BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Makanan merupakan salah satu karya budaya masyarakat1. Semua
manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup, siapa pun dia, dari mana asalnya, berapapun umurnya, dan dalam keadaan sehat ataupun sakit. Oleh karena itu, makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Pada dasarnya makanan dipengaruhi oleh ketersediaan bahan mentah dari alam sekitar, sehingga setiap daerah memiliki ciri khas makanannya masingmasing. Misalnya, makanan di daerah pegunungan dengan di daerah pesisir pantai. Daerah pegunungan memiliki ketersediaan bahan makanan berupa variasi jenis tumbuhan yang dominan, sebaliknya di daerah pantai ketersediaan bahan makanan lebih dominan dengan variasi ikan. Sebenarnya ciri khas atau “warna” pada makanan juga dipengaruhi oleh cara masyarakat mengolah bahan tersebut. Semisal, singkong (manihot utillisima) di daerah Jawa yang diolah menjadi tiwul¸ sedangkan di daerah Maluku Tenggara singkong dijadikan enbal untuk dijadikan makanan pokok seperti halnya nasi yang ada di Jawa. Dengan demikian, jika bahan baku yang sama itu berada diolah pada masyarakat yang berbeda maka akan menghasilkan makanan yang berbeda pula. Ketersediaan bahan dan cara pengolahan makanan yang dilakukan oleh setiap masyarakat, maka muncul
1
Timbul Haryono, “Sejarah Makanan dan Gaya Hidup Nusantara dari Zaman Jawa Kuno hingga Abad 21”, Seminar Arus balik memori Rempah dan Bahari Nusantara, Kolonial dan Poskolonial, tanggal 19 Oktober 2013, Yogyakarta.
1
2
makanan-makanan yang identik dengan daerah asal. Seperti, kota Yogyakarta yang terkenal dengan gudeg dan Palembang yang terkenal dengan pempeknya. Makanan menurut fungsinya dapat digolongkan menjadi makanan pokok, makanan sambilan, makanan jajanan, makanan untuk peristiwa khusus, dan makanan untuk berbagai keperluan upacara (Moertjipto dkk, 1993:39). Makanan pokok merupakan makanan yang dimakan sehari-hari untuk mencukupi keperluan tubuh agar manusia bisa tetap hidup dan sehat. Sedangkan, makanan sambilan dan jajanan merupakan makanan yang berfungsi sebagai selingan makanan pokok. Makanan pokok dan makanan jajanan serta makanan sambilan memiliki fungsi dan peran sebagai unsur penyajian pada peristiwa khusus dan keperluan upacara. Makanan sambilan dan makanan jajanan tidak jauh berbeda sehingga dapat dijadikan satu golongan yakni camilan. Camilan berasal dari bahasa Jawa yaitu amik-amikan2. Camilan terbagi dalam dua kategori yaitu camilan modern dan camilan tradisional3. Camilan modern merupakan makanan yang diproduksi secara masal dalam industri atau pabrikan, sedangkan camilan tradisional diproduksi terbatas dan produksinya terbatas. Menurut hasil pengamatan peneliti, pada umumnya camilan tradisional berwujud kudapan, kue kering, gorengan, dan jajan pasar. Selain itu, bahan dasar camilan tradisional mulai divariasikan bahkan diganti dengan bahan modern,
2
I. Poerwadarminta, Baoesastra Jawa, (Batavia: J.B. Wolters Uitgevers maatschappij n.V Groningen, 1939) halaman 9. 3
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka Cipta ,2000) halaman 1208. Tradisional: sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu dipegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada turun-temurun.
