BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Bcl-2 ( B cell lymphoma-2) Bcl-2 merupakan B-cell lymphoma / leukemia-2 dan protein kedua
dari berbagai protein yang ditemukan pada limfoma. Sesuai dengan namanya, gen ini ditemukan karena keterlibatannya dalam keganasan sel-B,
dimana
terjadi
translokasi
kromosomal
yang
kemudian
mengaktifkan sebagian besar gen pada non-Hodgkin’s sel-B limfoma folikuler.10,11 Gen Bcl-2 memiliki lebih dari 230 kb dari DNA dan terdiri dari tiga exons yang mana exon 2 dan sebagian kecil dari exon 3 mengkode protein. Bcl-2 mengkode 2 mRNA, yaitu Bcl-2α dan Bcl-2β, yang mana hanya Bcl-2α yang sepertinya memiliki relevansi biologis. Protein Bcl-2 merupakan membran protein yang memiliki berat molekul 26 kDa terletak pada bagian sitosolik dari amplop nuklear, retikulum endoplasma dan bagian luar membran mitokondria dan sitoplasma.12,13 Berdasarkan dari struktur dan fungsi, protein Bcl-2 adalah suatu regulator utama pada proses apoptosis meliputi antiapoptosis dan proapoptosis. Saat ini ada 18 anggota family Bcl-2 yang telah diidentifikasi dan dibagi kedalam 3 grup, yaitu 14,15,16,17 1. The anti apoptotic channel-forming protein meliputi Bcl-2, Bcl-xl, Mcl-1.
7 Universitas Sumatera Utara
2. The proapoptotic channel-forming protein diwakili Bax ( Bcl-2 associated x protein) dan Bak ( Bcl-2 associated killer), aktifitas dari kelompok sub grup ini bersifat menstimulasi pelepasan sitokrom c dari membran mitokondria 3. The proapoptotic channel-forming protein yaitu Bid ( BH3 domainonly death agonist ), Bik, NOxa, Puma, Hrk, BNIP3, Bad (Bcl-2 associated
death-only
death
promoter)
merupakan
molekul
proapoptosis. Protein kelompok ini mendorong kematian sel sebagai protein adaptor yang terikat pada jalur upstream untuk memutuskan berlangsungnya program apoptosis.
Gambar 2.1.Tiga subgroup Bcl-2 protein dan bcl-2 homolog domain14
Bcl-2 dapat memperpanjang hidup sel. Ekspresi protein ini seringkali berlebihan pada berbagai keganasan meskipun tanpa adanya
8 Universitas Sumatera Utara
translokasi kromosom t (14;18) yang mengakibatkan perubahan gen Bcl2. Resistensi obat bisa terjadi oleh karena meningkatnya ekspresi Bcl-2, kanker. Paparan yang berlebihan Bcl-2 bisa menyebabkan suatu keadaan terjadinya kemoresisten.18 2.2 Apoptosis 2.2.1 Definisi Apoptosis adalah mekanisme fisiologis dari kematian sel yang telah menunjukkan peranan dalam onset dengan atau perkembangan kanker. Gangguan pada pengaturan sel yang mengkontrol apoptosis dapat memicu ganguan homeostasis dari jaringan seperti keseimbangan prolifersi dan apoptosis sel. Apoptosis berperan dalam perkembangan siklus sel dari endometrium normal.5 Apoptosis berasal dari bahasa Yunani, yang artinya gugurnya putik bunga atau daun dari batangnya. Pada tahun 1972, Kerr J.F et al mempublikasikan
artikel British Journal of Cancer dengan judul
:Apoptosis: a basic biological phenomen with ranging implication in tissue kinetic. Artikel ini menjelaskan proses kematian normal pada sel yang disebut dengan apoptosis.12 Apoptosis berbeda dengan nekrosis. Apoptosis pada umumnya berlangsung seumur hidup dan bersifat menguntungkan bagi tubuh. Bila sel kehilangan kemampuan melakukan apoptosis maka sel tersebut dapat membelah secara tak terbatas dan akhirnya menjadi kanker. Nekrosis
9 Universitas Sumatera Utara
adalah kematian sel yang disebabkan oleh kerusakan sel secara akut. Sel – sel yang dimusnahkan karena cedera (seperti cedera oleh mekanikal, terinfeksi oleh toksik). Pada nekrosis terjadi perubahan pada inti yang pada akhirnya dapat menyebabkan inti menjadi lisis dan membran plasma menjadi ruptur.19,20 2.2.2 Fungsi Apoptosis 21 1. Terminasi sel, keputusan untuk apoptosis dapat berasal dari sel itu sendiri, dari jaringan sekitarnya ataupun dari sel yang berasal dari immune system. Hal ini fungsi apoptosis adalah untuk mengangkat sel yang rusak, mencegah sel menjadi lemah atau kurangnya nutrisi dan mencegah penyebaran virus. 2. Mempertahankan homeostasis, artinya jumlah sel dalam suatu organ atau jaringan harus berada dalam keadaan yang relative konstan, hal ini dapat dicapai jika kecepatan mitosis seimbang dengan kematian sel. 3. Perkembangan embryonal, pada masa embryo perkembangan suatu jaringan atau organ didahului oleh pembelahan dan diferensiasi sel dan kemudian dikoreksi melalui apoptosis. 4. Interaksi limfosit, perkembangan limfosit B dan limfosit T pada tubuh manusia merupakan suatu yang kompleks, yang akan membuang sel – sel yang berpotensi menjadi rusak. Sitotoksik T dapat menginduksi
10 Universitas Sumatera Utara
