Laporan Kasus
LIMFOMA MALIGNA NON.HODGKIN DENGAN KAJIAN FARMOKOTERAPI Nicolaski Lumbuutrl, Indra Wijaya2 t
2
Departemen Farmakologi, Departemen llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran (Jniversitos Pelita Harapan
ABSTRACT Malignant lymphoma is a cancer that originates in the lymphoid tissue which is cover the body's lymphatic system and immuniQ. Malignant lymphoma is classified into Hodgkin lymphoma (LMH) and I'{on-Hodgkin lymphoma (LMNH). This classification was made based on histopathologic examination, which is in Hodgkin's lymphomo there is a typical ReedSternberg cells. In Indonesia, malignant lymphoma ranks sixth most common cancer. Most of the lymphoma was found at an advanced stage so it has a lot of complications and dfficult to treat.
Keyword: Mulignunt lymphoma
-
Manugement therupy
ABSTRAK Limfoma Maligna merupakan kanker yang berasal dari jaringan limfoid yang meliputi sistem limfatik dan imunitas tubuh. Limfoma Maligna diklasifikasikan menjadi dua, yaitu limfoma maligna hodgkin (LMH) dan limfoma maligna non-hodgkin (LMNH). Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan histopatologis dari kedua penyakit di atas, dimana pada limfoma hodgkin terdapat suatu gambarun yang khas yaitu adanya sel Reed-Sternberg. Di Indonesia, Limfoma Maligna menempati urutan keenam kanker tersering. Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut sehingga telah banyak komplikasi dan sulit disembuhkan.
Kata Kunci: Limfoma maligna -Tatalaksana terapi
LAPORAN KASUS Pasien wanita berusia 45 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan sesak nafas dan demam yang hilang timbul sejak + 2 minggu. Sesak dirasakan memberat setiap hari terutama pada dada sebelah kanan dan jika berbaring miring ke kiri. Pada pasien terdapat benjolan di leher sebelah kanan sejak t 6-7 bulan lalu dan membesar secara perlahan, tidak terasa
sakit, konsistensi padat, mobile, fluktuasi (-), dengan diameter + 4x3x3 cm'. Timbul juga benjolan serupa di leher sebelah kiri, ketiak kanan dan kiri, di lipatan paha kanan dan kiri sejak + 4 bulan yang lalu. Nicolaski Lumbuun
Departemen
(H)
of Pharmacology, Faculty of
Medicine
Universitas Pelita Harapan Jl. Boulevard Jend.Sudirman, Lippo Karawaci, Tangerang, Indonesia. "I el: +62-21-54210130 ; B ax: +62-21-54210133 ;
Email:
[email protected]
12
Nafsu makan mulai menurun + 3 bulan yang lalu dan berat badan menurun t 10 kg dalam 3 bulan. Buang air besar dan kecil normal. Tidak ditemukan keluhan serupa pada keluarga.
fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal, pada pemeriks aan paru didapatkan suara nafas menurun dan redup pada dada kanan mulai ICS m ke bawah. Pada abdomen teraba massa padat multiple dengan permukaan berbenjol-benjol di region kanan atas dan epigastrium, hepar sulit dinilai, dan splenomegali S m. Pada pemeriksaan KGB terdapat limfadenopati di leher kanan 4x3x3 cm' dan leher kiri 2x2xl cm', mobile, dan tidak nyeri, limfadenopati ^aksila bilateral dengan ukuran + 2xlxl cm', limfadenopati inguinal bilateral dengan ukuran 3xlxl cm' dan2x2xl cm'. Pada pemeriksaan
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDICINUS . Vol. 4 No. 5 Februari2014
- Mei 2014
lab didapartkan Hb 10,1 grldl dan pada AGD didapatkan pOz 1806, lab lain dalam batas normal. Foto rongent
Pada pemeriksaan
thoraks didapatkan efusi pleura kanan masif setinggi ICS-U dan efusi pleura kiri minimal. EKG dalam batas normal. Hasil pemeriksaan USG abdomen berupa adanya nodul solid subdiafragma kanan multipel yang menunjang limfoma maligna dengan keterlibatan hepar. Pasien didiagnosis efusi plera masif suspek malignansi dan limfadenopati generalisata suspek limfoma maligna dengan keterlibatan
hepar dan lien. Pasien
direncanakan
pemeriksaan analisa cairan pleura dan biopsi
KGB. Tatalaksana yang diberikan
adalah
Oz 3 ltlmnt, diet 1900 kkallhari, IVFD D5%
500cc/8 ja , dexametason 3x10 mg iv (tapering down) dan direncanakan untuk punksi pleura dan biopsi KGB. Pasien lalu dilakukan torakosintesis
*
500cc dan dipasang
WSD, cairan pleura serohemoragik kemudian
Sedangkan stadium klinisnya adalah
IV
B,
oleh karena selain terdapat pembesaran kelenjar di servikal
kanan dan
kanan-kiri,
inguinal
kiri, terdapat pula kelainan
ekstranodalyaitt efusi pleura dan metastase ke hepar dan lien. Hasil sitologi didapatkan selsel ganas, dan bisa dipastikan efusi pleura tersebut terjadi oleh karena infiltrasi sel-sel ganas dari LMNH. Penyebab sel-sel ganas ke pleura bisa terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. Dengan adanya infiltrasi sel-
sel ganas ke pleura parietalis maka
permeabilitas permukaan pleura meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan produksi cairan pleura, selain itu adanya infiltrasi sel-sel
ganas pada stoma kelenjar limfe pleura parietalis menyebabkan terjadinya obstruksi pada stoma tersebut dan akan menurunkan ahran cairan pleura keluar dan obstruksi pada kelenjar limfe tersebut juga dapat terjadi oleh karena adanya pembesaran kelenjar limfe
dianalisa dan kesannya tampak adanya tandatanda keganasan. Hasil biopsi KGB berupa
daerah hilus atau mediastinum.
limfoma maligna non-hodgkin's diffuse large
Pada pengobatan efusi pleura pada keganasan, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
karena terkendala biaya. Pasien kemudian didiagnosis Limfoma Maligna Non-Hodgkin stadium fV B, Intermedratte grade. Pasien lalu
- Bila keadaan umum
and small (mixed) cell. Pemeriksaan imunohistokimia (IHK) tidak dikerjakan menjalani kemoterapi dengan
CHOP
(eyclophosphamide, flydroxydaunomycin
(Doxorubisin), Oncotin
(vinkristin),
3 minggu dan direncanakan sebanyak 6 kali jika
- Bila keadaan umum dan harapan hidup
lrednison) dengan interval
memungkinkan. Setelah kemoterapi CHOP hari ke-16, benjolan di tubuh mengecil dan pasien selanjutnya kontrol lewat poliklinik.
penderita cukup baik, maka torakosintesis segera dilakukan dan dipertimbangkan
juga pemberian kemoterapi dan radioterapi
atau
(ika lesi terlokalisir).
- Bila
DISKUSI Gambaran histopatologi pada pasien ini adalah
LMNH, yaitu berupa Intermediate
penderita dengan
distres pernafasan, perlu dipertimbangkan untuk melakukan torakosintesis untuk mengurangi sesaknya.
harapan hidup baik tapi tidak membaik dengan kemoterapr atart radioterapi dan terjadi penumpukkan cairan pleura berulang, maka perlu dipertimbangkan pemasangan WSD.
grade
(dffise mixed (large & small) cell.
