BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai perubahan yang muncul akibat globalisasi yang dilandasi kemajuan teknologi mampu membuat negara-negara di dunia seolah-olah menyatu tanpa batas. Arus globalisasi ini telah memudahkan para pelaku bisnis untuk memperluas jangkauan distribusinya termasuk perdagangan narkotika yang kemudian disebut sebagai drugs trafficking. Terlebih dengan adanya isu fair trade yang identik dengan prinsip perdagangan bebas mampu memudahkan perpindahan barang dari satu negara ke negara lain dalam waktu yang relatif cepat. Isu drugs trafficking yang tengah menjadi sorotan dunia, merupakan salah satu ancaman lintas negara yang menyasar pada manusia. Aktifitas ini mampu menimbulkan ancaman penghancuran dan destabilitasi institusi negara. Ancaman ini dibahas dalam pertemuan UNODC di Kuala Lumpur Juni 2015 yang menyatakan bahwa keberadaan narkotika mengancam stabilitas dan sistem pemerintahan juga keamanan manusia karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang lebih melibatkan generasi muda (Soe, 2015). Obat-obatan yang banyak beredar di masyarakat sendiri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari lingkungan domestik maupun internasional. Oleh sebab itu, permasalahan drugs trafficking tidak lagi menjadi bagian dari konsep keamanan tradisional yang mengganggap bahwa ancaman selalu datang dari negara asing melainkan bagian dari kemanan non tradisonal. Hal tersebut bila dilihat dari “The Nature of Threats”, konsep keamanan tradisional melihat ancaman selalu bersifat militer dan karena itu pendekatan yang digunakan juga bersifat militeristik. Sedangkan menurut konsep keamanan non tradisional, bahwa dalam perkembangan
nasional dan internasional, sebagaimana disebut diatas telah mengubah sifat ancaman menjadi lebih rumit dan kompleks dengan demikian persoalan keamanan menjadi jauh lebih komprehensif dikarenakan menyangkut aspek-aspek lain seperti ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, bahkan isu-isu lain seperti demokrasi, HAM, penyalahgunaan dan perdagangan narkotika, dan terorisme sehingga ancaman-ancaman terhadap keamanan, stabilitas nasional dan internasional diakibatkan dari adanya proses interaksi aktor negara dan non-negara (Perwita & Yani, 2006). Berkaitan dengan konsep keamanan non tradisional, isu drugs trafficking di Asia Tenggara khususnya di kawasan Segitiga Emas yaitu Thailand, Myanmar, dan Laos bertanggung jawab terhadap ancaman yang diakibatkan oleh produksi, distribusi, dan konsumsi dunia internasional. Sebagaimana yang diketahui bahwa Segitiga Emas yang merupakan produsen terbesar ke dua dunia setelah Bulan Sabit Emas (Afganistan, India, dan Pakistan) merupakan penghasil 60 persen produksi opium dan heroin di dunia. Bahkan Segitiga Emas ini telah memberi sumbangan pada industri heroin yang bernilai US$ 160 milyar pertahun (Tobing, 2002). Tahun 1990 produksi opium di Segitiga Emas memang mengalami penurunan sejak Afganistan „dinobatkan‟ sebagai produsen opium terbesar nomor satu di dunia. Tapi sejak 2006, produksi opium di Segitiga Emas meningkat lagi sehingga menimbulkan keraguan terhadap keberhasilan pengurangan jumlah produksi opium yang selama ini digembar-gemborkan (Transnational Institute, 2010). Data UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime) menyebutkan bahwa delapan tahun terakhir bahkan menjadi masa kebangkitan budidaya opium di tiga kawasan ini. Berikut adalah gambar grafik budidaya opium di kawasan Segitiga Emas:
Gambar 1.1 Budidaya Opium di Kawasan Segitiga Emas
