BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan salah satu bentuk lembaga ekonomi milik Desa Pekraman. Pasal 1 angka 11 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali nomor 04 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Provins Bali Nomor 08 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa menyatakan bahwa: LPD adalah Lembaga Perkreditan Desa di Desa Pekraman dalam wilayah propinsi Bali. Desa Pekraman yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Pasal 2 ayat 1 Perda Nomor 04 Tahun 2012 tersebut menyatakan bahwa: LPD merupakan badan usaha keuangan milik desa yang melaksanakan kegiatan usaha dilingkungan desa dan untuk Krama Desa. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa LPD merupakan suatu lembaga ekonomi, yang oleh perda diakui dan dikukuhkan dalam status hukum sebagai suatu bentuk Badan Usaha Keuangan, dengan sifat yang
2
bersifat khusus, karena hanya menyelenggarakan kegiatan usaha dalam wilayah desa pekraman. Pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa: Lapangan usaha LPD mencakup: a) Menerima/menghimpun dana dari krama desa dalam bentuk keuangan dan deposito. b) Memberikan pinjaman hanya kepada krama desa. c) Menerima pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan maksimum sebesar 100% dari jumlah modal, termasuk cadangan dan laba ditahan, kecuali batasan lainnya dalam jumlah pinjaman atau dukungan/bantuan dana. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa LPD merupakan suatu badan usaha keuangan dengan ciri-ciri sebagai berikut: a) Merupakan milik desa pakraman. b) Dibentuk dan dikelola oleh desa pakraman. c) Menyelenggarakan fungsi-fungsi kelembagaan keuangan komunitas desa pakraman seperti: menerima/menghimpun dana dari krama desa, memberi pinjaman hanya kepada krama desa, dan mengelola keuangan lembaga tersebut, hanya pada lingkungan desa pakraman dan menyelenggarakan fungsi usaha sebagai lembaga usaha keuangan internal desa pakraman, atau sejauh-jauhnya antar desa pakraman. Karakteristik tersebut menunjukkan bahwa LPD merupakan suatu lembaga keuangan komunitas yang dibentuk oleh suatu satuan komunitas, beroperasi di dalam wilayah komunitas, melayani transaksi keuangan di
3
lingkungan atau untuk kepentingan anggota komunitas, untuk memenuhi tujuan-tujuan komunitas. Fungsi utama LPD adalah kegiatan simpan-pinjam. Desa Kaba Kaba merupakan desa yang sedang berkembang, sehingga banyak penduduk pandatang dan investor yang menanamkan modalnya untuk mendirikan usaha maupun perusahaan-perusahan baik itu investor lokal maupun investor asing, hal ini menjadikan masyarakat di desa Kaba Kaba menjadi lebih maju karena banyak membuka lapangan pekerjaan. Untuk masalah simpan pinjam masyarakat di Desa Kaba Kaba masih mempercayakan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Pakraman Kaba Kaba sebagai tempat untuk melakukan simpan pinjam dibandingkan dengan Bank Pemerintah maupun swasta yang ada di wilayah ini. Hal ini dilakukan karena Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Pakraman
Kaba Kaba
merupakan salah satu Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang sehat di Kabupaten Tabanan, tempat strategis di pinggir jalan dan masyarakat desa tidak perlu jauh untuk pergi ke LPD ini. setiap tahun Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Kaba Kaba mengadakan kegiatan-kegiatan olah raga seperti kejuaraan sepak bola anak antar banjar, jalan santai, serta kegiatan lainnya yang memberikan hadiah-hadiah bagi peserta maupun nasabah. Khusus bagi nasabah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Pakraman Kaba Kaba setiap tahun ada door price hadiah yang diundi setiap tahunnya. Hal ini sangat menarik bagi nasabah di Desa Kaba Kaba. Salah satu kendala yang dihadapi Lembaga Perkreditan Desa adalah ada debitur yang tidak lancar mengembalikan pinjaman kredit setiap bulan
4
hingga kreditnya macet sampai 9 (sembilan) bulan dan bahkan berbulanbulan yang semua ini berdampak pada kurang lancarnya perputaran uang di LPD
Kaba Kaba. Sehingga hal ini membuat penulis perlu mengadakan
penelitian dengan judul: Penyelesaian Kredit Macet Bagi Debitur di LPD Kaba Kaba, Desa Pakraman Kaba Kaba Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan, antara lain: 1. Apakah kriteria kredit macet pada LPD Desa Pakraman Kaba Kaba Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan? 2. Bagaimanakah penyelesaian terhadap kredit macet di LPD Desa Pakraman Kaba Kaba Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk membatasi pembahasan agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang diajukan, maka atas permasalahan tersebut dapat diberikan batasan yang hanya memfokuskan penelitian di LPD Kaba Kaba, Desa Pakraman Kaba Kaba, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.
