BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kesehatan kerja merupakan ilmu yang mempelajari keserasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar tenaga kerja dapat bekerja dengan produktif. Kapasitas kerja adalah kemampuan fisik prima yang diperlukan seseorang untuk melakukan pekerjaannnya dengan optimal. Kemampuan fisik yang tinggi merupakan modal awal seseorang untuk melakukan pekerjaan. Kondisi ini dipengaruhi oleh umur, masa kerja, lama kerja, keadaan tempat kerja, jenis kelamin, status kesehatan, status gizi, budaya dan kemampuan beradaptasi. Adapun beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja yang terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah
dapat
menyebabkan pekerja menderita Penyakit Akibat Kerja (PAK). Selain itu faktor lingkungan kerja seperti panas, bising, debu, zat kimia dan lain-lain dapat menjadi beban tambahan bagi pekerja. Beban tambahan tersebut secara sendiri atau bersama juga dapat menyebabkan PAK (Suma’mur, 2009; Anies, 2005; Ahmadi, 1990; Manuaba, 1998). Penerapan ilmu kesehatan kerja ditujukan pada sekelompok masyarakat yang sedang bekerja, baik pekerjaan sektor formal maupun sektor informal. Peranan sektor informal di negara Indonesia cukup besar, karena mampu menyerap tenaga kerja yang tidak tertampung pada sektor formal. Tetapi risiko bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja di sektor tersebut cukup tinggi, selain bahaya kecelakaan kerja, terdapat juga penyakit akibat kerja akibat kombinasi dari
1
berbagai faktor yaitu tenaga kerja dan lingkungan kerja. Hal ini disebabkan kurang diperhatikannya norma keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dilakukan oleh sektor formal (Suma’mur, 2009). Berbagai unit usaha yang termasuk dalam kelompok sektor informal banyak menggunakan bahan kimia yang memiliki potensi bahaya, tidak hanya terhadap para pekerja, namun juga terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Jenis pekerjaan tersebut diantaranya,
penyamakan
kulit,
perajin
logam,
pertanian,
perkebunan,
penambangan emas rakyat, dan lain-lain (Tresnaningsih, 1990). Salah satu usaha sektor informal logam yang menyerap tenaga kerja adalah jasa elektroplating atau pelapisan logam. Teknik elektroplating ini bertujuan untuk melapisi logam agar tahan karat dan menambah keindahan dengan warna putih mengkilap. Elektroplating logam dapat berupa lapis zink, galvanis, perak, emas, tembaga, kuningan, nikel, dan chrome atau kromium (Gambelunghe et al., 2003). Kromium (Cr) telah dimanfaatkan secara luas dalam kehidupan manusia. Senyawa kromium (VI) merupakan kelompok besar bahan kimia dengan berbagai macam sifat kimia, penggunaan dan paparan di tempat kerja. Sifat Cr diantaranya tahan korosi, kuat dan keras. Bahan yang mengandung Cr (VI) diantaranya adalah berbagai cat dan pigmen primer, perlengkapan seni grafis, fungisida, inhibitor korosi, dan pengawet kayu. Beberapa industri dengan jumlah
pekerja yang
banyak sering terpapar oleh konsentrasi tinggi senyawa Cr (VI), seperti elektroplating, pengelasan, dan melukis. Diperkirakan 558.000 pekerja di
2
Amerika Serikat terkena paparan senyawa Cr (VI) di udara tempat kerjanya (NIOSH, 2013). Kromium digunakan dalam berbagai proses industri seperti produksi stainless steel, pengelasan, penyamakan kulit dan pelapisan logam (Gambelunghe et al., 2003; Caglieri, 2006). Sebagai pelapis, logam ini banyak digunakan sebagai bahan pelapis (plating) pada bermacam-macam peralatan, mulai dari peralatan rumah tangga sampai mobil. Sesuai dengan tingkat valensi yang dimilikinya, logam atau ion Cr yang telah membentuk senyawa, mempunyai sifat yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat ionitasnya. Senyawa yang terbentuk dari ion logam Cr (II) akan bersifat basa, senyawa yang terbentuk dari ion Cr (III) bersifat ampoter dan senyawa yang terbentuk dari ion Cr(VI) akan bersifat asam. Ion kromat bila berada pada suasana asam akan bersifat sebagai oksidator yang sangat kuat (Palar, 2008). Hexavalen Kromium (Cr (VI)) biasa digunakan sebagai pewarna dan agen antikorosif. Sedangkan bentuk trivalent nya (Cr(III)) digunakan sebagai campuran logam seperti stainless steel. Paparan hexavalent kromium lebih berbahaya dibandingkan dengan paparan bentuk trivalen karena dapat meningkatkan solubilitas jaringan dan permiabilitas membran sel (Greenberg et al., 2003). Kromium merupakan logam berat yang terjadi secara alami dan merupakan salah satu mikronutrien penting yang dibutuhkan untuk menunjang kerja insulin dalam tubuh sehingga tubuh dapat mencerna gula, protein dan lemak. Meskipun demikian bukti klinis dan laboratorium menunjukkan bahwa heksavalen kromium bertanggung jawab terhadap sebagian besar kejadian