apoptosis secara langsung pada sel melalui terbukanya suatu celah pada target membrane dan pelepasan zat – zat kimia untuk mengawali proses apoptosis. 5. Involusi hormonal pada usia dewasa, misalnya pada pelepasan sel endometrium selama siklus menstruasi, regresi pada payudara setelah masa menyusui dan atresia folikel pada menopause. 2.2.3 Regulasi Apoptosis Apoptosis diatur oleh beberapa gen. diantara gen tersebut, yang termasuk faktor penting adalah golongan gen Bcl-2. Bcl-2 merupakan gen anti-apoptosis yang pertama kalo diidentifikasi pada limfoma non-hodgkin. Gen tersebut memiliki kemampuan menghambat berbagai macam sinyal apoptosis, dan ekspresi dari gen ini telah ditemukan meningkat pada neoplasma pada manusia, termasuk keganasan mammae, prostat, tiroid, dan karsinoma sel paru sel besar. Bax merupakan gen lain yang merupakan golongan dari Bcl-2, tetapi berlawanan dengan Bcl-2, gen ini cenderung menginduksi terjadinya apoptosis. Gen-gen yang merupakan golongan dari kelompok Bcl-2 dapat membentuk homo atau heterodimer satu sama lain. Pro-apoptosis dari royein Bax tergantung pada pembentukan Bax yang bersifat homodimer pada membrane mitkondria. Efek antagonis dari gen Bcl-2 telah dipengaruhi sebagian oleh Bcl-2-Bax heterodimer yang mencegah terbentuknya Bax-homodimer. Telah diduga bahwa rasio selular dari Bcl-2/Bax merupakan faktor kunci penting yang
11 Universitas Sumatera Utara
membuat sel resisten terhadap stimulus apoptosis, sedangkan rasi yang rendah menginduksi kematian sel. 5,22,23
Gambar 2.2. Regulasi Apoptosis pada endometrium manusia. Pada fase sekretori endometrium rasio Bcl-2/Bax menurun. Hal ini dikontrol oleh hormonehorman ovarium . Penurunan rasio tersebut menandakan peningkatan apoptosis pada endometrium selama menstruasi11
TNF-α merupakan sitokin yang menginduksi apoptosis melalui reseptor spesifik. Aktivasi dari reseptor TNF memicu aktivasi dari enzim proteolitik (kaskase) yang bertanggung jawab terhadap eksekusi dari apoptosis. Bagaimanapun untuk menunjang apoptosis, TNF-α dapat mengawali sinyal lain termasuk mengaktivasi NF-ĸB, sebuah fakor transkriptase yang terlibat dalam regulasi dari gen pada respon imun, perkembangan embrionik, onkogenesis, dan apoptosis. Sedangkan beberapa observasi telah menduga sebuah fungsi pro-apoptosis dari NF-
12 Universitas Sumatera Utara
ĸB, sebuah peran anti-apoptosis telah diketahui pada beberapa jenis sel. NF-ĸB terlbat dalam transkriptase dari beberaapa gen anti-apoptosis, termasuk faktor yang terkait dengan reseptor TNF yaitu TRAF-1 dan TRAF-2, yang merupakan golongan dari penghambat gen apoptosis. NFĸB terdapat pada endometrium selama siklus menstruasi, tetapi hubungannya dengan apoptosis jaringan belum diketahui.5 Mekanisme apoptosis sangat kompleks dan rumit. Secara garis besarnya yaitu: 1. Adanya signal kematian (penginduksi apoptosis). Signal yang menginduksi apoptosis bisa berasal dari ekstrinsik antara lain: hormon, faktor pertumbuhan, nitrik oxide dan sitokine. Signal intrinsik misalnya radiasi ionisasi, kerusakan karena oksidasi radikal bebas, dan gangguan pada siklus sel, panas, kekurangan nutrisi, infeksi virus dan hipoksia merupakan keadaan yang dapat menimbulkan pelepasan signal apoptosis intrinsik melalui kerusakan sel. Kedua jalur penginduksi tersebut bertemu didalam sel, berubah menjadi famili protein pengeksekusi utama yang dikenal caspase, yang merupakan mediator sebenarnya kematian sel.16,17,22,23 Signal apoptosis bisa terjadi secara intrinsik (internal) diinisiasi melalui pelepasan faktor signal dari mitokondria dalam sel. Sedangkan jalur ekstrinsik (eksternal) diinisiasi melalui stimulasi dari reseptor kematian (death receptor)
13 Universitas Sumatera Utara
a.
Jalur Intrinsik (Mitochondria Pathway) Jalur
apoptosis
intrinsik
akan
menghasilkan
peningkatan
permeabilitas mitokondria dan pelepasan dari molekul pro-apoptosis (death inducers) ke dalam sitoplasma.23,24 Mitokondria mengandung protein seperti sitokrom c yang penting bagi kehidupan, tetapi bila beberapa protein yang serupa terlepas ke dalam sitoplasma (merupakan indikasi bahwa sel tersebut tidak sehat), akan menginisiasi program “bunuh diri” dari apoptosis. Pelepasan protein mitokondria ini dikontrol secara seimbang melalui anggota keluarga protein Bcl antara pro dan antiapoptosis. Salah satu yang utama adalah Bcl-2, Bcl-x dan Mcl-1. Normalnya
protein
ini
terdapat
pada
sitoplasma
dan
membran
mitokondria, dimana mereka mengontrol permeabilitas mitokondria dan mencegah kebocoran protein mitokondria yang nantinya memiliki kemampuan untuk mencetuskan kematian.24,25 Bila sel kehilangan sinyal bertahan/survival, terjadi kerusakan DNA, atau kesalahan sintesis protein maka akan merangsang stres retikulum endoplasma (RE), sensor dari kerusakan
atau
stres
akan
diaktifkan.
