1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang tua memiliki tanggung jawab untuk merawat dan membesarkan anak. Ayah dan ibu sebagai orang tua memiliki peran yang sama dalam merawat anak mereka. Orang tua perlu bertanggung jawab dan kerjasama agar anak mampu tumbuh dan berkembang dengan optimal. Ditambah lagi setiap orang tua mengharapkan anak mereka lahir dengan “sempurna” dalam arti sehat fisik maupun mentalnya. Anak yang mengalami tuna daksa memiliki berbagai hambatan dan kelainan dalam kondisi fisik dan psikisnya, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kehidupannya. Keadaan yang demikian dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam hal sosialisasi dan interaksi sosial terhadap lingkungan sekitarnya atau dalam pergaulan sehari-harinya. Hambatan tersebut bisa diminimalisir jika orang tua mampu menerima keadaan anaknya dan memberikan perhatian yang penuh. Walaupun terkadang harapan dari setiap orang tua tidak terwujud dengan sempurna, banyak orang tua yang memiliki anak dengan berbagai macam kekurangan. Kekurangan itu diantaranya pada fisik, mental atau keduanya. Anak yang mengalami tuna daksa pada dasarnya tidak jauh dari anak normal, baik perilaku dan kesehariannya
semua sama namun hanya saja tingkat perhatian yang diberikan orang tua harus lebih extra dibandingkan yang lainnya. Hasil penelitian Ross (dalam Gargiulo, 1985) menggambarkan bahwa kehadiran anak dalam sebuah keluarga merupakan hasil dari sebuah kasih sayang dan bukti cinta. Buah cinta mereka sendiri merupakan bentuk cerminan kelengkapan dari yang disebut keluarga, namun sebagian orang tua dihadapkan pada kenyataan yang terkadang berbeda dari harapan mereka. Faktanya tidak setiap anak terlahir dengan kondisi sempurna beberapa kondisi yang tidak sempurna tersebut seringkali disebut sebagai anak tuna daksa. Tuna daksa sendiri didefinisikan sebagai mereka yang mempunyai kelainan fisik yang mampu mengganggu dan meghambat dalam melakukan suatu kegiatan layaknya orang normal serta mempengaruhi sistem gerak tubuh yang disebabkan karena kelainan neuromuscular, genetic, virus, sickness, atau karena kecelakaan (World Health Organization, 2009). Tuna daksa dikategorikan menjadi beberapa tingkatan berdasarkan kondisi ketunaan yang dialami : 1. Ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi. 2. Sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik. 3. Berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik (Widjopranoto & Sumarno, 2004).
2
Banyak anak – anak tuna daksa yang kurang mendapatkan kasih sayang, kehangatan bahkan perhatian dari orang tua mereka. Salah satu contoh kasus dimana anak tuna daksa kurang diterima oleh keluarganya. ―Pengalaman lain datang dari seorang gadis Korea bernama Hee Ah Lee. Dimasa kecilnya Ah lee pernah dihadapkan pada situasi, dimana ayahnya tidak menginginkan keberadaannya sebagai anggota keluarga. Ah Lee terlahir dengan keadaan fisik yang tidak sempurna. Kakinya tidak tumbuh normal dan kedua tangannya hanya memiliki masing-masing dua jari. Ayah Ah Lee pernah meminta sang Ibu untuk menyingkirkan Ah Lee bahkan jika perlu mengirim Ah Lee keluar negeri agar tidak dapat bertemu lagi. Hal itu dilakukan oleh ayahnya karena tidak tahan menanggung malu atas ketidaknormalan fisik Ah Lee. Namun, dengan keteguhan hati Ibunya Ah Lee tetap dipertahankan. Meskipun Ah Lee tidak jadi dipisahkan dari keluarganya, penderitaannya tidak berhenti sampai disitu saja. Dikehidupan kesehariannya, menjadi bahan cemoohan teman-temannya seperti sudah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, berkat dorongan dari ibunya Ah Lee tetap tegar menghadapinya dan berusaha membangun rasa percaya dirinya untuk terus melanjutkan hidupnya. Perjuangan Ah Lee tidak sia-sia kini ia berhasil menjadi seorang pianis professional (www.kickandy.com / Mereka adalah orang-orang spesial, Oleh Tim Penulis Kick Andy)‖ Dan seperti halnya degan contoh kasus dibawah ini : ―BEIT AWWA, — Hanya karena tak mau mempermalu-kan anak-anaknya yang sehat, sepasang suami istri warga Tepi Barat, Palestina, menyembunyikan dua anak mereka yang cacat selama 40 tahun. Hanya segelintir warga desa kecil Beit Awwa yang tahu soal Bassam Musalmeh (38) dan kakak perempu-annya, Nawal (42). Mereka berdua dikurung di dalam ruang ber-dinding beton yang kotor dan bau pesing di belakang rumah keluarga.‖ Menurut Mohammed, keluarga itu juga tidak ingin anak-anak mereka menjadi sasaran cemooh dan ejekan yang lazim di desa itu. Ini terlihat ketika wartawan Associated Press minta ditunjukkan arah rumah keluarga itu, warga desa menggambarkan mereka sebagai „domba‟.Juga beberapa kasus yang mungkin hampir mirip seperti ini, seorang remaja cacat mental berusia 17 tahun yang dicampakkan ke tempat sampah. Remaja malang itu mengalami luka lecet di perut, leher, tangan, dan kaki yang tampaknya akibat diikat dikarenakan orang tua merasa malu akan kondisi anak. (www.kompas.com / www.sapdajogja.org)‖ Gambaran seperti ini memang tidak nampak secara utuh, namun memang kenyataannya di masyarakat masih ada permasalahan seperti ini. Tetapi kenapa hal ini terjadi? Apa alasannnya permasalahan ini terjadi? Banyak pertanyaan yang mendasari penelitian ini terutama bagaimana orangtuamemandang anak dan apakah mereka mampu 3
menerima anak mereka? Disisi lain juga orang tua perlu memberikan perhatian lebih karena kehadiran anak tuna daksa dapat menimbulkan berbagai macam reaksi baik itu negatif maupun positif. Cavkaytar & Cetin (2008) mengungkapkan bahwa kehadiran anak dengan tuna daksa akan membawa banyak permasalahan dalam keluarga, seperti kekecewaan, rasa bersalah, penolakan bahkan depresi. Namun ada juga reaksi positif dari kehadiran anak mereka, dan reaksi positif yang diberikan orang tua dapat memberikan respon yang berbeda juga. Berikut pernyataan beberapa subjek yang digambarkan orang tua mengenai kondisi anak mereka: ―Perasaane........nggih ngono kae mas, ketoke kie yo rapopo awake, tapi yo koyo ra percoyo ngono mas. Krungu radang otak niku, bayangane wes macem – macem ora karuan mas, koyone ki lorone ki berat banget ngono mas...” (Wawancara personal dengan Ngatiyem, 11 Juni 2014). ―Inggih wonten mas, sedih, bingung yoen mas, pripun malih mas keadaane bocah kulo inggih ngoten niki pripun malih.‖ (Wawancara personal dengan Ngatiyem, 11 Juni 2014). ―Yo susah mas, jenenge due bocah koyo ngono ki dadi sedih koyo mboten pecoyo, sesuk kie iso mari nopo mboten.‖ (Wawancara personal dengan Ngatiyem, 11 Juni 2014). ―Yo niku mas lha nek inggih yo wonten mas pikirane kecewa sek ngoten niku….‖ (Wawancara personal dengan Kadiyem, 9 September 2014). ―………..mpun pasrah kalian Gusti Allah ngoten mawon mas nek kulo.‖ (Wawancara personal dengan Kadiyem, 9 September 2014).
Sadjaah (2005), berpendapat bahwa potensi anak harus dapat berkembang sejalan dengan usianya, sehingga kekurangan yang dimiliki tidak menjadi halangan bagi anak sehingga mereka mampu terus maju dan berprestasi. Oleh karena itu orang tua harus memiliki sejumlah pengetahuan dan kesiapan yang matang dalam menghadapi kondisi seperti ini.