3
keracunan. Cr sangat beracun jika terhirup/inhalasi, kontak dengan kulit dan tertelan melalui konsumsi makanan dan minuman yang mengandung Cr. Hal ini dapat menyebabkan kanker paru, iritasi hidung, ulkus hidung, hipersensitivitas reaksi seperti dermatitis kontak dan asma ( Shrivastava et al., 2002; ATSDR, 2012). Elektroplating
Cr menggunakan asam
Kromat (VI) dalam bak
elektroplatingnya. Rute inhalasi merupakan jalan masuk dan paparan utama pada pekerja. Pekerja dapat menghirup kromium dalam bentuk gas, debu atau partikel ketika bekerja di sekitar bak elektroplating. Partikel dengan ukuran diameter kurang dari 5 µ dapat mencapai alveoli dan larut ke dalam aliran darah. Kromium direduksi oleh makrofag di percabangan bronkial dan sel parenkim paru (Das & Singh, 2011). Saluran pernafasan adalah target utama toksisitas senyawa Cr (VI) terkait dengan paparan kronik dan akut senyawa tersebut (ATSDR, 2012; De Flora, 2000). Paparan akut dapat menyebabkan sesak napas, batuk dan mengi (Sobaszek et al., 2000). Sedangkan paparan kronis menyebabkan ulserasi dan perforasi septum hidung, bronkitis kronis, penurunan fungsi paru, pneumonia dan efek pernafasan lainnya (Bradshaw et al., 1998; OSHA, 2006). Sebagai logam berat, Cr (VI) mempunyai daya racun tinggi dibandingkan Cr pada valensi lain dan memiliki potensial bahaya kesehatan (Lou et al., 2013). Senyawa Cr telah terbukti menghasilkan efek toksik, genotoksik, mutagenik dan carcinogenetik pada sistem biologi (Palaniappan & Karthikeyan, 2009; Gambelunghe, 2003; O’Brien et al., 2003). Studi epidemiologi menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar produksi kromat dan pelapisan Cr memiliki risiko 2-
4
80 kali lipat terkena kanker paru ( Holmes, et al., 2008). Paparan Cr (VI) dalam tubuh terutama melalui inhalasi aerosol dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada saluran pernafasan, karsinogenik, hati, ginjal dan terganggunya sistem imun. Beberapa studi invitro mengindikasikan bahwa konsentrasi Cr (III) dalam sel dapat menyebabkan kerusakan DNA (Eastmond et al., 2008). Dalam tubuh, Cr (VI) akan direduksi oleh beberapa mekanisme menjadi Cr (III) yang ada di dalam darah sebelum masuk ke dalam sel. Toksisitas akut Cr terjadi karena sifat oxidatif yang kuat. Setelah mencapai aliran darah, dapat merusak ginjal, hati dan sel-sel darah melalui reaksi oksidasi (IETEG, 2004). Bentuk umum dari kerusakan DNA diantaranya adalah DNA strand breaks, kromium-DNA adduct, DNA-protein cross-link dan kerusakan oksidatif DNA. Paparan kronis terhadap Cr (VI) secara signifikan dapat meningkatkan risiko kanker saluran pernapasan (Mancuso, 1997; De Flora, 2000). Berdasarkan penelitian dan bukti epidemiologis, Cr (VI) dianggap sebagai kelompok 1 karsinogen manusia oleh International Agency for the Research on Cancer (De Flora 2000; Gibb et al., 2000; Luippold et al.,2005; Park et al., 2004). Cr (VI) dapat dengan mudah memasuki membran sel dan direduksi menjadi bentuk trivalen di dalam sel (Alexander & Aaseth,1995; Chiu et al., 2004). Cr (VI) sebagai oksidator yang kuat dapat berkurang valensinya menjadi bentuk trivalen melalui Cr (V) dan Cr (IV). Proses ini sering menghasilkan radikal bebas yang pada akhirnya mengaktifkan O2 dan menghasilkan beberapa Reaktif Oksigen Spesies (ROS), ROS yang dihasilkan oleh reaksi-reaksi ini adalah superoksida (O2), hidrogen peroksida (H2O) dan radikal hidroksil (-OH). Selama
5
metabolisme Cr, H2O2 dapat direduksi
menjadi -OH dalam reaksi Fenton.