Sensor
kemudian
akan
mengaktifkan dua kritikal (proapoptosis) efektor, Bax dan Bak, yang membentuk oligomers yang kemudian masuk ke dalam membran mitokondria dan membuat saluran/channel yang memperbolehkan protein dari membran dalam mitokondria untuk bocor ke dalam sitoplasma. BH3 juga mengikat dan memblok fungsi dari Bcl-2 dan Bcl-x, diwaktu yang sama sintesis dari Bcl-2 dan Bcl-x menurun. Hasil dari aktivasi dari Bax-
14 Universitas Sumatera Utara
Bak disertai dengan hilangnya fungsi perlindungan dari anggota keluarga Bcl antiapoptosis, maka terjadi pelepasan beberapa protein mitokondria ke dalam sitoplasma yang akan mengaktifkan alur caspase. Salah satu protein tersebut adalah sitokrom c, yang diketahui fungsinya pada respirasi mitokondria. Sekali terlepas ke dalam sitosol, sitokrom c mengikat protein yang dinamakan Apaf-1 (apoptosis-activating factor-1, homolog dari Ced-4 pada C elegans), yang kemudian akan membentuk hexamer berbentuk seperti roda yang disebut apoptosom.22,23 Komplek ini dapat mengikat caspase-9, inisiator caspase yang penting dari alur mitokondria dan enzim akan memecah molekul caspase-9 yang berdekatan, sehingga membentuk sebuah proses auto-amplifikasi. Protein mitokondria lainnya, seperti Smac/diablo, memasuki sitoplasma, kemudian mereka mengikat dan menetralisir protein sitoplasma yang berfungsi sebagai inhibitor fisiologis apoptosis. Fungsi normal dari inhibitor fisiologis apoptosis adalah untuk memblokir aktivasi caspases, termasuk caspase-3 dan menjaga sel-sel tetap hidup, netralisasi dari IAP ini merupakan inisiasi dari alur caspase.23 b.
Jalur Ekstrinsik (Death Receptor Pathway) Pathway ini diinisiasi oleh pengikatan reseptor kematian pada
permukaan sel pada berbagai sel. Reseptor kematian merupakan bagian dari reseptor tumor nekrosis faktor yang terdiri dari cytoplasmic domain, berfungsi untuk mengirimkan sinyal apoptotic. Reseptor kematian yang diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1 yang dihubungkan dengan
15 Universitas Sumatera Utara
protein Fas (CD95). Pada saat fas berikatan dengan ligandnya, membrane menuju ligand (Fasl). Tiga atau lebih molekul fas bergabung FADD (Fas-associated death domain). FADD ini melekat pada reseptor kematian dan mulai berikatan dengan bentuk inaktif dari caspase 8. Molekul procaspase 8 ini kemudian dibawa keatas dan kemudian pecah menjadi caspase 8 aktif. Enzyme ini kemudian mencetuskan cascade aktifasi caspase dan kemudian mengaktifkan procaspase lainnya dan mengaktifkan enzyme untuk mediator pada fase eksekusi.10
Gambar 2.3. Apoptosis jalur Intrinsik dan Ekstrinsik25
2.
Tahap pelaksanaan apoptosis (Fase degradasi atau eksekusi) Sel yang mulai apoptosis, secara mikroskopis akan mengalami
perubahan: sel mengerut dan lebih besar, sitoplasma tampak lebih padat, kromatin menjadi kondensasi dan fragmentasi yang padat pada membrane inti (pyknotik), kromatin berkelompok dibagian perifer, DNA
16 Universitas Sumatera Utara
yang ada didalamnya pecah menjadi fragmen – fragmen, membrane sel memperlihatkan tonjolan – tonjolan yang ireguler (membrane blebbing), sel yang terpecah menjadi beberapa fragmen (apoptoties bodies).10 3.
Fagositosis Apoptotic bodies ini akan difagosit oleh sel yang berada
disekitarnya. Adanya sel – sel fagosit ini dapat menjamin tidak menimbulkan respon inflamasi setelah terjadinya apoptosis.10,23
Gambar 2.4 Mekanisme apoptosis 23
2.2.4 Ekspresi Bcl-2 pada Hiperplasia Endometrium Pola ekspresi dari gen pengatur apoptosis pada Bcl-2, Bax, dan TNF-α bergantung pada siklus menstruasi, diduga bahwa faktor-faktor ini sedikitnya mengatur sebagian dari steroid pada ovarium. Ekspresi dari
17 Universitas Sumatera Utara
TNF-α bergantung pada siklus menstruasi. Ekspresi dari TNF-α sudah ditemukan mengalami kadar tertinggi saat endometrium menstruasi, dan rendahnya
perbandingan
Bcl-2/Bax
diakhir
menstruasi
cenderung
meningkatkan apoptosis dari sel-sel glandular. Pemeriksaan sebelumnya telah menggambarkan apoptosis pada hiperplasia dan karsinoma endometrium dengan melihat morfologi dari apoptosis sel. Pembuktian yang lebih baik yang mengindikasikan Bcl-2 secara umum mengalami down
regulation
di
karsinoma
endometrium,
yang
mana
dapat
meningkatkan risiko rekurensi dan menurunkan angka harapan hidup 5 tahun. Selanjutnya, ekspresi dari Bax dan faktor pengatur apoptosis lainnya telah diobservasi pada pre kanker dan kanker endometrium.26,27,28
Gambar 2.5 Analisis imunohistokimia dari Bcl-2 dan Bax pada endometrium normal, hyperplasia, dan adenokarsinoma. A) ekspresi Bcl-2 tinggi pada endometrium normal yang berproliferasi dan menurun pada hyperplasia dan karsinoma. B) sama halnya dengan Bcl-2, ekspresi dari Bax terlihat menurun pada hyperplasia tetapi tetap lebih tinggi dibandingkan Bcl-2. C) rasio Bcl-2/Bax 5,12
18 Universitas Sumatera Utara
Identifikasi ekspresi Bcl-2 pada gambar 2.5 terlihat bahwa ekspresi pada simpleks terlihat lebih tinggi dibandingkan hiperplasia non atipikal kompleks. pada proliferasi endometrium normal mendorong investigator untuk
mempelajari
peran
potensial
dari
Bcl-2
pada
hiperplasia
