BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Aktivitas kerja di lingkungan yang tidak sehat menyebabkan beban kerja fisik meningkat. Semakin berat beban kerja fisik seseorang, beban metabolisme tubuh semakin besar pula. Oleh karena itu, setiap aktivitas harus memperhatikan kapasitas karyawan. Semakin tinggi kapasitasnya semakin tinggi kinerja karyawan yang dihasilkan, sehingga berdampak pada semakin tinggi outcome yang diperoleh berupa peningkatan kualitas kehidupan kerja (quality of work life) yang muaranya menuju pada peningkatan kualitas kerja (quality of life) sebagai tujuan dari penerapan ergonomi. Kualitas kehidupan kerja terus meningkat seiring dengan perbaikan kondisi kerja dan upaya optimalisasi berbagai faktor yang berpengaruh terhadap karyawan, salah satunya pada industri pengecoran logam. Industri pengecoran logam merupakan salah satu industri dengan kondisi kerja yang tergolong mempunyai sumber pencemaran udara primer. Kondisi ini mempengaruhi sistem tubuh pekerja seperti sistem pernafasan. Hasil penelitian pendahuluan Susihono (2014a) pengukuran spirometer dari 23 tenaga kerja di stasiun pencetakan industri pengecoran logam terdapat 75% pekerja kondisi normal, 20% gangguan sedang, 5% gangguan ringan. Aktivitas manusia menjadi penyebab dominan
terhadap
kualitas
lingkungan (Purwanta, 2008; Salim, 2012; Kristanto, 2013), sehingga perlu diantisipasi adanya gangguan kerja pada manusia (Neghab dan Choobineh, 2007) 1
2
dan mengurangi dampak pencemaran udara pada saluran pernafasan seperti bronchitis, asma, kelainan fungsi tenggorokan (bronchoconstricting agent) (Bauer, 1984), gangguan penafasan (Thepaksorn, et al., 2013). Kualitas lingkungan pada industri pengecoran logam disebabkan adanya partikel debu. Partikel debu dengan ukuran 0,3 µ mengikuti gerakan brown, 0,3µ-0,6µ akan sampai pada alveoli paru dan debu yang berukuran lebih besar 0,6µ tertahan di saluran nafas bagian atas (Prayudi, et al., 2001). Terbentuknya debu (fly ash) disebabkan oleh kondisi kerja yang belum memperhatikan kenyamanan dan keamanan kerja, pekerja baru berorientasi pada capaian proses dan hasil akhir, sedangkan faktor manusia belum menjadi pertimbangan utama setiap aktivitas kerja. Aktivitas kerja di industri selalu berhubungan dengan tahapan proses produksi. Aktivitas kerja di industri pengecoran logam khususnya di stasiun peleburan dan stasiun pencetakan berada pada jalur kritis, sehingga membutuhkan tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan menengah (Susihono, 2014a). Aktivitas kerja di stasiun pencetakan, ditemukan sikap kerja yang tidak alamiah, monoton dan repetitif. Pekerja terpapar radiasi panas baja cair dan tuntutan waktu penuangan baja cair maksimal 10 menit/siklus untuk menghasilkan mutu produk bersifat nodular. Sikap kerja yang tidak alamiah menyebabkan nyeri pada tubuh tertentu (Kee dan Karwowski, 2007; Inzumi, 2008). Proses penuangan baja cair ini dilakukan pengulangan 7 s/d 9 kali/hari sehingga membutuhkan Ladle dengan dimensi atau ukuran yang standar.