Peningkatan sebesar 2.7 kali selama delapan tahun tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Thailand, Myanmar, dan Laos masih menggantungkan kehidupan ekonominya pada budidaya opium. Opium yang diperdagangkan dirasa mampu mendatangkan dampak positif bagi para petani. Hubungan antara kemiskinan, kurangnya pilihan, dan kesempatan ekonomi alternatif dengan pembudidayaan bunga candu sangat jelas dimana uang yang dihasilkan dari pembudidayaan ini sangat esensial untuk penduduk desa yang terancam dari kekurangan pangan dan kemiskinan. Di sisi lain, dalam upaya untuk mempertahankan keamanan regional, masingmasing negara di Asia Tenggara mencoba menghindarkan negaranya dari dampak buruk drugs
trafficking seperti degradasi kualitas masyarakat dan konflik, termasuk Thailand, Myanmar, dan Laos. Dengan kondisi seperti itu, Thailand, Myanmar, dan Laos yang berada dalam kawasan Segitiga Emas melakukan berbagai kerjasama regional dan berkomitmen untuk memberantas narkotika dari negara mereka. Segitiga Emas memiliki kepentingan bersama untuk bekerjasama dalam memerangi kejahatan lintas negara, terutama drugs trafficking. Oleh sebab itu, penelitian ini memfokuskan diri pada objek kerjasama regional Segitiga Emas. Walaupun permasalahan drugs trafficking ini melibatkan banyak negara di Asia Tenggara dan tidak dipungkiri adanya kerjasama internasional dibawah naungan organisasi internasional tertinggi di Asia Tenggara yaitu ASEAN, namun prinsip non-interference yang terdapat dalam TAC agreement (Treaty of Amity and Cooperation) tidak bisa dikesampingkan. TAC sendiri adalah perjanjian internasional yang mendeklarasikan bahwa negara-negara anggota dalam hubungan bernegara harus didasari prinsip saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, kesatuan wilayah dan identitas nasional dari seluruh negara. Tidak saling mencampuri dalam urusan domestik, penyelesaian perbedaan atau sengketa dengan cara musyawarah, penolakan atas segala bentuk ancaman atau kekuatan dan kerjasama yang efektif antarnegara anggota merupakan prinsip-prinsip lain dalam kerjasama ASEAN (Bank Indonesia, 2007). Hal tersebutlah yang justru menjadikan campur tangan ASEAN dalam penyelesaian permasalahan drugs trafficking di Segitiga Emas akan menemui banyak kendala seperti tolakantolakan dari negara-negara anggota yang merasa kedaulatannya diintervensi. Selain itu, adanya berbagai kesepakatan dan komitmen yang ada di ASEAN menunjukkan bahwa upaya memerangi narkotika sesungguhnya tergantung pada kemauan politik negara-negara ASEAN sendiri dan diselesaikan dalam kerangka regional. Dalam kaitannya dengan drugs trafficking pada penelitian
ini, diperlukan implementasi mekanisme regional secara nyata dari Segitiga Emas. Oleh karena itu penelitian ini hendak menganalisis bentuk kerjasama regional Segitiga Emas dalam mengatasi masalah drugs trafficking di Asia Tenggara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, hal yang menjadi pertanyaan yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Thailand, Myanmar, dan Laos yang berada dalam kawasan Segitiga Emas melakukan kerjasama regional dalam upaya mengatasi masalah drugs trafficking? 1.3 Studi Literatur Penelitian tentang perdagangan dan peredaran narkotika di kawasan Asia Tenggara sudah pernah dilakukan lewat penelitian Anggia Wulansari dengan judul Upaya dan Tantangan Thailand dalamm Upaya Penanggulangan Narkotika dan Obat Terlarang Menuju Drug-Free ASEAN 2015 (Wulansari, 2012). Dalam penelitian deskriptifnya tersebut, Wulansari berupaya menjawab dua pertanyaan mendasar yaitu upaya Thailand dalam penanggulangan narkotika dan obat terlarang menuju drug-free ASEAN 2015 dan tantangan dalam melaksanakan upaya tersebut. Dalam penelitiannya, Wulansari mengemukakan bahwa Thailand melakukan upaya pemberantasan narkotika secara internal dan eksternal, sedangkan tantangan yang dihadapi Thailand menuju Drug-Free ASEAN 2015 berdasarkan pada kepentingan ekonomi, kurang maksimalnya penegakan hukum, dan adanya ikatan kebudayaan dalam penggunaan narkotika di kalangan masyarakat. Wulasari menemukan bahwa Thailand menjadi salah satu negara ASEAN yang memiliki kesadaran untuk mengambil beberapa upaya guna memberantas narkotika. Upaya Thailand