endometrium. Ekspresi Bcl-2 telah diketahui meningkat pada hiperplasia endometrium. Namun, peningkatan ekspresi Bcl-2 ini tampaknya terbatas pada hiperplasia kompleks. Secara mengejutkan, ekspresi Bcl-2 ini menurun pada hiperplasia atipikal dan karsinoma endometrium.3
Gambar 2.6. Apoptosis sel pada kelenjar endometrium normal, hiperplasia, dan kanker5
Peran gen Fas/FasL juga telah diteliti baru-baru ini pada perkembangan hiperplasia endometrium. Fas termasuk salah satu tumor necrosis factor/nerve growth factor yang berikatan dengan FasL (ligan Fas) dan menginisiasi terjadinya apoptosis. Ekspresi Fas dan FasL meningkat pada sampel endometrium setelah terapi progestasional. Interaksi antara ekspresi Fas dan Bcl-2 dapat berpengaruh pada
19 Universitas Sumatera Utara
perkembangan hiperplasia endometrium. Ekspresi Bcl-2 tampak menurun dengan adanya progesteron intrauterine, sedangkan ekspresi Fas tampak meningkat. 3 Studi yang telah disebutkan sebelumnya mulai memberikan kita beberapa pemikiran pada perubahan molekular yang mengarah ke terbentuknya
hiperplasia
dan
karsinoma
endometrium.
Namun,
pemahaman kita belumlah lengkap dan studi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan lebih dalam perbedaan ekspresi Bcl-2 dan pada patogenesis molekular hiperplasia endometrium non atipikal simpleks dan kompleks. 3
Gambar 2.7. Analisis dari apoptosis dengan menggunakan penandaan 3’-end in situ dan ekspresi dari Bcl-2. (A) pada endometrium normal dan patologis. Pada kelenjar endometrium yang berproliferasi apoptosis terjadi sangat tidak bermakna, tetapi apoptosis sel terihat meningkat pada sel stroma (panah). (B) pada karsinoma endometrium grade II apoptosis terjadi dalam jumlah yang banyak (panah). (C) presentasi lapangan gelap dari mRNA Bcl-2 memperlihatkan ekspresi yang tinggi pada endometrium yang berproliferasi. (D) dan rendah pada hiperplasia endometrium kompleks.5
20 Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Pemeriksaan Ekspresi Bcl-2 a. Penandaan In Situ 3’-end dari DNA Apoptosis Penandaan in situ 3’-end dari DNA apoptosis merupakan yang pertma kali dicetuskan, dengan menggunakan ApopTag in situ yaitu suatu alat untuk mendeteksi terjadinya apoptosis (Oncor, Gaithesburg, MD). 5,21 b. Hibridisasi In Situ Analisis hibridisasi in situ dibuat dengan menggunakan penandaan biotin untuk Bcl-2 dan Bax. 5,21 c. Imunohistokimia Potongan paraffin di deparafinisasi dengan xylene dan di hidrasi bertingkat dengan serial alkohol. Bcl-2 dideteksi dengan menggunakan anti monoclonal dari tikus antibodi Bcl-2, Bax menggunakan antibodi Bax anti-manusia dari poliklonal kelinci, TNF-α menggunakan antibodi antimanusia dari monoclonal tikus, dan NF-ĸB menggunakan antibodi antimanusia dari poliklonal kelinci. 5,29 Pewarnaan immunohistokimia dievaluasi dengan memakai indeks pewarnaan
yang
didasarkan
pada
test
pendahuluan.
Intensitas
pewarnaan ditentukan berdasarkan : •
0 = tidak dijumpai sel yang mengikat antibodi
•
1 = lemah atau tidak dapat dibedakan.
•
2 = sedang, dijumpai pada beberapa sel.
•
3 = kuat dijumpai pada sebagian besar atau semua sel.5
21 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Kelenjar endometrium yang menunjukkan positif adanya Bcl-212
Suatu studi di Cina juga menyebutkan terdapat hubungan antara ekspresi gen Bcl-2 dengan resiko terjadinya kanker endometrium (p< 0,05).30 Penjagaan
homeostasis
dari
jaringan
tubuh
sangat
erat
hubungannya dengan proses pengaturan proliferasi sel dan apoptosis pada integritas jaringan. Terdapat penelitian yang mengevaluasi ekspresi apoptosis dengan protein regulasi apoptosis yaitu Bcl-2 pada hiperplasia endometrium.31 Apoptosis merupakan proses morfologi dan biokimia dari nekrosis yang menyebabkan disfungsi sel. Deregulasi proses apoptosis dapat disebabkan banyak faktor yaitu penyakit autoimun, defek perkembangan, dan kanker. Endometrium manusia merupakan jaringan tubuh yang sangat bergantung pada proses apoptosis, proliferasi, dan diferensiasi. Sistem
ini
dipengaruhi
keadaan
hormonal
seperti
estradiol
dan
progesteron. Apoptosis dilaporkan terdeteksi pada fase sekresi akhir atau pada fase sekresi awal.31,32
22 Universitas Sumatera Utara
Apoptosis diatur oleh gen pro dan anti apoptosis. Protein Bcl-2 merupakan protein kompleks yang berperan dalam apoptosis. Rasio Bcl2/Bax ,merupakan kunci proses apoptosis dimana nilai yang kecil akan menyebabkan kematian sel. Ekspresi Bcl-2 tidak hanya dideteksi pada hiperplasia endometrium, akan tetapi juga ditemukan pada payudara, paru-paru, prostat, dan kanker tiroid atau melanoma.31,33 Caspase terjadi pada inisiator apoptosis. Caspase inisiator apoptosis terdiri dari kaspase 2, 8, 9, dan 10. Juga terdapat Caspase efektor apoptosis yaitu 3, 6, 7. Protein diaktifkan oleh caspase misalnya poli ADP ribose polimerase (PARP). PARP merupakan enzim nuklear yang berperan dalam perbaikan DNA dan stabilisasi genom. Enzim ini juga terdeteksi pada hiperplasia endometrium.31 Terdapat penelitian yang mengukur kadar Bcl-2 pada hiperplasia endometrium. Penelitian ini dilakukan pada 25 pasien dengan usia ratarata 58 tahun. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi Bcl-2 yang menurun sehingga menyebabkan terhambatnya proses apoptosis dan terjadi perkembangan sel kanker.31 Penelitian Vaskivuo et al pada tahun 2002 membahas tentang peranan
apoptosis
endometrium.