i.--+l HJTI,
Stage
I
Stage ll
lgmph node regiorr tvo or more sites, sarne side or single extralgmphatic of diaphragm or E contiguous =ing1e
sitp
(lp)
extralumphEtitr site (lle)
l'4fffi
Stage llls both sides of diEphrem or spleen (llls) or contiguous
extralgmphatic site (llle)
Stage lV
E
diffuEe involvFment
of extralg mphrtic sites t nodal diseEse
Stage subdivision: A-asgmptomatjc E-unexplain*d weight loss>l rlE in 6m and/or fever and/or night sweats Extralgmphatic = tissue other than lgmph nodes,thgmus,spleen,\y'aldeger's ring,appendix &. Peger'= patches
Gambar 1. Penentuan Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
13
L!MFOMA MALIGNA NON.HODGKIN Kemoterapi sistemik diberikan atas dasar stadium klinik dan tingkatan histopatologis, dimana pada stadium IV B tidak dapat
dilakukan lagi radioterapi dan
pada
intermediate grade memberikan respon yang cukup baik terhadap sitostatika (remisi komplit 45-55oA, curable rate 30-35%).Pada penderita yang akan diberikan kemoterapi sistemik harus dilakukan torakosintesis terlebih dahulu untuk menghindari adanya akumulasi obat anti
kanker yang bisa menyebabkan
toksisitas
sistemik. Pasien mendapat regimen kombinasi standar 4 obat sitostatik untuk LMNH yaitu CHOP dengan dosis tipikal yang disesuaikan
dengan luas permukaan tubuh. Perhitungan dosis ini didasari karena metode tersebut lebih akurat dibandingkan perhitungan dengan berat badan, karena obat-obat sitostatik memperlihatkan suafu step dose-response dengan indeks terapi yang sempit.
Tabel 1. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell Keterl ibatan/Penampakan Stadium
I
II III IV
Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ ekstralimfatik (IE) Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang sama (IIE) Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi diafragma ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau limpa (IIIss) Kanker bersifat difus dan telah mengenai I atau lebih organ ekstralimfatik
Suffix
A B
Tanpa gejala B Terdapat salah satu gejala di bawah ini: o Penurunan BB lebih dari l0o/o dalam kurun waktu ditegakkan yang tidak diketahui penyebabnya
6 bulan sebelum
diagnosis
o o
X
Demam intermitten > 38" C Berkeringat di malam hari Bullqt tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10 cm, atav , massa mediastinum dengan ukuran > 113 dari diameter transthoracal maximum pada foto polos dada PA
Untuk konversi nilai luas permukaan tubuh dari data berat dan tinggi badan dapat digunakan noffnogram atau berdasarkan formula DuBois and DuBois; yartu:
x 0,007184 'W:
S:
W0'425
(S:luas permukaan tubuh dalam m' ' berat badan dalam kg; Htinggi badan dalam cm). Jadi pasien dengan XH0'72s
BB: 33,5 kg dan TB: 152 cffi, maka mempunyai luas permukaan tubuh : 33,50'42s y 1t)o'tts x o,ooi g4 : l,21996 m2 1
terapi standard kombinasi
CHOP
hidroksidaunomr-
sin:doksorubisin, onkovin,
14
dalam suatu siklus yang diulang
setiap 3 minggu sampai total 6kalt, dengan dosis: C: pada hari pertama; H:^ 50 7 50 Tglm2 mglm2 tVpada hiripertama; O: 1,4mglm2 pada hari pertama; P: 25 mg oral 4xlhari (hari pertama sampai ke-5).8
IV
N
.
