BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Konflik bersenjata yang melanda Aceh hampir tiga dekade telah menghancurkan kondisi perekonomian masyarakat. Diperkirakan ada 1,2 juta (28,5%) penduduk Aceh hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2004. Pendapatan per kapita saat itu hanya Rp. 129,615 (sekitar US$ 14) per bulan. Angka kemiskinan mutlak hampir dua kali lipat lebih tinggi dari angka kemiskinan Nasional yaitu sekitar 16,7. Kondisi ini bertambah parah setelah bencana Gempa dan Tsunami 26 Desember 2004, dimana angka kemiskinan atau orang yang rentan mengalami kemiskinan bertambah menjadi 325.000 orang. Kondisi perekonomian yang demikian menyebabkan sebagian besar masyarakat tidak mampu mengakses fasilitas kesehatan bahkan ke fasilitas kesehatan primer sekalipun karena masalah pembiayaan kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini salah satu diantaranya yang dinilai mampu menjawab permasalahan pembiayaan kesehatan adalah penerapan jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan. Secara nasional pemerintah telah memperkenalkan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri, pensiunan dan anggota keluarganya sejak 40 tahun yang lalu. Asuransi kesehatan kelompok masyarakat miskin baru dikenal beberapa tahun belakangan dengan nama Askeskin dan kemudian berubah menjadi Jamkesmas karena menambah jaminan persalinan dan nifas bagi seluruh ibu hamil. Otonomi daerah telah mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan jaminan kesehatan yang mampu menjangkau seluruh komponen masyarakat semesta (universal coverage) sebagaimana yang diamanatkan dan dijamin dalam UUD 45
1
2
dan oleh UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, termasuk di Provinsi Aceh program tersebut diberi nama Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Pemerintah Aceh meluncurkan sistem jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk pada Juni 2010 yang dikenal dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Pelaksanaan JKA berlandasankan UU Nomor 40 tentang SJSN pasal 2 yang adil dan merata bagi bagi seluruh penduduk Aceh dan sesuai dengan visi Pemerintah Aceh untuk melakukan perubahan fundamental pada pelayanan publik. Program JKA diluncurkan pada tahun 2010 menjangkau sebanyak 3,8 juta dari 4,2 juta penduduk Aceh kecuali pegawai negeri dan pegawai swasta. Pemerintah Aceh pada mulanya menjalankan program ini dengan pola kontrak management fee kepada PT. Askes (Persero) yaitu seluruh pelayanan dibayarkan melalui Anggaran Belanja Pemerintah Aceh (APBA),
atau di provinsi lain
disebut dengan APBD. Dalam pelaksanaannya program JKA tidak jauh berbeda dengan mekanisme program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), beberapa perbedaannya terletak pada pelayanan tambahan yang diberikan. Pelayanan yang dimaksud antara lain: 1). Top Up yaitu pelayanan obat tambahan; 2). Pelayanan naik kelas pada rawat inap; 3). Pelayanan jaminan persalinan; 4). Pelayanan ambulan rujukan dan 5). Pelayanan transportasi udara untuk daerah terpencil. Kebijakan JKA yang bersifat universal mengakibatkan peningkatan pada pelayanan kesehatan rujukan, jumlah kunjungan rawat jalan ke Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin Banda Aceh dari 400 orang/bulan menjadi 900 orang/bulan. Peningkatan juga terjadi pada rujukan rawat inap di semua rumah
