BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
Limfoma atau tumor ganas limfoid dibedakan menjadi limfoma nonHodgkin dan limfoma Hodgkin. Perbedaan limfoma Hodgkin dan limfoma nonHodgkin didasarkan pada perbedaan gambaran histologi dan fenotip sel-sel tumor ( Küppers et al, 2012 ) . Limfoma nonHodgkin merupakan jenis tumor ganas yang sering dijumpai. Di Yogyakarta limfoma nonHodgkin termasuk dalam sepuluh besar keganasan yang paling banyak ditemukan. Limfoma nonHodgkin memiliki sub kelompok yang sangat heterogen dengan klasifikasi yang selalu berkembang (Taylor & Hartsock, 2011). Berdasarkan klasifikasi WHO, limfoma non-Hodgkin dapat dibedakan dalam kelompok limfoma sel B dan limfoma sel T/NK (Jaffe et al , 2001). Limfoma nonHodgkin sel B
merupakan kasus
terbanyak, meliputi 75-80 % dari seluruh kasus limfoma non-Hodgkin. Dari seluruh subtipe limfoma nonHodgkin sel B , diffuse large B cell lymphoma merupakan subtipe yang paling banyak dijumpai (Sukpanichnant, 2004 ; Sahni & Desai, 2007) Di seluruh dunia sudah banyak dilaporkan angka kejadian limfoma nonHodgkin berdasarkan klasifikasi terbaru dari WHO. Klasifikasi WHO dapat memberikan informasi mengenai biologi tumor, sifat alami dan respon pengobatan sehingga pengelolaan tumor limfoid dapat lebih optimal. Di Indonesia ataupun di Yogyakarta pada khususnya, profil angka kejadian limfoma maupun diffuse large B cell lymphoma berdasarkan klasifikasi WHO masih jarang dilaporkan. Diffuse large B cell lymphoma merupakan proliferasi difus sel-sel limfoid B neoplastik besar dengan ukuran inti sama atau melebihi inti makrofag atau lebih dari dua kali ukuran limfosit normal (Jaffe et al, 2001) . Diffuse large B 1
2
cell lymphoma memiliki perilaku klinis bervariasi. Setengah jumlah penderita penyakit ini menunjukkan respon yang baik terhadap terapi, sedangkan sisanya memiliki angka kematian yang tinggi (Colomo et al, 2003). Parameter prognosis klinis diffuse large B cell lymphoma adalah International Prognostic Index (IPI). Komponen IPI meliputi stadium, kadar serum lactat dehidrogenase (LDH), umur , performance status dan jumlah lokasi ekstranodal. Peneliti-peneliti terdahulu mengemukakan bahwa masing-masing komponen keseluruhan
maupun sekor IPI secara
berhubungan bermakna dengan angka bebas kekambuhan dan
ketahanan hidup sedangkan pada analisis multivariat dilaporkan bahwa stadium dan kadar LDH tinggi merupakan faktor prognosis buruk terhadap angka bebas kekambuhan dan ketahanan hidup (Abdelhamid et al, 2011).Walaupun demikian, peneliti-peneliti lain melaporkan bahwa beberapa komponen IPI di antaranya meliputi kadar
LDH, usia,
B symptom yang merupakan salah satu
faktor
performance status tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan angka bebas kekambuhan dan ketahanan hidup (Hwang et al, 2013 ; Zhao et al, 2013). Beberapa peneliti lain juga melaporkan bahwa sistem IPI masih menempatkan pasien pada kelompok prognosis heterogen (Lossos & Morgenztern, 2006). Sejumlah faktor prognosis lain diketahui berperan pula pada prognosis diffuse large B cell lymphoma. Faktor – faktor tersebut mencerminkan heterogenitas diffuse large B cell lymphoma yang meliputi gambaran morfologi, ekspresi protein individual , subtipe molekular maupun deregulasi genetik (Gurbuxani et al, 2009). Klasifikasi Kiel yang diperbaharui tahun 1988 menyebutkan bahwa ada tiga subtipe morfologi diffuse large B cell lymphoma meliputi
varian
peneliti-peneliti
imunoblastik , sentroblastik dalam
kelompok
ILHSG
dan anaplastik. Selanjutnya, (International
Lymphoma
Hematopathology Study Group) yang mengajukan klasifikasi REAL tahun 1994 menggabungkan ketiga subtipe morfologi tersebut dalam satu kategori yakni
3
diffuse large B cell lymphoma . Salar et al
(1998)
menyampaikan bahwa
perbedaan varian morfologi tidak berhubungan bermakna dengan perbedaan ketahanan hidup maupun sekor IPI sedangkan penelitian lain melaporkan bahwa penderita dengan
varian imunoblastik memiliki angka ketahanan hidup yang
secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan varian sentroblastik (Bernd et al, 2009; Ott et al, 2010). Studi ekspresi gen menunjukkan bahwa diffuse large B cell lymphoma dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok prognosis berdasarkan perbedaan ekspresi protein dari gen-gen tertentu meliputi kelompok GCB ( germinal center B-cells like ) dan nonGCB (Alizadeh et al, 2000). Peneliti terdahulu melaporkan bahwa penderita dengan subtipe GCB memiliki angka bebas kekambuhan dan ketahanan hidup lebih tinggi (Reber et al, 2013). Di samping itu, didapatkan hubungan bermakna antara kelompok subtipe GCB dengan rendahnya sekor IPI (Berndt et al, 2009). Sebaliknya peneliti lain mengemukakan bahwa kedua subtipe diffuse large B cell lymphoma tersebut tidak berhubungan bermakna dengan angka ketahanan hidup maupun sekor IPI (Hong et al, 2011 ; Oshima et al, 2001). Akhir –akhir ini dikemukakan bahwa pemeriksaan imunohistokimia dapat digunakan untuk identifikasi kelompok GCB maupun ABC diffuse large B cell lymphoma. Pulasan imunohistokimia sebagai petanda kelompok GCB adalah CD10 dan Bcl6 sedangkan MUM1/IRF4 dan CD138 merupakan petanda untuk kelompok ABC (Chang et al, 2004). Selanjutnya dilaporkan bahwa tiga petanda pulasan imunohistokimia meliputi CD10, Bcl6 dan MUM1 yang diperiksa pada blok parafin jaringan dapat mengidentifikasi kelompok GCB dan ABC seperti pada analisis microarray (Hans et al, 2004). Hubungan subtipe molekular GCB dan ABC dengan varian morfologi diffuse large B cell lymphoma belum ada kejelasan pasti. Terdapat perbedaan
4
bermakna secara signifikan terhadap banyaknya frekuensi kasus dengan ekspresi Bcl6 positif sebagai salah satu petanda subtipe GCB pada varian sentroblastik sedangkan ekspresi CD10 tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara varian morfologi sentroblastik dan imunoblastik (Berndt et al, 2009). Peneliti lain melaporkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara varian morfologi dengan subtipe GCB/ABC pada diffuse large B cell lymphoma . Varian imunoblastik lebih banyak dijumpai pada subtipe ABC (Ott et al, 2010). Onkogenesis limfoma melibatkan peran berbagai onkogen dan gen penekan tumor. Translokasi myc dijumpai pada 5-10% diffuse large B cell lymphoma dan berhubungan dengan prognosis buruk (Savage et al, 2009). Selain itu, tumor yang memiliki gambaran double hit atau translokasi yang mengenai myc dan bcl2 atau bcl6 dilaporkan mempunyai perjalanan klinis buruk pula (Yoon et al, 2008). Rearrangement gen-gen tersebut dideteksi dengan teknik fuorescense insitu hidridization dan micoarray jaringan. Teknik-teknik tersebut terlalu rumit dan mahal untuk digunakan pada pemeriksaan rutin pasien. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa myc dapat teraktivasi atau teroverekspresi oleh karena mekanisme selain translokasi seperti amplifikasi ataupun mutasi. Di samping itu, dilaporkan pula bahwa antibodi monoklonal baru terhadap protein Myc pada blok parafin dapat digunakan untuk memperkirakan terjadinya rearrangement (Horn et al, 2013). Rearrangement myc dan bcl2 lebih banyak dijumpai pada subtipe GCB diffuse large B cell lymphoma sedangkan translokasi bcl6 didapatkan lebih sering pada subtipe ABC. Walaupun demikian, pada level protein, tidak didapatkan hubungan bermakna ekspresi berlebih Myc antara subtipe GCB dan subtipe lain (Thieblemont &
Brière, 2013) . Ekspresi berlebih Myc berpengaruh buruk
terhadap prognosis bila disertai dengan adanya koekspresi Bcl2 (Johnson et al, 2012). Bcl2 adalah protein antiapoptotik termasuk anggota famili protein yang
5
terlibat pada regulasi kematian sel yang terprogram. Signifikansi ekspresi Bcl2 pada diffuse large B cell lymphoma masih merupakan kontroversi. Sebagian peneliti melaporkan bahwa ekspresi Bcl2
berhubungan bermakna dengan
ketahanan hidup yang rendah (Jovanovic et al, 2009; Akay et al, 2014). Dikemukakan pula bahwa ekspresi Bcl2 berhubungan bermakna dengan faktor prognosis buruk yang merupakan komponen IPI meliputi stadium dan kadar LDH (Kramer, 1996; Iqbal, 2006) sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan hubungan bermakna antara ekspresi Bcl2 dengan angka bebas kekambuhan dan ketahanan hidup (Wilson et al, 1997 ; de Paepe et al, 2006). Insidensi dan perjalanan klinis limfoma nonHodgkin diperkirakan berhubungan dengan perubahan sistem imun (Kurzrock, 2001). Oleh karena itu, kajian mengenai proses yang terlibat pada deregulasi sistem imun akan dapat membantu pemahaman terhadap heterogenitas diffuse large B cell lymphoma. Peneliti-peneliti terdahulu melaporkan bahwa peningkatan kadar TNF dan IL2 berhubungan bermakna dengan komponen-komponen IPI yang