3
seperti ilat kucing dan kuping gajah. Namun, pada penamaanya tidak berubah atau tetap dengan nama aslinya Pencarian bahan baku pada camilan tradisional lebih mudah dan sederhana, jika dibandingkan dengan camilan modern. Namun, proses pembuatan camilan tradisional ini tidak secepat camilan modern dan ketahanannya pun tidak seawet camilan modern. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki keanekaragaman jenis camilan tradisionalnya. Seperti yang sering dijumpai di pusat oleh-oleh maupun pasar yaitu kipo, cenil, marnѐng, klepon, geplak dan sebagainya. Namun, Ada juga camilan tradisional yang unik dan mulai jarang dijumpai yaitu, konthol kejepit, turuk bintul, hawuk-hawuk, jembut jaran, thoplѐk peli, mata kebo, mata maling, prawan kenѐs, dan randha royal. Dimungkinkan beberapa camilan ini sudah mulai hilang, disebabkan masyarakat yang mulai tabu dengan nama-nama camilan tersebut. Jika diperhatikan, nama-nama camilan tradisional tersebut penamaannya mengambil dari bagian tubuh manusia dan hewan serta sifat pada manusia. Jika dilihat dari bahan bakunya, beberapa camilan yang telah disebutkan di atas memiliki bahan baku yang berbeda-beda. Konthol kejepit merupakan jajanan pasar yang berbahan dasar tepung beras. Sedangkan, thoplѐk peli yang berbahan dasar dari singkong dan randha royal berbahan dasar tape singkong. Berbeda dengan hawuk-hawuk dan turuk bintul yang memiliki bahan baku beras ketan. Lain pula dengan jembut jaran berbahan baku gula, serta mata maling yang berbahan baku melinjo, lalu prawan kenѐs berbahan dasar pisang. Dimungkinkan tidak terdapat hubungan antara bahan baku dengan penamaan camilan tradisional
4
tersebut. Menurut peneliti, pemberian nama pada beberapa camilan tradisional diatas memiliki alasan tertentu. Mungkin dari rasanya (indra perasa) mirip dengan yang diacu, atau mungkin dapat menumbuhkan rasa (mood) orang yang memakannya. Menamai makanan dengan mengambil sifat pada manusia dan bagian tubuh manusia maupun hewan mungkin cara untuk menarik para konsumen. Sehingga, menarik sekali jika dilakukan penelitian tentang nama camilan tradisional berkorelasi dengan
sifat dan bagian tubuh (selanjutnya
disingkat CBST). Selain menarik untuk diteliti, juga untuk melesatarikan makanan Indonesia sesuai dengan program pemerintah “Aku cinta makanan Indonesia” (Marsono dkk, 1:1998). Penelitian ini akan menganalisis nama CBST dengan pendekatan morfosemantis. Analisis makna dengan pendekatan semantis merupakan sistem dan penyelidikan tentang makna dan arti dalam suatu bahasa (Kridalaksana, 2008:216). Sehingga semua aspek kebahasaan nama CBST dapat menjadi obyek penelitian berkelanjutan yang sangat menarik.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah di dalam penelitian
ini sebagai berikut. 1.2.1 Bagaimana bentuk nama-nama CBST ditinjau secara morfologi ? 1.2.2 Bagaimana makna nama-nama CBST ditinjau secara semantis?
5
1.3
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu ruang
lingkup data dan ruang lingkup pembahasan. 1.3.1 Ruang Lingkup Data Pengambilan data sebagai bahan penelitian ini dibatasi pada nama-nama camilan tradisional yang memiliki korelasi dengan sifat manusia dan bagian tubuh pada hewan maupun manusia. Menurut peneliti camilan tradisional dari segi bahan baku digolongkan menjadi dua: bahan baku tradisional dan modern. Bahan baku tradisional berupa hasil alam yang diolah secara sederhana, sedangkan bahan baku modern berupa bahan baku tradisional yang diolah dengan mesin hingga menjadi bahan baku siap digunakan kapan saja. CBST ini adalah beberapa kumpulan camilan tradisional yang namanamanya mengambil dari sifat dan bagian tubuh dalam bahasa Jawa. Lingkup pengambilan sampel data yakni di pasar tradisional DIY (meliputi: Sleman, Yogyakarta Kota, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Bantul).
1.3.2 Ruang Lingkup Pembahasan Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dalam bidang morfologi dan semantis. Pembahasan mengenai morfologi akan dibahas mengenai bentuk morfem dan gabungan antara morfem satu dengan morfem lain yang membentuk kata. Pembahasan bentuk morfem yaitu tentang bentuk monomorfemis dan polimorfemis. Namun demikian, pembahasan kedua ini didasarkan data yang ada.
6
Selanjutnya, pembahasan bidang semantis meliputi atas analisis komponen makna untuk menjabarkan makna dan unsur-unsur yang terkandung pada setiap CBST.