3
sakit di Aceh pada tahun 2010 tercatat sebesar 46.867 pasien menjadi 65.182 pasien tahun 2012. Jumlah pasien yang dirujuk ke luar Aceh meningkat sangat mencolok, pada tahun 2010 sebanyak 1.429 pasien, menjadi sebanyak 3.988 tahun 2011. (laporan JKA, 2010; 2012). Disamping itu, kebijakan ini juga berdampak terhadap peningkatan kunjungan Puskesmas. Kunjungan rawat jalan di Puskesmas meningkat sekitar 35% dari 35.931 orang menjadi 45.118 orang di tahun 2011, tahun 2012 turun menjadi 21.818 orang. Jika dilihat dari pembiayaan, Pemerintah Aceh telah mengucurkan anggaran yang cukup selama pelaksanaan JKA sebesar Rp. 2,1412 miliar dengan rincian seperti yang telihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Anggaran Program JKA Sejak Tahun 2010-2014 (Dalam Miliar Rupiah) 2010 241,9
Peningkatan
2011 401,3
anggaran
APBA 2012 419
JKA
tidak
2103 419
mengurangi
2014 420
peran
pemerintah
kabupaten/kota dalam membiayai program kesehatan masyarakat dengan anggaran yang terbatas. Tahun 2014 PT. Askes (Persero) bertransfomasi menjadi Badan Pelayanan Jaminan Kesehatan (BPJS) sesuai dengan UU 24/2011 tentang BPJS. Tahun yang sama JKA berubah nama menjadi Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) seiring dengan perubahan pola pengelolaan, seluruh peserta JKRA di integrasikan ke dalam Jaminan Kesehatan Nasional mengikuti mekanisme yang dijalankan oleh BPJS dengan besaran premi Rp. 19.225,- per orang per bulan.
4
Untuk melayani kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan saat ini terdapat 61 unit rumah sakit pemerintah dan swasta, 337 unit Puskesmas termasuk Puskesmas rawat inap. Rasio dokter spesialis 12,82 per 100.000 penduduk, rasio dokter ini telah melebihi target nasional dan standar ditetapkan oleh WHO.
yang
Sementara dokter umum sebesar 23,99 per 100.000
penduduk masih di bawah angka nasional dan standar yang ditetapkan WHO (40 per 100.000 penduduk). Demikian pula dengan rasio dokter gigi (4,5) masih dibawah target nasional dan standar yang ditetapkan WHO (11 per 100.000 penduduk). Rasio perawat di Aceh, yaitu 181,1 sudah di atas target nasional dan standar WHO yaitu sebesar 117,5 per 100 penduduk. Kondisi sumber daya kesehatan Aceh masih dihadapkan dengan jumlah yang masih tidak adekuat di samping itu distribusi juga tidak merata, menumpuk di kota besar terutama di Banda Aceh (Profil Dinas Kesehatan Aceh, 2015). Untuk
mengurangi
kekurangan dokter spesialis
di
rumah sakit
kabupaten/kota, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh pada tahun 2006 merumuskan kebijakan pengadaan dokter spesialis melalui penerbitan surat keputusan kepala BRR NAD-Nias nomor: 99/KEPO/BP-BRR/VII/2006. Dalam pemenuhan dokter spesialis, yaitu 4 spesialis dasar dan seorang dokter anestesi di setiap rumah sakit kabupaten/kota, BRR mengirim dokter ke beberapa pusat pendidikan di Indonesia. Pengiriman dilakukan secara bertahap dimulai pada tahun 2007 hingga 2011. BRR memperkirakan mulai tahun 2012 dokter-dokter spesialis tersebut mengisi kekurangan dokter spesilis pada rumah sakit kabupaten/kota.