berkaitan dengan prognosis buruk meliputi stadium dan kadar LDH tinggi serta performance status buruk (Uskudar et al, 2014). Peneliti lain mengemukakan pula bahwa kadar IL2 dan TNF memiliki korelasi negatif dengan ketahanan hidup (Ozdemir et al, 2004). Sitokin lain yang banyak diteliti pada limfoma Hodgkin maupun limfoma nonHodgkin adalah IL10 (Kurzrock, 2001). Peranan IL10 terhadap prognosis diffuse large B cell lymphoma maupun limfoma secara umum masih menyisakan kontroversi. IL10 merupakan sitokin imunoregulator penting yang berperan pada keseimbangan respon humoral dan selular sistem imun. IL10 bersifat imunosupresi kuat dengan menghambat efek proinflamasi limfosit T helper 1. Sebaliknya, IL10 dapat memacu proliferasi dan diferensiasi limfosit B dan limfosit T helper 2 (Cortes & Kurzrock, 1997)
6
Pada limfoma terjadi peningkatan kadar IL 10 serum dan tingginya kadar IL 10 tersebut merupakan prediktor prognosis (Lossos dan Morgensztern, 2006). Kadar IL10 serum juga berhubungan bermakna dengan tingginya sekor IPI (Lech Maranda et al, 2004). Walaupun demikian, Ozdemir et al (2004) mendapatkan bahwa kadar IL10 serum tidak berhubungan bermakna dengan angka ketahanan hidup penderita limfoma nonHodgkin agresif. Pada gen IL10 dijumpai beberapa polimorfisme pada regio promoter. Genotip IL10 -819 CC berhubungan bermakna dengan peningkatan kadar IL10 serum (Lech Maranda et al, 200). Turner et al (1997) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan sekresi IL10 berdasarkan ada atau tidaknya alel A pada posisi basa nukleotida -1082 dari promoter gen IL10 sedangkan peneliti lain
(Lech
Maranda et al, 2004) tidak menemukan perbedaan bermakna antara varian alel maupun genotip polimorfisme IL10 -1082 dengan kadar IL10 serum. Alel C pada polimorfisme -592 berhubungan pula dengan tinginya kadar IL10 serum ( Shih et al, 2005) Di samping kadar IL10 serum, ekspresi IL10 pada pemeriksaan imunohistokimia dilaporkan berhubungan dengan prognosis beberapa jenis tumor ganas (Soria et al, 2003). Walaupun demikian, hubungan ekspresi IL10 dengan prognosis pada diffuse large B cell lymphoma belum banyak diteliti. Di Yogyakarta maupun di Indonesia sudah banyak dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor prognosis tumor-tumor ganas
yang sering dijumpai
seperti kanker payudara dan nasofaring tetapi penelitian tentang tumor ganas limfoid masih jarang dilakukan 1.2. Permasalahan Penelitian Diffuse large B cell lymphoma merupakan jenis limfoma yang paling banyak dijumpai. Berbeda dengan tumor ganas lain, klasifikasi limfoma merupakan bidang patologi yang selalu berkembang dan penuh dengan
7
kontroversi. Klasifikasi limfoma yang terbaru adalah klasifikasi WHO. Klasifikasi WHO dapat memberikan informasi mengenai biologi tumor, sifat alami dan respon pengobatan sehingga pengelolaan tumor limfoid dapat lebih optimal Di Indonesia pada umumnya maupun di Yogyakarta pada khususnya, profil angka kejadian limfoma maupun diffuse large B cell
lymphoma belum banyak
dilaporkan. Diffuse large B cell lymphoma merupakan salah satu jenis limfoma nonHodgkin sel B matur yang memiliki entitas tersendiri berdasarkan klasifikasi WHO . Walaupun demikian, diffuse large B cell lymphoma memiliki perilaku klinis bervariasi. Parameter prognosis klinis diffuse large B cell lymphoma adalah Internasional Prognostic Indeks ( IPI). Diffuse large B cell lymphoma memiliki beberapa varian morfologi dan subtipe molekular. Pada sebagian kasus diffuse large B cell lymphoma menunjukkan
double hit lymphoma yang ditandai
dengan adanya ekspresi Myc dan Bcl2 pada pemeriksaan imunohistokimia. Polimorfisme genetik IL10 sebagai sitokin yang bersifat pleiotrofik berpengaruh terhadap produksi IL10 serum. Kadar IL10 serum berpengaruh pula terhadap angka ketahanan hidup diffuse large cell lymphoma . Oleh karena itu, dikemukakan formulasi masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana profil limfoma
dan diffuse large B cell
lymphoma di
Yogyakarta ? 2. Adakah hubungan antara Internasional Prognostic Indeks ( IPI) dengan angka ketahanan hidup diffuse large B cell lymphoma ? 3. Adakah hubungan antara varian morfologi diffuse large B cell lymphoma dengan angka ketahanan hidup ? 4. Adakah hubungan antara subtipe molekular GCB dan nonGCB diffuse large B cell lymphoma dengan angka ketahanan hidup ?
