disini adalah keberadaan mereka tidak pernah ada habisnya, bahkan pada saat-saat tertentu jumlahnya semakin banyak, seperti misalnya pada saat menjelang hari raya keagamaan dan musim liburan. Adanya serbuan gelandangan dan pengemis tersebut memang sulit dibendung dan nyatanyata
juga
telah
membuat
sibuk
Pemerintah
Kota
Denpasar
untuk
menanggulanginya.4 Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan dan meresahkan masyarakat Kota Denpasar mengingat keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut selain merupakan penyakit sosial yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia juga berpotensi meningkatkan angka kriminalitas serta menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum seperti pemerasan, pencurian dan sindikat perdagangan anak. Disamping itu, masalah
3
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, 2010, Fenomena Munculnya Gelandangan dan Pengemis, http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php/article=1066, Diakses tanggal 04 Desember 2013. 4
Anonim; 2013. Tak Mempan Dirazia, Gepeng Muncul di Kuta. Jawa Pos Radar Bali, Tgl. 21 Juni, Halaman 23, Kolom 5.
4
gelandangan dan pengemis ini tentu dapat menimbulkan citra buruk atau kesan negatif bagi kota Denpasar itu sendiri sebagai ibu kota, pusat perekonomian maupun pusat pemerintahan Propinsi Bali yang perkembangan sosialnya selalu mendapat soroton masyarakat luas dan juga merupakan salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia. Sebagai gambaran mengenai seriusnya permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar dapat dilihat dari data dan informasi yang peneliti dapatkan di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, ternyata dalam periode tahun 2012 saja jumlah gelandangan dan pengemis yang ditertibkan atau ditangkap/terjaring razia adalah sejumlah 304 orang, rinciannya 15 orang gelandangan dan 289 orang pengemis. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa kebanyakan gelandangan dan pengemis tersebut ternyata berasal dari daerah Karangasem dan lainnya lagi berasal dari beberapa wilayah di Bali maupun luar Bali.5 Fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa jumlah gelandangan dan pengemis yang tersebar di wilayah Kota Denpasar memang masih tinggi. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Bali, seperti misalnya Kabupaten Buleleng, ternyata jumlah gelandangan dan pengemis yang ada di Kota Denpasar jauh lebih banyak. Peneliti memilih Kabupeten Buleleng sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini mengingat jumlah penduduk dan luas wilayah Kabupaten Buleleng adalah yang terbesar di Propinsi Bali serta saat ini pembangunan di wilayah tersebut berkembang cukup pesat. Menurut data yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, dalam periode tahun yang sama 5
Data di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, research dilakukan pada bulan Desember 2014 s/d bulan Maret 2015.
5
yaitu tahun 2012, jumlah gelandangan dan pengemis yang ditertibkan atau ditangkap/terjaring razia oleh aparat atau instansi terkait di Kabupaten Buleleng adalah hanya sejumlah 75 orang, rinciannya 10 orang gelandangan dan 65 orang pengemis.6 Tidak dapat kita pungkiri masalah gelandangan dan pengemis ini adalah merupakan masalah yang sangat kompleks karena selain bersinggungan dengan aspek hukum juga berkaitan erat dengan aspek-aspek sosial seperti ekonomi, mental dan budaya masyarakat sehingga wajar apabila disini memerlukan upaya penanggulangan atau penanganan yang lebih komprehensif dari aparat penegak hukum maupun Pemerintah Kota Denpasar dengan melibatkan semua elemen masyarakat. Selama ini Pemerintah Kota Denpasar bersama dengan aparat penegak hukum terkait memang telah melakukan upaya-upaya penanggulangan, hal tersebut dapat dilihat dari pemberitaan beberapa media massa. Misalnya, menjelang digelarnya berbagai even internasional di Bali Pemerintah Kota Denpasar gencar melakukan penertiban terhadap gepeng.7 Selanjutnya, diberitakan pula bahwa Pemerintah Kota Denpasar sibuk merazia gepeng dan upaya penertiban tersebut rutin dilaksanakan, apalagi menjelang diselenggarakannya ajang Miss World pada bulan September 2013.8 Selain itu, diperoleh suatu informasi bahwa Pemerintah
6
Data di Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, research dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2013.
