BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Negara yang sejahtera merupakan tujuan didirikannya suatu negara,
begitu juga negara Indonesia, yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur sesuai yang tertulis dalam Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu komponen untuk mewujudkan tujuan tercapainya negara yang sejahtera adalah pemerintahan yang bersih, efektif dan bebas dari praktek kepentingan. Hal itu dapat terwujud jika para pemegang kekuasaan atau para pejabatnya melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, taat peraturan dan professional, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadinya. Namun ternyata fakta di lapangan korupsi menjadi salah satu berita yang selalu menghiasi setiap media, cetak maupun elektronik seakan seperti penyakit yang sudah membudaya di negeri ini. mendasar. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin”corruption” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental dan hukum. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi
1
penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.1 Pengertian korupsi menurut Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 dan 3, yaitu: a) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (pasal 2 ayat1) b) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang
lain
atau
korporasi,
menyalahgunakan
kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang
dapat
merugikan
keuangan
negara
atau
perekonomian negara. (pasal 3)
Tingkat korupsi suatu negara dapat dihitung dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Data tahun 2009 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada papan bawah dengan IPK 2,8. Skala IPK menunjukkan bahwa mulai dari 1 hingga 10, semakin besar nilai IPK suatu negara maka semakin bersih negara tersebut dari tindakan korupsi. Berdasar data yang diperoleh dari Transparency International Corroption Perception Index 2009 tersebut, IPK Indonesia sama dengan negara lain pada urutan 111 seperti Algeria, Djibouti, Egypt, Kiribati, Mali, Sao Tomo dan Principe, Solomon Island dan Togo. Angka ini
1
Nurdjana,IGM, 2005, Korupsi Dalam Praktek Bisnis, Gramedia Pustaka, Jakarta, hal. 7.
2
menyimpulkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang belum lepas dari persoalan korupsi.2 Korupsi sendiri menurut sifatnya dibedakan menjadi dua, yaitu korupsi yang bermotif terselubung, yang secara sepintas lalu kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata-mata. Sifat kedua adalah korupsi yang bermotif ganda yaitu seseorang yang melakukan korupsi secara lahiriah yang kelihatannya hanya bermotifkan uang, tetapi sesungguhnya mempunyai motif lain, yaitu motif kepentingan politik.3 Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan perbuatan melawan hukum, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara, yang dari segi materiil itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. Korupsi merupakan permasalahan yang sangat sulit diberantas karena sangat kompleks. Sebuah negara tak bisa berdiam diri dan membiarkan perbuatan menjadi sebuah budaya. Sudah menjadi kewajiban bagi aparat atau pejabat yang berwenang untuk menindak dan memberantas berbagai kasus korupsi. Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan menjadi kebiasaan dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu 2
Devanda,B, Kurikulum Pendidikan Anti Korupsi,www.berrydevanda.com. diakses 23 Desember 2011 3 Lopa, Baharuddin, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, penerbit buku Kompas, Jakarta. Hal.69-70
3
mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Berbagai upaya dilakukan untuk tindakan pemberantasan korupsi, seperti membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai kewenangan dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Ada beberapa upaya yang dilakukan dalam pemberantasan korupsi di negeri ini, baik preventif atau represif. Salah satu upaya yang tengah gencar dilakukan oleh KPK adalah tindakan preventif dalam upaya memerangi korupsi yaitu melaksanakan pendidikan anti korupsi untuk siswa dan mahasiswa. Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) bersama Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengimplementasikan program Pendidikan Anti Korupsi 2011. Sasarannya untuk Sekolah Dasar(SD) sampai Perguruan Tinggi(PT). Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Haryono mengatakan program ini diamanatkan UU yang memprioritaskan pendidikan sebagai salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi. Menurut dia, pendidikan anti korupsi tidak akan memaparkan definisi korupsi dan bagaimana contoh tindakan korupsi, melainkan harus diajarkan nilai-nilai positif yaitu jujur, berani, peduli, sederhana, bertanggung jawab, adil, disiplin dan gigih.4 Untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang bersih dibutuhkan sebuah sistem pendidikan anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentukbentuk korupsi, cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara terpadu mulai dari 4
