BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di sebuah industri sangat penting untuk dilakukan tanpa memandang industri tersebut berskala besar ataupun kecil dan tidak pula dikhususkan untuk kriteria industri tertentu saja seperti kontraktor, proyek, pertambangan, perminyakan, ataupun manufaktur. Penerapan K3 wajib diterapkan di seluruh jenis usaha dengan dasar aktivitas yang melibatkan interaksi pekerja dengan bahan baku, alat-alat kerja atau interaksi dengan lingkungan sekitar yang berpotensi menimbulkan resiko dan membahayakan keselamatan serta kesehatan pekerja. Hal ini berkaitan dengan potensi bahaya yang terdapat di lingkungan kerja. Tenaga kerja yang terpapar dengan potensi bahaya lingkungan kerja tertentu dalam waktu yang tertentu, akan mengalami gangguan-gangguan kesehatan sesuai dengan jenis dan besarnya potensi bahaya yang ada di lingkungan kerja (Tarwaka, 2008). Potensi bahaya tersebut dapat menimbulkan penyakit akibat kerja, yaitu penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, umumnya terdiri dari satu agen penyebab, ada hubungan sebab akibat antara proses penyakit dan hazard di tempat kerja (Sucipto, 2014). Salah satu potensi bahaya di lingkungan kerja yang dapat menimbulkan penyakit akibat kerja yaitu potensi bahaya biologi (biological hazard). Potensi bahaya biologi bersumber dari kuman penyakit yang terdapat di lingkungan kerja, baik dari faktor tenaga kerja atau bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi. Berbeda dari faktor penyebab penyakit akibat kerja lainnya, faktor biologi dapat menular dari seorang pekerja kepada pekerja lainnya (Suma’mur, 2009). Salah 1
2
satu potensi bahaya biologi di lingkungan kerja yaitu infeksi cacing. Infeksi cacing pada pekerja dapat terjadi akibat transmisi melalui tanah yang digunakan sebagai bahan baku proses produksi yang dikenal dengan istilah Soil Transmitted Helminths (STHs). Soil Transmitted Helminths (STHs) adalah kelompok parasit golongan nematoda usus yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur atau larva yang mengalami perkembangan di dalam tanah dengan kondisi yang hangat dan lembab terutama pada negara-negara tropis dan subtropis di dunia. Cacing yang tergolong dalam kelompok STHs adalah cacing yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang atau menjadi bentuk infektif (CDC, 2013). Pada infeksi cacing yang ringan (jumlah cacing kurang dari 10 ekor cacing) tidak menimbulkan tanda-tanda atau gejala klinis yang khas, sehingga pekerja yang terinfeksi merasa dalam kondisi sehat dan tidak perlu memeriksakan kondisinya ke klinik kesehatan. Ada tiga jenis STHs yang paling sering ditemukan, diantaranya cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Prevalensi STHs di dunia sebesar 24% dengan penyebarannya terjadi di daerah tropis dan subtropis di dunia. Angka kecacingan tertinggi terjadi di subSahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia timur (WHO, 2006). Jumlah infeksi STHs juga sangat banyak di Asia Tenggara termasuk Indonesia, dimana prevalensi kecacingan di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena letak geografis Indonesia yang beriklim tropis sangat sesuai untuk perkembangan cacing. Distribusi STHs di Indonesia mencakup seluruh pulau yang ada di Indonesia dengan prevalensi tertinggi terdapat di Papua dan Sumatera Utara dengan prevalensi antara 50% hingga 80% (Suriptiastuti, 2006). Hasil survei terakhir yang dilakukan oleh Sub
3
Direktorat Diare dan Penyakit Pencernaan Direktorat Jenderal PPM&PL pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi kecacingan di Kalimantan Selatan berkisar antara 5,25-60,98% dengan infeksi terbanyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura (Rahayu & Ramdan, 2013). Di Provinsi Bali, khususnya di Kabupaten Badung dan Karangasem pada tahun 2012, prevalensi infeksi STHs berkisar antara 51,27-96,8% dengan infeksi terbanyak yaitu infeksi campuran antara cacing gelang, cacing cambuk dan ada pula yang disertai cacing tambang (Ditjen PP dan PL, 2012). Infeksi akibat STHs biasanya ditemui pada pekerja yang dalam melakukan pekerjaannya berhubungan atau menggunakan tanah, seperti pekerja pertambangan, pertanian, perkebunan, pengolahan tanah, pekerja taman, termasuk pekerja industri genteng, keramik dan batu bata yang menggunakan tanah sebagai bahan baku utamanya. Penelitian yang dilakukan oleh Anggraini tahun 2004 pada perajin genteng Desa Jelobo Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa proporsi kejadian infeksi STHs pada pekerja sebesar 20%, dengan infeksi cacing tambang sebesar 16,7% dan Ascaris lumbricoides sebesar 3,3%. Infeksi STHs yang terjadi didukung oleh keadaan alam yang cocok, kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Buruknya sanitasi di tempat kerja dapat mempermudah cacing untuk berkembang biak. Selain itu, kurangnya menjaga kebersihan perorangan dan ketidakpatuhan menggunakan alat pelindung diri (APD) pada saat bekerja dapat mengakibatkan mudahnya telur atau larva cacing masuk ke dalam tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Sulastri pada tahun 2005 terkait penggunaan APD pada pekerja batu bata di Kabupaten Jembrana, menemukan proporsi kecacingan pada 68% pekerja yang tidak menggunakan APD yaitu sebesar 41,9% untuk cacing tambang, 38,1% untuk cacing gelang, 4,8% untuk cacing cambuk,
4
infeksi campuran 3 jenis cacing sebesar 3,2% dan 2 jenis cacing sebesar 14,3%. Sedangkan 23,8% pekerja yang menggunakan APD tidak lengkap terinfeksi 40% cacing tambang. Perilaku dan sikap para pekerja yang tidak sesuai dengan prinsip kesehatan mempengaruhi status kesehatan pekerja yang bersangkutan, misalnya ceroboh dan tidak mematuhi aturan kerja yang berlaku serta menolak anjuran memakai alat pelindung diri. Di Bali, khususnya di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan merupakan daerah industri kerajinan genteng tradisional. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tabanan pada tahun 2014, terdapat 34 industri genteng yang memiliki ijin usaha industri di Desa Pejaten dengan jumlah pekerja sekitar 230 orang. Pekerja di industri ini selalu melakukan kontak dengan tanah dalam proses produksinya. Tanah di daerah tropis merupakan media paling baik untuk perkembangbiakan STHs. Sehingga, pekerja industri kerajinan genteng rentan terinfeksi STHs, dimana hasil penelitian Mahar tahun 2008 menunjukkan angka kejadian kecacingan pada pekerja genteng di Desa Kedawung Kabupaten Kebumen sebesar 22,5%, dengan infeksi cacing gelang sebesar 5% dan cacing cambuk sebesar 17,5%. Kemudian berdasarkan observasi awal terhadap 28 tenaga kerja di Desa Pejaten, 25 pekerja (89%) bekerja tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD). Bekerja tanpa menggunakan alat pelindung diri memiliki resiko lebih besar untuk terinfeksi STHs (Mahar, 2008). Selain itu, semua pekerja yang ditemui juga tidak pernah memeriksakan kesehatan khususnya pemeriksaan terkait infeksi STHs. Sehingga, perlu dilakukan studi mengenai gambaran infeksi STHs pada pekerja di industri kerajinan genteng tradisional di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan.
5
1.2 Rumusan Masalah Dalam proses produksi, pekerja industri kerajinan genteng tradisional di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan selalu kontak dengan tanah sebagai bahan baku dalam proses produksi, dimana tanah di daerah tropis merupakan media paling baik untuk perkembangbiakan STHs. Hal tersebut mengakibatkan pekerja industri kerajinan genteng di Desa Pejaten rentan terinfeksi STHs. Hasil penelitian Kieswari tahun 2009 menunjukkan adanya infeksi yang terjadi pada pekerja industri genteng di Desa Singorojo Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara dengan angka kejadian kecacingan sebesar 63,3%. Berdasarkan observasi awal terhadap 28 tenaga kerja di Desa Pejaten, 89% pekerja bekerja tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD), dimana bekerja tanpa menggunakan APD memiliki resiko 5,3 kali lebih besar untuk terinfeksi STHs (Kieswari, 2009; Maryanti, 2006). Semua pekerja yang ditemui juga tidak pernah memeriksakan kesehatan khususnya pemeriksaan terkait infeksi STHs. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh gambaran mengenai infeksi STHs pada pekerja industri kerajinan genteng tradisional di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan.
1.3 Pertanyaan Penelitian Bagaimana gambaran infeksi Soil Transmitted Helminths (STHs) pada pekerja industri kerajinan genteng tradisional di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan tahun 2015?
6
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran infeksi STHs pada pekerja industri kerajinan genteng tradisional di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan tahun 2015. 1.4.2 Tujuan khusus a) Untuk mengetahui prevalensi infeksi STHs pada pekerja industri kerajinan genteng tradisional di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan tahun 2015. b) Untuk mengetahui karakteristik, penggunaan APD dan tingkat pengetahuan pekerja industri kerajinan genteng tradisional di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan tahun 2015. c) Untuk mengetahui distribusi infeksi STHs menurut karakteristik pekerja industri kerajinan genteng tradisional di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan tahun 2015. d) Untuk mengetahui distribusi infeksi STHs menurut penggunaan alat pelindung diri pada pekerja industri kerajinan genteng tradisional di Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan Bali tahun 2015. e) Untuk mengetahui distribusi infeksi STHs menurut tingkat pengetahuan pekerja terkait infeksi STHs di industri kerajinan genteng tradisional Desa Pejaten Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan Bali tahun 2015.
7
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat praktis 1. Sebagai masukan kepada pekerja industri kerajinan genteng tradisional untuk memperhatikan prosedur keselamatan dan kesehatan kerja. 2. Sebagai dasar informasi bagi industri untuk melakukan evaluasi lanjutan terkait dengan pelaksanaan prosedur keselamatan dan kesehatan kerja di industri, khususnya tentang pencegahan penyakit akibat kerja. 3. Sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan serta stakeholder terkait, mengenai penyusunan kebijakan dan pelaksanaan K3 di industri kerajinan genteng tradisional. 1.5.2 Manfaat teoritis 1.
Menambah informasi, wawasan, dan pengetahuan mengenai infeksi STHs pada pekerja industri kerajinan genteng tradisional.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta menjadi salah satu referensi bagi penelitian selanjutnya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian bidang keselamatan dan kesehatan kerja khususnya penyakit akibat kerja dengan hazard biologi yaitu infeksi STHs.