7
Anonim; 2013. Kota dan Badung Buru Gepeng Jelang Gelaran Dua Even Internasional. Jawa Pos Radar Bali, Tgl. 10 Juni, Halaman 25, Kolom 6. 8
Dewa Dedi Farendra, dan Maulana Sandijaya; 2013. Menyapa Miss World, Menghalau Gepeng, Denpasar Ingin Aman dan Nyaman. Jawa Pos Radar Bali, Tgl. 16 Juni, Halaman 28, Kolom 7.
6
Kota Denpasar pada tahun 2012 terus berupaya menanggulangi keberadaan gepeng di Kota Denpasar, jika sebelumnya telah memasang baliho yang berisi imbauan agar tidak memberikan sedekah kepada gepeng, berikutnya Pemerintah Kota Denpasar menyebar selebaran berisi imbauan agar warga tidak memberikan sesuatu pada gepeng.9 Bahwa meskipun ketentuan Pasal 34 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) menegaskan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, namun ketentuan pasal tersebut tidaklah dapat dijadikan dasar atau alasan hukum untuk melakukan pembiaran maupun meniadakan tindakan tegas negara dalam menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis tersebut. Untuk menjaga ketertiban umum, membangun masyarakat Indonesia yang mandiri dan berbudi pekerti luhur serta memberikan rasa aman, tenteram bagi masyarakat luas, maka sangat beralasan apabila diperlukan upaya penanggulangan yang lebih serius terhadap permasalahan gelandangan dan pengemis ini mulai dari yang sifatnya preventif sampai dengan upaya-upaya yang sifatnya represif melalui penerapan atau fungsionalisasi Hukum Pidana, misalnya berupa pemberian sanksi pidana agar memberikan efek jera kepada gelandangan dan pengemis. Beberapa aturan hukum yang dapat dijadikan pedoman/landasan dalam rangka penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis tersebut secara umum dan pada khususnya di Kota Denpasar, termasuk yang didalamnya
9
Anonim, 2012, Siaga Gepeng Sebar Himbauan, Bali Tribune, http://koranbalitribune.com/2012/04/15/siaga-gepeng-sebar-imbauan/, Diakses tanggal 03 September 2013.
7
menegaskan dapat diterapkannya ketentuan Hukum Pidana adalah sebagai berikut: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 2. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; 3. Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial; 4. Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis; 5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Disamping peraturan perundang-undangan tersebut tersebut diatas ada pula berupa peraturan kebijakan seperti misalnya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Aturan-aturan yang tegas dan sifatnya represif mengenai penanganan gelandangan dan pengemis memang tetap diperlukan mengingat ketentuan tersebut dapat menghambat laju serta mempersempit ruang gerak gelandangan dan pengemis itu sendiri di masyarakat, disamping tetap pula harus dikedepankan upaya-upaya penanggulangan yang sifatnya preventif dan persuasif. Pemikiran seperti ini sangat berdasar mengingat kebijakan Hukum Pidana itu sendiri
8
menegaskan adanya cara penal dan non penal dalam rangka penanggulangan kejahatan atau pelanggaran hukum di masyarakat.10 Secara umum dalam hukum positif Indonesia, kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut ternyata dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Khusus untuk di Kota Denpasar mengenai larangan kegiatan pergelandangan dan pengemisan termasuk ketentuan pidananya tersebut diatur pula dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut: “1. Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam, karena melakukan pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu; 2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan”.11 Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan sebagai berikut: 1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;
10
Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Ed. I. Cet. Ke-3, Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h. 77. 11
Moeljatno, 2012, KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. ke-30, Bumi Aksara, Jakarta, h. 184.
9
2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. 12 Berikutnya, Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum menegaskan sebagai berikut: -
Pasal
35
ayat
(4):
“Dilarang
melakukan
usaha/kegiatan
meminta-
minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis”; -
Pasal 37 ayat (1): “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)”. Ini berarti kegiatan mengemis dan menggelandang menurut hukum adalah
dilarang dan merupakan suatu tindak pidana yang patut dihukum. Sanksi pidana secara umum untuk kegiatan pergelandangan dan pengemisan diatur dalam KUHP, namun Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) dapat pula menetapkan peraturan soal larangan tersebut. Secara substansi, ketentuan hukum pidana bagi gelandangan dan pengemis tetap diperlukan dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar. Idealnya dengan adanya ketentuan Hukum Pidana tersebut sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat (law as a tool of social engineering)13, maka hal 12
Ibid.
13
Otje Salman, dan Anton F. Susanto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Ed. Ke-2 Cet. ke-1, Alumni, Bandung, h. 33 – 35.