Yuwanto,E.,2011, Pendidikan anti Korupsi Serentak Seluruh Indonesia,www.republika.com diakses 22 Desember 2011
4
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan anti korupsi ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis siswa. Menciptakan generasi baru yang anti korupsi merupakan sasaran utama KPK. Salah satu langkah kongkret yang dilaksanakan adalah dengan melaksanakan program pendidikan anti korupsi untuk pelajar dan mahasiswa. KPK melaksanakan program Training for Trainers (TOT) yang diikuti oleh para mahasiswa seluruh Indonesia dari 37 universitas. Tindak lanjut dari TOT adalah dilaksanakannya pendidikan anti korupsi untuk tingkat SMA dengan fasilitator yang diambil dari mahasiswa hasil TOT tersebut. Kegiatan pendidikan anti korupsi untuk siswa SMP dan SMA telah dilaksanakan di beberapa kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Materi pendidikan untuk tingkat SMA dan SMP terdiri dari pengenalan korupsi, dampak korupsi, upaya perlawanan terhadap korupsi, warung kejujuran, dan pemilihan pelajar panutan/unggulan.5 Tujuan pendidikan anti korupsi, yaitu: a) Menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan ini diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir didalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari b) Menyadari bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga penegakhukum seperti KPK, kepolisian,
5
Setyawati,2008, KPK Pemburu Koruptor, Pustaka Timur, Yogyakarta. Hal.33-34
5
jaksa agung, melainkan menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa.6 Tujuan utama pendidikan anti korupsi adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap tindakan koruptif. Pendidikan anti korupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi kemudian bangkit melawannya. Pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasi dengan nilai-nilai anti korupsi sejak dini. Pendidikan
anti
korupsi
yang diberikan
disekolah
diharapkan
mampu
menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya. Teori yang dipelajari pada pendidikan anti korupsi tersebut dapat langsung dipraktekkan dalam sebuah kegiatan nyata. Misalnya nilai kejujuran yang menjadi aspek capaian utama dalam pendidikan anti korupsi dapat dipraktekkan dengan membangun kantin kejujuran disekolah-sekolah. Kantin kejujuran merupakan upaya untuk mendidik akhlak siswa agar berperilaku jujur. Kantin kejujuran adalah kantin yang menjual segala kebutuhan anak didik baik berupa makanan, minuman serta perlengkapan siswa baik berupa alat tulis menulis. Semua dipajang dalam etalase kantin kejujuran tanpa adanya penjaga sebagaimana lazimnya sebuah kantin yang selama ini dikenal. Didalam kantin dipajang kotak uang yang berguna untuk menampung hasil transaksi siswa. Bila ada kembalian maka mereka sendiri yang menghitung dan mengambil hasil kembaliannya. Dikantin ini, dibangun kesadaran siswa untuk
6
Devanda, B, Kurikulum pendidikan Anti Korupsi, www.berrydevanda.com.diakses 23 Desember 2011
6
berbuat jujur tanpa harus diawasi oleh guru, ataupun pengelola kantin. Tujuan utamanya adalah mengukur kejujuran anak didik sehingga dengan pengalaman tersebut, mereka akan menjadi anggota masyarakat yang jujur. Penyakit korupsi juga ditolak oleh agama apapun dinegeri ini karena itu merupakan buah ketidakjujuran. Oleh karena itu sifat jujur merupakan penangkal efektif penyakit korupsi. Tanpa adanya kejujuran, praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan segala bentuk manipulasi akan tetap subur dinegara ini. Kantin kejujuran merupakan salah satu jalan untuk menanamkan sikap anti korupsi pada generasi muda yang dimulai dari sekolah. Diharapkan program kantin kejujuran ini berjalan baik dan mampu membina akhlak peserta didik agar mempunyai sifat jujur, disiplin, dan bertanggung jawab, guna menekan angka korupsi yang merajalela. Seperti halnya di Kota Yogyakarta ini sejak tahun 2008, kantin kejujuran mulai beroperasi disejumlah sekolah baik negeri ataupun swasta di Kota Yogyakarta. 7 Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, melalui Kepala Dinasnya, Syamsuri, menyebutkan bahwa Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) d Kota Yogyakarta yang sudah memiliki kantin kejujuran berjumlah kurang dari 10 sekolah, diantaranya adalah SMP 5, SMP 8, SMP 9, SMA 6, SMA 7, SMA 8, dan SMA 9.8 Berjalan atau tidaknya suatu kebijakan atau program, bisa dilihat dari proses pelaksanaannya, bagaimana program itu bisa diterima dan dijalankan 7
