1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan zat esensial untuk kehidupan, ini disebabkan tubuh mahluk hidup sebagian besar terdiri dari air. Disamping sebagai bagian penyusun tubuh, air esensial juga dalam berbagai reaksi kimia, seperti fotosintesis dan hidrolisis, zat pelarut berbagai metabolisme, serta pembersih tubuh dengan mengangkut dan mengeluarkan zat sisa dan hasil samping metabolisme. Banyaknya air yang dibutuhkan oleh manusia dipengaruhi oleh kebudayaannya. Air dibutuhkan pula untuk pengairan tanaman pertanian, proses industri, transpor dan juga rekreasi. Dengan naiknya kegitan industri, pertambangan dan transpotasi maka limbah dari kegiatan itupun terus meningkat. Limbah yang dihasilkan dapat memberikan dampak negatif pada sumber daya alam dan lingkungan, seperti pencemaran alam dan penurunan kualitas sumber daya alam yang nantinya dapat menurunkan kualitas lingkungan. Limbah padat dan cair yang dibuang kelingkungan dapat mengganggu keseimbangan alam, misalnya perubahan pH tanah, kandungan mineral dan tercemarnya sumber nutrisi. Penggunaan bahan pembersih sistesis yang dikenal dengan deterjen sudah sangat umum dimasyarakat. Penggunaan deterjen sebagai bahan pembersih terus berkembang dalam 20 tahun terakhir. Perkembangan usaha laundry yang sebelumnya dikhususkan bagi masyarakat menengah keatas, kini mengalami perluasan menjangkau semua kalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan peningkatan kualitas limbah deterjen yang dibuang ke lingkungan. Pertumbuhan
2
industri laundry memiliki efek yang kurang baik sebab sebagian besar langsung membuang limbahnya keselokan atau badan air tanpa pengolahan terlebih dahulu. Deterjen mengandung komponen utama yaitu surfaktan, baik bersifat kationik, anionik, maupun non-ionik. Dalam air limbah deterjen terdapat ABS (Alkylbenzene
sulfonate)
yang
merupakan
bahan
kimia
yang
sulit
terdegradasi/terurai. Disamping itu deterjen juga mengandung fosfat yang berasal dari Sodium tripolyphosfate (STPP) yang merupakan salah satu bahan campuran deterjen. STPP berfungsi sebagai bahan builder yang merupakan unsur penting kedua setelah surfaktan karena kemampuannya menghilangkan mineral penyebab kesadahan air sehingga deterjen dapat bekerja secara optimal. Fosfat (PO4) yang berlebih dalam badan air akan mengakibatkan terjadinya eutrofikasi, yaitu salah satu masalah lingkungan yang mengakibatkan kerusakan ekosistem perairan khususnya pada air tawar karena tumbuhan tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan dengan pertumbuhan yang normal. Untuk itu, diperlukan cara penyisihan fosfat dari air limbah deterjen yang sederhana, murah, dan aplikatif. Salah satu cara penyisihan fosfat adalah fitoremediasi, yaitu upaya penggunaan tumbuhan dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah baik secara ex-situ menggunakan kolam buatan maupun secara in-situ (langsung di lapangan) pada tanah atau daerah yang terkontaminasi limbah (Subroto, 1996). Salah satu metode yang digunakan dalam fitoremediasi yakni dengan wetland artifisial, adalah suatu lahan yang jenuh air dengan kedalaman air tipikal yang kurang dari 0,6 m yang mendukung pertumbuhan tanaman air emergent misalnya Cattail, Bulrush, umbrrele plant, Canna, dan lain-lain.
3
Wetland dapat juga di gunakan untuk reklamasi penambangan atau gangguan lingkungan lainnya. Wetland memiliki efisiensi penghilangan suspensi padat pada kolom air yang cukup besar. Materi-materi yang tersuspensi di kolom air dapat terdiri dari banyak macam kontaminan, seperti nutrien, logam berat, atau ikatan fisika atau kimia. Terdapat dua sistem yang di kembangkan dalam konstruksi wetland saat ini yaitu Free water surface system (FWS) yang disebut juga rawa buatan / lahan basah dengan aliran diatas permukaan tanah, dan Sub-surface flow system (SSF) yang disebut juga rawa buatan dengan aliran dibawah permukaan tanah, (Leady, 1997). Namun mengingat bahwa jenis aliran permukaan (surface flow) dapat meningkatkan populasi nyamuk disekitar lokasi, maka aliran bawah permukaan (sub surface) lebih banyak digunakan sebagai alternatif sistem pengolahan air limbah domestik di Indonesia (Supradata, 2005). Sistem Lahan Basah Aliran Bawah Permukaan (Sub Surface FlowWetlands) merupakan salah satu sistem pengolahan air limbah yang prinsip kerjanya dengan memanfaatkan simbiosis antara tumbuhan air dengan mikroorganisme dalam media di sekitar sistem perakaran (Rhizospere) tanaman tersebut. Bahan organik yang terdapat dalam air limbah akan dirombak oleh mikroorganisme menjadi senyawa lebih sederhana dan akan di manfaatkan oleh tumbuhan sebagai nutrient, sedangkan sistem perakaran tumbuhan air akan menghasilkan oksigen yang dapat digunakan sebagai sumber energi/katalis untuk rangkaian proses metabolisme bagi kehidupan mikroorganisme. Setiap jenis tanaman akan memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk menghasilkan oksigen, sehingga kondisi aerob pada daerah rhizosphere untuk tiap-tiap jenis
4
tanaman akan menjadi faktor pembatas terhadap kondisi mikroorganisme. Bagi jenis bakteri aerob, konsentrasi oksigen merupakan faktor pembatas, sehingga suasana aerob pada daerah rhizosphere menyebabakan mikroorganisme yang dapat bersimbiosis dengan masing-masing jenis tanaman akan spesifik (Supradata, 2005). Berdasarkan rata-rata kondisi iklim yang potensial untuk mendukung pertumbuhan dan transpirasi tanaman sepanjang tahun, maka pengolahan air limbah
menggunakan
sistem tersebut diperkirakan dapat berjalan dengan
optimal. Disamping itu murahnya biaya konstruksi maupun biaya operasional merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan upaya pengolahan air limbah secara berkelanjutan. Dengan mempertimbangkan beberapa aspek tersebut maka fitoremediasi dengan sistem Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan (SubSurface flow system) merupakan alternatif yang cukup baik dalam rangka mengolah air limbah deterjen hasil buangan cucian. Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui kemampuan tanaman Typha latifolia dan Cyperus alternifolius dalam menurunkan kandungan fosfat, BOD dan COD pada wetland artifisial sistem SSF.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1.
Dengan berkembangnya industri laundry yang semakin pesat apakah metode fitoremediasi pada wetland artifisial dengan sistem SSF merupakan metode
5
alternatif yang cocok dalam penyisihan limbah fosfat, BOD dan COD dari deterjen air buangan cucian ? 2.
Berapa besar penurunan kandungan PO4 setelah dilakukan treatment melalui fitoremediasi dengan tanaman Typha latifolia dan tanaman Cyperus alternifolius untuk sistem wetland artifisial dengan media kerikil dan arang pada sistem SSF/ sub surface flow ?
3.
Jenis tanaman mana yang mempunyai kemampuan baik untuk mendegradasi polutan pada sistem SSF ini ?
1.3. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah diatas dapat diidentifikasi tujuan penelitian sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui apakah metode fitoremediasi pada wetland artifisial sistem SSF merupakan metode alternatif yang cocok dalam penyisihan limbah fosfat dari deterjen air buangan cucian.
2.
Untuk mengetahui seberapa besar penurunan kandungan PO4
setelah
dilakukan treatment melalui fitoremediasi dengan sistem wetland artifisial. 3.
Untuk mengetahui kemampuan tanaman air (Typha latifolia dan Cyperus alternifolius) dalam mendegradasi polutan pada wetland artifisial dengan tipe SSF.
6
1.4. Batasan Masalah 1.
Tanaman yang diteliti adalah Typha latifolia (tanaman Obor/ Tipa) dan Cyperus alternifolius (Bintang air).
2.
Wetland yang diteliti adalah wetland artifisial tipe SSF.
3.
Limbah cair yang diteliti adalah limbah cair deterjen efluen dari usaha laundry.
4.
Parameter yang di teliti adalah fosfat (PO43-) yang dapat di-remove dari air limbah.
1.5 . ManfaatPenelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah 1.
Memberikan alternatif pengolahan limbah cair deterjen secara biologi dengan memanfaatkan tanaman air yang relatif mudah di dapat.
