BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Retardasi
mental
adalah
kondisi
tidak
lengkapnya
perkembangan jiwa, yang ditandai dengan adanya penurunan keterampilan selama masa perkembangan yang berkontribusi pada keseluruhan tingkat kecerdasan dan kemampuan kognitif yang terwujud dalam bahasa, motorik serta kemampuan sosial (WHO 2010). Sementara itu ditilik
dari American Association on
Intellectual and Developmental Disability (AAIDD) tahun 2008 retardasi
mental
adalah
disabilitas
yang
ditandai
dengan
keterbatasan yang signifikan baik dalam fungsi intellektual dan perilaku adaptif serta disabilitas ini terjadi sebelum usia 18 tahun Retardasi mental dibagi menjadi empat klasifikasi yaitu; retardasi mental ringan (tingkat intelejensi 50-55 hingga 70), retardasi mental sedang (tingkat intelejensi 35-40 hingga 50-55), retardasi mental berat (tingkat intelejensi 20-25 hingga 35-40), retardasi mental sangat berat (tingkat intelejensi di bawah 20-25). (Gerald, Neale, dan Kring, 2006). Saat ini jumlah orang-orang dengan retardasi mental terus bertambah dari tahun ke tahunnya. Seperti ditilik dari beberapa penelitian di Australia Barat bahwa prevalensi antara tahun 1980-
1
1990 diketahui 8,3 per 1000 kehidupan di Australia untuk masalah retardasi mental (Bower, Leonard, Peterson, 2000). Pada tahun 2005 di Australia Barat terjadi peningkatan prevalensi retardasi mental
yaitu
15,1
per
1000
kelahiran
yang
teridentifikasi
berdasarkan data IDEA/Intellectual Disability Exploring Answer (Peterson, Leonard, Bourke, Sanders, Chalmers, Jacoby, dan Bower, 2005). Penemuan lain di India (Reddy dan Chandrashekar, 1998) tentang prevalensi retardasi mental adalah 6,9 per 1000 penduduk di India. Sementara itu penelitian yang dilakukan di Jammu dan Kashmir India ditemukan bahwa 0,79% dari 7.707 anak positif mengalami retardasi mental ringan hingga berat (Kumar, Razdan, dan Nanda, 2012). Namun berbeda halnya dengan penelitian di Cina dari antara tahun 1987 hingga 2006 terjadi penurunan yang cukup bermakna dari jumlah penyandang retardasi mental di tahun 1987 yaitu 20.010 jiwa, pada tahun 2006 menurun menjadi 19.218 jiwa (Zheng, Chen, Song, Liu, Yan, Du, Zhang, Pang, Zhang, Wu, Zhang, 2011). Penelitian di Norwegia (Søndenaa, Rasmussen, Nøttestad, dan Lauvrud., 2010) menyebutkan adanya perbedaan prevalensi kasus retardasi mental di setiap areal baik dari kota ke desa, dari pengguna sumber saya intensive,
yang semua itu
diperkirakan tergantung pada keadaan kultur, sosial dan ekonomi daerah tersebut. 2
Hasil pendataan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di beberapa daerah di Indonesia (Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Gorontalo) pada tahun 2008 diketahui jumlah penyandang retardasi mental dan juga penyandang cacat ganda (fisik dan mental) sebanyak 72.002 jiwa. Pendataan PMKS tahun 2011 di Kabupaten Wonogiri tercatat bahwa ada 995 kasus retardasi mental, eks psikotik dan cacat ganda. Sementara itu dari data PMKS kabupaten Wonogiri pada tahun 2012 ada 1.414 orang yang menderita retardasi mental, cacat ganda serta cacat mental eks psikotik yang tersebar di seluruh kecamatan. Dari hasil pendataan tersebut kasus anak dengan retardasi mental terbanyak terdapat di Kecamatan Ngadirojo dengan 105 kasus. Orang-orang dengan retardasi mental sering menghadapi masalah penerimaan dan dukungan dari keluarga mereka, tidak jarang mereka diasingkan. Penelitian di wilayah Mediterania yang tepatnya di Iran oleh Taghavi, Zahra, dan Majid pada tahun 2012 menyebutkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara urutan dari anak yang mengalami retardasi mental dan cepatnya kesadaran ibu akan masalah yang dialami oleh anak dengan tingkat penerimaan ibu kepada anak mereka yang mengalami retardasi mental. Studi fenomenologi tentang persepsi ibu di Iran yang 3
tinggal dengan anak dengan retardasi mental memberikan berbagai fakta yang terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mengenai anak retardasi mental. Menurut studi tersebut seperti halnya orang-orang yang mendapati anaknya retardasi mental ada beberapa perlakuan dari anggota keluarga (suami, kakek, atau nenek dari sang anak) yang kurang menyenangkan seperti memalingkan wajah dan tidak mau ikut andil akan kehidupan dari anak retardasi mental tersebut, dan bahkan tidak adanya penerimaan dari sang kakek atau bahkan sang ayah akan anak tersebut (Kermanshahi, Vanaki, Ahmadi, Kazemnejad, Mordoch, dan Azadfalahiranian 2008). Setiap anggota keluarga memberikan dukungan antara satu anggota dan anggota yang lain. Tidak dipungkiri bahwa dukungan itu diperlukan disetiap keadaan, dan dalam lingkup lain dukungan dianggap sebagai faktor penentu dari sebuah proses rehabilitasi (Harmon Hanson, Gedaly-Duff & Kaakinen 2005). Catatan dari studi di Swedia menyebutkan bahwa orang-orang dengan retardasi mental memang memerlukan dukungan dari keluarga di rumah mereka dibandingkan dengan orang-orang dengan gangguan psikiatrik yang ada (Umb-Carlsson dan Jansson 2009).
4
Studi-studi lain menyebutkan tingkat dukungan anak dengan berbagai jenis kecacatan memang begitu rendah terutama dengan anak-anak retardasi mental. Tercatat di dalam sebuah penelitian di Australia selama 12 bulan pada tahun 2010 yang menyebutkan bahwa dukungan pada anak-anak dengan retardasi mental sangat rendah dibandingkan dengan
anak-anak dengan kecacatan
lainnya (Emerson, Shahtahmasebi, Lancaster, dan Berridge, 2010). Studi di Singapura tahun 2004 menyatakan bahwa dukungan keluarga pada anak dengan retardasi mental dipengaruhi oleh kultur budaya setiap masyarakat yang ada, pada penelitian tersebut memang dipakai dua kelompok masyarakat yang berbeda (etnis Melayu dan etnis Tiong Hoa), dari hasil studi ini terlihat perbedaan yang signifikan antara dua kelompok etnis ini, etnis Tiong Hoa terlihat lebih mendukung keluarga (ibu) yang memiliki anak dengan retardasi mental, sementara dari etnis Melayu memperlihatkan dukungan yang cukup rendah (Ow, Tan & Goh., 2004). Retardasi mental ringan dan sedang adalah kelompok retardasi mental yang hampir mirip ciri-cirinya dengan anak-anak normal pada umumnya, namun fungsi intelektualnya yang berada di bawah 70. Sebagian kasus retardasi mental sedang tidak jarang memiliki kelemahan fisik bawaan. Retardasi mental berat dan sangat berat bukan hanya membawa masalah fungsi intellektual yang di bawah 70, namun juga membawa abnormalitas fisik sejak 5
lahir. Beberapa kasus pada retardasi mental sangat berat mengalami kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri kemanapun (Gerald, Neale, dan Kring, 2006). Memang diketahui bahwa anak retardasi mental berat dan sangat berat menyebabkan dirinya hanya mampu dirawat di rumah oleh orang tuanya. Namun untuk anak retardasi mental dengan kondisi ringan dan sedang tidak menutup kemungkinan dapat membaur dengan masyarakat sekelilingnya. Dalam penjelasan Gerald, Neale, dan Kring (2006) anak-anak dengan retardasi mental ringan memiliki ciri yang hampir tidak dapat dibedakan dengan anak-anak normal seusianya. Anak-anak reatardasi mental sedangpun hampir sama, walaupun dalam kehidupannya dia memerlukan bimbingan dan juga terkadang ada kelemahan fisik namun dua kelompok reatardasi mental ini dapat membaur dengan kelompok-kelompok sosial seperti yang terlihat di sekolah luar biasa. Patut digarisbawahi bahwa ketika anak-anak dengan retardasi mental ringan dan sedang mau membaur dengan masyarakat sekitarnya memang perlu adanya dukungan baik dari keluarga (primary support system) dan juga masyarakat sekitarnya. Telah banyak penelitian tentang dukungan keluarga dari berbagai negara, tapi masih sedikit diketahui dari keluarga yang tinggal di desa di
6
Indonesia. Oleh sebab itu penting untuk mengetahui bagaimana pengalaman anggota keluarga dalam mendukung anak dengan retardasi mental ringan dan sedang di Indonesia. 1.2. Rumusan masalah Rumusan masalah pada penelitian ini
adalah bagaimana
pengalaman anggota keluarga dalam mendukung anak dengan retardasi mental ringan dan sedang. 1.3. Batasan masalah. Peneliti membatasi masalah dalam penelitian ini menjadi “Pengalaman anggota keluarga dalam mendukung anak dengan retardasi mental ringan dan sedang.” 1.4. Tujuan Tujuan dari penelitian ini untuk mengeksplorasi pengalaman anggota keluarga dalam mendukung anak dengan retardasi mental ringan dan sedang. 1.5.
Manfaat
1.5.1. Secara Teoretis Studi fenomenologi ini akan memberikan pengetahuan baru tentang pengalaman anggota keluarga dalam mendukung anak dengan retardasi mental ringan dan sedang
7
1.5.2. Secara Praktis Pengetahuan baru yang akan didapat akan menjadi landasan dalam meningkatkan praktik keperawatan keluarga dan anak
8