10
tersebut seharusnya dapat mempengaruhi pola perilaku masyarakat dan membuat masyarakat itu tidak memilih untuk melakukan kegiatan sebagai gelandangan dan pengemis. Dikaitkan dengan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa jumlah gelandangan dan pengemis yang ada di lingkungan masyarakat Kota Denpasar tenyata
masih
cukup
tinggi,
hal
tersebut
menunjukkan
upaya-upaya
penanggulangan yang dilakukan selama ini termasuk penegakan hukum pidananya masih belum berjalan dengan optimal dan terdapat kelemahankelemahan. Kondisi tersebut tentu semakin menjadikan masalah penanggulangan gelandangan dan pengemis ini sebagai isu atau permasalahan serius yang harus segera dicarikan jalan pemecahannya bersama. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka sangat wajar dan beralasan apabila peneliti sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan upaya penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar beserta faktor-faktor yang menghambat dan mendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis tersebut dengan mengambil judul penelitian “Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
11
1. Bagaimanakah implementasi penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar? 2. Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dan pendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut sangatlah diperlukan untuk mendapatkan uraian yang lebih terarah. Bertitik tolak dari hal diatas, maka permasalahan
penegakan
hukum
pidana
dalam
upaya
penanggulangan
gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut penyajiannya dikaji berdasarkan data yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar maupun Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar mengenai jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar, serta upaya-upaya penanggulangannya oleh Pemerintah Kota Denpasar bersama instansi penegak hukum terkait yaitu Polresta Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yaitu dari periode tahun 2010 sampai dengan 2014. Adapun pokok pembahasannya disini adalah mengenai implementasi penegakan hukum pidana dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar serta faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis tersebut diatas.
12
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian tentang Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar ini mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut: 1.4.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum terkait dengan paradigma Science as a Process (Ilmu sebagai Proses). Dengan paradigma ini, ilmu Hukum Pidana akan terus berkembang terutama terkait dengan penanggulangan gelandangan dan pengemis di masyarakat. 1.4.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai upaya penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis yang terjadi di Kota Denpasar. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor penghambat maupun pendukung penegakan hukum pidana dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktik di lapangan sebagai berikut:
13
1.5.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi teoristik dan pengembangan konsep dasar dan teori Hukum Pidana, khususnya tentang tindak pidana yang berhubungan dengan masalah gelandangan dan pengemis. 1.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk keperluan praktek atau penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Denpasar bersama dengan aparat penegak hukum terkait seperti: Polisi dan Hakim dalam rangka menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.
1.6 Orisinalitas Penelitian Aspek orisinalitas dalam penelitian ini harus diperhatikan agar tulisan dan penelitian ini dapat bernilai sebagai suatu karya ilmiah yang baik. Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan di Kepustakaan Pascasarjana Universitas Udayana dan beberapa Universitas lainnya di Indonesia, maka penelitian dengan judul
“Penegakan
Hukum
Pidana
Dalam
Upaya
Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar” belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dalam tataran penulisan Tesis dan Disertasi, meskipun mengenai topik gelandangan dan pengemis ini sudah ada yang meneliti dan membahas akan tetapi hampir seluruhnya bukan dalam perspektif kajian ilmu hukum. Adapun hanya ada 1 (satu) penelitian hukum mengenai gelandangan dan pengemis yang peneliti
14
temukan. Sebagai gambarannya, beberapa tulisan ilmiah tersebut akan peneliti uraikan sebagai berikut: I. Nama
: Yusrizal
NIM
: 097005047
Univ./PS
: Universitas Sumatera Utara (USU) / Magister Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Penegakan Hukum Dalam Penanganan Gelandangan Dan Pengemis (Suatu Tinjauan Menurut UndangUndang Dasar 1945 Dan Hukum Pidana)
Permasalahan
: 1. Bagaimanakah
fungsionalisasi
hukum
pidana
terhadap gelandangan dan pengemis? 2. Bagaimanakah kedudukan Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP bila dikaitkan dengan Pasal 34 UndangUndang Dasar 1945? 3. Bagaimanakah perbuatan
upaya
gelandangan
dekriminalisasi dan
terhadap
pengemis
dalam
perspektif kebijakan hukum pidana? II. Nama
: Desriyanti
NIM
: 01505002
Univ./PS
: Universitas Negeri Medan / Magister Antropologi Sosial
Judul Tesis
: Miskin
Papa:
Kajian
Antropologi
Kelompok Pengemis di Kota Medan
Terhadap
15
Permasalahan
: 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang menjadi
pengemis?