Beberapa kombinasi sitostatik yang dapat digunakan untuk kemoterapi pada LMNH yaitu: Metotreksat, Bleomisin, Doksorubisin (Adriamisin), Siklofosfamid, Vinkristin (Onkotin), Deksametason (:m-BACOD); Prednison, Doksorubisin (Adriamisin), siklofosfamid, etoposid diikuti cytarabin, bleomisin, Vinkristin (Onkotin), Bleomisin (: PToMACE-CytaBOM) telah dievaluasi'; namun hasilnya tidak superior dibandingkan (siklofosfamid,
sedangkan efek toksik yang ditimbulkannya meningkat4's'6'7. Contoh tipikal regimen kombinasi CHOP adalah diberikan
semakin
prednison),
Berikut tinjauan farmakoterapi dari regimen kemoterapt pada LMNH: Siklofosfamid; obat pengalkil ini pertama kali ditemukan tahun 1958. Obat ini mempunyai spektrum aktivitas antitumor yang luas dan juga digunakan sebagai imunosupresan. Mekanisme kerja:
Komponen induknya bersifat inaktif yang
oleh sistim CYP hidroksisiklofosfamid,
kemudian diaktifkan (CYP2B)e menjadi
4
dimana dalam keadaan keseimbangan dengan
aldofosfamid (non enzimatlk merupakan bentuk sitotoksik-fosforamid mustard +
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDICINUS ' Vol. 4 No. 5 Februari 2014
akrolein). Fosforamid mustard
ini
- Mei 2014
akan
mentranfer grup alkilnya ke konstituen selular (DNA) berbagai sel, terutama jaringan yang secara cepat berproliferasi. Pengalkilan DNA dalam nukleus menghasilkan interaksi yang memicu kematian sel (apoptosis).
5.
Ulserasi mukosal mulut dan intestinal serta
fibrosis pulmoner dapat terjadi
selama
penggunaan obat ini.
6.
Syndrome of inappropriate ADH (SIADH)
dapat terjadi walaupun sangat jarung, terutama pada pasien yang menerima dosis sangat tinggi.
Farmakokinetik:
Absorbsi oral baik (bioavail:
-
10006),
ekstravasasi obat pada pemberian inta vena tidak mengakibatkan kerusakan j aringan . T I I 2: 3-10 jam (obat induk); 1,6 jam (aldofosfamid); 8,7 jam (fosforamid musta.d).'u Metabolisme hepatik dan ekskresi urine 6,5 + 4,3oA.Ikatan plasma 1306, bersihan 1,3 + 0,5 ml/menit/kg, Volume distribusi 0,78 + 0,57 llkg.
Dosis yang dianjurkan: 500-1500 mg/m2 IV tunggal setiap 3-4 minggu dalam kombinasi dengan sitostatika lain, umumnya untuk pengobatan kanker payudara dan limfoma; 60-120 mglm'lhari oral selama 14 hari untuk pasien dengan neoplasma yang sensitif seperti leukemia kronik.e Dosis dikurangi jika terjadi leukopeni.
7. Toksisitas jangka panjang berupa infertilitas dan keganasan sekunder. Doksorubisin; merupakan golongan antrasiklin
yang dihasilkan dari jamur streptococcus peucetius var.caesius. - Mekanisme kerja: Obat ini masuk ke dalam sel melalui difusi pasif, dan bekerja secara:
1.
Mengikat DNA dengan afinitas tinggi melalui interkalasi dan menghambat sintesis DNA dan RNA, serta memotong DNA strained akibat hambatan enzim topoisomerase II-o.
2.
Berikatan dengan membran sel sehingga mempengaruhi fluiditas dan transpor ion
Efek samping:
1.
Supresi sumsum tulang; titik terendah pada hari ke 10-14 setelah pemberian dosis tunggal, dan perbaikan dalam L7 -2L hari. Supresi terutama terhadap granulosit (kondisi leukopeni membatasi dosis yang dapat diberikan), efek pada trombosit relatif lebih ringan dan efek pada eritrosit sangat kecil, penurunan hitung jumlah sel
dalam sel.
3.
Melepaskan radikal bebas semiquinon dan radikal oksigen melalui suatu enzim yang
memediasi proses reduktif.
Hal
ini
bertanggung jawab atas toksisitas terhadap
jantung akibat radikal oksigen yang memediasi kerusakan membran sel jantung.
biasanya sangat kecil.
2.