2.
Sebagai informasi ilmiah bagi pengembangan pengetahuan tentang pengolahan limbah cair dan bahan rujukan untuk peneliti selanjutnya.
1.6. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian mengenai SSF-wetland dengan fitoremediasi untuk menurunkan
kandungan yang terdapat dalam limbah cair sudah banyak
dilakukan, namun
parameter yang diteliti adalah pH, COD, BOD, TSS,
sedangkan penelitian untuk penurunan kadar fosfat dalam air limbah deterjen belum banyak dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Wardana.I, at al (2009), yang menguji tentang penurunan kandungan fosfat pada limbah cair usaha laundry
7
tidak menggunakan metode wetland artifisial melainkan menggunakan karbon aktif dari sampah plastik dengan metode batch dan kontinyu, penelitian serupa pula dilakukan oleh Savitri (2010), dengan menggunakan metode Trickling filter. Sudah ada yang melakukan penelitian tentang penurunan kadar ortofosfat pada limbah cair deterjen dengan fitoremediasi tetapi tidak menggunakan sistem SSF- wetland
melainkan menggunakan bak penampungan dengan media air
tergenang, sistem SSF-Wetland ini pun sudah banyak di aplikasikan pada limbah cair industri maupun domestik tetapi sejauh ini hanya menggunakan media kerikil, pasir atau tanah dan belum ada yang memvariasikan dengan menggunakan media kerikil dan arang. Beberapa penelitian tersebut antara lain seperti yang tertera pada Tabel 1.1. di bawah : Tabel 1.1. Penelitian Terkait No 1
Peneliti Subiyantoro.E (2015)
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
Penurunan Nutrien dan BOD-COD dari Efluen IPAL Komunal dengan Fitoremediasi pada Wetland Artifisial
Penelitian ini menggunakan air limbah efluent dari IPAL komunal dengan BOD 53,43 mg/L COD 79,87 mg/L, fosfat 13,44 mg/L, dan amoniak 0,04 mg/L yang kemudian ditreatmen pada unit wetland dengan 4 macam tanaman. Hasil penelitian menunjukan bahwa selama 14 hari penelitian, penurunan BOD, COD, PO43- dan NH3 pada SSF-wetland dengan tanaman Iris masing-masing menjadi 14,18 mg/L, 59,55 mg/L, 7,46 mg/L dan 1,371 mg/L. Tanaman kana : 1,63 mg/L, 39,78 mg/L, 9,19 mg/L dan 0,22 mg/L. Untuk WFS-Wetland tanaman Apu-apu masing-masing menjadi 19,26 mg/L, 43,39 mg/L, 1,16 mg/L dan 0,013 mg/L. Tanaman Azola masing-masing menjadi 5,49 mg/L, 25,31 mg/L, 9,87 mg/L dan 0,015 mg/L. Tanaman yang paling baik mendegradasi polutan untuk SSF-Wetland adalah tanaman Kana sedangkan untuk
8
FWS-Wetland adalah tanaman Azola. 2
Susanti, I. (2012)
Pengaruh Subsurface Constructed Wetland Terhadap BOD, TSS dan pH Pada Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik.
Penelitian menggunakan sistem terdiri dari satu kolam construdted wetland (CW) tipe kombinasi SSF dan FWS dengan media tanah dan kerikil (rasio 2:1) menggunakan tanaman Bambu air (Equistem nyemale). Hasil penelitian menunjukan penurunan BOD rata-rata 76%, TSS 64%, nilai pH pada kisaran 7-8. Range nilai inlet untuk BOD 105 mg/L-90 mg/L dengan rata-rata 24 mg/L. TSS 88mg/L-79 mg/L dengan rata-rata 31 mg/L. Nilai range pada outlet untuk BOD 65 mg/L-8 mg/L, dan TSS 54 mg/L-15 mg/L.
3
Evasari (2012)
Pemanfaatan Lahan Basah Buatan Dengan Menggunakan Tanaman Typha latifolia Untuk Mengelola Limbah Limbah Cair Domestik.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas dan kecepatan Typha latifolia dalam menyerap polutan yang terdapat pada limbah cair domestik dengan metode SSF-Wetland untuk parameter BOD, COD, TSS, MBAS, menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukan bahwa tanaman Typha latifolia memiliki kinerja yang cukup baik dalam mereduksi BOD, COD, TSS dan MBAS.