Bagaimana
latar
belakang
pendidikan mereka? dan Bagaimana mereka memilih menjadi pengemis? 2. Daerah-daerah manakah yang menjadi lokasi mengemis bagi para pengemis di kota Medan? 3. Mengapa kehidupan sebagai pengemis dapat dilakukan secara turun temurun? 4. Bagaimanakah tipologi pengemis yang ada di kota Medan? 5. Apakah ada usaha pemerintah untuk menanggulangi kehidupan sebagai pengemis? III. Nama
: Mardian Wibowo
NIM
: 0606017593
Univ./PS
: Universitas Indonesia (UI) / Magister Ilmu Administrasi
Judul Tesis
: Studi
Implementasi
Kebijakan
Penanganan
Gelandangan di Kota Jakarta Timur Permasalahan
: 1. Bagaimanakah implementasi kebijakan penanganan gelandangan di kota Jakarta Timur? 2. Apakah
strategi
meningkatkan
yang
atau
dapat
digunakan
memperkuat
untuk
implementasi
kebijakan penanganan gelandangan di Jakarta Timur?
16
Apabila dibandingkan dengan Tesis No. I diatas, maka penelitian yang peneliti lakukan ini jelaslah sangat berbeda. Disamping perbedaan dalam rumusan masalah, Tesis No. I yang ditulis Yusrizal tersebut jelas-jelas dibuat dengan jenis penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum empiris dan tempat penelitiannya dilakukan di Kota Denpasar. Berikutnya, apabila dibandingkan dengan Tesis No. II dan III diatas, maka Tesis-Tesis tersebut jelas pula sangat berbeda dengan penelitian ini karena dalam Tesis No. II dan III tersebut masalah gelandangan maupun pengemis dikaji, dibahas dalam perspektif ilmu yang lain dan bukan dalam perspektif ilmu Hukum.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1 Landasan Teoritis “Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian”.14 Dalam hal ini tentu saja yang terfokus pada permasalahan penegakan hukum pidana dalam penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis. Negara Indonesia adalah sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (3)
14
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis Dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, h. 44.
17
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945).15 Dalam konteks negara hukum tersebut tentu asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) harus tetap dikedepankan dalam rangka mewujudkan proses penegakan hukum yang adil (ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUDNRI 1945). Ini berarti setiap orang yang melakukan tidak pidana seharusnya ditindak tegas tanpa pandang bulu termasuk bagi gelandangan dan pengemis, namun perlu diingat pula bahwa dalam hukum pidana dikenal adanya adagium “ultimum remedium” yang dapat diartikan bahwa sanksi pidana adalah sebagai senjata terakhir/pamungkas.16 Dalam penegakan hukum pidana seharusnya prinsip ini harus dipegang teguh dimana pemberian sanksi pidana tersebut memang benarbenar dijadikan sebagai jalan terakhir dalam penyelesaian suatu masalah yang terjadi masyarakat. Menurut Pompe, Hukum Pidana adalah “keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya”.17 Selanjutnya, dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa yang dimaksud dengan gelandangan (Vagrants, Vagabond, Landloperij) adalah “one who, not having a settled habitation, strolls from place to place, a homeless, idle wandered”18 (terjemahan peneliti: orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tidak memiliki pekerjaan 15
Ibnu Subarkah, 2010, Elastisitas Bagi Kemandirian Peradilan, Varia Peradilan: Tahun XXV No. 295, Jakarta, h. 46. 16
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed. 3 Cet. ke-1, Refika Aditama, Bandung, h. 17. 17
Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana, Ed. 1 Cet. ke-2, Rajawali Pers, Jakarta, h. 4.
18
Bryan A. Garner (ed), 2009, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, West, a Thomson Reuters Business, Texas, page 1689.
18
atau pengangguran). Sementara itu yang dimaksud dengan pengemis (Beggars, Bedelarij) adalah “a person who communicates with people, often in public places, asking for money, food, or other necessities for personal use, often as a habitual means of making a living”19 (terjemahan peneliti: orang yang sering berada di tempat umum, meminta uang, makanan, atau keperluan lainnya untuk kepentingan pribadi, sering dipakai sebagai sarana kebiasaan mencari nafkah). Sesuai
dengan
ketentuan
hukum
positif
di
Indonesia
perbuatan
pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis jelas adalah merupakan salah satu bentuk tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran ketertiban umum, yang mana mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 504 dan 505 KUHP. Sementara itu, dalam lingkup wilayah Kota Denpasar, ada pula aturan pidana yang lebih khusus mengenai larangan kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut yaitu sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Sebagai gambaran mengenai penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis di Indonesia, maka salah satunya dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mardian Wibowo tentang gelandangan dan pengemis di Jakarta Timur yang menjelaskan bahwa selama ini pola penanganan gelandangan di Jakarta Timur cenderung bersifat reaktif, yakni menitikberatkan pada kriminalisasi gelandangan, serta tindakan-tindakan on the spot (berupa operasi langsung) menyingkirkan gelandangan dari wilayah Jakarta timur tanpa
19
Ibid, h. 174.
19
memperbaiki infrastruktur di wilayah asal gelandangan. Penanganan yang bersifat reaktif tersebut diatas terbukti tidak memberikan hasil sehingga perlu dilakukan perubahan pendekatan dalam penanganan gelandangan.20 Berikutnya, Saptono Iqbali dalam hasil penelitiannya terhadap gelandangan dan pengemis di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem sebagai daerah asal gepeng mengemukakan bahwa selain tetap melakukan razia-razia, langkah-langkah berupa pembinaan, penyuluhan, pemberian bantuan sosial, maupun pemenuhan kebutuhan spiritual adalah sangat diperlukan sebagai bagian strategi penanganan masalah gepeng tersebut di masyarakat.21 Pembahasan dalam penelitian ini nantinya akan didukung pula oleh beberapa teori yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis masalah tersebut. Penggunaan teori hukum adalah merupakan bagian penting dalam suatu penelitian. Artinya, teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan penilaian tentang apa yang seharusnya menurut hukum. Selain itu, teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.22 Suatu undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif
20
Mardian Wibowo, 2008, “Studi Implementasi Kebijakan Penanganan Gelandangan di Kota Jakarta Timur”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Administrasi Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. 21
Saptono Iqbali, 2008, Studi Kasus Gelandangan – Pengemis (Gepeng) Di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem, Jurnal, http://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/download/2972, Diakses tanggal 10 Oktober 2013. 22
Mukti Fajar Nur Dewata, dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 146.
20
maupun aspek empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books dan studi law in action.
23
Mengacu pada uraian tersebut, maka
jelaslah untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam memang diperlukan teori yaitu berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.24 Adapun teori-teori yang relevan digunakan dalam menganalisis permasalahan sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut: a. Teori Bekerjanya Hukum Berbicara
mengenai
penegakan
hukum
pidana
dalam
rangka
penanggulangan gelandangan dan pengemis, maka salah satu hal penting yang terkait didalamnya adalah mengenai proses bekerjanya hukum pidana itu sendiri dalam kehidupan masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan. Beberapa aspek tersebut yaitu: Lembaga Pembuat Hukum (Law Making Institutions), Lembaga Penerap Sanksi (Sanction Activity Institutions), Pemegang Peran (Role Occupant) serta Kekuatan Sosial Personal (Societal Personal Force), Budaya Hukum (Legal Culture) serta unsur-unsur Umpan Balik (Feed Back) dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan.25
23
Amiruddin, dan Zaenal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 196. 24
Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.
25
Esmi Warrasih, 2005, Pranata Hukum sebagai Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, h. 30.
21
Proses bekerjanya unsur atau aspek tersebut diatas akan menunjukkan pula bahwa hukum tersebut dapat mempengaruhi perilaku pemegang peran (Role Occupant) sebagaimana yang ditegaskan Robert B. Siedman dalam bukunya yang berjudul The State, Law and Development: “Law as a divice to structure choice expresses at once law’s usual marginality in influencing behavior, and its importance as the principal instrument that government has to influence behavior”26 (terjemahan peneliti: hukum adalah sebagai perangkat pilihan struktur mengekspresikan sekaligus marginalitas biasa hukum dalam mempengaruhi perilaku, dan pentingnya sebagai instrumen utama pemerintah untuk mempengaruhi perilaku). Robert B. Seidman mencoba untuk menerapkan pandangannya terkait hasil bekerjanya berbagai macam faktor tersebut di dalam analisanya mengenai bekerjanya atau berlakunya hukum dalam masyarakat. Model Robert B. Seidman tersebut dapat dilukiskan dengan bagan sebagai berikut:
26
Robert B. Siedman, 1978, The State, Law and Development, ST. Martin’s Press, New York, page 77.