Farmakokinetik: Sistitis hemoragik (dilaporkan terjadi pada 5-10% pasien)e; disebabkan karena iritasi
kimia oleh akrolein yang
berakumulasi
dalam kandung kemih dan urine. Insiden
ini
dapat dikurangi dan dicegah secara
signifika! dengan pemberian
mesna
(Mesnex@), suatu senyawa sulfhidril yang akan bereaksi segera dengan akrolein pada
suasana asam saluran kemih, disamping
itu perlu hidrasi yang adekuat.'
3.
4.
Mual dan muntah; umumnya terlihat 8-12 setelah pemberian obat, bisa juga terjadi delayed onset kemungkinan akibat konversi siklofosfamid menjadi metabolit
ju
yang lebih emetogenik.
Alopesia merupakan efek samping yang sering terjadi.
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Pemberian secara parenteral (fD, ekstravasasi obat dapat menimbulkan selulitis. Konsentrasi
puncak menurun 50% setelah 30 menit pertama injeksi, tapi level terapi menetap sampai 20 jam.
Metabolisme hepatik secara reduksi dan
hidrolisis. Mayoritas metabolit
diekskresi
melalui empedu, hanya sekitar 1/6 diekskresi melalui urine. Beberapa metabolit tetap mempunyai aktivitas antitumor, dan obat ini mengalami siklus enterohepatik. Jika pasien mengalami gangguan hepar (bil. > 2,5 mgldl) maka dosis harus dikurangil5%.
Waktu paruhnya mempunyai 3 fase: fase cr :10-30 menit; fase B: 1-3 jam; fase y : 30 jam. Ikatan plasma 76yo, Vol. Distribusi: 682 x 433 llm2,6ersihan: 666 + 339 mllmenitlm2.
15
LIMFOMA MALIGNA NON.HODGKIN
Dosis yang dianjurkan:30-75 tunggal dan diulang setelah
m! nl
IV
2l hari.
ketokonasol, simetidin,
jika
bersamaan dapat secara meningkatkantoksisitas . T % o
1.
Depresi sumsum tulang terutama dengan leukopeni dengan puncak pada minggu ke-
2 dan perbaikan pada minggu ke 3-4.e Anemia dan trombositopenia dapat terjadi namun tidak berat.
2. 3.
4.
:
: B
Efek samping
:
diberikan bermakna
5 me\rt, T
Yz
23-85ju*." Ikatan 50--155 menit,T y2 y plasma sangat rendah, volume distribusi 96,9 + 55,7 Llm2, 6ersihan 4,gZ + 3,01Lljam/nl.
Dosis yang dianjurkan 1,4-2
mglmz
Pemberian obat dengan kekerapan interval <
han atau pada dosis yang lebih tinggi
.
l
akan
meningkatkan manifestasi toksik.
Stomatitis, gangguan gastrointestinal, dan alopesia sering terjadi namun reversibel. Adriamycin flare (bercak eritematus dekat tempat injeksi) merupakan reaksi alergi ringan yang dapat timbul, demikian jugu kemerahan pada muka, konjungtivitis dan hiperlakrimasi.
Kardiomiopati; diduga adanyaketerlibatan produksi interselular radikal bebas yang tinggi dalam miokard oleh doksorubisin. Hal ini jarang terlihat pada dosis total < 500 mglm'.
Efek samping:
1.
Neurotoksik; tanda awal berupa parestesi
2.
Alopesia; timbul pada
yang ditemukan dalam sitoplasma sel) dan memblokade
kemampuan
protein
20% pasien dan
3.
Depresi sumsum tulang jarangterjadi.
4.
Gejala gastrointestinal dilaporkan sangat jarang.
5.
Syndrome of inappropriate ADH (SIADH) dapat timbul dan menyebabkan hiponatremia.
6.
Hiperurisemia; efek samping ini dapat dicegah dengan pemberian alopurinol.
Mekanisme kerja:
Mengikat secara spesifik tubulin (suatu protein
+
reversibel.