dan
Penelitian
faktor ini
apoptosis
dilakukan
Bcl-2
pada
85
pada kasus
hiperplasia spesimen
histerektomi dengan usia 25-77 tahun. Hasil penelitian menunjukkan apoptosis berperan pada hiperplasia simpleks, kompleks, dan atipikal. Proses
apoptosis
menurun
pada
hiperplasia
endometrium.
Bcl-2
23 Universitas Sumatera Utara
terdeteksi pada hiperplasia endometrium dan endometrium normal. Laju apoptosis pada tipe simpleks adalah 0,49 dan kompleks adalah 0,52.5 Penelitian lain oleh Boise et al pada tahun 1993 meneliti tentang gen Bcl-2 yang berperan dalam regulasi apoptosis. Jumlah sel dikontrol melalui keseimbangan proliferasi sel dan kematian sel. Apoptosis merupakan proses aktif dimana sel dapat mati selama perkembangan pada eukariosit kompleks. Kematian sel diinduksi program baik ekstrinsik maupun intrinsik. Kematian sel ditandai dengan kurangnya volume sel, pecahnya membran sel, kondensasi nuklear, dan degenerasi DNA.34 Salah satu faktor yang berperan penting adalah Bcl-2 yang berasal dari translokasi 14;18 pada sel B limfoma. Translokasi ini menghasilkan ekspresi deregulasi gen Bcl-2. Hal ini akan menyebabkan apoptosis.34 Penelitian lain oleh Sarmadi menilai reseptor estrogen dan progesteron pada hiperplasia endometrium. Hasil penelitian menunjukkan terdapat kelebihan reseptor progesteron pada 100% kasus hiperplasia endometrium sehingga diperlukan terapi hormonal.35 Bcl-2 juga dapat digunakan sebagai pertanda dalam menilai terapi progestin pada hiperplasia non atipik kompleks seperti penelitian yang dilakukan Upson et al pada tahun 2012.36 Pada sel mamalia, apoptosis dipicu melalui dua faktor yaitu jalur ekstrinsik atau reseptor kematian dan jalur intrinsik yaitu mitokondrial. Kekurangan dari Bcl-2 dapat menjadi karsinogenik seperti pada kasus kanker payudara, kolon, tiroid, dan endometrium. Ekspresi Blc-2 yang
24 Universitas Sumatera Utara
tinggi akan memperlambat pertumbuhan sel hingga kematian sel, sedangkan ekspresi Bcl-2 yang rendah akan memicu inhibisi apoptosis sel.37 Penelitian Cahyanti pada tahun 2008 tentang Bcl-2 dan indeks apoptosis pada hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks.
Pada
pemeriksaan
imunohistokimia
Bcl-2
didapatkan
gambaran immunostaining spesifik berwarna coklat pada sitoplasma sel. Ekspresi Bcl-2 terdapat pada semua kasus hiperplasia endometrium nonatipik simpleks dan kompleks. Intensitas staining pada epitel kelenjar positif kuat pada hiperplasia simpleks sebanyak 85,7% dan terdapat peningkatan intensitas staining kuat pada hiperplasia kompleks 96,4% bila dibandingkan dengan hiperplasia simpleks, tetapi perbedaan intensitas staining tersebut tidak bermakna.38 Pada hasil penelitian Bcl-2 juga didapatkan ekspresi Bcl-2 pada hiperplasia endometrium non-atipik simpleks dan kompleks didapatkan adanya perbedaan yang bermakna dengan nilai ekspresi Bcl-2 pada hiperplasia endometrium kompleks lebih tinggi dibandingkan yang simpleks. Endometrium dengan Bcl-2 ≥ 0,92 mempunyai resiko 2,6 kali untuk terjadinya hiperplasia non-atipik kompleks dibandingkan Bcl-2 < 0,92.38 Pada hasil pemeriksaan sel apoptosis pada kelenjar endometrium dari hiperplasia endometrium non-atipik dijumpai nilai median indeks
25 Universitas Sumatera Utara