Widiyarso, J.,2009, Pertahankan Kantin Kejujuraan Meski Merugi, www.gudeg.net.com. Diakses 22 Desember 2011 8 _,2010, Belum Semua Sekolah Miliki Kantin Kejujuran, www.bataviase.com. Diakses 23 Desember 2011
7
sesuai tujuannya. Berbagai respon dan sikap siswa tentu saja akan berpengaruh pada program ini. Respon dan sikap yang ditunjukkan siswa dalam pelaksanaan kantin kejujuran erat kaitannya dengan makna pendidikan anti korupsi dan makna kantin kejujuran bagi mereka. Sebuah pemaknaan akan berpengaruh pada sikap perilaku seseorang terhadap sesuatu itu. Sama halnya dengan siswa, bagaimana mereka memaknai pendidikan anti korupsi dalam bentuk kantin kejujuran itu. Apakah mereka akan memiliki sifat jujur yang menjadi aspek utama pencapaian program ini ataukah mereka cenderung acuh dan malah menjadikan kantin kejujuran sebagai sarana untuk berbuat kecurangan, seperti halnya yang terjadi pada kantin-kantin kejujuran pada umumnya yang mengalami kerugian. Menurut Syamsuri, meski disinyalir sebagian besar mengalami kerugian, keberadaannya masih dirasa perlu untuk dipertahankan pada tahun-tahun mendatang.9 Berdasarkan permasalahan diatas, maka menjadi alasan bagi penulis untuk meneliti bagaimana pemaknaan kantin kejujuran bagi siswa dalam upaya menanamkan pendidikan anti korupsi pada siswa itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah “Bagaimana siswa memaknai kantin kejujuran di SMP 9 Kota Yogyakarta?”
9
Widiyarso, J.2009, Pertahankan Kantin Kejujuran Meski Merugi, www.gudeg.net.com. Diakses 22 Desember 2011
8
C.
Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui makna kantin kejujuran bagi siswa di SMP 9 Kota Yogyakarta.
D.
Manfaat Penelitian. Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan gambaran mengenai pelaksanaan program pendidikan anti korupsi disekolah. 2. Memberikan pengetahuan kepada siswa tentang bahaya korupsi dan upaya penanggulangannya.
E.
Kerangka Teori 1. Teori Konstruksi Sosial Berger banyak “berhutang budi” pada fenomenologi Alfred Schutz,
terlebih dalam hal “pengetahuan” dan makna. Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yakni: dunia sehari-hari, sosialitas, dan makna (Susan,2003:46). Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari kenyataan (the first order of reality). Ia menjadi dunia yang fundamental dan esensial yang terjadi setiap hari selalu memiliki makna-makna. Atau berbagai makna senantiasa mengiringi tindakan sosial. Dibalik tindakan sosial pasti ada berbagai makna yang” bersembunyi atau melekat” Sumbangan Schutz yang utama bagi gagasan fenomenologi, terutama tentang makna dan bagaimana membentuk struktur sosial, adalah tentang 9
“makna” dan “pembentukan makna”. Orde asasi dari masyarakat adalah dunia sehari-hari, sedangkan makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense (dunia akal sehat). Dunia akal sehat terbentuk dalam percakapan sehari-hari. Common sense merupakan pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini didapatkan melalui sosialisasi dari orangorang sebelumnya, terlebih dari significant others. Common sense terbentuk dari tipifikasi yang menyangkut pandangan dan tingkah laku, serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi kolektif. Berger tidak hanya berkutat dengan makna dan sosialisasi namun juga tentang sosiologi pengetahuan. Berger tetap menekuni makna namun dalam skala yang lebih luas dan menggunakan sosiologi pengetahuan. Dalam studi ini, Berger juga memperhatikan makna tingkat kedua, yakni legitimasi. Legitimasi adalah pengetahuan yang diobjektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial (Berger,1991:36). Legitimasi merupakan objektivasi makna tingkat kedua, yang merupakan pengetahuan berobyektivasi kognitif dan normatif, karena tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilainilai moral. Penelitian makna melalui sosiologi pengetahuan, mensyaratkan penekunan pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah yang menjadi kunci teori konstruksi sosial Peter L Berger dan Thomas Luckmann (1990).
10
“Kenyataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia ( yang kita tidak bisa meniadakannya dengan angan-angan). “Pengetahuan” adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karekteristik-karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan dalam pengetahuan sehari-hari. Atau secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge ( cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal sehat). Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari.(Berger dan Luckmann, 1990:34). Sosiologi pengetahuan dalam pemikiran Berger dan Luckmans memahami kehidupan dalam proses dialektis, antara self (individu) dan dunia sosiokultural. Proses dialektis itu mencakup tiga moment simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia), obyektivasi (interaksi dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidetifikasi dan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.
11
Fase
eksternalisasi
dan
obyektivasi
merupakan
pembentukan
masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer. Yaitu saat dimana seseorang berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. Fase kedua ini membuat orang memandang masyarakat sebagai realitas obyek disebut juga man in society. Tahap internalisasi yang lebih lanjut agar pranata itu dapat dipertahankan dan dilanjutkan haruslah ada pembenaran terhadap pranata tersebut. Tetapi pembenaran itu juga dibuat oleh manusia sendiri melalui proses legitimasi yang disebut obyektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan hal yang obyektif, independen, dan tak tertolak yang dimiliki individu secara subyektif. Ketiga moment dialektis itu mengandung fenomena-fenomena sosial yang saling bersintetis dan memunculkan konstruksi kenyataan sosial yang dilihat dari asal mulanya merupakan hasil ciptaan manusia, bukan interaksi subyektif. Struktur kesadaran subyketif individu dalam sosiologi pengetahuan menempati posisi yang sama dalam memberikan penjelasan kenyataan sosial. Setiap individu menyerap bentuk tafsir tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia obyektif. Dalam proses internalisasi, tiap individu berbeda-beda dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih menyerap aspek ekstern namun ada juga yang lebih menyerap bagian intern. Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan dimensi obyektif dan dimensi subyektif kenyataan sosial itu. Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger rmembutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan dipraktekkan. 12
Pelembagaan pandangan atau pengetahuan oleh masyarakat itu akhirnya memperoleh generalisasi yang paling tinggi, dimana dibangun suatu dunia arti simbolis yang universal, yang kemudian disebut sebagai pandangan hidup atau ideologi. Pandangan hidup yang diterima umum itu dibentuk untuk menata dan memberikan legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehati-hari. Legitimasi disini adalah proses penjelasan (unsur kognitif) dan pembenaran (unsur normatif) dari suatu interaksi antara individu. Tentang
pengetahuan,
Berger
banyak
mengambil
pemikiran
fenomenologi Alfed Schutz. Pemikiran fenomenologi Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yaitu dunia sehari-hari, sosialitas, dan makna. Dunia sehari-hari merupakan dunia yang paling fundamental dan dunia terpnting bagi manusia. Dia menjadi orde tingkat satu the first order of reality yang sekaligus menjadi sumber dan dasar bagi pembentukan orde-orde selanjutnya. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren. Makna dan pembentukan makna merupakan sumbangan Schutz yang penting dan orisinil kepada gagasan fenomenologi tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur social. Kalau orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari, maka makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense
13
yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Common
sense
didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Penggolongan makna kedalam berbagai tipe kemudian menghasilkan apa yang oleh Schutz dinamakan daerah makna yang terbatas (the finite province of meaning). Suatu daerah makna berbeda dengan daerah makna yang lain karena masing-masing memiliki gaya kognitif (cognitive style) yang berbeda dengan member tekanan yang berbeda pada kenyataan (The accent of reality). Tekanan khusus kepada realitas yang terjasi dalam daerah makna dapat terjadi kalau disana juga terjadi ephoce, yaitu menghilangkan keragu-raguan mengenai segi-segi tertentu kenyataan tersebut, sekurang-kurangnya buat sementara waktu. Jurgen Habermas memberikan pernyataan bahwa pengetahuan selalu berkaitan
dengan
kepentingan.
Menurut
Habermas,
upaya
memisahkan
pengetahuan dari kepentingan sebenarnya hanya bersifat semu dan palsu, bahkan menjadi alat terselubung bagi suatu kepentingan tersendiri. Bentuk pengetahuan adalah bentuk kepentingan dari mana pengetahuan itu muncul. Common sense sebagai pengetahuan pertamapun tidak lepas dari kepentingan dan dominasi keluarga atau orang-orang sebelumnya. Pengetahuan dan kepentingan membentuk makna dalam interaksi sosial, dan tindakan yang dapat muncul dalam jaringan makna dalam dunia sosial.
14
Pemaknaan adalah fakta terbatasnya individu dan kelompok-kelompok sosial di wilayah pengetahuan dan kepentingan mereka.dalam fenomenologi mereka memiliki daerah makna sendiri-sendiri, dan oleh sebab itu struktur sosial dan dunia kehidupan itu terus bergerak sejauh pemaknaan dan kepentingankepentingan memperjuangkan dirinya secara subjektif. Metodologi Berger mengacu pada tiga poin penting dalam kerangka teori Berger, yang berkaitan dengan arti penting yang dimiliki aktor sosial, yakni: a) Semua manusia memiliki makna dan berusaha untuk dapat hidup dalam satu dunia yang bermakna. b) Makna pada manusia pada dasarnya bukan hanya dapat dipahami oleh diri dirinya sendiri, tetapi juga dapat dipahami oleh orang lain. c) Terhadap makna, beberapa kategori dapat dilakukan. Pertama, makna dapat digolongkan menjadi makna yang secara langsung dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya; dan makna yang tidak segera tersedia secara ‘at-hand’ bagi individu untuk keperluan praktis membimbing tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, makna dapat dibedakan menjadi makna hasil tafsiran orang awam, dan makna hasil tafsiran ilmuwan sosial. Ketiga, makna dapat dibedakan menjadi makna yang diperoleh melalui interaksi tatap muka, dan makna yang tidak diperoleh dalam interaksi (misalnya melalui media massa). Sosiologi menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Karena itu, Berger menjadikan interaksi sosial sebagai subject matter sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan individu dengan masyarakat. Individu adalah 15
acting subject, makhluk hidup yang senantiasa bertindak dalam kehidupan sehariharinya. Tindakan individu dilandaskan pada makna-makna subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan atau saat tindakan itu dilaksanakan. Masyarakat merupakan suatu satuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari relasi-relasi antar manusia yang relatif besar dan berpola (Samuel, 1993:3). Dalam kasus korupsi di Indonesia awalnya adalah dari tahap objektivasi. Masyarakat memandang bahwa tips, suap, upeti adalah kegiatan rasional untuk mencapai tujuan. Praktek tersebut bisa dibuktikan dalam berbagai sendi kehidupan seperti pengurusan perizinan, pendidikan dan perdagangan. Kemudian masyarakat mulai mengkonstruksikan dalam dirinya (internalisasi) bahwa korupsi adalah hal yang wajar dan terkadang wajib dilakukan agar urusan cepat selesai. Ketika semua orang berfikiran sama maka terjadilah konstruksi massa yang membenarkan logika berfikir instan tersebut. Pada tahap eksternalisasinya, terjadilah tindakan korupsi secara berjamaah. Perilaku meniru budaya korupsi terjadi karena dalam tahap objektivasi mereka melihat praktek tersebut menguntungkan. Sirkulasi ini harus dihentikan agar budaya korupsi bisa dihapus dari memori dan perilaku bangsa ini. Memutus mata rantai budaya korupsi memang bukan perkara mudah, namun bukan tidak mungkin dilakukan. Diperlukan suatu
16
konstruksi budaya yang mengajarkan, membiasakan, dan menjadi perilaku seharihari. Sebuah budaya yang menekankan pentingnya menempuh proses yang benar dan bersih. Budaya ini harus meyakinkan setiap individu bahwa menempuh sebuah proses yang benar dan bersih bukanlah suatu yang rumit, lama, dan mahal. Budaya ini adalah budaya yang penuh keadilan, memperlancar urusan dan meminimalkan proses korupsi. Proses internalisasi budaya bisa dilakukan di keluarga, sekolah, kampus dan ruang public. Inti dari internalisasi budaya ini adalah komunikasi yang terbuka dan keteladanan yang diberikan. Di sekolah nilai kejujuran ditanamkan melalui program kantin kejujuran yang digalakkan oleh Dinas Pendidikan. Sosialisasi dan penanaman apa itu arti kejujuran oleh orang tua dan guru pada siswa baik dilingkup keluarga maupun sekolah, sedikit banyak telah memberikan pengetahuan dasar pada siswa tentang kejujuran. Materi tentang kejujuran kemudian dipraktekkan secara langsung oleh siswa melalui kantin kejujuran. Interaksi siswa dikantin kejujuran menciptakan makna tersendiri bagi siswa tentang kejujuran dan kantin kejujuran itu dimata para siswa. Pemaknaan siswa tentang kantin kejujuran yang muncul sangat beragam. Pemaknaan itu yang kemudian mendasari berbagai tindakan mereka di lingkungan sekolah, terkhususkan lagi dikantin kejujuran.
17
2. Kajian Pustaka Untuk menghindari terjadinya duplikasi temuan yang membahas permasalahan yang sama dari suatu karya dan memperoleh landasan teori yang jelas, maka penulis akan memaparkan sejumlah karya disekitar pembahasan dengan topik ini. Hasil temuan tersebut nantinya akan penulis jadikan perbandingan dalam mengupas permasalahan tersebut sehingga diharapkan akan muncul penemuan baru. Penelitian dengan judul “Nilai-nilai Anti Korupsi dalam Pendidikan Agama Islam (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam terhadap
Pendidikan
Anti
Korupsi)
oleh
Bhayu
Sulisyawan,
Fakultas
Tarbiyah,UMY, 2008. Penelitian ini berjenis penelitian library research dengan metode pengumpulan data menggunakan cara menelaah buku dengan cara memperoleh keterangan-keterangan mengenai suatu objek pembahasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pendidikan anti korupsi yang direlevansikan dengan tinjauan normatif aspek kurikulum dan Pendidikan Agama Islam. Penelitian ini mencoba menampilkan model pendidikan anti korupsi dalam Pendidikan Agama Islam. Pendidikan anti korupsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah program pendidikan anti korupsi yang secara konsepsional disisipkan pada mata pelajaran yang sudah ada di sekolah dalam bentuk perluasan tema yang sudah ada dalam kurikulum dengan menggunakan pendekatan
18
konstektual pada pembelajaran anti korupsi, yakni dengan model pendidikan anti korupsi integratif-inklusif dalam Pendidikan Agama Islam.10 Penelitian dengan judul” Perilaku Jujur dalam Berkonsumsi di Kantin Kejujuran SMA N 7 Yogyakarta” oleh Acep Iqbal Syamsul Bilad, UIN Sunan Kalijaga, 2011. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa secara umum program kantin kejujuran cukup bagus, dan tingkat kejujuran siswa hampir mendekati target yang diharapkan. Di samping itu, masih ada beberapa kekurangan tersebut antara lain, managemen pengelolaan yang masih sangat kurang tertata dengan rapi, kerja sama dari semua pihak pun masih kurang baik. Terakhir, dan tidak kalah pentingnya yakni sosialisasi serta pengawasan yang sangat kurang efektif. Hal ini merupakan salah satu penyebab kantin vakum atau berhenti operasionalnya untuk sementara waktu.11 Penelitian dengan judul “ Penyelenggaraan Kantin Kejujuran sebagai Implementasi Pendidikan Anti korupsi di SMP N 10 Malang oleh Bambang Wibowo, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, 2011. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa program kantin kejujuran dilaksanakan untuk menanamkan sikap anti korupsi pada siswa. Program ini berjalan dengan baik dan pengelolaannya dilaksanakan dengan menjalin kerjasama dengan para siswa itu sendiri sehingga 10
11
Sulistiawan. B., 2008, Nilai-Nilai Anti Korupsi Dalam Pendidikan Agama Islam (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam Terhadap Pendidikan Anti Korupsi, www.scribd.com. diakses 28 Desember 2011 Bilad. A. I. S., 2011, Perilaku Jujur Dalam Berkonsumsi di Kantin Kejujuran SMA N 7 Yogyakarta, . http://digilib.uin-suka.ac.id. Diakses 28 Desember 2011
19
dalam pelaksanaannya segala hambatan yang muncul akan lebih mudah dievaluasi dan diberikan jalan keluarnya.12 Pemaknaan bagi setiap orang merupakan hal yang penting guna mendasari bagaimana mereka menentukan sikap dan tindakan terhadap sesuatu. Begitupun pemaknaaan siswa terhadap adanya kantin kejujuran. Sebagaimana diketahui bahwa kantin kejujuran merupakan salah satu perwujudan pendidikan anti korupsi di negara ini sejak dicanangkan oleh Kemendikbud bekerjasama dengan KPK tahun 2008. Kantin yang diharapkan mampu memupuk dan menanamkan nilai-nilai anti korupsi dalam diri siswa sejak dini ternyata dalam faktanya masih terdapat banyak kerugian atau ketidakjujuran yang terjadi dalam proses transaksi kantin kejujuran itu sendiri. Bahkan tak jarang pula kantin-kantin tersebut mulai bangkrut dan gulung tikar. Perilaku tidak jujur siswa tidak serta merta terjadi begitu saja. Hal ini terkait dengan bagaimana siswa memaknai kantin itu sendiri, apakah kantin bermakna positif sehingga siswa dengan sukarela atau dengan tujuan tertentu melakukan tindakan yang jujur di kantin tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Atau bahkan sebaliknya, siswa menganggap kantin sebagai salah satu lahan untuk berbuat curang yaitu mencuri karena dikantin kejujuran tidak ada guru atau karyawan yang mengawasi sehingga siswa bisa dengan leluasa mengambil barang tanpa membayar.
12
Wibowo. W.,2011, Penyelenggaraan Kantin Kejujuran Sebagai Implementasi Pendidikan Anti Korupsi di SMP N 10 Malang, http://karya-ilmiah.um.ac.id. diakses 28 Desember 2011
20
Bagaimana pemaknaan siswa terhadap kantin kejujuran menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji mengingat banyaknya kasus kerugian di kantin kejujuran. Tema ini memang telah banyak diteliti terutama mengenai proses pelaksanaan program kantin kejujuran, penanaman nilai anti korupsi dari segi agama dan lain-lain. Namun dalam penelitian kali ini ada perbedaan yang bisa dikatakan baru untuk diteliti, yaitu pemaknaan kantin kejujuran oleh siswa dilihat secara sosiologis. Selain itu penelitian ini mengambil subjek penelitian siswa SMP N 9 Yogyakarta,yaitu siswa kelas II dan III. Selain itu, SMP N 9 juga memiliki siswa yang masuk dalam kategori siswa KMS, yaitu peserta didik penduduk daerah yang sedang menempuh pendidikan pada jenjang pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK di daerah atau diluar daerah dalam propinsi DIY.13 Siswa KMS merupakan siswa dengan latar belakang ekonomi yang rendah. Latar belakang ekonomi keluarga bisa saja menjadi salah satu hal yang mempengaruhi seorang siswa dalam memaknai keberadaan kantin kejujuran. SMPN 9 menampung siswa KMS dengan jumlah 55 ditahun pelajaran 2012/2013. Dari paparan diatas bisa diasumsikan bahwa kerugian yang terjadi dikantin kejujuran karena siswa tidak membayar disebabkan salah
satunya karena
ketidakmampuan ekonomi. F.
Metode Penelitian Dalam memecahkan suatu masalah digunakan metode tertentu yang
sesuai dengan pokok masalah yang akan dibahas. Disamping itu metode-metode 13
-,2009, Peraturan Walikota Yogyakarta No 04 tahun 2009 tentang Pedoman Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah, pendidikan.jogja.go.id diakses 13 Agustus 2012
21
tertentu dipilih agar penelitian dapat menghasilkan data-data positif dan dipercaya kebenarannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini yang berkaitan dengan metode penelitian adalah : 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi,
yang
mampu
mengungkap
berbagai
macam
pemaknaan siswa tentang kantin kejujuran. Berbagai makna tersebut dipengaruhi oleh jenjang kelas, lingkungan keluarga, sosialisasi oleh guru dan pengalaman siswa dalam interaksi sosialnya di sekolah, khususnya dikantin kejujuran. Dengan kualitatif dapat diungkapkan secara nyata kaitan antar berbagai gejala social yaitu pemaknaan siswa tentang kantin kejujuran dengan berbagai factor yang melatarbelakanginya. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan disebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Yogyakarta, yakni di SMP N 9 Kota Yogyakarta. Dipilihnya sekolah ini karena memiliki kantin kejujuran yang bertujuan untuk mengajarkan siswa tentang perilaku jujur dan dalam upaya melaksanakan pendidikan anti korupsi bagi siswa di sekolah. Pemilihan juga didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan tempat tinggal peneliti sehingga mudah dijangkau dan peneliti dapat cukup memiliki akses dalam memasuki lokasi penelitian dan berinteraksi dengan siswa di dalam lokasi penelitian.
22
3. Subjek Penelitian Subyek penelitian adalah sumber tempat memperoleh informasi, yang dapat diperoleh dari seseorang maupun sesuatu, mengenai keterangan yang diperlukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi subyek pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII dan IX di SMP N 9 Kota Yogyakarta. Siswa kelas VIII dan kelas IX dipilih sebagai informan karena pelajar kelas VIII berada dalam kondisi baru mengenal kantin kejujuran, sehingga bisa diasumsikan mereka masih awam terhadap kantin kejujuran. Sedangkan untuk siswa kelas IX mereka sudah sangat mengenal kantin kejujuran. Oleh karena itu bagaimana kedua jenjang kelas ini baik kelas VIII yang masih baru dengan kantin kejujuran atau pun kelas IX yang sudah sangat paham dengan kantin kejujuran akan memunculkan berbagai pemaknaan yang berbeda tentang kantin kejujuran. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu siswa kelas VIII dan kelas IX di SMP N 9. Teknik pengambilan informan memperhatikan berbagai faktor berikut ini yaitu diambil berdasarkan atas jenjang kelas yakni kelas VIII dan kelas IX, berdasar jenis kelamin yaitu siswa perempuan dan siswa laki-laki, kemudian juga berdasarkan masuk tidaknya mereka dalam daftar siswa KMS di sekolah itu. Diharapkan dari berbagai karakteristik ini dapat diperoleh informasi sebanyak-banyaknya mengenai pemaknaan kantin kejujuran dan tindakan siswa berdasarkan atas kriteria tersebut. Informan dalam penelitian ini sebanyak 15 siswa, dan sudah mewakili data yang dibutuhkan karena informan-informan itu berasal dari kelas yang berbeda, jenis kelamin yang berbeda dan masuk tidaknya
23
mereka dalam siswa KMS, serta berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda pula. Sedangkan sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi atau wawancara. Sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu berupa data-data tertulis seperti data guru koordinator kantin, karyawan dan siswa, struktur organisasi, daftar inventaris,
laporan
keuangan kantin dan lain-lain. G.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian dilakukan pengumpulan data dilakukan dengan: 1. Observasi Pengumpulan data melalui observasi dilakukan dengan melihat dan
mendengar secara langsung kegiatan siswa ketika membeli makanan dan minuman di kantin kejujuran sehingga bisa didapat gambaran mengenai berbagai kegiatan siswa di kantin kejujuran, termasuk mengamati siswa melalui kamera CCTV sehingga diperoleh gambaran jelas bagaimana siswa berinteraksi dan bertindak di kantin kejujuran. 2. Wawancara Mendalam Wawancara mendalam (in-depth interview) digunakan untuk memperoleh informasi detail mengenai latar belakang social ekonomi, keluarga, uang saku, pemaknaan siswa, bahkan informasi lain yang berguna untuk penelitian ini. dari wawancara mendalam dengan informan, peneliti memperoleh data yang mendukung dan detail tentang makna kantin dan factor yang melatarbelakangi pemaknaan tersebut.
24
3. Dokumentasi Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekap cashflow yang diperoleh dari coordinator dan catatan harian kantin yang dimiliki oleh penulis sehingga bisa memperoleh gambaran tentang aktivitas keuangan dalam hal ini untung rugi yang ada di kantin. H.
Teknik Analisa Data Proses analisa data dilakukan mulai awal pengumpulan data
dilapangan sampai pada penulisan laporan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Reduksi data Reduksi data dilakukan dengan membaca data dan menganalisanya sehingga tetap dalam focus penelitian yaitu tentang makna siswa pada kantin kejujuran yang dilatarbelakangi berbagai faktor, begitu juga pergeseran makan yang terjadi diantara siswa tentang kantin kejujuran itu sendiri. 2. Display data Data yang dijabarkan dalam penelitian ini berupa data cashflow, tabulasi berbagai makna dan factor yang melatarbelakanginya, sehingga nalisis pemaknaan siswa terhadap kantin kejujuran beserta kaitan dan sebab akibatnya dengan berbagai factor, yaitu lingkungan sekolah, keluarga dan teman sepermainan. 3. Verifikasi data Verifikasi data merupakan penarikan kesimpulan, yaitu berisi tentang awal mula program kantin kejujuran, fakta-fakta dilapangan, dan pergeseran makna yang terjadi dalam prosesnya.
25