4
Supradata (2005)
Pengelolaan Limbah Domestik Menggunakan tanaman Hias Cyperus alternifolius, L. Dalam Sistem Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan (SSFWetland)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model pengolahan air limbah rumah tangga dengan sistem SSF-Wetland menggunakan tanaman hias Bintang air (Cyperus alternifoliu) untuk parameter: BOD5, COD dan TSS. Dianalisis menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukan bahwa tanaman hias ini memiliki kinerja yang cukup baik untuk mereduksi BOD5, COD dan TSS. Melalui perhitungan menggunakan model BOD, maka di dapatkan ALR (The Areal Loading Rate) sebesar 16,24 g/m2/hari, dengan waktu tinggal optimal minimal 2 hari.
5
Savitri, C. (2010)
Penurunan Kadar Organik Air Limbah Loundry dengan menggunakan Trickling Filter.
Penelitian tentang pengolahan limbah menggunakan proses biologi Trickling filter, parameter yakni BOD dan TSS, variabel yang diukur: debit dan rasio sirkulasi. Hasil penelitian menunjukan penurunan terbaik dengan debit 218 ml/mnt dan rasio sirkulasi sebesar 0,5, mampu menurunkan kandungan BOD limbah loundry sebesar 84,65% dan kandungan TSS sebesar 84,69%.
9
6
Hermawati, dkk. (2005)
7
Parwaningtyas, Dkk
8
Wardana, I.W, dkk (2009)
9
Dewi. R at al (2012)
10
Abdulgani, at al (2013)
E.
Fitoremediasi Limbah Deterjen Menggunakan Kayu Apu (Pistia stratiotes, L.) dan Genjer (Limnocharis flava, L.)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran oleh limbah deterjen dengan parameter kualitas air (pH, Oksigen terlarut, suhu, alkalinitas, sulfat dan fosfat). Hasilnya menunjukan bahwa tanaman Kayu apu menurunkan parameter suhu sebesar 41,9%, dan tanaman Genjer menurunkan pH air limbah sebesar 9,24% dan pada konsentrasi limbah 60% terjadi penurunanpertumbuhan tanaman Kayu apu dan Genjer.
Efisiensi Teknologi Fito-Biofilm Dalam Penurunan Kadar Nitrogen dan Fosfat Pada Limbah Domestik dengan Agen Fototreatmen Teratai (Nymphae, sp) dan Media Biofilter BioBall.
Penelitian ini mengelolah limbah domestik menggunakan reaktor Fito-Biofilm sebagai filter biologis untuk menghilangkan dan menurunkan polutan. Hasil penelitian didapatkan efisiensi tertinggi penurunan kadar nitrogen amonia sebesar 60,2%, fosfat sebesar 52,38% pada waktu tinggal 24 jam.
Penurunan Kandungan Fosfat Pada Limbah Cair Industri Pencucian pakayan (Loundry) menggunakan karbon aktif dari sampah plastik dengan Menggunakan Metode Batch dan Kontinyu. Efektivitas dan efisiensi Fitoremediasi orthofosfat pada deterjen menggunakan Kiambang (Pistia stratoites).
Berdasarkan metode Batch dan kontinyu yang dilakukan melalui penelitian ini diketahui bahwa karbon aktif dari sampah plastik Polyethhylene dapat digunakan untuk menurunkan kandungan fosfat pada limbah cair industri loundry.
Pengolahan Limbah Cair Industri Kerupuk dengan sistem SSFConstructed Wetland Menggunakan tanaman Typha angustifolia.
Penelitian untuk mengolah limbah industri kerupuk dengan metode SSF-Wetland dengan tnaman Typha angustifolia dan tanpa tanaman. Parameternyai: TSS, Amoniak (NH3-N), dan Sulfida (H2S). Hasil penelitian menunjukan bahewa wetland dengan tanaman lebih efisien dalam menurunkan kandungan limbah .
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persentase tingkat penyerapan yang efektif dari berbagai konsentrasi orthofosfat dengan detensi waktu fitoremediasi tersingkat dengan menggunakan tanaman Kiambang. Percobaan dilakuka dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial skala laboratorium. Hasil penelitian menunjukan efektifitas fitoremediasi dengan waktu tersingkat yang optimal yaitu pada konsentrasi 0,05 mg/L di hari ke mpat.