5
Pergeseran status demografik dan epidemiologi yang terjadi di Indonesia serta peningkatan cakupan jaminan kesehatan membawa pengaruh pada peningkatan tuntutan masyarakat terhadap keberadaan dokter spesialis di pelayanan kesehatan termasuk fasilitas yang adekuat. Kajian yang menyangkut kebutuhan fasilitas dan tanaga kesehatan apalagi dikaitkan dengan pelaksanaan jaminan kesehatan sangat minim dilakukan, Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang telah menjalankan jaminan kesehatan cakupan universal pengamatan ini sangat bermanfaat bagi Indonesia yang merencanakan pada tahun 2019 jaminan kesehatan nasional akan menjangkau seluruh penduduk. Penerapan jaminan kesehatan Aceh yang bersifat universal menyebabkan peningkatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Peningkatan tersebut diharapkan akan sejalan dengan peningkatan pemerataan dan keadilan seperti yang di amanah oleh UU Nomor 40 tentang SJSN. Pemerataan atau equity diartikan sebagai persamaan hak mendapatkan pelayanan kepada seluruh masyarakat tanpa memandang status ekonomi, tempat tinggal, status penyakit dan lainnya. Dalam peta jalan BPJS, Indonesia akan mencapai universal coverage pada tahun 2019 mendatang, hingga saat ini belum ada penelitian tentang equity terkait pelaksanaan jaminan kesehatan nasional apalagi saat ini Indonesia belum mencapai universal coverage. Program JKA telah dijalankan sejak 2010 yang dan telah bersifat universal coverage. Penelitian tentang equity pada masyarakat Aceh diharapkan dapat menghasil informasi tidak saja tentang prinsip equity dalam pelaksanaan jaminan kesehatan juga informasi tentang potret penyakit berdasarkan daerah atau regional.
6
1.2.
Perumusan Masalah
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Aceh telah memasuki tahun ke lima, dalam pelaksanaan ini terlihat peningkatan utilisasi pelayanan rawat jalan dan rawat inap di semua rumah sakit termasuk rumah sakit kabupaten kota. Namun mengingat keadaan distribusi lembaga pelayanan dan tenaga kesehatan, masalah yang ada adalah apakah peningkatan jumlah kunjungan pasien sejalan dengan peningkatan pemerataan manfaat pelayanan kesehatan. Masalah ini ditetapkan berdasar prinsip equity dan amanah yang ada pada Pasal 2 UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Untuk mendapatkan hasil analisis tentang equity JKA berdasarkan gambaran utilisasi JKA. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mendapatkan hasil analisis tentang gambaran umum utilisasi jaminan kesehatan berdasarkan demografi peserta. 2. Untuk mendapatkan hasil analisis tentang gambaran utilisasi JKA berdasarkan kondisi daerah : status demografis : daerah tertinggal dan tidak tertinggal menurut kabupaten dan secara regional dan jarak tempuh dan kepesertaan
7
3. Untuk mendapatkan hasil analisis tentang pola penyakit berdasarkan geografis dan sumber daya kesehatan. 4. Untuk mendapatkan hasil analisis tentang respon pemerintah terhadap utilisasi JKA berdasarkan sumberdaya kesehatan sebelum dan sesudah JKA.
1.4.
Keaslian Penelitian
Pemerintah Aceh sejak tahun 2014 telah mengintegrasikan Jaminan kesehatan Rakyat Aceh ke dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Walaupun baru berjalan selama satu tahun, namun Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang telah menjalankan jaminan kesehatan yang bersifat universal coverage sejak 2010. Sejak pelaksanaan program JKA berbagai kebijakan telah dijalankan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan namun evaluasi menyangkut equity dalam hal utilisasi layanan rumah sakit yang ditinjau dari kepesertaan, ketersediaan sumber daya antarkabupaten/kota dan regional belum pernah dilakukan di Aceh. TNP2K, melakukan studi tentang pelaksanaan JKA dari tahun 2011-2012 yang bertujuan merekam pertumbuhan tagihan pelayanan kesehatan JKA periode tahun 2011 dan tahun 2012 serta untuk mengetahui sebaran tagihan, diagnosis terbanyak dan diagnosis termahal pada Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP), Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) dan Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) ( TNP2K, 2013). Penelitian tentang equity pada sistem jaminan kesehatan yang bersifat universal coverage pernah dilakukan di Thailand. Prasongkhai, (2011) mengukur inequity pada rawat jalan dan Inap di rumah sakit pemerintah sebelum dan