apoptosis pada hiperplasia non-atipik simpleks 10 (5-40) dan yang kompleks 8 (1-30).38 Dapat disimpulkan bahwa pada hiperplasia endometrium non-atipik dengan adanya aktivitas proliferasi sel kelenjar yang meningkat dibandingkan stroma, disebabkan ekspresi Bcl-2 sebagai anti-apoptosis yang meningkat. Ekspresi Bcl-2 tersebut akan menyebabkan penurunan kemampuan apoptosis dengan nilai indeks apoptosis yang rendah. Pada hiperplasia endometrium non-atipik kompleks. 38 Penelitian Barhoom tentang Bcl-2 tidak hanya dilakukan pada manusia akan tetapi pada jamur gloeosporoides, dimana jamur ini juga memerlukan Bcl-2 sebagai regulator apoptosis.39 Terdapat peneltian oleh Santoso D pada tahun 2013 yang membedakan indeks apoptosis berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada pasien yang menjalani hemodialisa. Indeks apoptosis perempuan lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan laki-laki (0,7325 vs 0,55175). Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di kelompok perempuan non-diabetes yang menjalani hemodialisis, indeks apoptosis lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok laki-laki dan pembandingnya.40 Penelitian Teguh M tentang perbedaan indeks apoptosis antara pasien pre-eklamsia dengan normal. Hasil penelitian didapatkan terdapat perbedaan bermakna indeks apoptosis dimana indeks meningkat pada pasien pre-ekalmsia.41
26 Universitas Sumatera Utara
Penelitian Gao et al pada tahun 2000 meneliti tentang mRNA Bcl-2 yang berkorelasi dengan kemoresistensi pada sel kanker manusia. Ekspresi Bcl-2 didapatkan paling tinggi berada pada fase G1 saat pembelahan sel.42 Penelitian Bcl-2 juga dilakukan pada kasus glioblastoma serta kanker paru dan didapatkan hasil Bcl- 2 berperan pada penyakit ini dalam mengontrol apoptosis. Bcl-2 juga dijadikan pertanda dalam menilai prognosis pasien.43,44,45 Penelitian oleh Hardian et al meneliti tentang indeks apoptosis dan Bcl-2 pada hiperplasia endometrium yang rekuren. Hasil peneltiian didapatkan hiperplasia endometrium berkorelasi dengan indeks apoptosis namun tidak berkorelasi dengan ekspresi Bcl-2.46 Sel
apoptosis
dapat
dikenali
melalui
perubahan
morfologi
stereotipikal. Sel akan mengerut, menunjukkan deformasi, dan tidak lengket dengan sel di sekitarnya. Kromatin akan memendek, plasma akan mencair atau bengkak.10 Sel yang mengalami apoptosis akan dimakan makrofag dan dibuang dari jaringan tanpa mengakibatkan respon inflamasi. Proses ini mengaktifkan enzim proteolitik terutama untuk mencerna DNA menjadi fragmen oligonukleosal. Apoptosis berbeda dengan nekrosis sel dimana nekrosis sel akan terjadi tanpa terkontrol sehingga menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya dan memancing respon inflamasi.10
27 Universitas Sumatera Utara
Apoptosis dapat dipicu dari berbagai stimuli baik dalam maupun luar sel seperti adanya ligasi pada reseptor permukaan sel oleh DNA perbaikan untuk memperbaiki struktur DNA yang cacat, ataupun sel yang mengalami iradiasi atau obat sitotoksik.10
2.3 Hiperplasia Endometrium 2.3.1 Definisi Hiperplasia endometrium didefinisikan sebagai proliferasi kelenjar dengan ukuran dan bentuk ireguler dan dengan peningkatan rasio kelenjar/stroma.
Hiperplasia
endometrium
kemudian
diklasifikasikan
menjadi hiperplasia simpleks dan hiperplasia kompleks berdasarkan tingkat kompleksitas proliferasi kelenjar. Hiperplasia sederhana (dulunya disebut kistik atau hiperplasia ringan) adalah lesi proliferatif dengan tingkat kompleksitas minimal dan dikelilingi banyak stroma diantara kelenjar. Hiperplasia kompleks (dulunya disebut hiperplasia moderat) adalah lesi proliferatif dengan tingkat kompleksitas yang berat. Pada hiperplasia kompleks, kelenjar dapat bervariasi dalam ukuran, dan jumlah stroma yang minimal diantara kelenjar.3
28 Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Klasifikasi Hiperplasia endometrium juga diklasifikasikan berdasarkan adanya gambaran sitologi atipikal. Gambaran sitologi atipikal mengacu pada pembesaran sel epitel yang hiperkromatik dengan nukleoli prominen dan peningkatan rasio inti / sitoplasma. Tabel 1. Klasifikasi Hiperplasia Endometrium 3,47
Gambaran sitologi atipik merupakan faktor prognostik paling penting
untuk
mengarah
ke
karsinoma.
