BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berawal dari keprihatinan akan banyaknya kasus yang merugikan konsumen serta didukung oleh ketidakberdayaan konsumen dalam nenuntut hakhaknya, maka pemerintah menaruh kepedulian akan hal tersebut dengan upaya mewujudkan suatu peraturan yang mengatur dan terutama melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat menimbulkan kerugian bagi mereka . Hal ini dapat dilihat dengan keluarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukan satu satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelum
disahkannya
undang-undang
perlindungan
konsumen
di
Indonesia, telah ada peraturan-peraturan perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen. Seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi undang-undang, UndangUndang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang Ketenaga Listrikan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang sekarang telah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undangundang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Penyiaran,
Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
1997
tentang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan demikian, walaupun setelah lahirnya undang-undang perlindungan konsumen masih terbuka kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan yang membuat ketentuaan yang melindungi konsumen, dimana hal ini semua sangat menguntungkan bagi pihak konsumen. 4 Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi 4
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : Diadit Media, 2002), hal. 295-296.
Universitas Sumatera Utara
produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya merasakan dampaknya. 5 Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak dan segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian
kompleksnya
permasalahan
yang
menyangkut
perlindungan
konsumen, lebih-lebih menyangkut era perdagangan bebas yang akan datang. Perlindungan konsumen dilakukan dengan: 6 1. Pemantapan tertib usaha dan kepastian usaha perdagangan, termasuk penyempurnaan di bidang perundang-undangan dan peraturan yang bergerak di bidang perdagangan, penyederhanaan perizinan serta peningkatan pelayanan. 2. Peningkatan perlindungan konsumen melalui peraturan perundangundangan serta kemeteorologian serta mendorong peran serta masyarakat dalam perlindungan konsumen. Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lajim terjadi, antara 5
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 5. 6 Ari Purwadi,” Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen,” Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga,( Nomor 1 dan 2 Tahun VII, Januari-Februari), hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya. Oleh karena itu, konsumen yang tertipu atau merasa hak-hak mereka tidak diterima sebagaimana mestinya, atau yang merasa dirugikan dapat membuat surat pengaduan kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ini dapat meminta pertanggungjawaban kepada pengusaha dan selanjutnya dapat juga membuat laporan kepada BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) untuk dapat diadili atas persetujuan yang bersangkutan. Disinilah peranan LPKSM dan BPSK jelas terlihat. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Selain lembaga yang resmi dibentuk oleh pemerintah, menurut ketentuan dalam Bab VIII Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, pemerintah dalam Bab IX, Pasal 44 memungkinkan dibentuknya Lembaga Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat.
Lembaga
Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat tersebut diberikan kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. 7 Dalam rumusan Pasal 44 ayat (3) UUPK, dikatakan bahwa LPKSM mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. 2. Memberikaan nasihat kepada konsumen yang memerlukanya. 3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.
7
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 93-94.
Universitas Sumatera Utara
4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen. 5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Meskipun tidak banyak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai LPKSM, namun mengingat akan posisi strategis lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat tersebut dalam keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan kepentingan dasar konsumen akan organisasi yang akan melindungi hak-haknya, maka suatu Peraturan Pemerintah yang nantinya akan dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menjadi sangat penting artinya. Peraturan Pemerintah tersebut akan menjadi dasar dari pembentukan LPKSM, karena menurut Pasal 44 ayat (1) Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, hanya LPKSM yang memenuhi syaratlah yang diakui oleh pemerintah. Demikian juga halnya dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) adalah organisasi konsumen yang merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. 8 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia bertindak dalam kapasitasnya selaku perwakilan konsumen (consumer
representation)
yang
memiliki
tujuan
yaitu
melayani
dan
meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen. Dengan demikian konsumen yang ditipu oleh pelaku usaha baik karena kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas dan bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya akan merasa dirugikan sehingga konsumen akan menuntut ganti kerugian. Apabila tidak dipenuhi oleh produsen selaku pelaku 8
Celina Tri Siwi Kristiyanti. Op.cit. hal. 123.
Universitas Sumatera Utara
usaha maka hal ini akan menimbulkan perselisihan diantara kedua belah pihak yaitu konsumen dan produsen. Perselisihan yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha dapat menyangkut pemberian sesuatu, berbuat atau tidak berbuat sesuatu ( Pasal 1233 KUH Perdata).9 Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha ini selanjutnya disebut dengan sengkata konsumen. Sengketa konsumen adalah sengketa yang terjadi antara konsumen di satu pihak dengan pelaku usaha atau produsen di pihak lain, konsumen sebagai pengguna/pemakai barang dan atau jasa dan pelaku usaha atau produsen sebagai penyedia barang atau jasa. 10 Adapun yang menjadi Objek sengketa konsumen yang menyangkut produk produsen yaitu barang dan jasa produsen yang pada umumnya digunakan untuk keperluan memenuhi kebutuhan konsumen pribadi, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk kebutuhan komersial. Namun sebelum Undang-undang Perlindungan Konsumen lahir, satusatunya lembaga yang disediakan untuk menyelesaikan sengketa konsumen adalah melalui gugatan di pengadilan, namun penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak akomodatif dalam menampung sengketa konsumen, karena mahal, lama dan terlalu birokratis. 11 Oleh karena itu Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuka kesempatan kepada setiap konsumen yang dirugikan untuk mengajukan gugatan 9
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan VIII, (Jakarta : Paramita, 1976), hal. 269. Pasal 1233 KUH Perdata, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. 10 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran Cetakan I, (Banjarmasin : Fakultas Hukum Universitas Lambung mangkurat press, 2008), hal. 109. 11 Abdul Halim Barkatula, Op. cit. hal. 119.
Universitas Sumatera Utara
kepada pelaku usaha melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud di atas tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian secara damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. 12 Adapun pengertian penyelesaian secara damai adalah “penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang”. 13 Penyelesaian sengketa konsumen secara damai dapat dilakukan oleh konsumen langsung dengan bernegosiasi pada pelaku usaha atau melalui bantuan Sub Direktorat Pelayanan Pengaduan, Direktorat Perlindungan Konsumen. Pada prinsipnya, yang dimaksud dengan negosiasi adalah “suatu proses tawar-menawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi diantara para pihak. Negosiasi dilakukan baik karena telah ada sengketa diantara para pihak, maupun hanya karena belum ada kata sepakat disebabkan belum pernah dibicarakan masalah tersebut”. 14 Negosiasi dilakukan oleh seorang negosiator. Mulai dari negosiasi yang paling sederhana dimana negosiator tersebut adalah para pihak yang berkepentingan sendiri. Sampai kepada menyedia negosiator khusus, atau memakai lawyer sebagai negosiator. Dalam Pasal 5 UU N0. 30 Tahun 1999 dapat dikatakan pada
12
Az. Nasution, Op. cit. hal. 224. ibid 14 Gunawan Widjaja , Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2001), hal. 89. 13
Universitas Sumatera Utara
prinsipnya segala sesuatu yang menurut undang-undang yang berlaku dapat diadakan perdamaian dapat pula dinegosiasikan. 15 Tetapi apabila penyelesaian sengketa secara damai melalui negosiasi ini tidak berhasil dilakukan oleh kedua belah pihak, maka lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. BPSK dibentuk agar dapat menjadi semacam pengadilan khusus konsumen untuk sengketa-sengketa konsumen (small claim court) yang diharapkan dapat menjawab tuntutan dari asas beracara di peradilan yaitu sederhana, cepat dan murah. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha. Pembentukan BPSK hanya pada Daerah Tingkat II, memperlihatkan maksud bahwa putusan BPSK tidak ada upaya banding dan kasasi. Dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 ditentukan bahwa pembentukan BPSK dilakukan pada Pemerintahan Kota Medan,
15
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar. 16 Selanjutnya dalam Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2004 dibentuk lagi BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten berikutnya yaitu di kota Kupang, kota Samarinda, kota Sukabumi, kota Bogor, kota Kediri, kota Mataram, kota Palangkaraya dan pada kabupaten Kupang, kabupaten Sukabumi, kabupaten Bulungan, kabupaten Serang, kabupaten Ogan Komering Ulu, dan kabupaten Jeneponto. Terakhir pada tanggal 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 membentuk BPSK di kota Padang, kabupaten Indramayu, kabupaten Bandung, dan kabupaten Tangerang. 17 Namun
BPSK
dalam
mengimplementasikan
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen masih mengalami kendala-kendala dan permasalahan, sebagai ilustrasi adalah kendala kelembagaan/institusional, kendala pendanaan, kendala sumber daya manusia BPSK, kendala peraturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan peraturan terkait lainnya, kendala pembinaan dan pengawasan serta tidak adanya koordinasi aparat penanggungjawabnya, kurangnya sosialisasi dan rendahnya tingkat kesadaran hukum konsumen, kurangnya respons dan pemahaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen, kurangnya respon masyarakat terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 18 Maka hal inilah yang mendasari penulis untuk mengetahui kendala-kendala 16
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 242. 17 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Cetakan I, (Jakarta : Prenada Media Group, 2008), hal. 76. 18 Ibid. hal. 210.
Universitas Sumatera Utara
apakah yang dihadapi BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam mengimplementasikan
Undang-undang
Perlindungan
Konsumen
untuk
menyelesaikan sengketa konsumen yang diajukan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. B. Rumusan Masalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha dan Konsumen. Namun dalam praktiknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen masih menghadapi
kendala-kendala
dalam
pengimplementasian
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Maka berdasarkan uraian diatas dan juga latar belakang yang sudah diuraikan sebelumnya, yang menjadi rumusan masalah yang akan dibahas dan diteliti adalah: 1. Bagaimanakah peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen? 2. Bagaimanakah mekanisme hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen? 3. Kendala-kendala apakah yang dihadapi oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen? C. Tujuan dan Manfaat Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk
mengetahui
bagaimanakah
mekanisme
hukum
di
Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam mengimplementassikan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan ini adalah: 1. Hasil penulisan ini diharapkan akan memberi sumbangan pengetahuan dalam hukum konsumen, khususnya mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 2. Memberikan sumbangan pemikiran akademis bagi para pelaku usaha maupun konsumen mengenai mengenai mekanisme hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 3. Memberikan pemahaman baru bagi konsumen selaku pihak yang dirugikan, bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan salah satu lembaga yang dibentuk untuk upaya perlindungan konsumen. 4. Memberikan kajian akademis yang lebih objektif, jelas, tegas dan terperinci kepada para pihak yang berkecimpung dalam kelembagaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 5. Secara praktis penenelitian ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan landasan bagi penelitian lanjutan. D. Keaslian Penulisan Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat sebagai pemenuhan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, maka seyogyanya skripsi ditulis
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat) baik sebagian atau keseluruhan dari karya orang lain. Dengan demikian penulis berdasarkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki dapat menjamin keaslian skripsi ini sebagai karya tulis ilmiah yang asli (original) dan benar-benar merupakan hasil pemikiran dan usaha dari penulis. E. Tinjauan Kepustakaan Badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah meyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha. Apabila dilihat pada ketentuan pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa: “dalam hal pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor menolak dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara memajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen". 19 “Terdapat 2 (dua) hal penting yaitu: 20 1.
2.
Bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen melalui badan di luar sistem peradilan yang disebut dengan BPSK, selain melalui Peradilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen; Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha bukanlah suatu pilihan yang eksklusif, yang tidak harus dipilih. Penyelesaian sengketa melalui BPSK adalah pararel atau sejajar dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui badan peradilan” Masalah penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen diatur dalam Bab X yang terdiri dari 4 (empat) pasal, dimulai dari
19 20
Abdul Halim Barkatulah. Op. cit. hal. 121. Ibid
Universitas Sumatera Utara
pasal 45 sampai dengan pasal 48 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dari rumusan-rumusan yang diberikan dalam pasal-pasal tersebut, dan beberapa ketentuan yang diatur dalam Bab XI tentang BPSK, terdapat 2 (dua) hal pokok yang dapat dikemukakan, yaitu: 21 1.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui BPSK bukanlah suatu keharusan untuk ditempuh konsumen sebelum akhirnya diselesaikan melalui lembaga peradilan. Walau demikian hasil putusan BPSK memiliki suatu daya hukum yang cukup untuk memberikan shock terapy bagi pelaku usaha yang nakal, oleh karena putusan tersebut dijadikan bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti penyelesaian sengketa melalui BPSK, tidak menghalangi tanggung jawab pidana menurut ketentuan yang berlaku.Untuk mengakomodasikan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada BPSK, selaku lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan persengketaan konsumen di luar pengadilan
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
memberikan
kewenangan kepada PBSK untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar larangan-larangan tertentu yang dikenakan bagi pelaku usaha, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sebagai suatu lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan, pelaksanaan dari putusan BPSK ini dimintakan penetapan eksekusinya pada pengadilan.
21
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani 1. Op. cit. hal. 73-74.
Universitas Sumatera Utara
2.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, membedakan jenis gugatan yang dapat diajukan ke BPSK berdasarkan persona standi in judicio. Rumusan pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa setiap gugatan atas pelanggaran pasal dapat dilakukan oleh: a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan Perlindungan Konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. Pemerintah dan/ atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Adapun mekanisme hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
adalah dimulai dengan pengajuan permohonan sengketa konsumen, susunan majelis badan penyelesaian sengketa konsumen dan kepaniteraan, tata cara persidangan, alat bukti dan sistem pembuktian, putusan badan penyelesaian sengketa konsumen, upaya hukum dan eksekusi putusan. Namun
Badan
mengimplementasikan
Penyelesaian Undang-Undang
Sengketa
Konsumen
Perlindungan
Konsumen
dalam masih
mengalami kendala-kendala dan permasalahan, dimana sebagai ilustrasi adalah kendala kelembagaan/institusional, kendala pendanaan, kendala sumber daya manusia BPSK, kendala peraturan, kendala pembinaan dan pengawasan serta tidak adanya koordinasi aparat penanggung jawabnya, kurangnya sosialisasi dan rendahnya tingkat kesadaran hukum konsumen, kurangnya respons dan
Universitas Sumatera Utara
pemahaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen, kurangnya
respons
masyarakat
terhadap
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen dan lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 22 F. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif dengan metode pendekatan secara kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif dipergunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya. 23 Metode pendekatan secara kualitatif bermanfaat untuk melakukan analisis data secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), hasil penelitian dipaparkan secara deskriptif dan mendalam dengan tidak mempergunakan analisis secara kualitatif. 24 Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan (library research) untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tertier.
22
Susanti Adi Nugroho. Op. cit. hal. 209. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 139. 24 Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 22. 23
Universitas Sumatera Utara
Bahan hukum primer dapat berupa peraturan perundang-undangan nasional, maupun peraturan perundang-undangan dari negara lain yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Demikian pula putusan-putusan pengadilan di Indonesia untuk melihat aplikasi peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen tersebut. 25 Bahan hukum sekunder dapat berupa karya-karya ilmiah berupa bukubuku, laporan penelitian, juranal ilmiah, dan sebagainya. Termasuk dalam hal ini, pendapat para ahli yang dikemukakan dalam seminar-seminar, konfrensikonfrensi nasional maupun internasional yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini. 26 Bahan hukum tertier, terdiri dari bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. 27 Untuk memproleh data pendukung akan dilakukan wawancara secara mendalam (in dept interviewing) 28 dengan mempergunakan petunjuk umum wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu pada beberapa informan yang mengetahui pokok permasalahan yang menjadi objek penelitian, baik informan yang merupakan badan pemerintah, maupun informan yang berasal dari Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) khususnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
25
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 52. 26 Ibid 27 Ibid 28 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahanpermasalahan yang telah disusun. G. Sistematika Penulisan Untuk memperjelas pembahasan dalam skripsi ini, maka susunan penulisan dalam skripsi ini adalah antara lain sebagai berikut: BAB I berisi tentang Pendahuluan yang membahas mulai dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metodologi Penulisan, Sistematika Penulisan. BAB II berisi tentang Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu terdiri dari Pengertian Sengketa Konsumen, Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Dasar Hukum Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kelembagaan, Kedudukan, Keanggotaan, Struktur, dan Pendanaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Tugas dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kecil dan Sederhana (Small Claim Court). BAB III berisi tentang Mekanisme Hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang dimulai dari Pihak-pihak yang Terlibat dalam Proses Penyelesaian
Sengketa
Konsumen,
Permohonan
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen, Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Kepaniteraan, Tata Cara Persidangan yang terdiri dari persidangan dengan cara
Universitas Sumatera Utara
Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase, Alat Bukti dan Sistem Pembuktian, Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Upaya Hukum, dan Eksekusi Putusan. BAB IV Kendala Kendala yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
dalam
Mengimplementasikan
Undang-undang
Perlindungan
Konsumen yang pembahasannya dimulai dari Lahirnya Undang-undang Tentang Perlindungan
Konsumen,
Beberapa
Ketentuan
dalam
Undang-undang
Perlindungan Konsumen yaitu Gugatan Kelompok, Pembuktian Terbalik, dan Hal-Hal Lain, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu terdiri dari Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kendala-Kendala yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Mengimplementasikan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu Kendala Kelembagaan/Institusional, Kendala Pendanaan, Kendala Sumber Daya Manusia Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kendala Peraturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Terkait Lainnya, Kendala Pembinaan dan Pengawasan Serta Tidak Adanya Koordinasi Aparat Penanggung Jawabnya, Kendala Sosialisasi dan Rendahnya Tingkat Kesadaran Hukum Konsumen, Kurangnya Respon dan Pemahaman dari Badan Peradilan Terhadap Kebijakan Perlindungan Konsumen, Kurangnya Respons Masyarakat Terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. BAB V Kesimpulan dan Saran.
Universitas Sumatera Utara