3
Sikap kerja tidak alamiah pada penggunaan Ladle disebabkan oleh dimensi Ladle yang bervariasi. Pada dasarnya, Ladle berfungsi sebagai alat bantu transportasi pengangkutan baja cair, menampung sementara baja cair sebelum dituang ke dalam cetakan dengan kapasitas terisi 50 kg baja cair. Dimensi handle Ladle yang bervariasi mengakibatkan perbedaan derajat paparan panas yang dirasakan pada suhu permukaan kulit oleh pekerja. Bila jarak terlalu pendek, paparan panas baja cair terhadap suhu permukaan kulit pekerja terasa tinggi, mempercepat dehidrasi dan evaporasi dan berpotensi peningkatan kecelakaan kerja (Schute, et al., 1994). Bila pegangan Ladle terlalu panjang, tenaga atau otot pekerja untuk proses mengangkat beban menjadi berlebih, terjadi beban tambahan yang lebih besar. Diameter handle Ladle mempunyai rentang ukuran dari 25 mm s/d 40 mm. Karena rentang ukuran diameter yang lebar ini berdampak pada penggunaan otot tubuh yang berlebih dan sikap kerja yang tidak alamiah. Sikap kerja yang tidak alamiah menyebabkan keluhan pada sistem muskuloskeletal (Lee, et al., 2005; Choobineh, et al., 2007; Errico, et al., 2010; Bernards, et al., 2011), dan mengakibatkan kelelahan (Rodahl, 1989; Adiputra, et al., 1998; Manuaba, 2000c; Tarwaka, 2010; Gooyers dan Stevenson, 2012). Desain Ladle berpengaruh terhadap sikapkerja dan timbulnya keluhan pekerja. Keluhan yang dirasakan oleh pekerja terjadi pada saat mengoperasikan Ladle, dimana bila posisi pekerja terlalu jauh dengan pusat penuangan baja cair, beban tambahan akibat panjang handle menambah berat pengangkatan beban, namun apabila jarak pekerja sangat dekat (± 103 cm) dengan pusat panas baja
4
cair, panas yang diterima oleh permukaan kulit pekerja terus meningkat. Timbul beberapa keluhan pekerja setelah selesai aktivitas menuang baja cair antara lain: pusing, merasa kekurangan oksigen yang ditandai dengan nafas terasa berat dan sesak dalam waktu sesaat. Gejala ini disebabkan pekerja menghirup udara yang bercampur dengan partikulat halus debu fly ash sehingga terjadi penurunan kadar oksigen yang dihirup oleh pekerja. Udara yang bercampur dengan debu fly ash menyebabkan perubahan komposisi kadar O2 di lingkungan kerja. Kondisi ini menyebabkan berkurang pula O2 yang dihirup oleh pekerja dan masuk ke paru-paru (ventilasi), terjadi penurunan kecepatan difusi, dan penurunan kapasitas hemoglobin dalam membawa oksigen atau penurunan saturasi oksigen (SpO2). Saturasi oksigen (SpO2) adalah persentase hemoglobin yang mengikat oksigen dibandingkan dengan jumlah total hemoglobin yang tersedia (Potter dan Perry, 2006; Andarmoyo, 2012). Perlu perbaikan lingkungan kerja agar dapat menurunkan paparan udara terhirup pada pekerja yang disebabkan oleh hasil samping pembongkaran
cetakan,
diantaranya
berupa
perbaikan
organisasi
kerja
penggunaan Ladle. Organisasi kerja pada proses penggunaan Ladle belum di standarisasi, sehingga terjadi potensi ceceran tumpahan baja cair, produk reject atau gagal cetak sehingga mengakibatkan pemborosan cetakan yang berujung timbulnya debu (fly ash) berlebih. Interaksi antar pekerja saat membawa Ladle belum ada pembagian tugas yang jelas, yakni tugas menahan Ladle dengan posisi tangan statis dan tugas untuk menuang baja cair ke dalam cetakan dengan posisi handle
5