Klasifikasi
hiperplasia
endometrium yang lebih simpleks telah direkomendasikan berdasarkan pentingnya sitologi atipik: hiperplasia non atipik dan hiperplasia atipik. Kurang dari 2% hiperplasia non atipik berkembang menjadi karsinoma, dan durasi rata-rata untuk menjadi karsinoma memerlukan waktu 10 tahun. Hiperplasia atipikal berkembang menjadi karsinoma pada 23% kasus dengan waktu rata-rata 4 tahun.3
29 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9. Klasifikasi Histologi Hiperplasia Endometrium 1
Hiperplasia endometrium didefinisikan sebagai proliferasi kelenjar yang tidak teratur bentuk dan ukuran dengan peningkatan kelenjar rasio stroma. Hal ini lebih dikategorikan menjadi simpleks dan kompleks, didasarkan pada kompleksitas kelenjar. World Health Organization (WHO) membuat sistem klasifikasi untuk hiperplasia endometrium,
yang
kemudian direvisi pada tahun 2003, dibentuk berdasarkan dari Group Oncology Gynecologic (GOG) dan International Society of Gynecological Patologist (ISGP). Data - data menunjukkan bahwa sebagian besar hiperplasia non atipik merupakan awal, tingginya lesi reversibel dalam patogenesis endometrium dan karsinoma atipik hiperplasia endometrium adalah prekursor endometrioid kanker endometrium.1,47
30 Universitas Sumatera Utara
Tabel 2 Perbandingan hiperplasia non atipik simpleks dan kompleks dengan hiperplasia atipik simpleks dan kompleks3 Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Pasien Regresi Persisten Progessivitas Patologi (%) (%) menjadi karsinoma Hiperplasia 93 74 (80) 18 (19) 1 (1) Simpleks Hiperplasia 29 23 (80) 5 (17) 1 (3) Kompleks Hiperplasia atipik 13 9 (69) 3 (23) 1 (8) simpleks Hiperplasia atipik 35 20 (57) 5 (14) 10 (29) kompleks
2.3.3 Epidemiologi Terlepas dari kenyataan bahwa karsinoma endometrium adalah ginekologi yang paling umum di Amerika Serikat, dengan kejadian 23,2 pada 100.000 perempuan. Dapat mempengaruhi wanita dalam segala usia, dengan keluhan utama perdarahan uterus yang abnormal. Sangat sedikit
yang
diketahui
tentang
kejadian
hiperplasia
endometrium.
Hiperplasia Endometrium tidak hanya predisposisi untuk karsinoma endometrium, penyajian gejala klinis, menoragia dan menometroragia, sering menyebabkan emergensi dan evaluasi rawat jalan. Selain itu, pasien menanggung beban biaya dan beban evaluasi diagnostik medis, bedah dan pengobatan (termasuk biopsi endometrium, dilatasi dan kuretase, histerektomi, dan terapi potensial progestogen yang panjang 18,19
31 Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Patogenesis Pada suatu studi retrospektif, Kurman menjelaskan perjalanan alamiah dari hiperplasia endometrium. Pada studi 170 wanita dengan hiperplasia endometrium diikuti selama satu tahun tanpa histerektomi. Hanya 2 pasien (2%) yang awalnya didiagnosis hiperplasia tanpa gambaran atipik berkembang menjadi karsinoma. Pada kedua pasien ini, diagnosis awal hiperplasia tanpa gambaran atipik berkembang menjadi hiperplasia endometrium dengan gambaran atipik sebelum didiagnosis karsinoma endometrium.3 Hiperplasia non atipik cenderung untuk mengalami regresi secara spontan, sedangkan hiperplasia atipik cenderung untuk berkembang progresif. Studi lain dari 45 pasien yang menjalani histerektomi untuk diagnosis preoperatif hiperplasia endometrium. Tidak dijumpai kasus terjadinya
karsinoma
endometrium
bersamaan
dengan
hiperplasia
endometrium non atipik. 3 Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi onkogen Bcl-2 sepanjang fase proliferatif. Bcl-2 merupakan onkogen yang terletak pada kromosom 18 yang pertama kali dikenal pada limfoma folikular tetapi telah dilaporkan terdapat pada banyak keganasan manusia. Apoptosis selular secara parsial dihambat oleh ekspresi Bcl-2 yang menyebabkan sel hidup lebih lama. Ekspresi Bcl-2 tampaknya diatur melalui kontrol hormonal, dan ekspresinya menurun secara signifikan pada saat fase sekresi siklus menstruasi. Menurunnya ekspresi Bcl-2
32 Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan munculnya sel apoptotik dalam endometrium yang terlihat pada mikroskop elektron selama fase sekresi dalam siklus menstruasi. 3,7 2.3.5 Gambaran Klinis Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala klinis paling sering yang diakibatkan oleh hiperplasia endometrium. Unopposed estrogen dari pemakaian estrogen eksogen atau siklus anovulatori mengakibatkan hiperplastik endometrium dengan perdarahan terus-menerus. Pasien pada usia reproduktif dengan hiperplasia endometrium khasnya sekunder akibat sindrom polikistik ovarium (SPOK). SPOK mengakibatkan unopposed estrogen sekunder dari siklus anovulatori. Pasien usia muda dapat juga mempunyai kadar estrogen lebih tinggi akibat sekunder dari konversi androstenedione periferal dalam jaringan lemak (pasien obese) atau tumor
ovarium
yang
mensekresi
estrogen
(misalnya,
tumor
sel
granulosa).3 Pasien pascamenopause dengan hiperplasia endometrium juga mengeluhkan adanya perdarahan pervaginam. pada kelompok usia ini harus
dipertimbangkan
kejadian
karsinoma,
atrofi
endometrium
merupakan penyebab paling sering pada perdarahan pascamenopause. Hiperplasia dan karsinoma secara khas menunjukkan gejala perdarahan pervaginam berat, sedangkan pasien dengan atrofi biasanya datang dengan keluhan perdarahan pervaginam ringan.3
33 Universitas Sumatera Utara
