BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Struktur yang Koruptif1 Sebenarnya bukan budaya masyarakat Indonesia yang menyebabkan Indonesia menjadi negara terkorup. Namun struktur negara Indonesia lah yang membiarkan praktek korupsi merajalela. Inilah yang kemudian menimbulkan budaya koruptif tumbuh pada masyarakat Indonesia. Korupsi dalam rezim yang lalu misalnya diciptakan untuk membantu kerja kekuasaan dengan mensistematiskan korupsi yang melembaga. Rezim kemudian memiliki cukup kekuatan untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan korupsi birokratis ini, birokrasi kemudian jadi membesar sehingga ia menjadi penting dilihat dari kacamata publik. Demi
melanggengkan
kekuasaannya,
(mantan
Presiden)
Suharto
sengaja
membiarkan semua orang di sekitarnya untuk korupsi. Sehingga kemudian tidak ada seorangpun yang berani mengutak-utik kekuasaannya dan ketika di kemudian hari Suharto turun, tidak ada yang berani membawanya ke pengadilan dikarenakan dapat membawa-bawa nama mereka dan juga karena adanya ikatan moral korupsi pada orang-orang tersebut. Konstruksi kekuasaan yang bersifat koruptif ini diperkuat lagi oleh sikap pragmatis dunia internasional, terutama negara-negara maju. Menurut Presiden Transparency International Peter Eigen kasus-kasus korupsi ini sebagian disembunyikan oleh konspirasi di negara-negara Industri karena, "selama Perang Dingin, seorang Marcos yang korup atau seorang Noriega yang korup dapat ditoleransi selama ia berada secara tegas di sisi kelompok kapitalis atau Blok negara Barat. Hal yang sama terjadi pada blok negara Timur.” 1.1.2. Konsumerisme & Mentalitas Sosial Masyarakat konsumen2 Indonesia secara bertahap terbentuk sejak masuknya kebudayaan modern pada masa pemerintahan kolonial dan mulai terbentuk di kalangan pribumi sejak diperkenalkannya pendidikan modern di akhir abad ke-19. Kelompok priyayi, kelompok birokrat serta para pegawai yang memiliki kedekatankedekatan dengan gaya hidup masyarakat Belanda, secara bertahap mengkonsumsi
1 2
Media Transparancy Lihat Agus Sachari, Sosiologi Desain, Penerbit ITB. Hal 30-45
1
pelbagai barang dan kebutuhan sehari-hari seperti halnya orang Belanda. Jumlahnya kian hari kian membesar dan menjadi komunitas baru yang memiliki selera seperti halnya masyarakat modern di Eropa. Pola konsumsi masyarakat ini kemudian mengubah perilaku sosial masyarakat Indonesia yang berhubungan dengan gaya hidup. Ada hubungan sinergis antara gaya hidup masyarakat dengan terbangunnya konsumerisme dalam semua jenjang sosial. Kebutuhan makanan yang enak mengandung konsekuensi suatu kelompok sosial masuk ke dalam pola makan yang mewah dengan tata cara makan, tempat makan, dan peralatan yang mahal. Kebutuhan akan sandang yang mewah mengandung konsekuensi masuk ke dalam pola kehidupan sosial kelas atas, yang membutuhkan mode dan perhiasan yang mewah pula. Untuk terlibat dalam gaya hidup semacam itu, konsekuensinya masyarakat harus memiliki penghasilan yang tinggi dan tabungan yang besar pula. Masyarakat Indonesia yang mengalami masa kolonialisasi panjang secara umum memiliki perasaan rendah diri, ketergantungan, dan tertekan. Perasaan ini meresap pada masyarakat secara bergenerasi dan berkembang menjadi mentalitas sosial yang tercermin dalam pelbagai perilaku, mulai dari para pemegang keputusan hingga masyarakat yang paling bawah. Masyarakat yang memiliki mentalitas sosial seperti ini kemudian secara bertubi-tubi disuguhi desain kebohongan dalam bentuk iklan televisi, majalah, dan surat kabar. Dengan dalih membangun citra dan perluasan pasar, suatu produk dipromosikan secara berlebihan seolah-olah menjadi kebutuhan primer seluruh masyarakat, padahal produk tersebut sebenarnya hanya dikonsumsi oleh golongan ekonomi kuat. Perpaduan antara mentalitas sosial Indonesia yang rendah diri, tergantung dan tertekan dengan serangan promosi di berbagai media ini kemudian membentuk suatu mentalitas konsumtif. Mentalitas konsumtif ini tumbuh berkembang dalam bangsa Indonesia yang kemudian memicu penumpulan sosial dalam pelbagai lapisan masyarakat. Ini tidak terjadi pada masyarakat yang telah dewasa seperti halnya di negara-negara maju, karena iklan dan promosi produk di atas ditanggapi secara lebih arif dan kritis. 1.1.3. Nilai-nilai Kebaikan Mentalitas konsumtif ini kemudian menuntun masyarakat kepada pola pikir materialisme. Segala sesuatu dinilai dari sudut pandang nilai materinya. Pola pikir inilah yang kemudian berangsur-angsur menggeser nilai-nilai kebaikan yang seharusnya menjadi sistem nilai. Nilai-nilai kebaikan ini dilupakan dan dihilangkan kaitannya dengan peraihan kesuksesan.
2
Kehancuran nilai-nilai moral, menurut pengamatan Francis Saunderaraj seorang penulis yang aktivis gereja, adalah karena tiga alasan utama. Pertama, kita hidup dalam suasana kompetitif yang sangat tinggi untuk memperoleh materi yang sangat cepat. Kedua, nilai-nilai moral menjadi sangat relatif, tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan, tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal dan ketentuan pasti yang menjadi pegangan umat manusia. Ketiga, masyarakat lebih berorientasi pada keberhasilan (succsess oriented society) yang memunculkan succsess syndrome dengan ukuran perolehan posisi dan kekuatan yang mendorong pada kehampaan nilai-nilai moral. Mentalitas konsumtif yang kemudian ditambah dengan hilangnya nilai-nilai kebaikan (moral) pada masyarakat memunculkan tindakan-tindakan yang mengacu pada pencapaian hasil dengan menghalalkan segala cara. Dari sinilah muncul tindakantindakan korupsi yang kini menghinggapi semua lapisan masyarakat. 1.1.4. Korupsi adalah Masalah Sosial Dari paparan di atas, jelas korupsi merupakan masalah sosial, khususnya menyangkut pranata sosial, sebab terdapat proses perubahan nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat. Dalam penanganannya diperlukan suatu perubahan sosial, yakni proses yang dialami oleh masyarakat dalam meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya dan sistem sosial lama kemudian beralih menggunakan pola dan sistem sosial yang baru. Perubahan sosial ini memerlukan waktu yang lama dan usaha yang tidak mudah, karena membutuhkan kesediaan masyarakat dalam meninggalkan unsur-unsur budaya sebelumnya yang menyangkut perubahan pola pikir dan perilaku. Walaupun begitu perubahan itu dapat diusahakan melalui aspek pendidikan dan kebudayaan. Aspek pendidikan yang secara khusus menyiapkan generasi muda dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai kebaikan adalah suatu jawaban bagi usaha perubahan sosial yang bertujuan untuk memberantas korupsi. Lewat pendidikan, nilai-nilai baru dapat disuntikkan dan ditumbuhkan sehingga dapat melahirkan generasi baru yang mampu mengembangkan sistem nilai yang menolak korupsi secara lebih tegas di masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan suatu kampanye pendidikan dan budaya anti korupsi yang dikelola secara cerdas untuk mengimbangi derasnya arus konsumerisme yang melanda masyarakat. Kampanye pendidikan anti korupsi ini khususnya ditujukan kepada kelompok masyarakat muda yang sedang mengenyam pendidikan sebagai
3
upaya untuk memutus mata rantai generasi masa kini yang dihinggapi masalah sosial korupsi, dan kemudian menggantikannya di kehidupan masa depan. 1.1.5. Pendidikan Anti Korupsi Pemberantasan korupsi mesti sistematis dan masif. Pendidikan anti korupsi menjadi sarana sadar untuk itu. Sebaiknya Pendidikan antikorupsi menyentuh aspek kognitif, afektif, dan konasi. Tujuan utama pendidikan antikorupsi adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap tindakan koruptif.
3
Pendidikan antikorupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya. Ia juga berguna mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi kebaikan. Pendidikan untuk membasmi korupsi sebaiknya berupa persilangan (intersection) antara pendidikan watak dan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan untuk mengurangi korupsi harus berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi. Menurut Franz Magnis-Suseno SJ, guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta, ada tiga sikap moral fundamental yang harusnya dimiliki masyarakat yaitu kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Jujur berarti berani untuk menunjukkan siapa kita, dan untuk menyatakan keyakinan kita. Kejujuran adalah keutamaan yang amat mendasar dalam kehidupan bersama. Untuk bisa bekerja sama, orang harus bisa saling mempercayai. Merajalelanya ketidakjujuran mesti menghancurkan setiap komunitas. Sejak kecil, sejak dari rumahnya, anak perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk. Adil berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, dan memenuhi segala kewajiban yang mengikat kita sendiri. Keadilan merupakan keutamaan paling mendasar dalam kehidupan antarmanusia: bersikap baik, tetapi dengan melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan memungkinkan manusia menyelesaikan konflik dan perselisihan secara damai dan beradab. Karena korupsi berarti mengambil sesuatu yang bukan haknya, korupsi langsung melanggar keadilan. Korupsi adalah pencurian, dan koruptor adalah pencuri. Sejak kecil, anak perlu dididik bahwa mencuri adalah perbuatan yang memalukan.
3
Faisal Djabbar, www.kpk.go.id
4
Sehingga di kemudian hari ia akan merasa malu apabila melakukan korupsi karena ia tahu bahwa ia seorang pencuri.
1.1.6. Generasi Jujur Anti Korupsi Untuk itu, dalam memberantas korupsi dalam kaitannya dengan masalah sosial ini perlu dilahirkan sebuah generasi baru yang mengintegrasikan nilai-nilai kebaikan yang
tercermin
dalam
perilaku
keseharian
dan
kemudian
secara
sadar
menghilangkan tindak korupsi di negeri ini. Usaha untuk melahirkan generasi baru yang anti korupsi ini bisa dilakukan melalui aspek pendidikan yaitu pendidikan anti korupsi. Pendidikan anti korupsi adalah pendidikan nilai yang mengajak dan menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada masyarakat. Salah satu nilai kebaikan itu adalah nilai kejujuran yang dalam kaitannya dengan tindak korupsi sangat dekat. Generasi baru yang menjadi sasaran pendidikan anti korupsi harus merupakan generasi yang memahami pentingnya nilai kejujuran dalam kehidupan, menghayati nilai-nilai itu dalam diri, kemudian terbiasa mengamalkannya dalam perilaku sehari-hari. 1.2. Identifikasi Masalah/Pembatasan Masalah Pembahasan dilakukan dalam lingkup perancangan sebuah kampanye sosial yang membahas dan menitikberatkan pada sosialisasi pendidikan anti korupsi untuk menumbuhkan semangat berperilaku jujur sejak di bangku sekolah sebagai solusi menciptakan masa depan Indonesia yang bebas korupsi. Dari penjabaran masalah di atas maka dibuatlah suatu rumusan masalah yang dibatasi pada bagaimana menumbuhkan nilai kejujuran kepada kelompok masyarakat berusia 17-21 tahun yaitu kelompok masyarakat yang masih duduk di bangku sekolah SMA, hingga awal masa perkuliahan. Mengapa masalah kejujuran yang diangkat, karena kejujuran adalah salah satu nilai kebaikan yang paling dekat kaitannya dengan tindak korupsi. Kelompok sasaran berusia 1721 dipilih karena secara psikologi merupakan usia yang tinggi penetrasinya terhadap nilainilai eksternal yang sedang berkembang, mulai berhubungan dengan masalah publik, dan merupakan kelompok masyarakat yang akan menjadi pelaku perubahan di masa depan.
5
Penelitian dibatasi di kota Bandung dan Jakarta. Dipilih karena merupakan dua kota besar di Indonesia. Dengan memilih dua kota tersebut diharapkan dapat mewakili kota-kota lain di Indonesia. 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk menemukan solusi yang tepat bagi permasalahan korupsi di Indonesia serta menjadi dasar perancangan sebuah kampanye sosial untuk memecahkan permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya nilai kejujuran kepada masyarakat khususnya kelompok sasaran, untuk kemudian menghayati nilai-nilai itu dalam diri, dan terbiasa mengamalkannya dalam perilaku sehari-hari sehingga terbentuk masyarakat yang secara sadar membenci dan menolak perbuatan korupsi.
1.4. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Untuk mencapai maksud dan tujuan penelitian di atas, penulis menggunakan beberapa metode pencarian data yang antara lain: 1. Studi literatur untuk mendapatkan teori dan konsep serta permasalahan secara umum. 2. Survey dan observasi lapangan untuk mendapatkan data-data yang aktual sesuai dengan kondisi di lapangan. 3. Wawancara dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam permasalahan kampanye anti korupsi
6
1.5. Kerangka Pemikiran/Sistematika Pembahasan
Kondisi saat ini
Solusi
Pendukung Masyarakat tahu jujur itu baik
Masyarakat menjadikan materi dan kedudukan sebagai sistem nilai dan menghilangkan kejujuran dalam proses
Tamak dan Menghalalkan segala cara
Tindak korupsi sangat tinggi dan terjadi di manamana
Kondisi ideal
Masyarakat memiliki keinginan terbebas dari korupsi Program pendidikan anti korupsi KPK
Kampanye yang mengajak untuk menumbuhkan nilai kejujuran dalam diri dan membiasakann ya dalam kehidupan sehari-hari
Generasi yang jujur dan anti korupsi
Kendala Konsumerisme yang berujung pada materialisme
Meningkatkan kesadaran akan pentingnya kejujuran
Kampanye Sosial “Generasi Jujur Anti Korupsi”
Mentalitas yang tidak percaya diri Sikap tidak peduli
Kejujuran terintegrasi dalam diri masyarakat
Masa depan terbebas dari korupsi
7