yang dapat di putar sesuai kebutuhan. Interaksi oleh ke dua pekerja ditemukan tumpang tindih pembagian tugas kerja, sehingga berdampak pada in-efficiency waktu kerja. Interaksi manusia dengan tools harus seimbang untuk memperoleh efisiensi kerja (Sanders dan Cormick, 1997; Turner, et al., 1993; Corlett, 2005). Sampai dengan saat ini belum ditemukan desain Ladle yang nyaman dan aman dalam penggunaan serta dilengkapi dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Permasalahan kedua adalah aktivitas pembongkaran cetakan menghasilkan efek samping berupa debu (fly ash) berada diatas Nilai Ambang Batas (NAB) sehingga berpengaruh terhadap kualitas lingkungan kerja dan kinerja karyawan. Nilai Ambang Batas Total Suspended Particulate (TSP) debu logam yang di persyaratkan maksimal sebesar 10 mg/m3. Nilai TSP ini dapat digunakan sebagai parameter kualitas lingkungan perusahaan (Fardiaz, 1992; Belong, et al., 2000; Nurjazuli, et al., 2010). Hasil pengukuran debu (fly ash) pada bulan November 2014, nilai TSP indoor pada stasiun Pencetakan melebihi NAB, yaitu sebesar 12,32 ± 3,15 mg/m3. Berdasarkan hasil pengukuran ini dan skala prioritas dari hasil identifikasi masalah antara pekerja dan Manager Produksi, dibutuhkan alat yang dapat menangkap debu, seperti Dust Collector (Lieke, 2011; Kristanto, 2013), sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas lingkungan perusahaan. Kualitas lingkungan yang tidak sehat berdampak pada tidak optimalnya pekerja dalam menyelesaikan tugasnya, timbul beberapa keluhan sebagai dampak terhadap kondisi lingkungan kerja yang buruk. Kualitas lingkungan turut serta memberikan
kontribusi
terhadap
peningkatan
keluhan
muskuloskeletal
6
(Yokoyama, et al., 2006; Keun dan Park, 2007). Keluhan sistem muskuloskeletal pekerja di industri logam umumnya pada tubuh bagian atas (Choi, et al., 2009). Kualitas lingkungan yang buruk, apabila dibiarkan dalam waktu yang lama selain berdampak pada keluhan muskuloskeletal yang disebabkan oleh penggunaan otot berlebih, juga dapat berpengaruh terhadap peningkatan kelelahan, kebosanan dan menurunkan kepuasan kerja. Kondisi lingkungan yang tidak nyaman menyebabkan timbulnya gerakan in-effective dari pekerja, penggunaan otot berlebih, sikap kerja membungkuk, menahan nafas saat membongkar cetakan menyebabkan terjadinya kelelahan dini. Umumnya kelelahan berlangsung di susunan syaraf pusat atau perifer yakni di otot yang sedang berkontraksi atau bekerja (Gawke, et al., 2012). Bila kelelahan terus berlangsung, maka kelelahan berdampak terhadap penurunan kekebalan tubuh dan konsentrasi kerja (Nagai, et al., 2011). Dikatakan lelah fisik apabila terjadi perubahan fisiologis (Adiputra, et al., 1998), terjadi penurunan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Grandjean dan Kroemer, 2000), pekerja tidak dapat beraktivitas dan menerima beban kerja lagi (Pulat, 1992). Dampak lanjutan kelelahan fisik adalah timbul kondisi bosan dan penurunan kepuasan (Hakansson, et al., 2011). Kerugian akibat kondisi lingkungan yang tidak sehat, tidak hanya dialami oleh manajemen perusahaan yakni penurunan target produksi, waktu penyelesaian produk lebih lama namun berdampak pada penurunan kinerja karyawan. Kinerja
merupakan
keseimbangan
antara
tuntutan
tugas
dengan
keterbatasan, kebolehan dan kemampuan sesorang agar terwujud kondisi kerja
7
yang aman, nyaman dan sehat (Manuaba, 2000c; Gradjean, 1993), adanya kombinasi kemampuan terhadap suatu usaha (Sulistiyani, et al., 2003) atau sistem yang terstruktur terkait pekerjaan pada aktivitas tertentu dan kondisi tertentu (Rivai, 2005), serta dapat meningkatkan motivasi dan kemampuan kerja (Wono, 2008). Kinerja karyawan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan Susihono (2014c,d) menunjukkan bahwa rerata beban kerja 137,38 ± 13,94 dpm, skor rerata keluhan muskuloskeletal 53,43 ± 6,56, skor rerata kelelahan 76,43 ± 9,92, skor rerata kebosanan 50,50 ± 5,29 dan skor rerata kepuasan kerja 42,50 ± 5,93. Kinerja karyawan ini dipengaruhi oleh kualitas lingkungan. Debu terbang (fly ash) memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas lingkungan, sehingga pada penelitian ini dilakukan intervensi berupa pengelolaan debu terbang (fly ash) yang merupakan sumber