5
1.4 Orisinalitas Penelitian Untuk menyatakan keaslian (Orisinalitas) dari penelitian penulis ini, maka penulis cantumkan 2 jenis penelitian berbeda yang pada intinya berbeda dengan tulisan penulis. Adapun penelitian itu adalah sebagai berikut : Tabel 1 : Penelitian-penelitian Terdahulu NO
NAMA
1
Dewa Made Pancadana
2
I Gusti Ngurah Nyoman Arnawa
JUDUL PENELITIAN
RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja landasan hukum konsep Catur Purursa Artha yang dipakai sebagai dasar kegiatan Catur Purusa Artha usaha Lembaga sebagai dasar kegiatan Perkreditan Desa (LPD) di usaha Lembaga Desa pekraman Kikian? Perkreditan Desa 2. Bagaimana implementasi (LPD) di Desa unsur - unsur Catur Purusa pekraman Kikian Artha dalam kegiatan usaha lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Desa pakraman Kikian? 1. Apa sanksi yang diterapkan untuk Penyelesaian peminjam kredit yang wanprestasi dari tidak taat dengan aturan pembayaran kredit di LPD? Lembaga Perkreditan 2. Apa syarat - syarat Desa (LPD) Desa mendapatkan kredit di pekraman Lebih, Lembaga Perkreditan Gianyar Desa apabila debitur wanprestasi?
6
1.5 Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum a. Untuk melatih mahasiswa dalam menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. b. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. c. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum. d. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa ke dalam kehidupan masyarakat. e. Untuk memenuhi syarat memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui kriteria kredit macet pada LPD
Kaba Kaba
Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. b. Untuk mengetahui proses penyelesaian kredit macet bagi debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya.
1.6 Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis a. Mahasiswa dapat menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. b. Mahasiswa secara langsung sudah melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya bidang penelitian.
7
c. Dapat mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum. d. Dapat mengembangkan diri pribadi mahasiswa dan mengetahui permasalahan yang banyak terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Manfaat Praktis a. Untuk mengetahui kriteria kredit macet pada LPD
Kaba Kaba
Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. b. Untuk mengetahui proses penyelesaian kredit macet bagi debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya.
1.7 Landasan Teoritis Lembaga Perkreditan Desa merupakan salah satu unsur kelembagaan Desa Pakraman (druwen desa) yang menjalankan fungsi keuangan desa pakraman mengelola potensi keuangan desa pakraman. Lembaga ini sangat berpotensi dan telah terbukti dalam memajukan kesejahteraan masyarakat desa dan memenuhi kepentingan desa itu sendiri. Lembaga perkreditan rakyat telah berkembang dengan pesat dan telah memberi manfaat yang luas bagi desa pakraman dan anggotanya, dan seiring dengan itu telah timbul berbagai kebutuhan baru berkenaan dengan eksistensi kelembagaan. Unsur-unsur manajemen, kegiatan dan operasionalnya sehingga diperlukan pengaturan yang lebih akurat untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi keberadaan Lembaga Perkreditan Desa dan keberadaan krama desa yang menjadi anggotanya. Kekurang hati-hatian dalam mengelola Lembaga
8
Perkreditan Desa dapat berakibat buruk terhadap kepercayaan masyarakat kepada Lembaga Perkreditan Desa.1 Suatu kredit tidak hanya ditinjau dari segi ekonomi saja melainkan ditinjau dari segi hukum yaitu memperhatikan kewajiban dari kedua pihak yang memberi dan menerima kredit. Dalam suatu perjanjian kredit, sebelum kredit direalisasikan maka dibuat suatu perjanjian kredit antara pemberi kredit dan penerima kredit, dalam perjanjian kredit tersebut ditentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak, dimana pemberi kredit (kreditur) akan memberikan pinjaman berupa prestasi kepada penerima kredit (debitur). Sedangkan penerima kredit akan mengembalikan prestasi yang telah diterimanya disertai dengan bunga yang akan dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan. Dalam perjanjian kredit yang telah disepakati antara pemberi kredit (kreditur) dan penerima kredit (debitur) bagi pemberi kredit untuk lebih mempunyai kepastian bahwa kredit yang telah disalurkan akan selamat atau dapat kembali perlu adanya jaminan dari penerima kredit. Jaminan ini dapat berupa jaminan perorangan dan jaminan kebendaan yang dipakai sebagai pengaman apabila debitur ingkar dari perjanjian yang dibuatnya. Jaminan perorangan atau adanya penjamin yang dalam hal ini penjamin mengingatkan dirinya dan menjamin debitur ingkar.2
1
I Nyoman Nurjaya (et. al), 2011, Landasan Teoritik Pengaturan LPD, Udayana University Press, hal. 93 2 Asrul Sani, 1994, Tinjauan Hukum mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan Perusahaan. Norma Peradilan, Majalah Hukum tahun IX No. 101, Hal. 144.