Oksidan dianggap bertanggung jawab atas kerusakan DNA. H2O2 dan - OH, bila dihasilkan dalam jumlah besar, merupakan oksidan yang dapat menginduksi DNA strand breaks dan modifikasi dasar yang terkait dengan karsinogenesis logam (Aiyar et al., 1991; Kasprzak, 1991; Codd, et al., 2001; Shi, et al., 1994; Ye, et al., 1999; Baghi et al., 2002; Bryant et al., 2006). Jumlah berlebihan ROS yang dihasilkan dalam reaksi reduksi dapat menyebabkan stres oksidatif yang menyebabkan cidera pada sel DNA, lemak dan protein (Rao, et al., 2009; Nordberg & Arner, 2001). Kelebihan produksi ROS juga dapat menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan oksidatif DNA ( Danielsen et al., 1987; Aiyar, 1989; Bagchi et al., 2002;. O'Brien et al., 2003). Pengurangan Cr (VI) menjadi Cr (III) menghasilkan pembentukan intermediet reaktif yang bersama-sama dengan stres oksidatif dan kerusakan jaringan oksidatif termasuk modulasi apoptosis p53 gen regulasi dan berkontribusi terhadap sitotoksisitas, genotoksisitas dan carcinogenicitas. Paparan Cr (VI) dapat mengakibatkan berbagai mutasi DNA dan kerusakan kromosom, serta perubahan oksidatif dalam protein ( Shrivastava, et al., 2002). Salah satu yang paling sering digunakan sebagai biomarker
adanya
tingkat peroksidasi lipid akibat stres oksidatif adalah peningkatan kadar malondialdehid (MDA). Malondialdehid adalah produk alami dari peroksidasi lipid dan biosintesis prostaglandin
yang mutagenik dan karsinogenik. MDA
bereaksi dengan DNA untuk membentuk adduct untuk deoxyguanosine dan deoxyadenosine (Marnett, 1999).
6
Kasai et al. (1984) menganalisis bentuk oksidatif kerusakan DNA dapat dilihat dengan menilai konsentrasi 8-hydroxydeoxyguanosine (8-OHdG), yang merupakan biomarker stres oksidatif selular selama carcinogenesis, dengan menyelidiki mekanisme 8-OHdG yang dibentuk secara in vitro dengan berbagai agen, seperti reaksi Fenton, x-ray, rokok, asbes dan partikel knalpot diesel ( Kasai et al., 1984). Penelitian Faux et al. menyatakan bahwa terdapat produksi 8OHdG dalam DNA terisolasi dengan Cr (VI) dan Cr (V). Hal ini menunjukkan bahwa ada kerusakan oksidatif terisolasi DNA dengan Cr (VI) dan Cr (V), yang menunjukkan mekanisme yang independen dari tiol dan keterlibatan hidrogen peroksida, mungkin melalui reaksi Fenton (Faux et al.. 1992). Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi 8-OHdG, seperti spesies, jenis kelamin, usia, latihan, alkohol, merokok, berat badan dan gizi. Oleh karena itu, ada variasi hasil yang
diperoleh
dari
subyek
manusia
(Ames,
1989).