22
Oleh Robert B. Seidman bagan diatas diuraikan dalam dalil-dalil sebagai berikut: 1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak; 2. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembagalembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya; 3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan; 4. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi.27 Dari uraian teori yang dikemukakan oleh Robert B. Siedman tersebut diatas, apabila dikaitkan dengan masalah penegakan hukum pidana dalam upaya
27
Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, h. 27-28.
23
penanggulangan gelandangan dan pengemis, maka pelaksanaannya tentu akan dipengaruhi pula oleh beberapa unsur atau aspek yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut diatas sehingga penegakan hukum pidananya di masyarakat dapat berjalan dengan baik dalam rangka menanggulangi permasalahan tersebut. b. Teori Pemidanaan Salah satu masalah pokok dalam hukum pidana adalah mencari dasar pembenaran dijatuhkannya pidana terhadap pelaku tindak pidana sehingga pidana tersebut menjadi lebih fungsional. “Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”.28 Pada umumnya, teori pemidanaan (Strafrechts Theorien) dibagi dalam tiga golongan teori yaitu: 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan Menurut teori ini, penjatuhan pidana itu dibenarkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu tindak pidana. Hanya dengan membalas tindak pidana itu dengan penambahan penderitaan, dapat dinyatakan bahwa perbuatan itu dapat dihargai. Oleh karena itu, pidana dilepaskan dari tujuan. Adapun tokoh-tokoh penganut teori pembalasan ini seperti Imanuel Kant, Van Bemmelen dan Pompe;
28
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 68.
24
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorieen/Utilitarian Theory) Teori ini pada pokoknya menyatakan bahwa pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan ataupun pelanggar hukum, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Penganut teori ini antara lain A. Von Feuerbach, Van Hamel dan Simons. Sehubungan dengan tujuan pidana itu ada beberapa pendapat, yaitu: a. Tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah karena akibat dari telah terjadinya kejahatan ataupun pelanggaran hukum; b. Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang mana dapat dibedakan
atas
pencegahan
umum
(generale
preventie)
dan
pencegahan khusus (speciale preventie). Pencegahan umum didasarkan kepada pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan melakukan kejahatan atau pelanggaran, sedangkan pencegahan khusus didasarkan pada pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum tidak mengulangi kejahatan; 3. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen) Teori ini merupakan gabungan dari teori absolut/teori pembalasan dengan teori relatif/teori tujuan. Dalam hal ini dibagi kedalam 3 (tiga) golongan yaitu:
25
a. Menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban masyarakat; b. Menitikberatkan kepada pertahanan ketertiban masyarakat, tetapi pidana tidak boleh lebih berat daripada beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana; c. Menitikberatkan sama baik kepada pembalasan maupun kepada pertahanan ketertiban masyarakat.29 c. Teori Penanggulangan Tindak Pidana Upaya-upaya dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan atau tindak pidana termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Marc Ancel pada pokoknya menegaskan bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) tersebut adalah sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal ini tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).30 Dalam implementasinya upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana ini harus dilakukan dengan pendekatan integral yakni ada keseimbangan antara sarana penal (hukum pidana) dan non penal (bukan/diluar
hukum
29
pidana).
Dengan
demikian,
dalam
rangka
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 52-60. 30
Barda Nawawi Arief I, Loc.cit.
26
penanggulangan tindak pidana yang terjadi di masyarakat khususnya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka pada tahap/proses dari penegakan hukum pidana in concreto tersebut haruslah juga memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu berupa kesejahteraan sosial (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social defence). d. Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M. Friedman, “A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interest”31 (terjemahan peneliti: suatu sistem hukum dalam pelaksanaannya merupakan sebuah organisme kompleks dimana struktur, substansi dan budaya berinteraksi). Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu sistem hukum terdapat sub sistem-sub sistem hukum sebagai satu kesatuan yang saling berinteraksi. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan berfungsinya semua unsur/komponen sistem hukum diatas yakni Struktur Hukum/Pranata Hukum, Substansi Hukum, dan Budaya Hukum. 1. Struktur Hukum (legal structure) Bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem, misalnya: Pengadilan,
31
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, page 10.
27
Kejaksaan, Kepolisian. Jadi disini menekankan pada aspek lembaga dan aparat penegak hukumnya; 2. Substansi Hukum (legal substance) Hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misalnya: Putusan Hakim, Undang-Undang; 3. Budaya Hukum (legal culture) Sikap publik atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong berjalannya sistem hukum atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat.32 Ketiga unsur/komponen diatas mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara.33 e. Teori Penegakan Hukum Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagiannya. Ini berarti penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tersebut menjadi kenyataan.34 Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, inti dan arti penegakan hukum tersebut terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang 32
Moh. Hatta, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Pidana khusus, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, h. 1. 33
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 26.