9
Menurut R. Subekti, jaminan yang baik (ideal) untuk dijadikan jaminan adalah: a) Secara mudah dapat membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukan. b) Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk meneruskan usahanya. c) Yang dapat memberikan kepastian kepada si pemberi kredit (kreditur) dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk digunakan melunasi hutang si penerima (pengambil) kredit. Jaminan ini penting artinya apabila penerima kredit tidak mampu lagi membayar kreditnya atau ingkar janji/non prestasi.3 Dari perjanjian kredit, ada pihak-pihak yang saling berhubungan yaitu para kreditur, debitur dan pihak penjamin dari ketiga pihak tersebut, pihak kreditur merupakan pihak yang sangat menghendaki agar perikatan/perjanjian dapat dipenuhi secara sempurna dengan secara sukarela sesuai dengan isi perjanjian yang dimaksud para pihak. Untuk membuat suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat menjadi KUH Perdata) menentukan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu ; a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. suatu pokok persoalan tertentu d. suatu sebab yang tidak terlarang4 3
R. Subekti, 1987, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia. Cetakan 10 Alumni. Bandung. 4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan kedua, 2013, Aksara Sukses, CV Solusi Distribusi, Sleman Yogyakarta. Hal. 334.
10
Syarat pertama dan kedua adalah syarat subyektif karena menyangkut orang-orang atau pihak-pihak yang membuat perjanjian. Orang-orang atau pihak ini sebagai subyek yang membuat perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena menyangkut mengenai obyek yang diperjanjikan oleh orang-orang atau subyek yang membuat perjanjian. Harapan-harapan sering tidak berjalan seperti apa yang dikehendaki, sedangkan debitur kadangkala cedera janji lalai memenuhi kewajibannya (wanprestasi). Wanprestasi dalam perjanjian adalah: “ketidakserasian prestasi dari debitur dan prestasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan suatu perjanjian yang mereka buat/perjanjian seorang debitur yang tidak melakukan prestasi sama sekali atau melakukan prestasi yang keliru atau terlambat.”
Untuk
mengetahui
kelancaran
dan
keamanan
segala
sesuatu
pelaksanaan kredit perlu diatur tata cara, peraturan dan ketentuan untuk mendapatkan suatu kredit berupa perjanjian-perjanjian yang bersifat mengikat para pihak yang terlibat utang dikenal dengan istilah perjanjian kredit atau persetujuan kredit, atau yang lazim disebut perjanjian pinjam meminjam dengan mana pihak yang satu memberikan pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang,
dengan
syarat
pihak
yang
belakangan
ini
akan
mengembalikan sejumlah barang yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Dari berbagai jenis perjanjian yang diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Buku III KUH Perdata tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian
11
kredit. Namun oleh Marhainis Abdul Hay dikemukakan bahwa pengertian perjanjian kredit mendekati pengertian perjanjian pinjam meminjam yang terdapat dalam Bab XIII Buku III KUH Perdata. Yang dalam Pasal 1754 KUH Perdata menentukan bahwa: perjanjian pinjam meminjam ialah : “Persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang penghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”5 Mariam Darus Badrul Zaman mengatakan: Perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang perjanjian pendahuluan ini : Merupakan hasil pemufakatan antara pemberi kredit dan penerima pinjaman. Penyerahan uang menurutnya adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlalu ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam blanko model-model perjanjian kredit.6 Dalam suatu perjanjian kredit pihak yang terlibat secara langsung yaitu kreditur, debitur dan bila dianggap perlu maka adanya perjanjian. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai jaminan perseorangan akan dikemukakan beberapa definisi para sarjana antara lain sebagai berikut. 1. R. Subekti menyatakan bahwa jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seseorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang 5
Marhainis Abdal Hay, 1979, Hukum Perbankan di Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta. hal. 174. 6 Mariam Darus Badrul Zaman. Perjanjian Kredit Bank. Alumni Bandung. Hal. 27.