8
5. Adakah hubungan antara ekspresi Myc dan Bcl2 pada double hit diffuse large B cell lymphoma dengan angka ketahanan hidup ? 6. Adakah hubungan antara polimorfisme gen IL10
dengan angka
ketahanan hidup diffuse large B cell lymphoma ? 7. Adakah hubungan antara ekspresi IL10 dengan angka ketahanan hidup diffuse large B cell lymphoma ? 1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui profil limfoma dan diffuse large B cell
lymphoma di
Yogyakarta 2. Menganalisis hubungan antara Internasional Prognostic Indeks ( IPI) dengan angka ketahanan hidup diffuse large B cell lymphoma 3. Menentukan
hubungan antara varian morfologi diffuse large B cell
lymphoma dengan angka ketahanan hidup 4. Menganalisis
hubungan antara subtipe molekular GCB dan nonGCB
diffuse large B cell lymphoma dengan angka ketahanan hidup 5. Menentukan hubungan antara ekspresi Myc dan Bcl2 pada double hit diffuse large B cell lymphoma dengan angka ketahanan hidup 6. Menganalisis hubungan antara polimorfisme gen IL10 dengan angka ketahanan hidup 7. Menganalisis hubungan antara ekspresi IL10 dengan angka ketahanan hidup
9
1.4. Kegunaan Penelitian 1. Penelitian ini berguna untuk menentukan faktor-faktor prognosis yang paling bermakna pada penderita diffuse large B cell lymphoma di Yogyakarta 2. Penelitian ini diharapkan menjadi dasar penelitian lebih lanjut mengenai limfomagenesis di Yogyakarta dan upaya prevensinya
1.5. Keaslian Penelitian
Profil limfoma maupun diffuse large B cell lymphoma sudah banyak dilaporkan di berbagai negara, tetapi di Indonesia belum banyak dilaporkan data profil limfoma ataupun diffuse large B cell lymphoma .Penelitian epidemiologi limfoma nonHodgkin sel B dari berbagai sentra diagnostik dilakukan pada tahun 2008 – 2010 ( Reksodiputro, 2015 ). Dari penelitian tersebut angka ketahanan hidup rata-rata selama tiga tahun sebesar 36,4%. Didapatkan kontroversi hasil penelitian tersebut dengan peneliti-peneliti terdahulu. Fu et al ( 2008 ) melaporkan bahwa angka ketahanan hidup rata-rata penderita diffuse large B cell lymphoma selama tiga tahun adalah 77% dengan terapi rituximab dan 42% dengan terapi konvensional. Hubungan prognosis klinis, varian morfologi, subtipe molekular serta polimorfisme genetik dengan angka bebas kekambuan dan ketahanan hidup diffuse large B cell lymphoma sudah banyak diteliti tetapi hasilnya masih merupakan kontroversi
dan belum pernah dilakukan penelitian yang
10
menggabungkan analisis berbagai faktor prognosis klinis, morfologi, molekular dan genetik dengan menggunakan sampel blok parafin.Haberman et al (2008) menganalisis hubungan polimorfisme gen sistem imun dan faktor prognosis klinis dengan ketahanan hidup diffuse large B cell lymphoma dengan sampel darah tetapi tidak meneliti varian morfologi ataupun ekspresi protein sitokin. Kube et al (2008) meneliti efek polimorfisme gen IL-10 terhadap prognosis limfoma nonHodgkin agresif dari sampel darah namun tidak meneliti hubungan subtipe molekular, varian morfologi dan ekspresi protein. Nielsen et al (2015) meneliti hubungan polimorfisme gen interleukin dengan suseptibilitas
dan prognosis
diffuse large B cell lymphoma dari sampel darah dan blok parafin tetapi tidak meneliti varian morfologi dan double hit diffuse large B cell lymphoma.