8
sesudah pelaksanaan universal coverage di Thailand dengan menggunakan data survey rumah tangga dan survey ekonomi. Penelitian tersebut bertujuan untuk menilai equity dari sisi finansial, berdasarkan pendapatan masyarakat. Prasongkhai (2011) menemukan bahwa “pelaksanaan universal coverage telah pro ke arah kelompok miskin”. Pada penelitian ini, peneliti tidak mengukur equity yang dihubungkan dengan dimensi akses seperti jarak tempat tinggal dan keberadaan tenaga strategis seperti dokter spesialis. Penelitian tentang tren utilisasi sebelum dan setelah pelaksanaan jaminan kesehatan yang bersifat universal pernah dilakukan di Jepang. Penelitian bertujuan melihat perubahan tren utilisasi pelayanan rumah sakit di Jepang antardaerah dengan jumlah peserta jaminan kesehatan tinggi dengan daerah peserta jaminan kesehatan rendah. Peneliti menemukan adanya perbedaan utilisasi dan peningkatan ketersediaan dokter di kedua daerah tersebut (Kondo dan Shigeoka, 2013). Penelitian Kondo dan Shigeoka (2013) hanya melihat secara keseluruhan wilayah tanpa mempertimbangkan perbedaan faktor geografis daerah yang justru di Aceh geografis daerah merupakan faktor yang kemungkinan
berpengaruh
terhadap utilisasi. Penelitian tentang hubungan jarak terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan sudah dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geospasial (SIG). McGuirk dan Porell, (1984); Wan, (2019) dan Mokgalaka et al,. (2013) meneliti pengaruh jarak terhadap pemilihan rumah sakit berdasarkan jarak titik koordinat, tanpa mempertimbangkan faktor fisik geografis daerah.
9
Abdullah (2010) meneliti jarak tempat tinggal dan waktu tempuh pasien ke rumah sakit. Peneliti menggunakan data GPS untuk menentukan lokasi rumah dan fasilitas kesehatan, dan stopwatch untuk mengukur waktu tempuh, namun tidak dijelaskan apakah waktu yang dihitung merupakan rerata waktu tempuh atau sekali waktu tempuh serta lokasi penelitian hanya terbatas satu wilayah pelayanan primer, dan tidak dihubungkan dengan pelaksanaan jaminan kesehatan yang telah bersifat universal. 1.5.
Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi dan panduan dalam menetapkan rumusan equity untuk pelaksanaan jaminan kesehatan secara menyeluruh. b. Memberikan masukan kepada Pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait pelaksanaan Program JKA (Universal Health Coverage) tentang: 1) Kesenjangan akses secara geografis sehingga dapat diambil kebijakan oleh Pemda bagi pemenuhan sumber daya tersebut dalam jangka pendek maupun bagi pengembangan rumah sakit regional ke depan. 2) Utilisasi secara kabupaten/kota dan regionalisasi untuk menjadi dasar kebijakan upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit serta menjadi salah satu dasar menentukan arah
10
pengembangan-pengembangan unggulan bagi rumah sakit di kabupaten/kota. 3) Pemetaan utilisasi berdasarkan kepesertaan untuk menjadi dasar penetapan kebijakan pembiayaan kesehatan bagi masyarakat aceh. 4) Pemetaan utilisasi berdasarkan distribusi sumberdaya kesehatan untuk menjadi dasar pertimbangan penempatan dan distribusi sumberdaya kesehatan. 5) Best practise dari pembelajaran tentang prinsip/konsep keadilan dalam peningkatan akses pelayanan kesehatan pada masyarakat aceh untuk menjadi pedoman bagi pelaksanaan JKN yang menuju universal coverage pada Indonesia 2019.
1.5.2. Manfaat Teoritis a. Pengembangan teori atau konsep keadilan dalam sistem pelayanan kesehatan dari sisi asesibilitas geografis (geographic access). b. Pengembangan teori atau konsep keadilan dalam sistem pelayanan kesehatan dari sisi ketersediaan (availability) yang menyangkut tenaga dan fasilitas kesehatan.