2.3.6 Diagnosis Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala klinis yang paling sering dikeluhkan pasien hiperplasia endometrium. Wanita dengan perdarahan pascamenopause akan dijumpai hiperplasia endometrium pada 15% kasus dan kanker pada 10% kasus. Temuan ultrasound secara insidental yang menunjukkan penebalan endometrium untuk hiperplasia endometrium. Wanita dibawah usia 40 tahun yang mengeluhkan perdarahan uterus abnormal khasnya memiliki gangguan hormonal yang dapat membaik tanpa harus dilakukannya pemeriksaan diagnostik, misalnya ultrasound, atau kuretase endometrium.3,21 1. Ultrasonografi Ultrasonografi transvaginal merupakan prosedur diagnostik dan relatif murah untuk mendeteksi kelainan endometrium. Namun, pada wanita pascamenopause, efikasinya sebagai pemeriksaan penapisan untuk mendeteksi hiperplasia atau karsinoma endometrium belum diketahui. Pada percobaan PEPI (Postmenopausal Estrogen/Progestin Interventions), nilai batas ketebalan endometrium 5 mm memiliki nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif, sensitivitas, dan spesivisitas untuk hiperplasia atau karsinoma endometrium masing-masing 9%, 99%, 90%, dan 48%. 3,5,21, Ultrasonografi dapat berperan sebagai pemandu untuk menentukan apakah
wanita
pemeriksaan
dengan
diagnostik
perdarahan lebih
lanjut
pascamenopause (misalnya
memerlukan
kuretase)
untuk
34 Universitas Sumatera Utara
menentukan adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium. Pada 339 wanita dengan perdarahan pascamenopause, tidak dijumpai ketebalan endometrium ≤4 mm yang berkembang menjadi karsinoma endometrium selama 10 tahun periode follow up.5 2. Biopsi Endometrium Pipelle Pengambilan sampel endometrium dengan Pipelle merupakan pemeriksaan yang efektif dan relatif murah untuk mengumpulkan jaringan Studi
sebelumnya
menjelaskan
wanita
dengan
bermacam-macam
penyebab perdarahan uterus abnormal; namun, yang paling penting adalah kemampuan Pipelle untuk mendiagnosis secara benar wanita dengan hiperplasia dan karsinoma endometrium. Pada studi metaanalisis terhadap 7914 wanita, Pipelle mempunyai sensitivitas 99% dalam mendeteksi kanker endometrium pada wanita pascamenopause, tetapi pada wanita dengan hiperplasia endometrium, sensitivitas menurun menjadi 75%.7 3. Kuretase dan Histeroskopi atau Dilatasi Histeroskopi telah diterima secara umum sebagai baku emas dalam mengevaluasi kavum endometrium. Namun, histeroskopi saja dalam mendeteksi hiperplasia atau karsinoma dapat menghasilkan positif palsu yang tinggi dan harus dilakukannya dilatasi dan kuretase. Apabila dikombinasi dengan biopsi, histeroskopi memiliki sensitivitas, spesifisitas,
35 Universitas Sumatera Utara
masing-masing 98%, 95%, ketika dibandingkan dengan temuan histologi pada saat dilakukan histerektomi. 3,4 2.3.7 Penatalaksanaan Banyak studi telah dilakukan untuk melihat efikasi penanganan konservatif dengan progestin dan agonis GnRH dalam menangani wanita dengan hiperplasia endometrium. Dalam memilih penanganan konservatif pada wanita dengan hiperplasia endometrium bergantung pada beberapa factor meliputi usia pasien, keinginan untuk hamil lagi, resiko operasi dan adanya gambaran sitologi endometrium.4 Progestin
telah
digunakan
untuk
menangani
hiperplasia
endometrium selama lebih dari 40 tahun. Pada kelompok wanita pascamenopause
berjumlah
52
orang
yang
didiagnosis
dengan
hiperplasia atipik atau hiperplasia non atipik, 90% pasien mengalami remisi sempurna setelah diterapi dengan 40 mg megestrol acetate perhari selama rata-rata 42 bulan. Megestrol acetate memiliki efek samping yang rendah dan aman pada dosis yang tinggi. Dengan dosis 160 sampai 320 mg perhari selama 3 bulan, tidak terdapat perubahan bermakna pada kadar glukosa darah atau profil lipid serum, walaupun wanita tersebut menunjukkan sedikit penambahan berat badan.4 Medroxyprogesterone acetate siklik telah digunakan secara efektif untuk menangani wanita menopause dengan hiperplasia endometrium tanpa gambaran atipik. Pada 65 pasien dengan hiperplasia endometrium
36 Universitas Sumatera Utara
tanpa gambaran atipik, 10 mg medroxyprogesterone acetate per hari selama 14 hari mulai diberikan kepada pasien. Regresi hiperplasia tampak pada 80% pasien, dan 92% dari pasien ini kembali memiliki endometrium normal pada saat 12 bulan terapi4,48,49. Studi pada 42 wanita dengan hiperplasia non atipik (n=30) dan hiperplasia atipik (n=12), terapi selama 6 bulan menggunakan leuprolide acetate atau triptorelin menunjukkan hasil regresi pada semua pasien, kecuali 7 orang pasien. Ketujuh pasien ini merupakan pasien hiperplasia non atipik. Norethisterone acetate dengan dosis 500 mg perminggu selama 3 bulan dengan 3,75 mg triptorelin setiap bulan selama 6 bulan menunjukkan hasil regresi pada 16 pasien dari 19 pasien setelah follow up 5 tahun. Dari 3 pasien yang diperkirakan gagal pengobatan, 1 orang mengalami rekurensi, 1 menetap, dan 1 mengalami progesivitas. 4,48,49
37 Universitas Sumatera Utara
2.4
Kerangka Teori
Menstruasi Obesitas Anovulasi Tumor sekresi estrogen
Unopposed estrogen
Protein anti apoptosis (Bcl-2) ↓ Protein pro apoptosis (Bax,Fas-FasL, TNF alfa) ↑
Endometrium normal
Progesteron normal atau rendah
Proliferasi Sel Endometrium
Protein anti apoptosis (Bcl-2) ↑ Protein pro apoptosis (Bax,Fas-FasL,TNF alfa) ↓
Apoptosis Normal
Endometrium normal
Simpleks
Apoptosis ↓
Hiperplasia endometrium
Kompleks
38 Universitas Sumatera Utara
2.5. Kerangka Konsep
Hiperplasia endometrium non atipik
Ekspresi BCL - 2
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
39 Universitas Sumatera Utara