34
Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Cet. ke-2, Buku Kompas, Jakarta, h. 169.
28
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.35 Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektevitas
penegakan
hukum.
Berikutnya,
Hamis
MC.
Rae
juga
mengemukakan pendapatnya bahwa penegakan hukum tersebut harus dilakukan dengan pendayagunaan kemampuan berupa penegakan hukum harus dilakukan oleh orang yang betul-betul ahli di bidangnya dan dalam
35
Soerjono Soekanto, Op.cit, h. 5-8.
29
penegakan hukum akan lebih baik jika pelaksanaanya mempunyai pengalaman praktek berkaitan dengan bidang yang ditanganinya.36 Bahwa dari Teori-Teori Hukum yang dikemukakan diatas, maka dapat dijelaskan Teori Hukum sebagaimana tersebut pada huruf a, b dan c lebih digunakan untuk mengkaji, menganalisis dan menjawab Rumusan Masalah pada poin 1, sedangkan Teori Hukum sebagaimana tersebut pada huruf d dan e digunakan untuk mengkaji, menganalisis dan menjawab Rumusan Masalah pada poin 2. 1.7.2 Kerangka Berpikir Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teoritis tersebut diatas, maka peneliti dapat menyusun kerangka berpikir sebagai berikut:
36
Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 17.
30
JUDUL: Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar
-
-
LATAR BELAKANG MASALAH Keberadaan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar sangat meresahkan masyarakat. Larangan mengenai kegiatan pergelandangan dan pengemisan diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP, sedangkan, khusus untuk di Kota Denpasar mengenai hal tersebut diatur pula dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum; Apabila dikaitkan dengan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa jumlah gelandangan dan pengemis yang ada di lingkungan masyarakat Kota Denpasar tenyata masih cukup tinggi, hal tersebut jelas menunjukkan upaya-upaya penanggulangan yang dilakukan selama ini termasuk penegakan hukum pidananya masih belum berjalan dengan optimal dan terdapat kelemahan-kelemahan.
PERMASALAHAN 1. Bagaimanakah penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar ? 2. Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dan pendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar ?
a. b. c. d. e.
TEORI HUKUM Teori Bekerjanya Hukum Teori Tujuan Pemidanaan Teori Penanggulangan Tindak Pidana Teori Sistem Hukum Teori Penegakan Hukum
KAJIAN YURIDIS Hukum Pidana : KUHP dan Perda Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
Bekerjanya Hukum
Perilaku Hukum Masyarakat Timbul masalah gepeng di masyarakat (pelanggaran hukum/perilaku menyimpang)
Upaya-upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis: - Penal (Penegakan hukum pidana Pemidanaan) - Non Penal Penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar yang lebih komprehensif
Rekomendasi
Faktor-faktor penghambat dan pendukung penegakan hukum pidana: hukum, penegak hukum, sarana dan prasarana, masyarakat, kebudayaan.
31
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Dalam hal ini mengkaji mengenai penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar dalam perspektif hukum pidana. Pada penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata.37 Kalau kita bandingkan dengan pendapat Bambang Sunggono, maka jenis penelitian ini disebut juga sebagai penelitian hukum non-doktrinal (socio-legal research) yang mana penekanannya adalah pada studi law in Process.38 Data sekunder dalam penelitian ini digunakan sebagai data awal untuk kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan. Penelitian hukum empiris tetap mengacu pada premis normatif dimana definisi operasionalnya dapat diambil
dari
peraturan
perundang-undangan
untuk
selanjutnya
melihat
pelaksanaan atau kenyataannya yang ada di lapangan (Das Solen dengan Das Sein). 1.8.2 Sifat Penelitian Penelitian hukum empiris ini adalah merupakan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu atau kelompok tertentu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara
37
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.cit, h. 53. 38
Bambang Sunggono, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Ed. 1 Cet. ke-8, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 102-103
32
suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.39 Biasanya peneliti sudah mendapatkan/mempunyai gambaran yang berupa data awal tentang permasalahan yang akan diteliti.40 Penelitian ini jelas bertujuan mendiskripsikan dan menggambarkan apa adanya secara tepat mengenai penegakan hukum pidana dalam penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar beserta faktor-faktor penghambat maupun pendukungnya. 1.8.3 Data dan Sumber Data Sumber data yang digunakan untuk mendukung penulisan penelitian ini adalah terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut: 1. Data Primer Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan (field research) yaitu suatu data yang diperoleh langsung di lapangan, baik itu dari responden maupun informan. Data Primer dalam penelitian ini bersumber dari penelitian lapangan yang dilakukan di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar; Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar; Kepolisian Resor Kota Denpasar (Polresta Denpasar); dan Pengadilan Negeri Denpasar. Alasan hukum penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kota Denpasar adalah karena jumlah gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Denpasar tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota yang lainnya di Bali, selain itu juga didasari oleh rasa keprihatinan melihat 39
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.cit, h. 57. 40
Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet. ke-4, Sinar Grafika, Jakarta,
h. 8.