tersebut didasarkan pada fakta bahwa Thailand adalah negara dalam Segitiga Emas yang merupakan pusat produksi opium ke dua dunia. Upaya ASEAN di Thailand untuk memberantas narkotika dan obat terlarang merujuk pada ACCORD Plan of Action Workshop Study on Achieving Drug-Free ASEAN 2015 Status and Recommendation dimana didalamnya terdapat langkah-langkah penanggulangan meliputi pengurangan dan penghapusan produksi dan perdagangan gelap narkotika dan obat-obatan terlarang; pengurangan dan penghapusan produksi dan perdagangan gelap narkotika dan obat-obatan terlarang serta tindak kriminal lainnya yang berkaitan dengan narkotika dan obat-obatan terlarang; dan pengurangan dan penghapusan peningkatan penggunaan narkotika. Penelitian Wulansari menggunakan konsep transnational crime untuk menganalisis urgensi masalah narkotika di ASEAN, khususnya di Thailand dan Teori Kebijakan untuk menjelaskan kebijakan yang diambil oleh Thailand dalam menuju DrugFree ASEAN 2015. Selain Wulansari, Elvira Febrian Palimbongan juga pernah melakukan penelitian tentang hal serupa dengan judul Upaya ASEAN dalamm Menanggulangi Perdagangan dan Peredaran Narkotika Ilegal di Kawasan Asia tenggara (2009-2012). Dengan bentuk penelitian deskriptif, Palimbongan berusaha menjawab satu pertanyaan mendasar yaitu bagaimana kebijakan ASEAN dalam menanggulangi perdagangan ilegal narkotika di kawasan Asia Tenggara dari tahun 2009 hingga 2012 (Palimbongan, 2013). Palimbongan menyatakan bahwa perdagangan narkotika di kawasan Asia Tenggara dapat diselesaikan dengan bantuan organisasi internasional seperti ASEAN. Peran ASEAN dalam menanggulangi masalah peredaran dan perdagangan narkotika ilegal di Asia Tenggara adalah sebagai fasilitator dengan mendorong negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk ikut aktif dalam menanggulangi kejahatan transnasional perdagangan narkotika dan menjalin kerjasama
baik dalam lingkup ASEAN maupun dalam lingkup bilateral dan internasional ASEAN telah membangun kerjasama dengan UNDCP, UNDP, dan Uni Eropa. Kerjasama tersebut memberi beberapa keuntungan seperti adanya pertukaran informasi dan keahlian (expertise) dalam hal manajemen pengelolaan permasalahan perdagangan narkotika ilegal. ASEAN Regional Policy and Strategy in The Prevention and Control of Drug Abuse and Illicit Trafficking membawa suatu dimensi baru pada persepsi dan pendekatan untuk memberantas masalah narkotika yaitu memandang masalah narkotika tidak hanya sebagai masalah sosial dan kesehatan saja tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap masalah keamanan, stabilitas, kesejahteraan dan ketahanan nasional. Dengan adanya training centre di kawasan Asia Tenggara, maka kerjasama baik pertukaran informasi, pelatihan, penelitian dan rehabilitasi terjalin dengan baik bahkan kerjasama ini tidak hanya dalam lingkup ASEAN tetapi juga negara-negara non ASEAN. Palimbongan menggunakan Teori Sekuritisasi untuk menganalisis peredaran dan perdagangan narkotika di Asia Tenggara. Teori ini melihat bahwa masalah keamanan merupakan hasil konstruksi artinya ada aktor yang mewacanakan suatu isu dan sebuah entitas meyakini isu tersebut. Teori kedua yang digunakan oleh Palimbongan adalah transanational organized crime yang menjelaskan tindak pidana yang dilakukan lintas negara, serta teori ketiga yaitu Teori Kerjasama Regional yang menjelaskan bahwa kerjasama antarnegara mungkin terjadi atas kedekatan geografis. Pada penelitian tersebut, Palimbongan tidak secara spesifik membahas negara mana di kawasan
Asia
Tenggara
yang
menjadi
pemasok
narkotika
sekaligus
negara-negara
penyebarannya. Sedangkan dalam riset yang akan dilakukan peneliti, Thailand, Myanmar, dan Laos adalah negara-negara yang akan dibahas secara terperinci sebagai pemasok narkotika dunia dan upaya kerjasama regional yang dilakukan ketiga negara tersebut.