Tingkat
8-
hydroxydeoxyguanosine (8-OHdG) dalam urin sebagai indikator stres oksidatif dapat diukur dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) (Zhang, et al., 2011) dan dapat digunakan sebagai indikasi dari dosis aktif secara biologi pada paparan rendah dan sedang Cr heksavalen ( Kakkar et al., 2005). Menurut Sarkar, pekerja pelapis logam terpapar oleh partikel dan kabut Cr heksavalen yang dihasilkan dari proses elektrolisis yang terjadi di bak elektroplating. Partikel dan kabut tersebut terjadi sebagai akibat letupan pada permukaan cairan di bak elektroplating yang berasal dari gelembung oksigen dan hidrogen keluar dari elektroda saat proses pelapisan (Sarkar, 2002). Sampel urin untuk melihat paparan Cr sebaiknya dikumpulkan setelah 24 jam paparan,
7
sedangkan untuk melihat pengaruh inhalasi Cr dilakukan pengukuran 4- 8 jam setelah paparan (Greenberg et al., 2003). Toksisitas Cr dalam tubuh dipengaruhi oleh dosis dan lama paparan, kelangsungan paparan, cara kontak, umur, status kesehatan, status gizi, tingkat kekebalan, jenis kelamin dan jenis jaringan yang terpapar Cr (EPA, 2001). Dari hasil survai awal yang dilakukan di sentra pelapisan logam desa Kedung Pancing, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati didapatkan data bahwa dari 4 titik lokasi kadar Cr di udara adalah berkisar antara 0,171 µg/m3 – 6,154µg/m3. Sedangkan kadar Cr dalam urin pada 10 pekerja diperoleh hasil sebesar 0,007 mg/l sebanyak empat orang, 0,013 mg/l sebanyak empat orang dan kadar Cr dalam urin tertinggi adalah 0,040 mg/l sebanyak 2 orang dengan NAB 0,05 µg/l (ATSDR, 2012). Pekerja rata-rata sudah bekerja lebih dari satu tahun bahkan terdapat beberapa pekerja yang sudah puluhan tahun, dengan lama kerja 8 jam per hari. Hampir semua pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri selama proses produksi. Penelitian yang dilakukan pada bulan Pebruari 2013 pada pekerja pelapisan logam di Kecamatan Talang kabupaten Tegal, didapatkan hasil bahwa kandungan Cr dalam urin pekerja
berkisar antara 6,00 µg/l – 110,0 µg/l
(Sudarsana, 2013) sedangkan Nilai ambang batasnya kadar Cr dalam urin sebesar 0,05 µg/l (ATSDR, 2012). Kadar debu Cr di udara mencapai 1,3104 µg/m3 dan 1, 8433 µg/m3. Konsentrasi kadar Cr udara yang aman menurut The National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) untuk 8 jam kerja sebesar 0,2 µg/m3 (NIOSH, 2013). Survei pendahuluan yang dilakukan peneliti di sentra 8
industri pelapisan logam di Kecamatan Talang kabupaten Tegal ini mendapatkan data bahwa industri pelapisan logam di daerah Tegal merupakan industri sektor informal dan skala kecil. Masalah K3 yang terdentifikasi saat survei awal adalah (1) beberapa tempat produksi menyatu dengan rumah pemilik usaha; (2) memiliki higiene sanitasi tempat kerja yang buruk; (3) memiliki sistem ventilasi yang tidak adekuat; (4) Hampir seluruh pekerja tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) selama bekerja ; (5) Sebagian pemilik usaha menambahkan zat kimia tertentu untuk mengurangi bau menyengat yang keluar dari bak elektroplating, sehingga pekerja merasa tidak mencium bau tajam dan berbahaya. Meskipun seringkali pekerja terpapar langsung uap logam dari tungku pencelupan tetapi sebagian besar pekerja mengeluh tidak merasakan gangguan kesehatan. Pada pekerja pelapis logam, rute utama kromium
masuk ke dalam tubuh adalah
melalui inhalasi. Bukti klinis dan laboratoris mengindikasikan bahwa Cr (VI) sangat toksik bila terhirup. Pekerja sentra pelapisan logam di kecamatan Talang Kabupaten Tegal rata-rata sudah bekerja lebih dari satu tahun bahkan terdapat beberapa pekerja yang sudah puluhan tahun, dengan lama kerja 8 jam per hari. Tidak ada pemeriksaan rutin dan pemeriksaan berkala pada pekerja pelapis logam sektor informal tersebut.
.
Menurut peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik
Indonesia No PER 25/MEN/XII/2008 tentang Pedoman diagnosis dan penilaian cacat karena kecelakaan dan PAK paparan kromium di tempat kerja dapat mengakibatkan kanker paru. Pemeriksaan penunjang pada penyakit bidang paru 9
sesuai peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No PER 25/MEN/XII/2008 tersebut menggunakan pemeriksaan rutin dan khusus. Pemeriksaan penunjang rutin meliputi : pemeriksaan laboratorium darah dan urin rutin, foto thorax dan spirometri. Sedangkan pemeriksaan penunjang khusus meliputi uji alergi, uji provokasi bronkus, pemeriksaan sputum untuk BTA, bronkoskopi, biopsi, radiologi, uji kapasitas definited CO dan uji Cardio Pulmonary Disease. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila ada keluhan dan permintaan dari pekerja. Selama ini belum ada pemeriksaan non infasif untuk melihat biomarker adanya kerusakan oksidatif DNA sehingga dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimanakah hubungan paparan kromium (Cr) terhadap kerusakan oksidatif DNA dengan menggunakan biomarker MDA dan 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal? B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1.
Apakah ada hubungan antara kadar kromium dengan kadar MDA pekerja pelapis logam sektor informal ?
2.
Apakah ada hubungan antara kadar MDA dengan kadar 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal?
3.
Apakah ada hubungan antara kadar kromium dengan kadar 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal ?
4.
Apakah ada hubungan antara karakteristik individu (umur dan status gizi ) dengan kadar 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal? 10
5.
Apakah ada hubungan antara karakteristik kerja (masa kerja dan jenis pekerjaan) dengan kadar 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal?
6.
Apakah ada hubungan antara
kebiasaan pekerja ( kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol, konsumsi minuman berenergi) dengan kadar 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal? 7.
Apakah ada hubungan secara bersama antara kadar kromium, kadar MDA, karakteristik individu,
karakteristik kerja dan kebiasaan individu dengan
kerusakan DNA pada pekerja pelapis logam ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menganalisis hubungan paparan kromium terhadap kerusakan oksidatif DNA dengan menggunakan biomarker MDA dan 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal. 2. Tujuan Khusus a. Menganalisis hubungan antara kadar kromium
dengan kadar MDA
pekerja pelapis logam sektor informal. b. Menganalisis hubungan antara kadar MDA dengan kadar 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal. c. Menganalisis hubungan antara kadar kromium dengan kadar 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal.
11
d. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu (umur dan status gizi) dengan kadar 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal. e. Menganalisis hubungan antara karakteristik kerja (masa kerja dan jenis pekerjaan) dengan kadar 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal. f. Menganalisis hubungan antara kebiasaan pekerja ( kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, konsumsi minuman berenergi) dengan kadar 8-OHdG pada pekerja pelapis logam sektor informal. g. Menganalisis hubungan secara bersama antara kadar kromium, kadar MDA, karakteristik individu, karakteristik kerja dan kebiasaan pekerja dengan kerusakan DNA pada pekerja pelapis logam.
D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan deteksi dini Penyakit Akibat Kerja (PAK) tentang pengaruh paparan kromium terhadap kerusakan oksidatif DNA pada pekerja pelapis logam di sektor informal agar tidak terjadi kerusakan yang lebih lanjut. 2. Praktis a. Dinas Kesehatan Karena menggunakan urin sebagai biomarker dalam tubuh pekerja, penelitian ini dapat digunakan sebagai deteksi dini (skrening awal) dan tidak menyakitkan bagi pekerja untuk mengetahui kadar Cr dan
12
kerusakan DNA dalam tubuh, sehingga dapat ditegakkan diagnosis dan dilakukan penanganan secara komprehensif dalam mengurangi paparan Cr di tempat kerja. b. Sebagai masukan bagi Kementrian Tenaga kerja dan Transmigrasi serta Kementrian Kesehatan untuk pembuatan kebijakan, strategi, evaluasi dan kontrol sebagai usaha perlindungan pekerja pelapis logam sektor informal. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang pengaruh paparan kromium terhadap kerusakan DNA pernah dilakukan di luar negeri, diantaranya : 1. Gambelunghe et al. (2003), melakukan penelitian berjudul : Primary DNA dammage in chrome-platting workers. Penelitian ini membandingkan 3 kelompok yang bertujuan melihat konsentrasi kromium dalam urine, eritrocit dan limfosit sebagai indikator biologi dari paparan. Hasilnya menunjukkan
adanya
peningkatan
DNA
strand-breaks
dengan
menggunakan comet assay dapat menjadi monitoring biologi yang valid pada komponen genetoxic pekerja yang paparan Kromium. 2. Kuo et al.(2003), melakukan penelitian berjudul : Chromium (VI) induced oxidative
damage
to
DNA
:
increase
of
urinary
8-
Hydroxydeoxyguanosine concentration (8-OhdG) among elekroplating workers. Penelitian ini adalah penelitian case control yang bertujuan melakukan investigasi konsentrasi kadar 8-OHdG diantara pekerja
13
elektroplating di Taiwan
dan hasilnya 8-OHdG sebagai indikator
kerusakan DNA merupakan biomarker yang sensitif pada paparan Cr. 3. Caglieri et al. (2006), melakukan penelitian berjudul : The Effect of inhaled chromium on different exhaled breath condensate biomarkers among chrome plating worker. Penelitian ini bertujuan melihat jumlah Cr dalam EBC hubungannya dengan perubahan biochemical dan stres oksidatif dalam sistem pernafasan ( melihat hidrogen peroksida/H2O2 dan malondialdehyde/MDA) dan hasilnya terdapat korelasi antara Cr-EBC dengan kadar H2O2 dan MDA 4. Kalahasthi et al. (2006),
melakukan penelitian berjudul : Effect of
Chromium (VI) on the status of plasma lipid peroxidation on erythrocyte antioxidant enzymes in Chromium Plating Workers, penelitian ini adalah penelitian case control dengan desain penelitian cross sectional dan hasilnya terdapat peningkatan yang signifikan pada peroksidasi lemak dan penurunan yang signifikan dari superoksida dismutase dan tingkat glutathion peroksidase pada grup yang diteliti dibandingkan pada kontrol. 5. Mazzer et al. (2006), melakukan penelitian dengan judul Mechanism of DNA damage and insight into mutations by chromium (VI) in presense of Glutathione. Penelitian ini adalah penelitian cross sectional dan hasilnya menunjukan bahwa kerusakan DNA terjadinya karena adanya radikal hydroxyl. 6. Meibian et al. (2008), melakukan penelitian dengan judul Investigating DNA damage in tannery workers occupationally exposed to trivalent
14
chromium using comet assay, Penelitian ini adalah penelitian cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan Cr (III) akibat pekerjaan dapat mendeteksi adanya kerusakan DNA pada limfosit periferal. 7. Raghunathan et al. (2009), melakukan penelitian dengan judul Response to chronic exposure to hexavalent chromium. Penelitian ini bertujuan melihat monocit manusia yang terpapar kromium selama 4 minggu dan hasilnya menunjukkan bahwa adanya konsentrasi Cr (VI) mempunyai respon adaptif yang potensial terhadap peningkatan gluthation – STransferase dan meningkatkan Reaktive Oxygen Spesies (ROS) . 8. Zhang et al. (2011),
melalukan penelitian pada dengan judul : Chronic
occupational exposure to hexavalent chromium causes DNA damage in electroplating workers. Penelitian ini adalah penelitian dengan design cross sectional yang bertujuan meneliti dosis paparan Cr (VI) yang rendah terhadap kerusakan DNA. Dan hasilnya menunjukkan bahwa paparan yang chromium yang rendah pada pekerja elektroplating dapat menyebabkan kerusakan DNA 9. Khan et al. (2012), melakukan penelitian pada dengan judul : Assesment of health risks with reference to oxidative stress and DNA damage in chromium exposed population. Tujuan penelitian ini membandingkan risiko kesehatan dengan parameter stres oksidatif (MDA,GSH,SOD) dan kerusakan DNA pada pekerja yang terpapar Cr (III) dan yang tidak terpapar. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara
15
tingkat GSH dan hubungan yang positif signifikan pada MDA, SOD dan kerusakan DNA
dengan Cr dalam darah pada 2 kelompok. Pada
kelompok yang terpapar terdapat prevalensi penyakit respirasi, diabetes, gastrointestinal dan kulit. 10. Lou et al. (2012), melakukan penelitian berjudul : DNA Damage and Oxidative stress in human B lymphoblastoid cell after combined exposure to hexavalent chromium and Nickel compounds. Penelitian ini mengukur tingkat ROS dan MDA, dan hasilnya menunjukkan bahwa kerusakan DNA dapat terjadi akibat paparan yang simultan dari Cr heksavalen dan komponen nikel serta berhubungan dengan stres oksidatif.
Penelitian tentang kerusakan oksidatif
hubungan kapasitas kerja dan kadar Cr dengan
DNA pada pekerja elektroplating sektor informal di
Indonesia menurut pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Penulis ingin melihat bagaimana biomarker 8-OHdG pada urine bisa digunakan sebagai deteksi dini terjadinya kerusakan DNA oksidatif dan Penyakit Akibat Kerja. Selain itu juga dapat digunakan sebagai upaya meminimalisir kerusakan lebih lanjut pada pekerja.
16