Vinkristin; merupakan suatu derivat alkaloid yang diisolasi dari daun tumbuhan Madagascar periwinkle (Catharantus ros eus).
jan-jan bagian distal dan ekstremitas bawah serta hilangnya refleks tendon.
Prednison; kortikosteroid golongan ini lebih dipilih sebagai kombinasi dalam standar terapi
berpolimerasi menjadi mikrotubulus. Mikrotubulus adalah esensial untuk
LMNH, karena kombinasi prednison dan vinkristin terbukti meningkatkan remisi
membentuk serabut-serabut spindle kromosom
sampai 90% pada kasus leukemia limfoblastik pada anak. Prednison mempunyai efek limfolitik dan kemampuan mensupresi
selama mitosis dan untuk mempertahankan struktur sel. Ikatan pada tubulin menyebabkan dissolusi spindle mitotik, sehingga sel tertahan pada pada ' metafase dan tidak dapat bereplikasi.
limfosit. Sangat bernilai sebagai
sitostatik dalam pengobatan leukemia akut pada anak dan limfoma maligna pada anak-dewasa. Efek
anti tumor glukokortikoid dimediasi oleh Famakokinetik: Pemberian secara fV harus hati-hati terjadi ekstravasasi karena obat ini bersifat iritatif. Dimetabolisme secara ekstensif hampir 70% oleh hati melalui CYP3A dan konjugasi;
diekskresikan melalui empedu. Hanya sebagian kecil (15%) ditemukan utuh dalam urin. Pada pasien dengan disfungsi hepar (bilirubin > 3 mg/dl) disarankan reduksi dosis l5o .e Interaksi dengan obat-obat inhibitor metabolisme CYP3A, seperti: eritromisin, Berdasarkan pada penelitian, dosis prednison 100 mglharr selama 5 hart pefiama diikuti dengan tappering off dan dosis pemeliharaan minimal efektif disarankan sebagai standar
16
ikatannya pada suatu reseptor sitoplasmik
spesifik, dimana ketika diaktivasi
akan
menginduksi program ekspresi gen yang akan
memicu terjadinya apoptosis. Belum ada standar dosis prednison oral sampai saat ini, ada 3 standar dosis yang paling banyak digunakan saat ini dalam rejimen CHOP, yaitu:
1. 2. 3.
100 mg/hari,l-5 hari (67%). 100 mg/m2lhari,1-5 hari (17%).
60 mg/m'lhari,1-5 hari (13%).
dosis pada rejimen CHOP. Mengingat efek
samping yang luas terutama
penggunaan dosis
akibat
tinggi dan dalam waktu
yang cukup lama, perlu diperhatikan gejala-
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDICINUS . Vol. 4 No. 5 Februari2014
- Mei 2014
gejala seperti: intoleransi glukosa, ulkus gastrointestinal, osteoporosis, psikosis, supresi
KESIMPULAN
imunologis dan terutama depresi terhadap
Limfoma Maligna Non-Hodgkin (LMNH) merupakan salah safu keganasan yang kemosensitif. Pengobatan LMNH sepenuhnya bergantung pada stadium klinis dan stadium (grade) histopatologisnya. Kemoterapi untuk LMNH intermediate dan high grade memerlukan kombinasi beberapa sitostatika yang berkerja melalui mekanisme yang berbeda. Regimen kombinasi CHOP masih merupakan kemoterapi yang superior dibandingkan regimen kombinasi lain (6-8 sitostatika), karena efek samping yang
korteks adrenal.
Rituximab; Rituximab adalah
antibodi monoklonal chimeric terhadap protein CD20,
yang terdapat pada permukaan sel
B.