dominan terhadap kualitas lingkungan perusahaan. Faktor lingkungan lain berupa suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, intensitas cahaya dan tingkat kebisingan dikontrol secara analisis. Debu terbang (fly ash) yang terbentuk pada industri pengecoran logam selain bersumber dari aktivitas pembongkaran cetakan, juga dipengaruhi oleh jenis tungku peleburan. Investasi dengan tungku jenis dapur induksi menghasilkan debu (flay ash) paling minimal dibandingkan dengan dapur kupola maupun semi kupola, namun demikian hasil samping aktivitas pembongkaran cetakan tetap menghasilkan debu (fly ash) dan terjadi pada semua jenis investasi dapur tungku peleburan. Debu terbang (fly ash) dapat di olah sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan kualitas produk industri turunan atau hilir (Moosberg dan Bustnes,
8
2006; Amalia, 2009), sebagai bahan tambahan pengisi agregat beton (Shuguang, et al., 2006; Broto, et al., 2006; Borsoi, et al., 2007; Amalia, 2011). Aktivitas mengolah limbah ini, secara tidak langsung perusahaan dapat meningkatkan pencitraan pada tingkat Internasional menuju eco-labeling (Santoso, 2014), industri dapat beralih dari sistem industri terbuka menjadi semi tertutup atau Sistem Industri Tipe I menuju Sistem industri Tipe II dan sekaligus mendukung pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Peningkatan citra perusahaan harus segera diperhatikan karena beberapa kasus pembeli membatalkan produk industri yang disebabkan perusahaan tidak melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik (Purwanto, 2005; 2009). Label Ekologi di Indonesia baru diterapkan pada produk ekspor hasil hutan, sedangkan produk manufaktur khususnya pengecoran logam belum ditemukan (Kristanto, 2013). Beberapa penelitian terkait perbaikan lingkungan belum sampai pada upaya peningkatan nilai tambah limbah, umumnya baru sampai pada memaksimalkan sumber daya di dalam perusahaan (Liu, et al., 2008). Perbaikan lingkungan kerja berdampak pada peningkatan kinerja karyawan, perlu perbaikan secara menyeluruh (Holistik). Semua pihak turut serta melakukan
identifikasi
permasalahan,
mempertimbangkan
keinginan
dan
kebutuhan industri, mencari prioritas solusi pemecahan masalah (Manuaba, 2003a; Adiputra, 1997). Begitu juga dengan tuntutan tugas yang dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan
(task), lingkungan
(environment)
dan organisasi
(organization) perlu diidentifikasi, guna meningkatkan keuntungan perusahaan (Manuaba, 2000a; Grandjean, 1993) dan perbaikan produk (Pettus, 1982;
9
Nasution, 2005). Setiap aktivitas kerja disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia (Adiputra, 1992), menggunakan pendekatan konsep ergonomi (Schulze dan Lawrence, 2000), agar produktivitas meningkat (Grandjean, 1993). Hasil identifikasi menggunakan 8 aspek ergonomi ditemukan pemberian istirahat dilakukan hanya pada siang hari, belum ada waktu istirahat aktif, padahal pemberian istirahat aktif dapat menurunkan beban kerja (Molen, et al., 2011), belum ada evaluasi beban kerja dengan menyesuaikan kemampuan dan keterbatasan manusia. Pekerja membutuhkan kalori tambahan karena aktivitas mencetak baja berada pada kategori berat (Susihono, 2014a,b). Kalori tambahan digunakan sebagai pemulihan tenaga (Manuaba, 1998a; Atmaja, 2009; Arsa, 2011). Penyampaian informasi bersifat parsial, sehingga berpotensi terjadi kesalahan pada tugas kerja di tiap individu, sehingga dibutuhkan
media
penyampaian informasi berupa display/papan kendali cor yang di pasang pada dinding perusahaan (Susihono, 2014c,d). Permasalahan lain yang timbul adalah pekerja mengusulkan diberlakukan induksi kerja sebagai sarana komunikasi antara sesama pekerja dan manajer produksi serta diadakan program penyuluhan kerja agar dapat memperoleh perubahan pola pikir menuju perbaikan terus menerus (continuous improvement) dan menjadikan manusia sebagai faktor utama dalam setiap aktivitas kerja. Pendekatan yang umum dilakukan adalah penerapan manajemen lingkungan yang dikenal dengan istilah Teknologi Produksi bersih (The clean production technology) dari pilar konsep Ekologi Industri (EI), pendekatan ini
10
memandang sistem sebagai satu kesatuan yang utuh, mengoptimalkan siklus material pada saat bahan baku di proses menjadi produk baru (Garner, 1995). EI adalah bidang ilmu yang memfokuskan kajian manusia dan peningkatan kualitas lingkungan dengan cara memperbaiki kondisi lingkungan yang berkelanjutan (Gallagher, et al., 2012; Gondkar, et al., 2012; Perkins, et al., 2013). Teknologi Produksi Bersih menekankan pada pengurangan limbah, sedangkan EI menekankan pada pendaur ulangan limbah terbentuk yang tidak dapat dihindari (unavoidably product waste) (Kristanto, 2013). Penerapan Teknologi Produksi Bersih mencakup pendekatan lingkungan dan perbaikan teknologi (Berkel, 2001). Tindakan Teknologi Produksi Bersih pada tahap makro adalah meminimalkan dampak lingkungan menuju proses daur ulang limbah (Bishop, 2000). Orientasi dari aktivitas Teknologi Produksi Bersih adalah beneficial waste product (Suwarno, et al., 2003; Purwanto, 2005). Pada penelitian ini teknologi yang akan dikembangkan adalah redesain Ladle dan Dust Collector. Sampai dengan saat ini, penerapan Teknologi Produksi Bersih dipadukan dengan beberapa sistem, seperti HACCP, Manajemen Lingkungan dan Manajemen Keselamatan (Purwanto, 2009), namun belum ditemukan penerapan Teknologi Produksi Bersih yang kajiannya sampai pada mempertimbangan kinerja karyawan sebagai bagian dari perbaikan kondisi fisiologis pekerja. Hambatan EI melalui penerapan teknologi produksi bersih umumnya berupa modal investasi teknologi yang mahal, kurangnya komitmen manajemen puncak dan pekerja, keterbatasan sumber daya manusia (Purwanto, 2009). Penelitian dengan penerapan Teknologi Produksi Bersih telah menghasilkan
11
perbaikan pada kondisi lingkungan berupa produk dan proses (Subekti, 2004; Hakimi dan Budiman, 2006; Nugraha dan Susanti, 2006; Rachman, 2006; Gunawan, 2006; Sudiarno, 2007; Moertinah, 2008; Khamdan 2010; Lieke, 2011), namun demikian beberapa hasil penelitian ini, belum cukup menggambarkan konsep Ekologi Industri secara menyeluruh terkait fokus kajian tidak hanya pada aspek lingkungan saja, namun faktor manusia harus menjadi pertimbangan pada setiap aktivitas. Permasalahan yang belum terselesaikan di atas, dibutuhkan penelitian dengan pendekatan menyeluruh dan menjadikan manusia sebagai faktor utama dalam perbaikan lingkungan. Pendekatan yang dimaksud adalah dengan penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total. Penerapan Teknologi Produksi Bersih dari pilar konsep Ekologi Industri adalah dengan pendekatan ergonomi total berupa penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) melalui pendekatan SHIP (Systemic, Holistic, Interdisiplinary, Participatory) (Manuaba, 2003a; 2005a; 2006). Penerapan ini dipadukan dengan keinginan dan kebutuhan dari industri sehingga dapat dicari prioritas solusi (Sutjana, 1996; Adiputra, 1997), pada akhirnya akan mewujudkan produk yang berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman (Manuaba, 2005a; 2003b ; 2003c). Konsep ergonomi total dijalankan dengan pendekatan konseptual dan kuratif (Manuaba, 1992a), permasalahan di identifikasi secara bersama-sama sehingga keberhasilan maupun kegagalan yang dialami dapat dirasakan secara bersamasama pula, penerapan teknologi mengacu pada TTG yang dikaji secara komprehensif melalui tujuh kriteria, yaitu secara teknis, ekonomis, ergonomis,
12