33
kondisi Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan, ekonomi bahkan pengembangan pariwisata Propinsi Bali ternyata masih
menghadapi
permasalahan gelandangan dan pengemis yang kian hari makin sulit untuk ditanggulangi secara tuntas; 2. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan dengan meneliti bahan-bahan hukum sebagai berikut: -
Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.41 Dalam penelitian ini meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4967), Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5294), Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 No. 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3177), dan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Kota Daerah Tingkat II Denpasar No. 1 Tahun 1994 Seri D No. 1; Lembaran Daerah Kota Denpasar No. 4 Tahun 2000);
41
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Cet ke-8, Kencana, Jakarta, h. 181.
34
-
Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.42 Dalam hal ini meliputi literatur-literatur tentang Hukum Pidana dan Teori Hukum, internet dengan menyebut nama situsnya, hasil karya ilmiah Para Sarjana, hasilhasil penelitian dan jurnal-jurnal Hukum;
-
Bahan hukum tersier (tertier) yaitu bahan – bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder. Dalam penelitian ini meliputi: Black Law Dictionary, disamping itu termasuk pula kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi dokumen untuk mengumpulkan data sekunder dan teknik wawancara (interview) mendalam untuk mengumpulkan data primer. 1. Teknik Studi Dokumen Studi dokumen ini dilakukan atas data sekunder yaitu berupa bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.43 Dalam proses pengumpulan datanya dilakukan dengan melakukan penelusuran secara mendalam kemudian membaca, menganalisa, serta mencatat secara sistematis bagian-bagian yang terkait dengan pokok bahasan;
42
Ibid.
43
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.cit, h. 60-61.
35
2. Teknik Wawancara (interview) Selama ini teknik wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer.44 Wawancara merupakan suatu cara untuk memeperoleh data dengan jalan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan informan dan responden di lapangan. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang melainkan dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang atau telah dikonsep sebelumnya (interview guide) untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan pejabat terkait di lingkungan Pemerintah Kota Denpasar, aparat Satpol PP Kota Denpasar, aparat Kepolisian pada Polresta Denpasar, Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dan tokoh masyarakat sebagai informan serta gelandangan dan pengemis itu sendiri sebagai responden. 1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Dalam hal ini teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan adalah non probability sampling artinya dalam penelitian ini tidak ada ketentuan pasti berapa sampel harus diambil agar dapat mewakili populasinya. Populasi adalah keseluruhan dari obyek pengamatan atau penelitian, sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti yang dianggap mewakili populasinya.45
44
Bambang Waluyo, Op.cit, h. 57.
45
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.cit, h. 65.
36
Bentuk dari non probalitas sampling yang dipergunakan adalah bentuk purposive sampling, artinya: penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukkan dari pemilihan sampel didasarkan pada pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristis tertentu yang merupakan ciri utama dari populasi sehingga nantinya dapat diuraikan secara jelas mengenai penegakan hukum pidana dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar beserta faktor-faktor penghambat maupun pendukungnya. 1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis.46 Dalam hal ini model analisis data yang digunakan adalah model analisis kualitatif atau yang sering dikenal dengan deksriptif kualitatif. Dalam model analisis ini, dari keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder selanjutnya akan diolah serta dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, diidentifikasi, dikategorisasikan atau diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lain, dilakukan interprestasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan kemudian dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.47 Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan di
46
Bambang Waluyo, Op.cit, h. 72.
47
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.cit, h 76.
37
sajikan secara dekstriptif yaitu dengan memaparkan atau menggambarkan secara jelas, sistematis dan lengkap mengenai hasil penelitian dari permasalahan yang diajukan.