Dengan kata lain, penelitian-penelitian terdahulu membahas upaya satu negara dan upaya yang dilakukan ASEAN dalam penanggulangan peredaran dan perdagangan narkotika lintas negara, namun pada riset ini akan difokuskan pada kerjasama regional antara negara-negara yang berada dalam kawasan Segitiga Emas yaitu Thailand, Myanmar, dan Laos dalam mengatasi drugs trafficking. Pada akhirnya penelitian ini akan menjelaskan apakah hubungan kerjasamakerjasama tersebut saling menguatkan atau justru sebaliknya yaitu saling melemahkan.
1.4 Kerangka Teori Dalam penelitian ini, beberapa teori dan konsep akan digunakan untuk menganalisa data dan fakta yang ada. Adapun teori dan konsep yang digunakan adalah teori kerjasama regional dan konsep keamanan non tradisional. 1.4.1
Teori Kerjasama Regional
Diperlukan pemahaman awal dalam mendiskusikan kerjasama kawasan. Hal ini penting karena definisi kawasan (region) dalam regionalisme acapkali menimbulkan perdebatan dan pertikaian, sekaligus jarang menimbulkan konsensus (Winarno, 2011). Menurut K.J. Holsti dan Hans J. Morgenthau, region atau kawasan sendiri diartikan sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan geografis karena berada dalam satu wilayah tertentu (Snyder, 2008). Hal ini berarti kerjasama regional sendiri adalah kerjasama yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang berada dalam satu kawasan atau wilayah tertentu. Thailand, Myanmar, dan Laos dalam penelitian ini adalah tiga negara yang berada dalam suatu wilayah yang disebut sebagai Segitiga Emas. Sedangkan Robert Keohane dan Joseph Nye berpendapat pengertian region berkaitan dengan politik internasional dalam Oxford University Press yaitu sekumpulan negara dalam
jumlah yang terbatas yang dihubungkan oleh kedekatan geografis dan kesepakatan saling ketergantungan yang menguntungkan satu sama lain dan dapat dibedakan berdasarkan tingkat dan ruang lingkup pertukaran, organisasi formal, dan saling ketergantungan politik (Oxfrod University, 1997). Regionalisme tidak hanya membutuhkan kedekatan geografis dan saling ketergantungan ekonomi saja dalam kerjasamanya. Faktor lain yang juga penting antara lain pengalaman sejarah, distribusi kekuasaan dan kekayaan di dalam dan di luar kelompok, juga preferensi ideologi dan politik dapat menjadi pusat pemahaman mengapa dan bagaimana aktor memandang solusi regional yang diinginkan. Regionalisme sendiri muncul karena berbagai hal seperti adanya persamaan tempat tinggal dan identitas atau karena adanya prospek keuntungan timbal balik bila saling bekerja sama, atau karena adanya kesamaan persepsi mengenai ancaman eksternal (Liefer, 1997). Louis Fawcett dan Andrew Hurell dalam Winarno membagi pengertian regionalisme ke dalam lima kategori yang berbeda antara lain regionalization, regional awareness and identity, region interstate co-operation, state-promoted regional integration, dan regional cohesion. Regionalization sendiri menunjuk kepada pertumbuhan integrasi masyarakat dalam sebuah wilayah dan pada proses-proses interaksi sosial dan ekonomi yang seringkali tidak terarah. Dalam pandangan para ahli, awal tentang regionalisme, regionalization dideskripsikan sebagai integrasi informal. Sementara itu, dalam pandangan para analis kontemporer regionalization menunjuk kepada apa yang dinamakan „regionalisme lunak‟ (soft regionalism). Istilah ini menitikberatkan pada proses-proses otonomi yang mengarah kepada saling ketergantungan yang tinggi dalam sebuah wilayah geografi tertentu ketimbang antara wilayah itu dan bagian wilayah lain dunia. Sekalipun jarang dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan negara, kekuatan-kekuatan pendorong yang paling penting bagi regionalisasi ekonomi berasal dari pasar, pandangan swasta
dan arus investasi, kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan perusahaan. Dan yang lebih penting, regionalisasi ekonomi sangat ditentukan oleh pertumbuhan perdagangan dalam perusahaan; jumlah merger dan akuisis internasional yang semakin meningkat; dan munculnya kerangka aliansi strategis yang semakin terpadu antarperusahaan (Winarno, 2011). Kemudian regional awareness, regional identity, dan regional consciousness yang merupakan pemikiran yang secara inheren kurang tepat. Sekalipun demikian, pemikiranpemikian tersebut menjadi pokok analisis terhadap regionalisme kontemporer. Semua kawasan (region) dalam tingkat tertentu dibatasi secara subjektif dan bisa dipahmi dalam konteks „cognitive region‟. Dalam konteks bangsa „nation‟, kawasan atau region bisa dipahami dalam pengertian sebuah masyarakat yang diimajinasikan yang berada dala sebuah peta kejiwaan yang mempunyai garis-garis menonjolkan sifat istimewa, namun mengabaikan sifat lainnya. Diskusi tentang kesadaran kawasan (regional awareness) sangat menekankan pada bahasa dan retorika; diskursus tentang regionalisme dan identitas kaasan yang secara konstan didefinisikan dan diredefinisikan; dan pemahaman bersama dan makna yang diberikan kepada kegiatan politik oleh para aktor yang terlibat (Winarno, 2011). Selanjutnya regional interstate co-operation memberikan arti bahwa banyak kegiatan kawasan yang melibatkan negosiasi dan konstruksi persetujuan-persetujuan antarnegara atau pemerintah, atau antarrezim. Kerjasama (co-operation) bisa dalam bentuk informal maupun formal, dan sekaligus merupakan institusionalisasi tingkat tinggi, namun tidak menjamin keefektifan atau mempunyai bobot politik penting. Oleh karena itu, kerjasama mendorong terbentuknya lembaga-lembaga formal, namun seringkali mendasarkan pada sebuah struktur yang longgar, yang mencakup pola-pola pertemuan secara reguler dengan aturan-aturan yang mengikat (Winarno, 2011).
State-promoted regional integration sendiri adalah sub-kategori kerjasama regional yang paling berkaitan dengan integrasi ekonomi kawasan. Integrasi regional mencakup keputusankeputusan kebijakan penting oleh pemerintah-pemerintah yang dirancang untuk mengurangi atau menyingkirkan hambatan-hambatan untuk pertukaran bersama dalam konteks barang-barang, jasa, modal, dan orang. Dan yang terakhir adalah regional cohesion yang merujuk pada kemungkinan, pada suatu titik tertentu, bahwa kombinasi empat proses yang telah disebutkan sebelumnya mendorong munculnya unit kawasan yang kohesif dan terkonsolidasi (Winarno, 2011). Dewasa ini, kerjasama regional, paling tidak secara konseptual, telah menjadi prioritas universal; suatu aspirasi yang dimiliki oleh hampir semua negara-bangsa (nation-state) dalam sistem internasional saat ini. Dalam dunia yang diintegrasikan oleh berbagai tekanan jaringan komunikasi internasional serta sistem ekonomi dan moneter yang semakin kuat, konsep kerjasama regional merupakan unsur penting demi keberhasilan upaya pembangunan nasional suatu bangsa (Sudarsono, 1995). Kerjasama regional antara negara-negara yang berada dalam kawasan Segitiga Emas dalam upaya penanggulangan drugs trafficking juga merupakan bentuk dari kepentingan bersama untuk mencapai pembangunan nasionalnya dimana keberadaan narkotika justru dapat memperburuk kondisi pembangunan dari sisi stabilitas keamanan nasional. Stubbs dan Underhill dalam Winarno mengidentifikasi tiga elemen penting regionalisme (Winarno, 2011). Pertama, adanya pengalaman historis yang sama dan perasaan akan persoalanpersoalan bersama diantara kelompok-kelompok negara atau masyarakat dalam suatu batas geografi. Ini akan memberikan definisi kawasan secara efektif. Kedua, adanya interaksi yang lebih intens di antara anggota-anggota dibandingkan dengan interaksinya dengan dunia luar. Di sini, akan tercipta suatu batas dan intensitas interaksi ini kemudian menciptakan apa yang disebut
regionalisme. Ketiga, muncul suatu organisasi yang memberikan kawasan tersebut kerangka institusi dan hukum dan menyediakan “rules the game”. Berdasarkan penjelasan ke tiga elemen ini tampak bahwa tidak ada satupun kawasan ataupun bentuk-bentuk kerjasama yang tidak mencirikan ke tiga elemen tersebut termasuk dalam kerjasama yang dilakukan oleh Segitiga Emas dalam bab analisis berikutnya. Implementasi kerjasama penanggulangan drugs trafficking di negara-negara Asia Tenggara sendiri pada umumnya berbasis pada tindakan penegakan hukum terhadap para pengedar narkotika yang menggunakan jalur darat, laut dan udara, serta terhadap penyalahguna narkotika. Di Asia Tenggara yang dikenal mempunyai kawasan produksi narkotika yaitu di kawasan Segitiga Emas, implementasi kerjasama penanggulangan lalu lintas perdagangan narkotika lebih difokuskan pada upaya pembasmian terhadap penanaman opium, ganja dan produksi narkotika, serta mengadakan kegiatan pendidikan pencegahan, penyembuhan dan rehabilitasi terhadap para penyalahguna narkotika. Untuk mengefektifkan kegiatan ini, Segitiga Emas melakukan berbagai kerjasama regional yang banyak melibatkan peran masyarakat. Penelitian ini fokus pada kerjasama regional di kawasan Segitiga Emas karena dibawah naungan ASEAN yang seharusnya mampu menanggulangi permasalahan drugs trafficking nyatanya terus mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas. Bahkan DrugFree ASEAN 2015 sudah mencapai penghujung tahun dengan kegiatan-kegiatan anti narkotika yang masih terus gencar dilakukan. Berkaitan dengan hal tersebut, ditemukan kenyataan bahwa keberadaan ASEAN tidak mampu mencapai keberhasilan pembangunan negara-negara anggotanya. Hal ini disebabkan oleh rasa ketidakpercayaan negara-negara anggotanya pada ASEAN dalam berbagai persoalan internal seperti yang dinyatakan pernyataan Juwono Sudarsono bahwa di masa lampau, negara-negara Asia Tenggara hampir selalu mempunyai
alasan atau dalih untuk mencurigai hubungan di antara sesama mereka sendiri (Sudarsono, 1995). Cara pemecahan masalah ini adalah dengan merumuskan suatu mekanisme otonom guna mengatasi berbagai masalah yang muncul di antara negara anggota ASEAN. Bentuk-bentuk kerjasama di bidang keamanan bersama – misalnya dalam penelitian ini perjanjian patroli perbatasan antara Thailand, Myanmar, dan Laos – bersifat positif karena mendorong tumbuhnya keyakinan dan saling percaya di antara sesama negara anggota ASEAN.
1.4.2
Konsep Keamanan Non Tradisional
Konsep ke dua yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep keamanan non tradisional. Konsep ini digunakan karena berkaitan dengan ancaman-ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh aktivitas drugs trafficking yang muncul di Asia Tenggara khususnya di kawasan Segitiga Emas. Terjadinya peningkatan aktivitas drugs trafficking di kawasan Asia Tenggara sendiri telah menjadi sebuah ancaman baru, terutama bagi generasi mendatang. Ancaman ini di dalam studi politik internasional dikategorikan sebagai masalah keamanan non tradisional. Hakekat dari masalah keamanan non tradisional adalah sukar untuk dirumuskan, bahkan sering muncul sebagai masalah “baru” dimana sumber dan ragam dari masalah tantangan keamanan non tradisional diperkirakan akan terus berlangsung di dunia internasional. Keamanan non tradisional juga dikenal sebagai isu lintas negara sehingga dampaknya tidak terbatas pada satu negara saja, tetapi cenderung melibatkan negara lain (Mochtar, 1999). Keamanan non tradisonal sendiri didefinisikan sebagai tantangan dan ancaman terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan bangsa dan negara yang timbul terutama dari aspek-aspek non militer (Caballero-Anthony, 2010). Ancaman keamanan non tradisional memiliki karakteristik umum sebagai berikut:
1. Muncul dalam waktu yang singkat dan bertansmisi dengan cepat sebagai dampak dari globalisasi dan revolusi komunikasi 2. Merupakan gejala global yang tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja, melainkan harus melalui kerjasama regional atau internasional 3. Sasarannya secara umum tidak lagi sebatas negara (kedaulatan negara atau integrasi teritorial), tetapi juga secara khusus masyarakat suatu negara Pertumbuhan ancaman dalam bidang kemanan non tradisional baik nasional maupun internasional, muncul dari berbagai bidang yang berbeda seperti perubahan iklim, infeksi wabah penyakit, gejolak keuangan, internet hacking, degenerasi ekologi, perdagangan obat-obatan terlarang, proliferasi nuklir, dan terorisme. Semua bidang-bidang tersebut sebelumnya dalam sejarah manusia tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap negara ataupun masyarakat internasional. Namun pada saat ini ancaman yang datang dari keamanan non tradisonal semakin serius dan mengkhawatirkan. Dalam penelitian ini, permasalahan drugs trafficking di kawasan Asia Tenggara akan dibahas dalam bingkai kerjasama regional antarnegara-negara yang berada dalam kawasan Segitiga Emas dimana permasalahan ini terus mengancam keamanan setiap negara di Asia Tenggara yang ikut merasakan dampak negatif dari aktivitas drugs trafficking. Drugs trafficking secara umum berdampak negatif bagi stabilitas kawasan, memberikan ancaman terhadap suatu negara dan berorientasi memberikan ancaman individu (kemanusiaan) pula. Dalam dimensi ancaman terhadap stabilitas kawasan, permasalahn drugs trafficking dapat dikategorikan sebagai kejahatan transnasional karena aktivitas peredarannya dilakukan oleh kelompok kriminal yang terorganisir.
1.5 Argumen Utama Dalam mengatasi masalah drugs trafficking, Thailand, Myanmar, dan Laos yang berada dalam kawasan Segitiga Emas memiliki kebijakan internal berupa Undang-Undang anti narkotika juga melakukan kerjasama regional yang kedua kebijakan ini saling membantu menekan angka pertumbuhan drugs trafficking pada kawasan tersebut. Sayangnya, keberadaan opium di Segitiga Emas tidak benar-benar hilang melainkan hanya berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain.
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menggali fakta atau fenomena. Sementara itu, jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual, dan aktual mengenai fakta yang diteliti. Fakta yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah kerjasama regional Segitiga Emas dalam memerangi drugs trafficking di Asia Tenggara. Dalam penelitian kualitatif ini, teknik pengumpulan data adalah dengan menggunakan triangulasi data dimana teknik ini berarti peneliti menggunakan data dari sumber dan periode waktu yang berbeda (Flick, 2004). Data yang dimaksud adalah data yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dan berasal dari dokumen, laporan penelitian, konvensi internasional, situs internet, dan penelitian-penelitian terdahulu.
1.7 Jangkauan Penelitian Untuk menghindari perluasan permasalahan, penelitian ini dibatasi pada kerjasama regional Segitiga Emas (Thailand, Myanmar, dan Laos) sebagai upaya untuk menanggulangi drugs trafficking di kawasan Asia Tenggara.
1.8 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian tentang latar belakang yang mendasari pentingnya diadakan penelitian, rumusan masalah, studi literatur, kerangka pemikiran, argumen utama, metode penelitian, jangkauan penelitian dan sistematika penulisan itu sendiri.
BAB II PERMASALAHAN DRUGS TRAFFICKING DI ASIA TENGGARA
Bab ini akan membahas gambaran umum aktivitas drugs trafficking di kawasan regional Segitiga Emas dan ancaman serta kerugian yang timbul akibat permasalahan narkotika yang dilihat dari dimensi keamanan. Problematika penanggulangan drugs trafficking di Segitiga Emas juga akan dibahas pada bab ini.
BAB III KEBIJAKAN SEGITIGA EMAS DALAM MENANGANI MASALAH DRUGS TRAFFICKING DI ASIA TENGGARA
Bab ini berisikan gambaran umum masalah drugs trafficking yang ditangani dengan berbagai kebijakan dalam negeri dan kerjasama regional yang telah ditentukan ketiga negara untuk membebaskan diri dari jerat narkotika dalam analisis deskriptif.
BAB IV SIMPULAN
Bab ini berisi pokok-pokok simpulan yang perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian.