BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Luka bakar merupakan salah satu cedera yang sangat beresiko. Hal ini dikarenakan luka bakar menyebabkan cedera kronis yang bersifat nonhealing, yang pada kondisi lebih berat dapat menyebabkan komplikasi terhadap organ– organ visceral yang dapat berujung kepada kematian (Niessen dkk., 1999). Maxson dkk. menyatakan bahwa cedera kronis yang bersifat nonhealing merupakan salah satu masalah yang semakin berkembang besar. Dilaporkan terdapat 5 hingga 7 juta kasus pertahun di Amerika Serikat saja, dan 50% dari cedera tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan yang umum dilakukan (Maxson dkk., 2011). Data dari World Health Organisation (WHO) memperkirakan hampir 300 ribu orang meninggal karena luka kulit, dimana kematian tertinggi tercatat di negara-negara Asia Tenggara (Mock, 2007). Luka bakar dalam kondisi berat juga menimbulkan masalah lain paska kesembuhan, yakni terbentuknya luka parut (scar). Luka parut merupakan cara tubuh untuk menangani cedera disaat regenerasi tidak dapat dilakukan. Sayangnya, kemampuan vertebrata untuk melakukan proses regenerasi sangat terbatas. Menyebabkan pembentukan luka parut menjadi proses kesembuhan utama pada hewan vertebrata pada hampir seluruh bagian tubuh (Hardy, 1989). Faktor - faktor keterbatasan regenerasi pada vertebrata diteliti oleh van Bekkum اpada اtahun ا2003 اpada اjurnal“ اPhylogenetic aspects of tissue regeneration: role of stem cells A concise overview”. Oleh van Bekkum
1
2
dijelaskan bahwa banyak faktor yang menyebabkan kemampuan regenerasi vertebrata menjadi sangat terbatas. Pada invertebrata, regenerasi menjadi hal yang mudah dilakukan dikarenakan ketersediaan sel punca pluripoten pada seluruh tubuh hewan ini atau sistem distribusi sel punca pluripoten ini dapat dilakukan hingga ke daerah lesi. Sel punca pluripoten berdiferensiasi menjadi blastema yang dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel yang menggantikan sel-sel yang cedera sehingga menciptakan bagian tubuh yang hilang yang kurang lebih persis sama yang disebut remodeling. Pada Polifera, sel stem ini dikenal sebagai archeocyte. Pada Planaria, disebut sebagai neoblast. Pada mamalia, setiap spesies memiliki tempat spesifik pada bagian tersebut dapat melakukan regenerasi. Kelinci dapat melakukan regenerasinya pada telinga, sedang pada manusia dapat melakukan regenerasinya pada hati melalui proses proliferasi hepatosit. Hal ini dikarenakan sangat terbatasnya cadangan sel punca pada mamalia. Mamalia juga tidak memiliki kemampuan untuk mendistribusikan sel puncanya pada daerah luka. Selain itu, regenerasi juga tidak dapat dilakukan pada mamalia dikarenakan berkaitan dengan pola aktivasi dari TGF beta-1 dan interleukin-10 (van Bekkum, 2004). Keterbatasan dalam melakukan regenerasi secara alamiah membuat penemuan-penemuan
penyembuhan
luka
secara
eksogenus
ditemukan.
Diantaranya adalah tissue engineering (Chen dkk., 2009), gene therapy (Song dkk., 2012), platelet-rich plasma (Park dkk., 2011), growth factors (Penn dkk., 2012) dan terapi sel punca (Lee dkk., 2012). Diantara pengobatan eksogenus ini, sel punca menjadi pusat perhatian dalam penyembuhan luka dengan sifatnya yang
3
mempromosikan microvascular remodelling (Dulmovits dan Herman, 2012), dan meningkatkan neovaskularisasi (Choi dkk., 2013). Teknologi sel punca merupakan salah satu jenis pengobatan regeneratif (regenerative medicine) yang bertujuan untuk membantu regenerasi tubuh dalam membentuk jaringan fungsional yang baru hingga mengganti jaringan fungsional yang rusak. Dengan berkembangnya peralatan biomolekuler pada abad ke-21 dan tersedianya sel punca yang melimpah melalui tissue engineering membuat harapan akan pengobatan terhadap cedera ataupun penyakit yang tidak dapat disembuhkan menjadi mungkin, bahkan hingga pada level molekuler (Li dkk., 2011). Sel punca dapat bersumber dari embrio (sel punca embrionik) dan dari individual dewasa yang pada bagian tertentu dalam tubuhnya terdapat sel punca (sel punca non-embrionik). Perbedaan yang mendasar dari kedua jenis ini adalah sifat selnya. Sel punca embrionik bersifat pluripoten (dapat membelah menjadi semua jenis sel) sedangkan sel punca non-embrionik bersifat multipoten (dapat membelah menjadi beberapa jenis sel) (Bajada dkk., 2008). Sel punca embrionik memiliki beberapa permasalahan, terutama jika digunakan di Indonesia. Pertama, kode etik pembuatan/penelitian menggunakan sel punca embrionik sangat ketat, dikarenakan sel punca embrionik menggunakan embrio manusia sebagai bahannya. Data Uni Eropa menunjukkan bahwa hanya Belgia, Inggris Raya dan Swedia yang memperbolehkan pembuatan sel punca secara penuh. Negara Uni Eropa lain seperti Jerman, Italia, Kroasia, Lithuania dan Slovakia melarang secara keras pembuatan/penelitian mengenai sel punca embrionik (Wheat dan Matthews, 2013).
4
Kedua, pembuatan sel punca embrionik memerlukan peralatan dan biaya yang mahal dikarenakan hanya bisa dilakukan dengan dua cara yakni secara fertilisasi in vitro dan transfer nuklear (kloning). Ketiga, sel punca embrionik tidak dapat digunakan secara langsung dikarenakan dapat menyebabkan teratoma dan diharuskan untuk dilakukan diferensiasi yang memerlukan biaya lebih (National Institute of Health, 2010). Sel punca non-embrionik dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni yang dapat membelah menjadi sel-sel darah (sel punca hematopoietik) dan sel-sel mesenkim (sel punca mesenkimal). Sel punca hematopoietik dapat dijadikan solusi pengobatan seperti pada kasus thalasemia ataupun leukemia, sedangkan sel punca mesenkimal dapat dijadikan pengobatan regeneratif jaringan seperti pada kasus luka bakar. Sel punca mesenkimal yang berasal dari korda umbilikalis menjadi salah satu potensi yang dapat dikembangkan jika dibandingkan dengan sumber lain, dikarenakan jenis ini memiliki beberapa sifat sel pluripoten, melimpah dan mudah didapatkan (Bajada dkk., 2008). Ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal pada dasarnya bukanlah pengaplikasian sel punca ke jaringan yang rusak, namun pengaplikasian sinyalsinyal yang dihasilkan sel punca seperti sitokin, kemokin dan faktor penumbuh yang dihasilkan oleh sel punca. Disebut sebagai terapi sel punca yang bebas sel (cell-free therapy) (Jayaraman dkk., 2013). Kesembuhan luka menggunakan ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal terhadap kesembuhan luka kulit pernah dilakukan oleh Jun dkk. pada tahun 2014, namun ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal yang
5
digunakan berasal dari cairan amnion. Penelitian ini menggunakan ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal yang berasal dari korda umbilikalis.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektivitas dari krim yang mengandung ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal yang berasal dari korda umbilikalis, dengan melihat potensi regenerasinya secara makroskopik dan mikroskopik terhadap kesembuhan luka bakar kulit bila dibandingkan dengan pemberian povidon iodin 10%.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perbandingan regenerasi pada kesembuhan luka bakar pada kulit tikus antara krim yang mengandung media terkondikan sel punca mesenkimal dengan povidon iodin 10%, sehingga dapat dijadikan referensi untuk pengobatan luka bakar pada kulit.