1.4
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian adalah 1. Mendiskripsikan bentuk nama-nama CBST ditinjau secara morfologi 2. Mengungkap makna nama-nama CBST dengan analisis semantis
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menerapkan teori dibidang linguistik,
khususnya dengan pendekatan morfo-semantis. Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini yakni mendokumentasikan CBST, sehingga masyarakat memahami kembali dan memberi tambahan informasi secara kebahasaan.
1.6
Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian yang terkait mengenai makanan tradisional telah di
teliti enam kali. Namun, penelitian yang sudah ada membahas tentang (1) aspek sejarah, budaya dan pengembangan makanan tradisional dalam serat centhini, dan (2 dan 3) makanan tradisional sebagai unsur dalam upacara tradisional, serta (4) kajian makanan kecil berbahasa Jawa dengan pendekatan etnolinguistik. Beberapa buku maupun laporan hasil penelitian tentang makanan tradisional sebagai berikut:
7
1. Laporan penelitian berjudul “Makanan Tradisional dalam Serat Centini” (tahun 1998) yang ditulis oleh
Marsono, dkk. Di dalam
laporan penelitian tersebut disajikan aspek sejarah, budaya, dan pengembangan makanan tradisional Jawa khususnya bersumber pada sumber-sumber tertulis, salah satu sumber tertulis yang digunakan adalah Serat Centhini, sebuah naskah sastra terlengkap pada abad ke18. Selain itu di dalam laporan penelitiannya menggunakan beberapa naskah Sastra Jawa Kuna sebagai perbandingan. Secara garis besar, makanan dan minuman yang terdapat dalam naskah-naskah tersebut dikelompokan menjadi lima, yakni makanan pokok, laukpauk, minuman, sambal, dan camilan. 2. Laporan penelitian berjudul “Makanan Tradisional dalam Upacara Jawa” (tahun 1998) yang ditulis oleh tim PKMT (Pusat Kajian Makanan Tradisional) Universitas Gadjah Mada. Laporan Penelitian tersebut secara garis besar berisi tentang upacara tradisional yang melibatkan penyajian makanan tradisional sebagai media untuk berkomunikasi dengan Tuhan, penghuni alam gaib, dan sesama manusia. 3. Buku berjudul “Sajen dan Ritual Orang Jawa” oleh Wahyana Giri MC (tahun 2010). Di dalam bukunya disajikan pengenalan ubo rampe sajen berupa makanan dan jajanan tradisional. Selain itu, upacara tradisi dan ngalab berkah juga dijelaskan.
8
4. Skripsi yang berjudul “Nama Makanan Kecil Dalam Bahasa Jawa” oleh Kiswari (2012), kajian etnolinguistik. Penelitian tersebut berisi makanan kecil yang fokus pada kajian etnolinguistik dengan bantuan analisis morfo-semantis. Di dalam penelitian ini sudah mencangkup inventarisasi serta penjelasan makna dan klasifikasi berdasarkan bahan baku. Secara semantis penelitian ini menggunakan analisis komponen makna dan mempunyai hubungan dengan bahan utama, cara memasak, tampilan fisik, rasa, dan fungsi khusus. Skripsi ini menggunakan obyek makanan kecil berbahasa Jawa yang fokus dengan bahan bakunya. Berbeda dengan penelitian tentang “Nama-Nama Camilan Tradisional yang Berkorelasi dengan Sifat dan Tubuh (CBST)”. Walaupun obyek penelitiannya juga makananan, namun penelitian CBST lebih fokus pada nama-nama yang berhubungan dengan sifat dan bagian tubuh. Adapun para peneliti yang menggunakan analisis morfo-semantis, antara lain : 5. Skripsi berjudul “Analisis Semantis Tari Rakyat” oleh Sukasbi (2000), berisi tentang unsur-unsur semantik yang menjadi komponen estetik tari rakyat serta makna yang terkandung dalam tari rakyat. Penelitian ini dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan dijelaskan komponen semantik tari tayub yang berupa penari, pakaian penari, gerak tari, instrumen dan pakaian penabuh gamelan, tempat dan waktu pentas, tema cerita, fungsi, dan sifat.
9
6. Skripsi berjudul “Analisis Morfo-Semantis Istilah-Istilah Dalam Prosesi Dalam Upacara Buka Luwur Kanjeng Sunan Kudus Di Kabupaten Kudus” oleh Rachmah (2012), berisi diskripsi tentang Upacara buka luwur Kanjeng Sunan Kudus. Selain itu, menyebutkan dan dijelaskan istilah-istilah dalam prosesi upacara tersebut. Analisis morfologi dan semantik digunakan untuk membedah istilah-istilah upacara tersebut. 7. Skripsi berjudul “Nama-Nama Peralatan Rumah Tangga Berupa Wadah Berbahan Baku Bambu di Yogyakarta” dengan analisis morfo-semantis, oleh Dharbiningsih (2009). Berisi tentang macammacam produk bambu yang dibuat menjadi salah satu jenis peralatan rumah tangga yakni berupa wadah. Wadah bambu yang dimaksud seperti bѐsѐk, ancak, irig tampah, irig kalo, cѐlѐngan, dan sebagainya. Analisis yang digunakan yakni morfologi dan semantis untuk mengetahui bentuk monomorfemis atau polimorfemis dan komponen-komponen yang terdapat pada wadah bambu tersebut. Beberapa hasil penelitian nomor 5, 6, dan 7 akan dijadikan rujukan. Penelitian berupa analisis morfo-semantis mengenai camilan tradisional yang berhubungan dengan sifat dan bagian tubuh, sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan.
10
1.7
Landasan Teori Bahasa terdiri atas dua bagian yaitu, bentuk dan makna. Bentuk
merupakan bagian bahasa yang dapat diserap oleh panca indra, yaitu dengan melihat dan mendengar. Bentuk terdiri atas unsur segmental4 dan unsur suprasegmental5. Unsur segmental dapat berwujud fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Unsur suprasegmental berwujud intonasi yang menyertai bentuk tersebut. Sebaliknya, makna adalah isi yang terkandung di dalam bentuk-bentuk tersebut yang dapat menimbulkan reaksi tertentu dalam pikiran pendengar atau pembaca (Wijana, 1991:1). Penelitian ini menggunakan kerangka teori morfologi dan semantis. Kerangka teori ini dapat diklasifikasikan menjadi dua: 1.7.1 Morfologi Morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata dan peristiwa gramatikal (Ramlan, 2009:21). Kridalaksana mengatakan bahwa morfologi merupakan bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasikombinasinya atau bagian dari struktur bahasa yang mencangkup kata dan bagianbagian kata yaitu morfem (Kridalaksana, 2008:159). Menganalisis
nama-nama
CBST
secara
morfologi
berarti
mengklasifikasikan bentuk tataran morfem sampai pada kata. Morfem merupakan
4
I Dewa Putu Wijana dan M. Rohmadi, Semantik: Teori dan Analisis. (Surakarta:Yuma Pustaka, 2008) Halaman 10.Unsur segmental merupakan unsur-unsur kebahasaan yang dapat dipisahpisahkan atau disegmentasikan. 5
Ibid. Unsur suprasegmental merupakan unsur-unsur kebahasaan yang tidak dapat dibagi-bagi atau dipisah-pisahkan.
11
satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil (Kridalaksana, 2008:158). Morfem terdiri atas morfem bebas dan morfem terikat (Verhaar, 2008:97). Morfem bebas adalah satuan terkecil yang dapat berdiri sendiri, sedangkan morfem terikat merupakan satuan terkecil yang tidak dapat berdiri sendiri dan hanya dapat meleburkan diri pada morfem lain. Kata bermorfem satu disebut monomorfemis, kata bermorfem lebih dari satu disebut polimorfemis. Kata adalah satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas (Kridalaksana, 2008:110). Kata juga bisa berbentuk monomorfemis maupun polimorfemis melalui proses perubahan bentuk yakni afiksasi. Afiks merupakan satuan gramatik terikan yang melekat pada morfem dasar dan membentuk kata yang baru. Tataran tertinggi pada morfologi yaitu kata. Salah satu bentuk kata yaitu kata majemuk. Menurut Poejosoedarmo (1979:153) kata majemuk merupakan gabungan dua buah kata atau lebih, yang mempunyai arti baru yang sama sekali berbeda dengan arti komponennnya, sedang prilaku sintaksisnya serupa seperti perilaku sintaksis sebuah kata. Selain kata majemuk sebagai salahsatu bentuk polimorfem, reduplikasi juga termasuk dalam bentuk polimorfem. Reduplikasi atau kata ulang merupakan proses morfemis yang mengulangi bentuk dasar atau sebagian dari bentuk dasar tersebut. Menurut Verhaar (2008:152), dalam Bahasa Jawa reduplikasi dibagi menjadi lima macam, yaitu dwilingga, dwilingga salin swara, dwipurwa, dwiwasana, trilingga
12
Dwilingga adalah pengulangan morfem asal, misalnya mlaku-mlaku ‘jalan-jalan’. Dwilingga salin swara merupakan pengulangan morfem asal dengan perubahan vocal dan fonem lainnya, misalnya bola-bali ‘bolak-balik’. Dwipurwa yakni pengulangan silabe pertama, misalnya tetombo ‘berobat’, bebojo berumah tangga’. Dwiwasana merupakan proses pengualangan yang dibentuk dengan mengulangi suku akhir pada kata dasar, misalnya plenting ‘bisulan’ menjadi plentingting ‘banyak bisul’. Trilingga yakni pengulangan morfem asal sampai dua kali, misalnya dag-deg-dog ‘kerusuhan’ (Verhaar, 2008:152). Contoh analisis nama-nama CBST secara morfologis sebagai berikut: Mata maling merupakan salah satu nama camilan tradisional yang berbahan baku kulit melinjo. Mata maling terdiri atas dua komponen kata yaitu mata dan maling. Kata mata terdiri atas satu morfem, yaitu {mata} dan tergolong dalam jenis morfem bebas yang dapat berdiri sendiri sebagai kata. Kata mata memiliki arti indra pengelihatan. Sedangkan, kata maling terdiri atas satu morfem yaitu {maling} dan tergolong dalam jenis morfem bebas yang dapat berdiri sendiri sebagai kata. Kata maling memiliki arti pencuri. Kedua kata tersebut bergabung menjadi satu dan diidentifikasikan sebagai kata majemuk, karena memiliki makna yang berbeda dari komponen katanya, yaitu bermakna camilan tradisional berbahan baku kulit melinjo. Kata mata terdiri atas dua suku kata yaitu ma-ta, dengan susunan suku kata berupa KV-KV dan terdiri atas empat fonem, yaitu / m-a-t-a /. Kata maling terdiri atas dua suku kata yaitu ma-ling, dengan susunan suku kata berupa KVKVK dan terdiri atas lima fonem, yaitu /m-a-l-i-ŋ/. Bunyi konkrit dari mata
13
maling adalah [m-ͻ-t-ͻ-m-a-l-I-ŋ]. Uraian di atas dapat dibuat skema pembentukan kata majemuk sebagai berikut: {Mata} ‘mata’ +{Maling} ‘pencuri’ Mata Maling ‘camilan berbahan baku kulit melinjo’
1.7.2 Semantis Semantis merupakan sistem dan penyelidikan tentang makna dan arti dalam suatu bahasa (Kridalaksana, 2008:216). Semantis dibagi menjadi semantik gramatikal dan semantik leksikal. Penelitian ini menggunakan semantik leksikal untuk menyelidiki unsur-unsur kosakata suatu bahasa pada umumnya atau makna yang sesuai dengan referennya (Kridalaksana, 2008:217). Makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra atau yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Penelitian ini akan menggunakan analisis komponen dalam semantik. Pengertian analisis komponen akan lebih mudah jika dijelaskan dengan contoh. Seperti yang dicontohkan oleh Lyon (1968:462) yang mengelompokan kata secara horizontal dan vertikal. Jika dilihat secara horizontal merupakan kelompok manusia, ayam, babi dan lain-lain. Jika dikelompokan secara vertikal maka dikategorikan sebagai maskulin, feminis, dan neutral. Hubungan tersebut, menerangkan sesuatu yang sama pada kelompok-kelompok kata yang berbeda, maka itu yang disebut komponen makna. Menurut Kridalaksana (2008:14) analisis komponen adalah metode untuk memecah sebuah unsur atas bagian-bagian yang lebih kecil. Usaha untuk menguraikan komponen-komponen makna yang dimiliki oleh sebuah kata, dan membandingkannya dengan komponen-komponen makna yang dimilikinya
14
disebut analisis komponensial (Wijana dan Rohmadi, 2008: 88-89). Contoh analisis secara semantis tentang nama-nama CBST sebagai berikut: Mata maling terdapat korelasi dengan bagian tubuh yakni indra pengelihatan manusia. Mata maling merupakan salah satu nama camilan tradisional yang berbahan baku kulit melinjo. Mata maling dapat dianalisis secara semantis sebagai berikut. Mata merupakan alat pengelihatan pada makhluk hidup. Mata memiliki ciri-ciri bentuk bulat. Maling sering dikaitkan dengan istilah durjana, yang merupakan salah satu tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa meminta izin. Menurut peneliti, mata maling dijadikan nama camilan tradisional yang berbahan kulit melinjo, memiliki bentuk dan ukuran yang serupa dengan mata manusia, sehingga menimbulkan sensasi tersendiri. Selain itu, melinjo sering menjadi sasaran pencuri di pasar maupun di kebun dan warna merah pada mata maling memiliki arti keangkaraan dan kejahatan, sehingga dinamai mata maling. Mata maling memiliki ciri-ciri sebagai berbentuk lonjong dan berwarna merah. Bahan bakunya yaitu kulit melinjo. Adapun pengolahanya dengan cara digoreng (proses pembuatan lihat bab II halaman 26). Uraian di atas dapat dibuat tabel sebagai berikut: Tabel 1 Contoh Analisis Komponen Makna Mata Maling Pokok Mata Maling
Diferensiasi Bahan baku
Melinjo merah Gula
15
Cabai
1.8
Bentuk
Lonjong
Warna
Merah tua
Pengolahan
Digoreng
Rujukan
alat pengelihatan
Metode Penelitian Metode penelitian terdiri dari dua bagian, yaitu metode pengumpulan data
dan metode analisis data. 1.8.1 Metode Pengumpulan Data Studi pustaka merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini dan secara akumulasi membutuhan waktu yang lama pula. Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data sekunder bermacam sumber tertulis seperti laporan hasil penelitian dan buku tentang makanan tradisional serta buku tentang sesaji. Peneliti melakukan pengamatan lapangan setelah studi pustaka selesai. Pengamatan dilakukan sebagai langkah awal dalam mengambil data lapangan. Peneliti mendatangi lokasi penelitian dan mulai mengamati aktivitas di pasar tradisional khususnya penjual camilan tradisional. Peneliti mendiskripsikan beberapa jenis camilan, nama-nama camilan tradisional dan melakukan wawancara langsung dengan penjual camilan tradisional untuk mendapatkan informasi dari penjual. Peneliti melakukan wawancara beberapa informan (lihat
16
lampiran daftar informan). Wawancara meliputi cara pembuatan, asal-usul penamaanya dan fungsi camilan tersebut. Teknik wawancara yang digunakan narasumber dengan teknik cakap semuka. Data lisan diperoleh dari informan dengan metode cakap semuka. Teknik cakap semuka yaitu kegiatan yang dilakukan dengan percakapan langsung atau tatap muka (Sudaryanto, 1993: 137139). Kriteria informan yaitu (1) Pedagang makanan tradisional di daerah Yogyakarta, (2) Orang yang menggeluti dibidang makanan tradisional, (3) Berusia di atas 25 tahun, karena pada generasi tersebut diperkirakan masih mengenal makanan tradisional yang sekarang mulai jarang dijumpai. Data lisan merupakan data primer sehingga sangat penting dalam melakukan penelitian. 1.8.2 Metode Analisis Data Setelah data mengenai CBST terkumpul, maka akan dianalisis secara morfologi nama-namanya, untuk mengetahui klasifikasi kata yang monomorfemis dan polimorfemis. Langkah selanjutnya, analisis semantis digunakan untuk mengetahui makna dan komponen-komponen yang terkandung dalam nama-nama CBST. Metode padan referensial digunakan dalam penelitian ini, karena data yang menjadi obyek penelitian mengacu pada referen di luar bahasa, yakni benda berupa camilan.
1.9
Sistematika Penyajian Sistemantika penyajian hasil penelitian ini sebagai berikut: Bab I
merupakan pendahuluan. Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah, ruang lingkup penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
17
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II identifikasi makanan tradisional. Pada bab ini diuraikan mengenai letak geografis lokasi penelitian (DIY) dan identifikasi CBST. Bab III berisi tentang analisis bentuk morfologis nama-nama CBST. Bab IV analisis komponen makna. Bab V merupakan penutup, yaitu akan menguraikan kesimpulan dari bab II sampai bab IV.