12
menjamin sepenuhnya kewajiban-kewajiban si berutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) persetujuan berutang tersebut.7 2. Ahmad Ichsan, mempergunakan istilah jaminan perorangan jaminan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga (orang atau badan hukum) berupa suatu persyaratan bahwa ia menanggung pelaksanaan perjanjian apabila debitur tidak memenuhinya.8 3. Sri Soedewi Masjohoen Sofwan mempergunakan istilah perjanjian penangguhan adalah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang mengikat diri untuk memenuhi perhutangan mana kala si berhutang berprestasi.9 4. Wirjono Projodikoro, menyatakan bahwa suatu jaminan diberikan oleh seorang pihak ketiga berupa suatu perjanjian sedemikian rupa apabila si berwajib tidak memenuhi janjinya yang akan melaksanakan perjanjian itu.10 Bentuk umum dari jaminan perorangan atas hutang atau kewajiban orang lain disebut penanggung hutang atau penanggungan, dalam buku III Bab XVII KUH Perdata pasal 1870 disebutkan bahwa: Penanggung adalah suatu persetujuan dengan mana pihak ketiga (penjamin) guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berpiutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.
7
R. Subekti I. Op. Cit. hal. 25. Ahmad Ichsan. Hukum Perdata I. Pembimbing Masa. Jakarta. 1977. hal. 230. 9 Sri Soedewi Masjohoen Sofwan. Hukum Jaminan di Indonesia dan Pokok-pokok Jaminan Perseorangan. Cetakan I Liberty. Yogyakarta. 1980. 10 Wiryono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian,Cetakan ketujuh Sumur Bandung 1975, hal. 163. 8
13
Selanjutnya dalam pasal 1821 KUH Perdata disebutkan bahwa tiada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah menurut undangundang. Hal ini mengandung maksud bahwa penanggungan adalah perjanjian tambahan yaitu adanya penanggungan tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok yang syah. Menurut R. Tjipto Nugroho menyatakan bahwa :11 Inti dari pada kredit sebenarnya adalah kepercayaan suatu unsur yang harus dipegang sebagai benang merah melintasi filsafah perkreditan dalam arti sebenarnya. Menurut Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Berdasarkan pasal 1243 KUHPerdata, pengganti kerugian yang dapat dituntut oleh seorang kreditur, meliputi biaya-biaya yang telah dikeluarkan kerugian yang nyata-nyata diderita dan bunga. Pada dasarnya ganti rugi yang dapat dituntut oleh kreditur hanyalah kerugian yang berupa sejumlah uang, oleh karena itu bentuk atau wujud dari pengganti kerugian juga harus berbentuk uang. Kepercayaan yang diberikan kepada penerima kredit (debitur) oleh pemberi kredit (kreditur) baru akan nyata bilamana kredit yang diperoleh debitur dikembalikan lagi oleh debitur bersama bunganya (seperti apa yang telah menjadi kesepakatan). Apabila debitur tidak mengembalikan kredit atau 11
R. Tjipto Handinugroho, Perbankan Masalah Perkreditan. Cetakan keenam, Pradnya Paramita, Jakarta. 1994. hal. 14.
14
pinjamannya sesuai dengan perjanjian kredit yang dibuat, maka yang bersangkutan telah ingkar janji, maka mengakibatkan timbulnya suatu tingkat resiko. Dalam keadaan seperti itu, karena ketidakmampuan debitur untuk membayar hutangnya, yang pada akhirnya disebut kredit macet. Menurut Marim Darus Badrul Zaman, yang dimaksud dengan kredit macet adalah piutang-piutang yang tidak dilunasi oleh debitur (penerima kredit) dan kredit tersebut macet sejak tidak ditepatinya atau dipenuhinya ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perjanjian.12 Sedangkan Warjono Projodikoro menyatakan bahwa wanprestasi adalah ketidakadaan suatu prestasi dan prestasi dalam hukum perjanjian berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. 13 Menurut Tjoekam (1999: 264) mengungkapkan bahwa “Kredit bermasalah adalah gambaran dari suatu kondisi kredit berupa principal, bunga, biaya-biaya dan over draft akan mengalami kegagalan karena tanda-tanda penyimpanan dibiarkan berakumulasi sehingga menurunkan mutu kredit dan cenderung menimbulkan kerugian potensial bagi bank.”14 Menurut Siamat Dahlan menjelaskan kredit bermasalah/problem loan dapat diartikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan dan atau karena faktor eksternal di luar kemampuan kendali debitur.15
12 13
Mariam Darus Badrul Zaman,Op.Cit, hal. 154 Warjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ketujuh Sumur. Badung.
1975. 14
Tjoekam Muhammad. 1999. Perkreditan Bisnis Inti Perbankan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 15 Siamat. Dahlan. 2001. Manajemen Bank Umum. Jakarta: Penerbit Intermedia.
15
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia PSAK No. 31 (2000), kredit bermasalah (nonperforming loan) pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokoknya dan atau bunganya telah lewat 90 hari atau lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Kredit bermasalah terdiri atas kredit yang digolongkan kurang lancar, diragukan, macet.16 Pada dasarnya, kreditur pemegang jaminan kebendaan memiliki hak untuk mengeksekusi barang jaminan untuk dijual secara lelang guna pembayaran utang debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian kredit atau biasa disebut dengan wanprestasi. Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini ; 1. Pasal 1155 KUHPer ; Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang pasti. 2. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia); yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
16
Empat.
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2000. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba
16
3. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 04 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi). Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat melihat pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan “cidera janji” (wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya. Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam bentuk prestasi yaitu ; 1. Untuk memberikan sesuatu 2. Untuk berbuat sesuatu dan 3. Untuk tidak berbuat sesuatu.17 Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer serta pendapat J. Satrio dalam bukunya yang berjudul HUKUM PERIKATAN (hal. 122), dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa ; 1. Debitur sama sekali tidak berprestasi. 2. Debitur keliru berprestasi. 3. Debitur terlambat berprestasi. Apabila kredit macet tersebut terjadi karena debitur tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum
17
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.Cit, hal. 317
17
melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Untuk itu kreditur harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan tetapi sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu yang isinya agar memenuhi prestasinya. Apabila debitur tidak memenuhi prestasinya, maka kreditur dapat menggugat debitur atas dasar wanprestasi, dengan mana apabila pengadilan memutuskan bahwa debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur. 18 Jadi, dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada apakah jangka waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila debitur melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga merupakan bentuk wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) dan dapat membuat kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan. Oleh karena itu, memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka waktu pembayaran kredit dalam hal debitur dalam melakukan tindakan wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang jaminan.
18
Letezia Tobing. Langkah-Langkah Penyelesaian Kredit Macet. www./hukum online.com/klinik/detail/1750294244 defec.
18
Dari permasalahan tersebut diatas, maka dapat diberikan jawaban sementara (Hipotesa) yaitu: a. Sanksi yang dapat diberikan kepada debitur yang kreditnya macet di LPD Kaba Kaba adalah : 1) Memberikan
surat
teguran
kepada
debitur
untuk
memenuhi
kewajibannya. 2) Kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang di berikan oleh debitur. b. Proses penyelesaiannya terhadap kredit macet di LPD Kaba Kaba adalah penjadwalan
kembali
(rescheduling),
persyaratan
kembali
(reconditioning), penataan kembali (restructuring) atas perubahan syaratsyarat kredit yang menyangkut jadwal penbayaran, jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak dan melalui jalur hukum jika debitur tidak bisa memenuhi kewajiban.
1.8 Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum empiris ini dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata karena jenis penelitian ini salah satu aspek sosial yang banyak terjadi pada kehidupan nyata. Penelitian ini memberikan unsur fakta hukum dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu penelitian hukum empiris ini dibuat untuk
19
mengetahui hak dan kewajiban berdasarkan hukum bagi para debitur maupun Lembaga Perkreditan Desa (LPD). 2. Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan yaitu jenis pendekatan fakta (The Fact Approach) yaitu pendekatan masalah dengan meninjau dari segi teori yang ada, kemudian dikaitkan dengan kenyataan atau fakta yang ada di lapangan. 3. Sifat Penelitian Penelitian ini besifat deskriptif karena dalam penelitian ini digunakan teori-teori, peraturan dan norma hukum sebagai dasar penelitian ini. Dimana Lembaga masyarakat yang berkaitan dengan penelitian ini mengimplementasikan
fungsi
hukum
dalam
menjalankan
usaha
Lembaga Perkreditan Desa (LPD). 4. Data dan Sumber Data Sumber data yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini melalui dari dua (2) tipe penelitian yaitu: 1) Library Research (penelitian perpustakaan) Yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dengan membaca buku literatur, karya ilmiah para sarjana dan hasil penelitian, maupun tulisan-tulisan lain yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi ini.
20
2) Field Research (penelitian lapangan) Yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber di lapangan dengan secara langsung melakukan penelitian di LPD Desa Pakraman Kaba Kaba Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik wawancara yaitu dengan mewawancarai narasumber yang terkait dan teknik studi dokumentasi dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen yang terkait dengan permasalahan penelitian. 6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam mengolah dan menganalisa data yang terkumpul, baik data primer dan data sekunder, penelitian menggunakan teknik analisa deskriptif kualitatif yaitu menguraikan semua data kemudian dibandingkan antara data kepustakaan dengan data yang didapat dilapangan.