sosial-budaya, hemat energi, tidak merusak lingkungan (Manuaba, 2004) dan mengikuti trend (Sutjana, et al., 2005). Penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dijalankan dengan strategi 5R (Rethink, Reuse, Reduction, Recovery, Recycle) yang menitikberatkan pada penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) melalui pendekatan SHIP (Systemic, Holistic, Interdisiplinary, Participatory) memberikan manfaat pada peningkatan kinerja karyawan, nilai tambah limbah perusahaan dan kualitas lingkungan perusahaan. Langkah yang dijalankan pada aktivitas 5R dengan mempertimbangkan aspek ergonomi yaitu: a) Rethink; manusia menjadi faktor utama dari semua aktivitas perbaikan kerja dan pengolahan limbah, berfikir melibatkan berbagai ahli atau interdisipliner untuk menggali permasalahan secara partisipatori, b) Reduction; pengelolaan debu berdasarkan kenyamanan dan keamanan pekerja, aktivitas pembongkaran cetakan memperhatikan faktor pekerja dengan kondisi minimal terpapar debu, c) Recovery; perancangan mesin atau alat dengan penerapan 7 kriteria TTG, memperhatikan sikap kerja yang alamiah, d) Recycle; proses pengambilan debu, pengepakan dan transportasi limbah debu ke industri turunan tidak menimbulkan masalah baru bagi kesehatan. Penerapan Teknologi Produksi Bersih mempunyai kelebihan berupa manusia dipandang sebagai faktor utama pada setiap aktivitas kerja, namun demikian penerapan ini masih mempunyai kelemahan, antara lain tugas tim lebih berat karena adanya keterlibatan berbagai bidang disiplin ilmu, waktu atau proses persiapan lebih lama karena adanya prinsip partisipatori dibanding dengan metode top down. Sampai dengan saat saat ini, belum ditemukan penelitian serupa yang
13
berkaitan dengan penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dengan mengambil subjek penelitian di industri manufaktur pengecoran logam stasiun pencetakan. Beberapa perbaikan yang dilakukan sebagai bentuk penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total berupa redesain Ladle, desain Dust Collector, pengaturan waktu istirahat aktif, menyediakan display/papan kendali cor, pemberian tambahan gizi/nutrisi, induksi kerja dan penyuluhan kerja, penangkapan fly ash dan pengolahan waste untuk agregat tambahan pembuatan Beton. Keberhasilan dari penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total pada industri pengecoran logam adalah dapat meningkatkan kinerja karyawan yang dapat dilihat dari penurunan beban kerja, keluhan muskuloskeletal, kelelahan, kebosanan kerja, dan meningkatkan kepuasan kerja, meningkatkan saturasi oksigen perifer (SpO2); kualitas lingkungan perusahaan dilihat dari penurunan total debu tersuspensi indoor perusahaan, debu terhirup karyawan, suhu permukaan kulit serta peningkatan nilai tambah limbah perusahaan.
14
1.2 Rumusan Masalah Mengacu pada permasalahan bahwa belum ditemukannya penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total pada industri manufaktur pengecoran logam, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan beban kerja karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan ? 2. Apakah penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan ? 3. Apakah penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan kelelahan karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan ? 4. Apakah penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan kebosanan kerja karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan ? 5. Apakah penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari peningkatan kepuasan kerja karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan ? 6. Apakah penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari peningkatan saturasi oksigen perifer karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan ?
15
7. Apakah penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kualitas lingkungan dilihat dari penurunan total debu tersuspensi indoor di industri pengecoran logam? 8. Apakah penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kualitas lingkungan dilihat dari penurunan paparan debu terhirup pada karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan ? 9. Apakah penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kualitas lingkungan dilihat dari penurunan suhu permukaan kulit pada karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan ? 10. Apakah penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan nilai tambah limbah di industri pengecoran logam ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa penerapan Teknologi Produksi Bersih dari pilar konsep Ekologi Industri yang menitikberatkan pada penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) melalui pendekatan SHIP (Systemic, Holistic, Interdisiplinary, Participatory) dapat meningkatkan kinerja karyawan, kualitas lingkungan perusahaan, nilai tambah limbah perusahaan bila dibandingkan dengan cara kerja konvensional.
16
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian mengenai penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total pada industri pengecoran logam adalah untuk: 1. Mengetahui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan beban kerja karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan. 2. Mengetahui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan. 3. Mengetahui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan kelelahan karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan. 4. Mengetahui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan kebosanan kerja karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan. 5. Mengetahui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari peningkatan kepuasan kerja karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan. 6. Mengetahui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kinerja dilihat dari peningkatan saturasi oksigen perifer karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan.
17
7. Mengetahui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kualitas lingkungan dilihat dari penurunan total debu tersuspensi indoor di industri pengecoran logam. 8. Mengetahui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kualitas lingkungan dilihat dari penurunan paparan debu terhirup pada karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan. 9. Mengetahui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan kualitas lingkungan dilihat dari penurunan suhu permukaan kulit pada karyawan di industri pengecoran logam Stasiun Pencetakan. 10. Mengetahui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total dapat meningkatkan nilai tambah limbah di industri pengecoran logam. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total ini bagi perusahaan diharapkan dapat mengurai permasalahan berupa kinerja karyawan, kualitas lingkungan perusahaan dan nilai tambah limbah.
18
2. Bagi perusahaan dapat memperoleh solusi dari pemasalahan secara komprehensif atau totalitas melalui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total. 3. Dapat memberikan sumbang saran kepada pemerintah setempat dalam upaya menjaga keberlanjutan industri pengecoran logam yang berorientasi pada kinerja karyawan dan perbaikan kualitas lingkungan berupa pertukaran waste produk terhadap industri lainnya yang ada di Ceper khususnya dan beberapa wilayah di Indonesia pada umumnya. 4. Dapat sebagai benchmark penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total kepada industri sejenis maupun industri lain yang mempunyai komitmen terhadap perbaikan kualitas hidup melalui peningkatan kinerja karyawan berupa penurunan beban kerja, penurunan keluhan muskuloskeletal, penurunan kelelahan, penurunan kebosanan dan peningkatan kepuasan kerja, peningkatan saturasi oksigen perifer (SpO2); peningkatan kualitas lingkungan berupa penurunan total debu tersuspensi indoor perusahaan, penurunan debu terhirup, penurunan suhu permukaan kulit serta meningkatkan nilai tambah limbah perusahaan. 5. Dapat meningkatkan pencitraan Industri pengecoran logam di Indonesia karena telah turut serta menjaga produk yang ramah lingkungan, sehingga produk dapat diterima pada pasar internasional. 6. Sebagai sarana backward and forward terhadap industri turunan, sehingga keberlangsungan dan kerjasama bisnis secara bersama-sama dapat terus dijaga.
19
1.4.2 Manfaat Akademis Penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total pada penelitian ini apabila terbukti, akan menunjang atau menguatkan teori yang menyatakan bahwa: 1. Konsep Ekologi Industri melalui penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total lebih baik dibandingkan dengan tanpa mempertimbangkan aspek ergonomi. 2. Menguatkan konsep yang menyatakan bahwa Ekologi Industri (EI) melalui penerapan Teknologi Produksi Bersih mempunyai fokus kajian pada manusia. 3. Pengembangan pemikiran atau wawasan keilmuan yang berkaitan dengan aktivitas 5R pada Teknologi Produksi Bersih (The Clean Production Technology) berorientasi Ergonomi Total memberikan hasil berupa peningkatan kinerja karyawan, kualitas lingkungan perusahaan dan nilai tambah limbah perusahaan.