Rituximab menghancurkan sel-sel B, karena itu digunakan untuk mengobati penyakit yang ditandai dengan jumlah yang berlebihan dari sel B, sel B terlalu aktil atau sel B disfungsional. Ini termasuk limfoma, leukemia, rejeksi transplantasi, dan beberapa
gangguan autoimun. CD20 banyak diekspresikan pada sel B, dari awal pra-sel B
untuk kemudian dalam diferensiasi. Meskipun fungsi CD20 tidak diketahui, kemungkinan berperan dalam masuknya Ca'* melintasi membran plasma, menjaga konsentrasi Ca2* intraseluler, dan memungkinkan aktivasi sel B. Pada kasus limfoma, rituximab dapat diberikan jika pada pemeriksaan IHK didapatkan CD20 (+).
ditimbulkannya lebih minimal dan efek terapi
tidak berbeda bermakna. Remisi total
dan
tingkat kesembuhan setelah kemoterapi untuk LMNH cukup tinggi demikian j,rgu dengan usia harapan hidup pasien, namun kemoterapi harus dilakukan dengan hati-hati dan dibawah pengawasan dokter ahli mengingat efek toksik yang ditimbulkannya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Armitage JO. Staging Non-Hodgkin Lymphoma. A Cancer Journal for Clinicians 2005; vol 55(6): 368-76.
2.
Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm.In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, eds. Harrisson's Principle of Internal Medicine. 15'n ed. New York: McGraw-Hi1l Co;2001.p. 1513-16.
3.
Fisher RI, Gaynor ER, Dahlberg S, Oken MM, Grogan TM, Mize EM,Glick JH, Coltman CA, Miller TP. Comparison of a Standard Regimen (CHOP) with Three Intensive Chemotherapy Regimens for Advanced Non-Hodgkin's Lymphoma. N Engl J Med 1993;328:1002-06.
4.
Armitage JO, Longo DL. Malignancies of Lymphoid Cells. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, eds. Harrisson's Principle of Internal Medicine. 15th;d. New York: McGraw-Hill Co; 2001 . p.715-33.
5.
Armitage JO. Treatment of Non-Hodgkin's Lymphoma. N Engl J Med 1993;328:1023-30.
6.
Salmon SE, Sartorelli AC. Cancer Chemotherapy. In: Katzung BG, ed. Basic & Clinical 9th ed. New York: Lange Medical Bboks/Mc Graw-i{ill; 2001 .p.923-58.
Pharmacology.
7.
Muggia FM, Von .Hoff DD. Malignant Diseases. In: Speight TM, Holford NHG, eds. Avery's 4th ed. Auckland: Aais International; I gbl.p. 1253-94.
Drug Treatment.
8.
Grahame-Smith DG, Aronson JK, Sear JW. The Drug Therapy of Blood Disorders.
In:
Grahame-
Smith DG, Aronson JK. Oxford Textbook of Clinical Pharmacology and Drug Therapy 3'd ed. New york: Oxford University Press Inc.;2002. p. 339-50.
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
17
LIM FOMA MALIGNA NON.HODGKIN
9.
Chabner BA, Ryan DP, Ares PL, Carbonero RG, Calabresi P. Antineoplastic Agents. In: Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG, eds. Goodman & Gilman's The Pharmacology Basis of Therapeutics 1Othed. New York: Mc Graw-Hill; 200Lp.1389-1459.
OA. Oncologic Disorders. In: Camrthers SG, Hoffman BB, Melmon KL, Nierenberg DW, eds. Melmon and Morrelli's Clinical Pharmacology: Basic Principles in Therapeutic. 4th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2000.p. 799-871.
10. Bertino JR, Connor
1
1. Nafrialdi, Gan S. Anti Kanker. Dalam: Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. Farmakologi dan Terapi edisi 4. FKUI- Jakarta ;2001: 109-23.
12. Pfreundshuch M, Trumper L, Osterborg A, et al. CHOP-like chemotherapy plus rituximab versus
CHOP-like chemotherapy alone in young patients with good-prognosis diffuse large-B-cell lymphoma. The Lancet Oncology 2006; vol 7(5), p.379-91.
18
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN