Bab I Pendahuluan
1.1 Latar belakang Manusia merupakan salah satu makhluk sosial. Ia hidup dengan akal dan kemampuan yang lebih daripada makhluk lainnya. Untuk itulah, manusia dapat berkembang, menyesuaikan seiring dengan perkembangan zaman. Salah satunya adalah dalam memanfaatkan sumber daya di sekitar mereka untuk bertahan hidup. Dahulu sebelum mencapai masa sekarang, manusia bertahan hidup dengan cara mengumpulkan makanan (food gathering). Pada masa ini, manusia mengumpulkan makanan yang berada di sekitar mereka. Barulah kemudian seiring dengan ditemukannya alat-alat perburuan sederhana, manusia memasuki masa berburu di mana mereka melakukan perburuan untuk mendapatkan makanan. Barulah setelah kembali ditemukannya alat-alat pertanian, manusia memasuki masa food producing atau masa bercocok tanam. Dari sini dapat dilihat bagaimana manusia dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya untuk bertahan hidup. Seiring dengan perkembangan zaman, manusia mulai memproduksi teknologiteknologi baru yang digunakan untuk kemudahan hidup mereka. Namun sayangnya, teknologi yang pada awalnya digunakan untuk mempermudah dan memenuhi kebutuhan kehidupan manusia, justru menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan
sekitar dikarenakan manusia mulai memasuki fase masyarakat beresiko atau the risk society. Hal ini ditandai dengan penggunaan akal yang lebih dari masa sebelumnya. Dengan akal inilah manusia seolah-oleh mulai dikuasai oleh perkembangan ilmu, teknologi, dan pemikiran rasional. Akibatnya, masyarakat tidak lagi percaya dengan hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal supranatural, yang sebelumnya menjadi batasbatas yang dipercayai manusia untuk tidak menggunakan sumber-sumber daya secara berlebihan. Selain ditandai dengan penggunaan akal yang lebih dari sebelumnya, kondisi masyarakat yang semakin mengglobal juga menjadi penyebab meluasnya dampak negatif penggunaan teknologi terhadap lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat pada masa sekarang dimana kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Pencemaran air sungai akibat limbah industri, kerusakan pantai akibat sampah, bencana tanah longsor dan banjir yang diakibatkan oleh hutan yang gundul, adalah sebagian akibat yang ditimbulkan
dari penggunaan sumber-sumber daya dan
teknologi secara tidak bertanggung jawab. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya lingkungan saja yang terkena dampak negatif dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, tetapi juga termasuk satwa yang berada di dalamnya. Manusia yang pada awalnya menggunakan satwa untuk memenuhi kebutuhan pangan serta digunakan tenaganya, mulai memperlakukan satwa secara eksploitatif dan tidak bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya terjadi pencurian dan perdagangan bagian-bagian tubuh satwa secara
illegal. Seperti gading, kulit, bulu, atau bahkan sirip ikan. Selain kasus pencurian dan perdagangan bagian tubuh satwa, ada pula tindakan manusia yang menggunakan sarwa sebagai alat uji percobaan obat-obatan serta kosmetik yang nantinya akan diperuntukkan bagi manusia, tanpa mempedulikan keberlangsungan satwa yang dijadikan alat uji coba. Serta masih banyak tindakan-tindakan tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh sekelompok manusia terhadap satwa. Tindakan-tindakan tak bertanggung jawab diatas merupakan salah satu dampak dari semakin berkembangnya teknologi serta akal pikir dan rasionalitas manusia, yang tidak lagi takut akan hal-hal yang berbau supranatural, yang dahulunya menjadi pembatas supaya manusia tidak bertindak secara berlebihan. Manusia kini lebih mementingkan keuntungan dan prestise daripada memikirkan keseimbangan alam. Sebagai contoh perdagangan gading gajah illegal terus dilakukan karena harga gading gajah yang dapat mencapai harga puluhan, bahkan ratusan juta. Tentu ini memberikan keuntungan bagi para penjual gading gajah. Sementara penggunaan kulit dan bulu hewan dalam industri garmen dapat mengangkat prestise dari penggunanya, mengingat harga pakaian yang terbuat dari kulit atau bulu hewan memiliki harga yang cukup mahal. Adapula trend konsumsi sirip ikan seperti ikan hiu yang dipercaya dapat meningkatkan stamina dan sebagainya. Akibat dari tindakan-tindakan tersebut, mengakibatkan ancaman bagi jumlah habitat satwa tersebut. Hal ini dikarenakan untuk mendapat gading, kulit, bulu, atau sirip, manusia haruslah terlebih dahulu membunuh hewan-hewan tersebut. Akibatnya, banyak satwa yang mendekati atau
bahkan telah punah. Seperti jumlah gajah yang semakin berkurang atau harimau tutul yang kini keberadannya sulit dideteksi yang diakibatkan oleh perburuan kulit macan tutul. Permasalahan-permasalahan inilah yang menggelitik dan membentuk kesadaran sekelompok orang untuk bergerak sebagai upaya menghentikan tindakan manusia yang semakin eksploitatif dan meminimalisir kepunahan sebagai dampaknya demi menyelamatkan tidak hanya lingkungan, tetapi juga hak hidup satwa itu sendiri. Di dunia internasional pergerakan yang mengusung animal rights atau hakhak satwa berkembang dengan cukup pesat. Berbagai organisasi tumbuh dan berkembang. Bahkan perkembangan dan pengaruhnya hingga melampaui batas negara. Salah satu organisasi yang cukup memiliki pengaruh yang cukup kuat adalah PETA. PETA merupakan singkatan dari People For The Ethical Treatment of Animals. Merupakan suatu organisasi yang memperhatikan hak-hak satwa, yang berdiri semenjak tahun 1980 di Norfolk Virginia. Tak kurang dari 1,6 juta anggota dan pendukung tersebar di berbagi belahan dunia. PETA kini dipimpin oleh seorang presiden bernama Ingrid E Newkirk. Dalam melakukan kampanye, PETA menggunakan berbagai media di dalam menyampaikan pesan-pesannya. Baik itu melalui media cetak maupun media elektronik. Seperti melalui pesan-pesan kampanye yang ditampilkan di koran maupun majalah, pada papan-papan iklan di pinggir jalan, atau bahkan dengan melakukan kampanye turun ke jalan, dengan mengajak tidak hanya kalangan masyarakat biasa. Namun juga dari kalangan
selebritas dunia. Selain media cetak, media elektronik seperti internet juga menjadi media yang ampuh dalam menyebarkan pesan-pesan yang dibawa oleh PETA. Hal ini dikarenakan internet merupakan salah satu media yang dapat diakses oleh hampir seluruh masyarakat di seluruh dunia. Melalui internet inilah pengaruh kampanye dari PETA mulai tersebar di berbagai belahan dunia. Hal ini menyebabkan munculnya gerakan-greakan serupa yang bermunculan di negara-negara lainnya. Gerakangerakan ini membentuk berbagai macam organisasi, dengan kampanye dan wacana yang hampir sama. Gerakan yang merupakan bagian dari gerakan lingkungan ini juga menyebar hingga ke Indonesia. Salah satu organisasi yang mewadahi gerakan ini adalah WWF Indonesia atau World Wide Fund for Nature. WWF Indonesia merupakan salah satu bagian dari WWF Internasional yang berpusat di Kanada. WWF Indonesia berdiri dan mulai beroperasi di Indonesia semenjak tahun 1998. Tidak seperti PETA, WWF tidak hanya memusatkan perhatiannya pada kesejahteraan satwa, namun juga konservasi atas lingkungan tertentu. Selain WWF, banyak organisasi-organisasi yang berdiri di kota-kota besar seperti Jakarta, yang membawa misi kampanye terhadap kepedulian hak satwa. Sebagai contoh seperti JAAN Indonesia atau Jakarta Animal Aid Network, Animal Defenders, Garda Satwa, Welfarian Indonesia, dan lain sebagainya. Adapula organisasi yang mengkhususkan penyelamatan pada satwa tertentu saja. Sebagai contoh seperti sebuah organisasi yang menamakan dirinya
Orangutans, yang berkonsentrasi pada konservasi kehidupan dari orang utan yang kini hidupnya terancam akibat perburuan liar yang dilakukan oleh manusia. Pengaruh kampanye organisasi-organisasi ini ternyata juga sampai di kota Yogyakarta. Gaung pergerakan ini menyebabkan munculnya organisasi gerakan serupa. Salah satu organisasi mengenai gerakan hak satwa ini adalah Animal Friends Jogja. Animal Friends Jogja merupakan organisasi dengan mengusung kepedulian hak satwa yang pertama kali berdiri di kota Yogyakarta. Organisasi ini dapat dibilang berbeda apabila dibandingkan dengan organisasi sosial yang banyak berdiri di kota Yogyakarta. Hal ini dikarenakan, organisasi ini, lebih berkonsentrasi pada hak-hak satwa. Hal ini tentulah didasarkan pada pemikiran dan sebab-sebab tertentu, yang membentuk suatu ideologi, sehingga organisasi ini didirikan dan dijalankan dengan lebih memilih untuk memperjuangkan hak-hak satwa, dibandingkan mengekor organisasi sosial yang bergerak di bidang kemanusiaan. Animal Friends Jogja sendiri bersifat non profit yang berkonsentrasi pada kepedulian hak satwa melalui program yang dibawanya. Program-program tersebut dijalankan berdasarkan konsep 5 kebebasan (five of freedoms) yang dikemukakan di Inggris pada tahun 1965 yakni bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas berperilaku normal dan alami, serta bebas dari rasa stress dan tidak tertekan (http://www.profauna.org/)
Organisasi ini tidak hanya menyampaikan kampanye mengenai hak-hak satwa secara internal saja. Melainkan juga mengajak masyarakat luas untuk turut peduli dengan hak-hak satwa, sekaligus mewujudkannya dalam tindakan sehari-hari. Berbagai cara dilakukan oleh organisasi ini dalam menyampaikan dan menyebarkan ideologi yang mereka bawa, melalui kampanye-kampanye tertentu di media sosial ataupun turun langsung ke jalan, juga melalui program-program yang mereka laksanakan.
1.2 Rumusan masalah a. Mengapa organisasi Animal Friends Jogja menjalankan organisasi gerakan hak satwa? b. Bagaimana bentuk gerakan yang dilakukan oleh Animal Friends Jogja dalam mewujudkan hak-hak satwa?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan mendasar mengapa Animal Friends Jogja melakukan gerakan memperjuangkan hak-hak kesejahteraan satwa. Hal ini dikarenakan, organisasi ini berbeda dari organisasi sosial lain, yang lebih banyak bergerak dibidang kemanusiaan. Perbedaan ini tentulah dilandasi oleh kesadaran, pemikiran, maupun sebab-sebab tertentu, sehingga organisasi ini didirikan
dan dijalankan dengan lebih berkonsentrasi pada hak-hak kesejahteraan satwa. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah juga untuk mengetahui, bagaimana ideologi tersebut diimplementasikan dan disebarkan kepada masyarakat
1.4 Kerangka pemikiran 1.4.1
Kajian Pustaka
Gerakan hak satwa merupakan salah satu gerakan yang baru berkembang secara signifikan di Indonesia. Hal ini terlihat dari mulai banyaknya berdiri organisasi-organisasi serupa di Indonesia. Seperti WWF, Animal Defenders, JAAN, dan masih banyak lagi organisasi yang menekankan kepeduliannya pada hak-hak satwa. Namun di negara barat sendiri, organisasi dan gerakan ini sudah berkembang dengan cukup lama. Di negara barat seperti Amerika dan Perancis sendiri, pergerakan hak satwa sudah mulai memfokuskan pada penggunaan satwa dalam industri dan gaya hidup veganisme di masyarakat luas. Di Amerika, seperti yang tertulis pada jurnal Shifting Symbolic Boundaries: Cultural Strategies of The Animal Rights Movement yang ditulis oleh Elizabeth Cherry, bahwa pergerakan hak satwa di Amerika berkembang sangat pesat. Katakanlah apabila dibandingkan dengan negara lain seperti Perancis. Hal ini dikarenakan di Amerika, organisasi gerakan hak satwa memiliki anggota dua kali lebih banyak. Selain itu, di Amerika pula, sudah banyak tersedia toko-toko sekaligus rumah makan yang dikhususkan bagi para vegetarian. Hal inilah yang menyebabkan
pergerakan hak satwa di Amerika dan Perancis, mulai memiliki perbedaan tujuan. Namun, meskipun memiliki tujuan yang berbeda, namun pergerakan hak satwa di Amerika dan Perancis memiliki kesamaan strategi dalam menjalankannya. Strategi tersebut adalah melalui pendekatan kultural dari level personal, hingga ke level masyarakat. Pendekatan kultural ini dilakukan untuk merubah gaya hidup masyarakat yang semula menempatkan satwa seolah-olah berada pada level dibawah manusia, yang menyebabkan terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap satwa,
untuk berbuat secara lebih manusiawi terhadap satwa. Dalam
melakukan perubahan ini, aktivis dan organisasi terlebih dahulu melakukan penguatan identitas kolektif mereka dari luar. Penguatan identitas ini dilakukan supaya mereka dapat melakukan perubahan kultural dan nilai secara dominan. Namun, identitas kolektif bukanlah tujuan utama dari organisasi dan aktivis tersebut. Hal ini dikarenakan apabila hanya menggunakan identitas saja, hal tersebut belumlah cukup kuat untuk merubah gaya hidup masyarakat. Katakanlah apabila hendak merubah kultur masyarakat menjadi masyarakat vegan. Dibutuhkan tindakantindakan yang lebih nyata dan kuat untuk merubah kultur dari masyarakat tersebut. Untuk itulah dilakukan beberapa tindakan dengan berbagai tindakan dengan level yang bervariasi untuk merubah kultur dari masyarakat tadi. Seperti yang dilakukan oleh PETA , organisasi gerakan satwa yang berbasis di Amerika ini melakukan kampanye yang bersifat teatrikal dan moral shock, untuk meraih perhatian dari masyarakat dan media. Hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan batas-batas yang
menganggap manusia sebagai makhluk yang paling superior. Peleburan batas ini dilakukan melalui dua langkah, yakni pertama, mereka mengaburkan batas melalui memfokuskan sekaligus menguniversalisasikan
strategi yang mereka lakukan.
Kedua, dengan melewati batas secara fisikal, diskursif, dan iconografikal. Diharapkan dengan melakukan pelebutan batas ini, manusia dapat bertindak secara lebih manusiawi terhadap satwa. 1.4.2
Landasan teori
Teori etika lingkungan Teori etika lingkungan adalah sebuah teori sosiologi lingkungan yang memberikan pandangan bagaimana seharusnya manusia beretika di alam semesta. Ada
berbagai
macam
pandangan
dalam
teori
etika
lingkungan
yakni
antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, dan ekofeminisme. Dalam gerakan yang diusung oleh Animal Friends Jogja, gerakan ini lebih menekankan pada etika lingkungan biosentrisme. Biosentrisme adalah sebuah pandangan yang menyatakan bahwa bukan hanya manusia dan komunitasnya yang pantas mendapatkan pertimbangan moral, melainkan juga dunia satwa. Biosentrisme mendasarkan perhatian dan perlindungan pada seluruh spesies, baik mamalia, melata, biota laut, ataupun unggas. William Chang menyamakan biosentrisme sebagai animal-centered ethic atau animal sentrisme (Rachmad K Dwi Susilo, 2008). Animal sentrisme memiliki arti bahwa semua satwa perlu dipertimbangkan secara moral, sekalipun tidak perlu mendudukkan semua jenis satwa pada jenjang yang sama. Animal
sentrisme memberikan penghargaan atas spesies satwa, tapi pada saat yang sama memberikan makna yang berbeda-beda antarjenis satwa tersebut. Ada 2 pokok pandangan dari biosentrisme. Pertama, alam memiliki nilai pada dirinya sendiri (intrisik) lepas dari kepentingan manusia. Hal ini memiliki arti bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri, tanpa perlu menghubungkan dengan kebutuhan manusia. Seperti contoh apabila melihat seekor burung, penganut paham biosentrisme tidak berpikir berapa harga burung tersebut dan sejauh mana burung tersebut dapat memenuhi kesenangan dan kebutuhan hidup manusia, melainkan penganut biosentrisme akan berpikir bahwa burung tersebut memiliki nilai tersendiri yang mungkin saja tidak memiliki hubungan keuntungan dengan manusia. Apabila pandangan pertama dianut, maka perdagangan satwa, misalnya, tidak akan terjadi. Kedua, alam diperlakukan sebagai moral, terlepas bagi manusia ia bermanfaat atau tidak, sebab alam adalah komunitas moral. Pandangan biosentrisme menekankan bahwa kehidupan di alam semesta seharusnya dihormati seperti manusia menghormati sistem sosial yang terdapat di kehidupan bermasyarakat. Hal ini memiliki arti, bahwa terdapat nilai kebaikan, tata karma, dan orientasi hidup dari alam semesta yang harus mulai dihargai. Pandangan ini juga mengajarkan pola perubahan etika yang selama ini menyatakan bahwa nilai-nilai kebaikan, tata karma, dan orientasi hidup hanya berlaku pada lingkungan manusia, juga berlaku pada alam semesta.
Selain pokok-pokok pandangan, biosentrisme juga berpegangan pada pilarpilar teori sebagai berikut: a. Teori lingkungan yang berpusat pada kehidupan Teori ini mengatakan bahwa manusia memiliki kewajiban moral terhadap alam. Albert Schweitzer menyatakan bahwa penghargaan tidak hanya dilakukan pada manusia saja, melainkan juga pada semua bentuk kehidupan. b. Etika bumi Teori ini melihat bumi tidak hanya sebagai hak milik. Akan tetapi, bumi dan segala isinya adalah subjek moral. Oleh karenanya, bumi tidak sebaiknya
diperlakukan
sesuka
hati.
Karena
bumi
memiliki
keterbatasannya. Etika ini kemudian diperluas dengan mencakup kehidupan alam seperti tumbuh-tumbuhan dan satwa. c. Anti spesiesisme Peter Singer dan James Rachels mengkritik antroposentrisme sebagai paham yang memiliki sifat rasisme dan spesiesisme. Antroposentrisme menimbulkan rasisme dalam artian, menjustifikasi ras lain lebih unggul dibandingkan yang lainnya. Sementara spesiesisme yang ditolak biosentrisme
adalah
menganggap
spesies
manusia
lebih
dibandingkan spesies lain dalam hal ini satwa dan tumbuhan.
unggul
Dalam melakukan gerakan hak satwa, melalui pengamatan gerakan-gerakan hak satwa, ada beberapa kesamaan ideologi yang dianut oleh organisasi dan aktivis gerakan hak satwa. Ideologi tersebut adalah: a. Veganisme Veganisme adalah sebuah filosofi dan gaya hidup yang tidak menggunakan satwa sebagai objek untuk dikonsumsi. Baik itu konsumsi dalam bentuk makanan atau pakaian dan produk kosmetik. Namun pada masyarakat awam, veganisme lebih sering diartikan sebagai segolongan masyarakat yang tidak lagi mengonsumsi protein hewani seperti daging dan telur dari satwa. Pada gerakan hak satwa, kampanye ini sering digunakan dikarenakan pengkonsumsian protein hewani dan juga satwa sebagai bahan dasar industri garmen merupakan suatu tindakan yang menimbulkan rasa sakit bagi satwa. Sehingga, hal ini termasuk dalam tindakan semena-mena terhadap satwa, yang perlu diminimalisir atau bahkan dihentikan. b. Tidak menggunakan satwa sebagai alat uji coba obat-obatan dan kosmetika Satwa merupakan salah satu objek percobaan dalam industri kosmetika dan obatobatan, sebelum diuji cobakan kepada manusia. Satwa yang biasa digunakan dalam percobaan ini adalah tikus putih ataupun kelinci. Namun tidak menutup kemungkinan satwa yang lain juga digunakan dalam percobaan. Tindakan ini mendapat penolakan cukup keras dari aktivis maupun organisasi gerakan satwa. Hal ini dikarenakan uji coba ini dapat berimplikasi pada cacat seumur hidup atau bahkan kematian pada satwa. Untuk itulah kampanye untuk tidak menggunakan hewan sebagai objek uji
coba atau against animal testing sangat gencar digalakkan. Karena hal tersebut merupakan bagian dari penyiksaan dan menimbulkan rasa sakit pada satwa. c. Tidak menggunakan satwa sebagai alat hiburan Alat hiburan yang dimaksudkan di sini adalah dengan tidak menggunakan satwa sebagai bagian dari pertunjukkan yang ditujukan untuk manusia. Untuk sirkus misalnya. Hal ini dikarenakan dengan menjadikan satwa sebagai alat dalam permainan sirkus, berarti satwa tidak lagi bebas berperilaku alamiah. Sebab, satwa harus bertingkah laku seperti manusia, dan tinggal tidak di habitat aslinya. Untuk itulah aktivis dan organisasi gerakan hak satwa, banyak melakukan kampanye menolak satwa sebagai alat hiburan. Seperti contoh dengan adanya kampanye menolak sirkus lumba-lumba dan atraksi topeng monyet.
Teori Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) Gerakan Sosial Baru merupakan bagian dari Gerakan sosial. Teori ini mengkritik teori gerakan sosial yang dikemukakan oleh Marx tentang gerakan perjuangan kelas, yang tidak dapat menjelaskan perkembangan fenomena gerakan sekarang. Gerakan sosial baru mencoba untuk menjelaskan fenomena gerakan yang berbeda dari sebelumnya. Gerakan ini juga lebih memperhatikan secara cermat tentang masyarakat dan aksi masyarakat yang dilakukannya dalam konteks kehidupan sosial. Seperti yang tertulis pada skripsi yang berjudul Komunitas Kolong Tangga dan Gerakan Counter Hegemoni, gerakan sosial baru merupakan cermin masyarakat
baru yang menandakan kebutuhan akan sebuah paradigma baru tentang aksi kolektif, sebuah model kebudayaan alternatif dalam masyarakat, dan sebuah kesadaran baru dari gerakan-gerakan komunitas dalam masyarakat untuk masa depan. An Swidler mengatakan bahwa gerakan sosial baru perlu diperhatikan dalam 3 level utama. Pertama, level dimana dan kapan dia muncul. Kedua, level simbolik yang mampu menjelaskan apa yang menjadi gerakannya. Ketiga, level organisasi, seperti apa bentuk organisasinya, voluntarisme, dan strukturnya. Ketiganya harus dibaca dalam kesatuan cultural power yang menekankan pada adanya kontinuitas gerakan dan kesinambungan aktor penggeraknya (Zuly Qodir, 2008). Menurut Claus Offe, gerakan sosial baru adalah organisasi yang cair, inklusif, dan memberikan perhatian yang lebih besar pada transformasi sosial ketimbang ekonomi (Diani, 1999). Hal inilah yang menyebabkan gerakan ini tidak mementingkan pada kepentingan ekonomi. Salah satu gerakan sosial yang banyak digalakkan kini adalah gerakan lingkungan. Gerakan lingkungan adalah sebuah gerakan kepedulian akan pentingnya keberlangsungan sebuah lingkungan hidup. Gerakan ini muncul karena adanya permasalahan lingkungan yang dirasa mulai mengganggu sekelompok manusia. Permasalahan inilah yang kemudian menimbulkan kesadaran-kesadaran subjektif, yang kemudian melahirkan gerakan lingkungan. Aditjondro (2003) mengatakan ada 3 jenis komponen penyelamat lingkungan. Komponen tersebut adalah:
1. Penyelamat lingkungan publik Penyelamat lingkungan publik merupakan warga sekitar kerusakan yang berkepentingan dan menggunakan sikap dan tindakan mereka. Komponen ini dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat formal atau informal, yang dapat dijadikan sebagai media warga dalam menyampaikan keluhan-keluhan mereka terhadap persoalan lingkungan. 2. Penyelamat lingkungan terorganisasi (organizational environmentalist) Penyelamat lingkungan terorganisasi adalah kelompok yang bergerak melalui organisasi yang khusus didirikan untuk mengartikulasikan isu-isu lingkungan. Kelebihan organisasi ini terletak pada jangkauan operasinya yang dapat sampai di luar batas negara. Misal beberapa LSM yang memiliki isu-isu lingkungan yang sama untuk diperjuangkan. Kesamaan isu inilah yang menyebabkan gerakan ini dapat mengkampanyekan isu-isu lingkungan melewati batas negara 3. Organisasi gerakan institusional (Institutional environmental movement organization) Organisasi gerakan institusioanal yaitu mereka yang bergerak melalui birokrasi-birojrasi resmi yang bergerak melalui birokrasi-birokrasi resmi, yang memiliki kewenangan dan kepedulian terhadap persoalan lingkungan. Seperti Kementerian Lingkungan Hidup pada suatu negara.
Salah satu gerakan lingkungan yang cukup banyak tersebar di Indonesia merupakan bagian dari penyelamat lingkungan terorganisasi atau organizational environmentalist. Gerakan ini biasa dilakukan oleh organisasi-organisasi yang didirikan secara mandiri oleh sekelompok orang, dengan memperjuangkan isu yang sama. Salah satu bagian dari gerakan ini adalah gerakan gerakan hak-hak satwa. Gerakan hak-hak satwa merupakan gerakan yang didasarkan pada prinsip-prinsip hak satwa yakni bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas berperilaku normal dan alami, serta bebas dari rasa stress dan tidak tertekan (http://www.profauna.org/). Hak-hak satwa juga dikenal sebagai sebuah ide yang berpandangan bahwa hak-hak dasar satwa harus dipandang sederajat sebagaimana hak-hak dasar manusia. Ada berbagai macam pendekatan filosofis yang digunakan dalam memandang hakhak satwa tersebut. Pertama yakni pandangan gerakan proteksionis yang dikemukan oleh Peter Singer yang berfokus pada perluasan dari pandangan utilitarian. Peter Singer berargumen bahwa pandangan utilitarian juga harus diaplikasikan pada satwa. Hal ini dikarenakan semua makhluk yang dapat merasakan penderitaan seharusnya memiliki pertimbangan yang sama. Sementara diskriminasi spesies yang hanya dikarenakan spesies tersebut dianggap lebih rendah daripada spesies lainnya, sama seperti halnya dengan diskriminasi warna kulit. Peter Singer berpendapat bahwa satwa harus memiliki hak, yang didasarkan atas kemampuan mereka untuk merasakan sakit. Dalam pandangan ini, Peter Singer tidak secara khusus menjelaskan
bahwa satwa tidak seharusnya dijadikan bahan makanan. Sejauh satwa tersebut dikembang biakkan dan dibunuh dengan cara yang tidak akan menyakitinya. Pandangan kedua yakni pandangan gerakan abolisionis yang dikemukakan oleh Gary Francione. Gary Francione berpendapat bahwa karena satwa dianggap merupakan bagian dari properti dan hak milik dari manusia, maka diperlukan sebuah aturan hukum dan undang-undang yang manusiawi bagi satwa dan melarang penderitaan yang kemungkinan akan muncul. Namun perlakuan hukum tersebut dapat diaplikasikan apabila berkaitan dengan manusia. Misal, jika manusia terlibat dengan penyiksaan satwa, barulah hukum atau undang-undang tersebut dapat diberlakukan. Pandangan abolisionis tidak membenarkan penggunaan satwa, sebagai bahan pangan misalnya, meskipun hal tersebut dilakukan secara manusiawi. Di Indonesia pergerakan gerakan hak satwa ini mengalami peningkatan yang cukup besar baru sekitar dua tahun terakhir. Yakni antara tahun 2012, hingga tahun 2014. Hal ini terlihat dari satu persatu munculnya organisasi-organisasi yang gerakannya mulai disorot oleh media. Baik itu media cetak maupun media elektronik. Seperti yang ditulis oleh Usman Hamid pada harian Kompas tanggal 30 September 2013. Disini dibahas bagaimana manusia telah melampaui batasnya dengan memperlakukan satwa secara semena-mena. Satwa dieksploitasi secara berlebihan dengan tidak memperlakukannya sebagai makhluk yang memiliki hak hidup, melainkan diperlakukan seperti suatu komoditi. Hal inilah yang menggerakkan
masyarakat untuk menghentikan tindakan ini dengan mendesak pemerintah supaya lebih tegas, melalui sebuah situs yang bernama change.org. Change.org merupakan sebuah situs yang dapat digunakan untuk mengumpulkan petisi dari masyarakat yang peduli terhadap hak-hak satwa. Petisi ini dikumpulkan secara online, yang kemudian apabila jumlah petisi sudah mencapai jumlah yang ditentukan, akan disampaikan kepada orang yang dituju dari petisi ini. Kesadaran sejumlah masyarakat nyatanya dapat terlihat dengan keberhasilan pengumpulan petisi mengenai pemindahan Melanie, seekor macan betina yang hidupnya tidak terurus dan sakit-sakitan, dari Kebun Binatang Surabaya di Jawa Timur. Desakan dari masyarakat mampu membuat Melanie dipindahkan dari Kebun Binatang Surabaya dan mendapatkan perawatan yang intensif dari dokter hewan. Adapula gerakan petisi penolakan atraksi topeng monyet dan atraksi sirkus lumba-lumba karena dianggap memaksa satwa melakukan hal-hal yang diluar kodrat dan sifat alamiahnya. Namun petisi ini masih dibilang belum berhasil mengingat masih ada atraksi topeng monyet dan atraksi sirkus lumbalumba yang eksis di berbagai daerah. Dari pengamatan sejumlah aktivitas gerakan yang dilakukan oleh aktivis maupun organisasi gerakan hak satwa, ada beberapa tipe gerakan yang dilakukan oleh organisasi hak satwa, dalam melakukan gerakan hak satwa. Tipe gerakan tersebut adalah:
a. Melalui advokasi kebijakan Dalam melakukan gerakan tersebut, sejumlah organisasi dan aktivis hak satwa berusaha agar pemerintah memberlakukan undang-undang yang berhubungan dengan tindakan semena-mena terhadap satwa. Sebagai contoh yakni sejumlah organisasi dan aktivis mendesak pemerintah agar benar-benar memberlakukan penghentian atraksi sirkus lumba-lumba. Hal ini merujuk pada Surat Dirjen PHKA No. S. 388/IVKKH/2013 tanggal 19 Agustus 2013 yang ditembuskan pada kementerian kehutanan, yang menyatakan bahwa BKSDA Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa kecuali berkewajiban untuk menertibkan dan menghentikan segala kegiatan sirkus lumba-lumba keliling di wilayah kerja masingmasing, mengambil tindakan untuk menarik kembali satwa tersebut ke Lembaga Konservasi asalnya serta tidak mengeluarkan SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan
Satwa
Dalam
Negeri)
bagi
peragaan
lumba-lumba
keliling
(www.mongabay.com). Namun pada kenyataannya pemerintah, dalam hal ini menteri kehutanan, dianggap tidak benar-benar serius dalam melaksanakannya. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya atraksi sirkus lumba-lumba yang tersebar di berbagai daerah. Sehingga muncul desakan-desakan melalui internet dan kampanye turun ke jalan, yang melibatkan aktivis dan organisasi gerakan hak satwa. Dari sini dapat dilihat bagaimana keseriusan aktivis gerakan satwa memperjuangkan hak satwa melalui advokasi kebijakan pemerintah.
Pemerintah dengan benar-benar menerapkan undang-undang tersebut, diharapkan dapat memberikan kontrol terhadap masyarakat, supaya tidak bertindak semena-mena terhadap satwa. b. Mengajak masyarakat untuk turut berpartisipasi Dalam hal ini masyarakat diajak untuk turut berpartisipasi dengan cara melibatkan masyarakat melalui program yang dilakukan oleh organisasi gerakan hak satwa. Pelibatan masyarakat ini dilakukan bertujuan untuk merubah kultur di masyarakat, yang masih menganggap manusia sebagai makhluk yang paling superior. Hal ini dibuktikan dengan perlakuan beberapa segolongan masyarakat yang masih semena-mena dan masa bodoh terhadap satwa. Perubahan kultur yang dimaksudkan ialah melakukan peleburan batas antara manusia dan satwa (Elizabeth Cherry, 2010). Peleburan ini dilakukan dengan melakukan sejumlah kegiatan maupun program yang melibatkan masyarakat. Misal, memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya hak satwa. Diharapkan dengan adanya perubahan kultur tersebut, perlakuan semena-mena terhadap satwa dapat dikurangi. c. Melibatkan figur terkenal atau selebritis Pelibatan artis atau figur terkenal ini dikarenakan sosok tersebut merupakan sosok yang paling dikenal sekaligus paling sering diimitasi oleh masyarakat. Imitasi adalah suatu tindakan sosial yang meniru gaya hidup, sikap, dan tingkah laku seseorang. Dengan melibatkan selebritis atau sosok figur yang terkenal dalam
gerakan hak satwa, diharapkan masyarakat dapat meniru mereka untuk melakukan gerakan yang serupa. Seperti pada kampanye pengurangan penggunaan kulit dan bulu hewan sebagai bahan garmen yang dilakukan PETA (www.peta.org) beberapa waktu yang lalu, yang melibatkan beberapa selebritis terkemuka dunia. d. Menyebarkan ideologi melalui media sosial dan internet Dewasa ini, internet dan media sosial merupakan salah satu hal yang dekat dan mudah diakses oleh masyarakat dari berbagai tempat dan wilayah. Untuk itulah organisasi gerakan satwa menggunakan internet dan media sosial sebagai media penyebaran ideologi dan gerakan yang mereka lakukan. Diharapkan dengan menggunakan internet, masyarakat dapat membaca dan memahami bagaimana gerakan yang mereka lakukan, sekaligus mengajak untuk turut berpartisipasi di dalam gerakan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai macam website dan media sosial yang digunakan dan digerakkan langsung oleh organisasi gerakan hak satwa tersebut. 1.5 Metode 1.5.1
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penilitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Metode penelitian kualitatif ini memiliki pengertian sebagai sebuah metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai katakata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang
yang diteliti (Taylor & Bogdan, 1984). Dalam permasalahan ini, penelitian kualitatif studi kasus dipilih dikarenakan pertanyaan penelitiaan berkenaan dengan how and why atau bagaimana dan mengapa. Selain itu, obyek yang diteliti merupakan suatu obyek yang kekinian atau kontemporer (Robert K Yin, 1996). Diharapkan metode yang dipilih ini dapat mengungkap ideologi dibalik gerakan dan strategi gerakan yang dilakukan oleh organisasi Animal Friends Jogja. Dalam hal ini, tindakan untuk memperjuangkan hak-hak satwa. 1.5.2
Penentuan satuan unit kajian analisis (unit of analysis)
Satuan unit analisis merupakan satuan tertentu yang diperhitungkan dalam suatu penelitian. Unit analisis juga berkaitan dengan fokus atau komponen yang akan diteliti. Unit analisis ini dapat berupa individu, kelompok, organisasi, satuan geografis, interaksi sosial, maupun artefak sosial. Dalam menjawab permasalahan diatas, satuan unit yang digunakan adalah organisasi. Meliputi informan utama yang menggerakkan organisasi ini, serta informan yang membantu pelaksanaan programprogram yang dilaksanakan oleh Animal Friends Jogja. Hal ini dikarenakan yang akan diteliti adalah tindakan dan latar belakang tindakan
yang dilakukan oleh
organisasi Animal Friends Jogja. 1.5.3
Informan
Dalam penelitian studi kasus, informan merupakan suatu hal yang kunci atas keberhasilan penelitian. Informan ini, tidak hanya dapat memberikan informasi saja,
melainkan juga memberikan informasi dan saran bukti-bukti lain yang mendukung, dan menciptakan akses kepada sumber yang bersangkutan (Robert K Yin, 1996) . Dalam hal ini, informan yang diwawancara adalah Monique Van Der Harst. Monique merupakan salah satu pendiri dari organisasi Animal Friends Jogja. Monique juga merupakan salah satu orang yang ditunjuk untuk memberikan informasi kepada informan. Monique inilah yang membantu peneliti untuk bertemu dengan pendiri organisasi lainnya, seperti Angelina Pane yang merupakan ketua dari organisasi ini, dan juga bertemu dengan sejumlah volunteer atau sukarelawan yang berada di rumah singgah Animal Friends Jogja. Selain itu, Monique inilah yang membantu peneliti untuk berkunjung ke rumah singgah Animal Friends Jogja dan juga mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh Animal Friends Jogja. 1.5.4
Teknik pengumpulan data
Ada dua teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Teknik tersebut adalah: 1. Pengamatan atau observasi Observasi adalah deskripsi secara sistematis yentang kejadian dan tingkah laku dalam setting sosial yang dipilih untuk diteliti (Marshall & Rossman, 1989). Observasi ini dapat sangat terstruktur dengan catatan rinci mengenai tingkah laku atau sampai dengan deskripsi yang paling kabur tentang kejadian dan tingkah laku. Pada penelitian ini, observasi dilakukan dengan berkunjung
ke rumah singgah yang dimiliki oleh Animal Friends Jogja untuk mengetahui bagaimana kondisi satwa yang dirawat oleh Animal Friends Jogja. Observasi juga dilakukan dengan mengamati program yang dilakukan oleh Animal Friends Jogja, baik itu program nyata seperti home visit, maupun yang dibagi ke masyarakat melalui sosial media. Pengamatan ini juga dilakukan untuk melihat tanggapan masyarakat mengenai keberadaan dan program yang dilakukan oleh Animal Friends Jogja. Hasil dari observasi ini adalah sejumlah foto-foto kegiatan yang dilakukan oleh Animal Friends Jogja. Baik itu dari dokumentasi peneliti, maupun dari sosial media yang dimiliki oleh Animal Friends Jogja. Hasil dari observasi tersebut dapat dilihat pada bab berikutnya.
2. Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan (Marshall & Rossman, 1989). Dalam penelitian ini digunakan wawancara mendalam dengan interview guide sebagai instrumennya. Interview guide adalah panduan yang digunakan dalam melakukan wawancara terhadap informan. Wawancara
mendalam ini
dilakukan dengan Monique Van Der Harst, selaku salah satu pendiri dari Animal Friends Jogja, dan Angelina Pane selaku ketua dari organisasi Animal Friends Jogja. Monique Van Der Harst dipilih dikarenakan ketika penelitian ini dilakukan, anggota-anggota dari Animal Friends Jogja sedang memiliki
kegiatan lain. Sehingga Monique Van Der Harst ditunjuk oleh Animal Friends Jogja untuk memberikan seluruh informasi dan permintaan data kepada peneliti. Sementara Angelina Pane dipilih untuk diwawancara karena beliau merupakan ketua organisasi ini, sekaligus untuk mengetahui rincian kegiatan workshop undang-undang yang dilakukan Animal Friends Jogja pada tahun 2012. Dari kedua informan tersebut telah didapatkan mengapa organisasi ini didirikan dan bagaimana organisasi ini bergerak di masyarakat. 1.5.5 Teknik analisis data Fokus utama dari penelitian ini adalah Animal Friends Jogja dengan organisasi sebagai unit analisisnya. Data yang akan dianalisis adalah data yang berasal dari observasi maupun wawancara. Setelah melakukan wawancara dan observasi, dilakukan pengelaborasian data sekaligus pengurangan data yang dianggap tidak menjawab rumusan masalah di atas. Dari pengelaborasian data tersebut kemudian menghasilkan jawaban mengapa organisasi ini didirikan dan bagaimana bentuk gerakan dari organisasi Animal Friends Jogja. Setelah itu, hasil dari wawancara dan observasi tersebut kemudian dianalisis menggunakan teori yang telah disebutkan di atas. Yakni teori etika lingkungan dan teori gerakan sosial baru atau new social movement.
1.5.6
Alur Penelitian
1. Penelitian dimulai dengan menemukan sejumlah alasan mengapa organisasi Animal Friends jogja didirikan 2. Memberikan analisis hubungan mengenai teori etika lingkungan biosentrisme dengan alasan yang akan dikemukakan oleh informan 3. Menanyakan bagaimana proses pembentukan organisasi Animal Friends Jogja dari pertama kali didirikan, hingga sekarang. 4. Menanyakan mengenai program dan aksi yang dilakukan oleh Animal Friends Jogja dalam mewujudkan hak-hak satwa. 5. Menanyakan alasan mengapa program-program tersebut dipilih dan diadakan 6. Menanyakan bagaimana program-program tersebut dijalankan