4
Bentuk pengetahuan serta kesiapan yang telah dimiliki orang tua dan direalisasikan dalam bentuk pola pengasuhan yang baik dan membawa dampak positif terutama bagi perkembangan anak didalam keluarga. Penelitian Fish, dkk (dalam Sarason dkk, 2001) menjelaskan bahwa kualitas hubungan positif antara orang tua dan anak yang berlangsung terus – menerus dapat menjadi suatu hal positif dalam menciptakan persepsi diri yang baik pada anak. Salah satu dari kontribusi positif yang diberikan berupa kasih sayang dan perhatian, yang pada dasarnya dibutuhkan oleh setiap manusia. Terlebih lagi pada anak – anak, mereka membutuhkan semua itu dalam proses tumbuh kembangnya. Rogers (dalam Schultz & Duane, 1991) mengungkapkan jika orang diberi kebebasan dan dukungan emosional untuk bertumbuh, mereka bisa berkembang menjadi manusia yang berfungsi secara penuh serta didorong dengan lingkungan yang menerima dan memahami situasi tertentu orang akan memecahkan masalahnya sendiri dan berkembang menjadi jenis individu yang mereka inginkan. Anak akan merasa senang dan nyaman jika dia menerima kasih sayang, cinta dan persetujuan dari orang lain, apalagi jika hal tersebut dia dapatkan dari orang-orang terdekatnya namun, jika dia kurang mendapat cinta dan kasih sayang serta mendapatkan ejekan, maka dia akan merasa sangat kecewa dan sedih. Menurut Roger (dalam Feist & Feist, 2009) pada dasarnya orang harus mampu berhubungan dengan orang yang menunjukkan perasaan empati maupun penghargaan positif tanpa syarat pada seseorang. Memiliki hubungan dengan seorang individu yang memiliki sifat – sifat seperti empati dan simpati akan membantu individu lain dalam perkembangan dirinya secara penuh. (Feist & Feist, 2009)
5
Penekanan Rogers adalah pada potensi dalam diri manusia, karena itu ia memiliki pengaruh besar dalam memperkenalkan beberapa konsep ke dalam ilmu psikologi dan terapi, seperti penerimaan tanpa syarat, yang dapat meningkatkan perkembangan psikologis serta membantu seseorang dalam mengoptimalkan potensi diri sehingga nantinya akan mampu kondisi kehidupan yang sesungguhnya dengan kesiapan yang lebih matang (Feist & Feist, 2009). Rogers mengungkapkan jika positive regard dari orang tua dapat diberikan pada anak melalui 2 cara yakni : 1. Conditional Positve Regard (penghargaan positive bersyarat) Orang tua akan memberikan penghargaan positif, namun ada syaratnya yakni tingkah laku baik dan yang disenangi orang tua. Hal ini sama dengan dimana orang tua mengajarkan mengenai mana yang baik dan buruk pada anak, ketika anak melakukan hal yang salah maka dari itu orang tua akan memberikan nasihat dan pada suatu saat anak melakukan hal salah lainnya maka ia akan mengingat nasihat orang tuanya dan melakukan reflection pada dirinya atas kesalahan ataupun tindakan yang salah. 2. Unconditional Positive Regard (penghargaan positive tanpa syarat) Penghargaan tanpa syarat ini adalah syarat umum bagi timbulnya kepribadian yang sehat serta perkembangan diri yang lebih baik. Hal ini terbentuk pada masa kecil disaat orang tua memberikan cinta dan kasih sayang tanpa memperhatikan bagaimana anak berperilaku (baik atau tidak menurut nilai orang tua). Penghargaan tanpa syarat tidak menghendaki adanya berbagai bentuk pengekangan terhadap tingkah laku anak, tetapi bukan berarti membolehkan anak melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa 6
dinasehati. Orang tua dapat mencela tingkah laku anak yang tidak sesuai, tetapi tanpa menimbulkan perasaan bersalah bagi si anak. Anak tidak terlalu banyak dinasehati sehingga dapat menetapkan syarat-syarat penghargaan untuk anak, tetapi kepadanya diajarkan untuk memaknai dari setiap kesalahan atau kemarahan orang tuanya. Permasalahan seperti ini merupakan bentuk dan wujud gambaran permasalahan yang sebenarnya ada, namun tidak pernah diperhatikan oleh banyak orang. Kasus – kasus seperti ini menjadi gambaran bagaimana perlakuan dari orang tua itu sendiri terhadap anak – anak mereka dan cenderung seperti apa penerimaan dari orang tua tergambar dalam perilakunya. Melalui gambaran pengalaman yang dijalani Ah Lee, keluarga pada dasarnya punya pengaruh besar dalam perkembangan anak. Orang tua yang mampu menerima kondisi anak dengan rendah hati, perhatian yang diberikan oleh orang tua itu sendiri merupakan wujud penerimaan yang paling dasar, setiap penerimaan yang diberikan orang tua bisa dalam berwujud apapun, baik dalam tindakan maupun perkataan yang mengisyaratkan penerimaan. Orang tua yang merupakan orang terdekat dengan anak, dan hal ini menjadi sangat besar pengaruhnya dalam wujud penerimaan yang sesungguhnya dari orang tua. Dukungan, penerimaan, serta kasih sayang ang diberikan oleh orang tua akan memberikan rasa nyaman kemudian hal tersebut juga dapat membuat anak merasa berharga. Jika, anak sudah mulai merasa dirinya berharga maka anak akan mulai tumbuh rasa percara dirinya tentunya anak akan mampu menghadapi segala kondisi dimasa depan nantinya. Adanya dukungan, komunikasi, kerja sama, dan cinta kasih seharusnya menjadi wujud dari penerimaan dari orang tua terhadap anak, tetapi bagi beberapa orang tua yang 7
membesarkan anak tuna daksa, hal seperti ini menjadi sebuah beban besar yang harus dipikul dan ditanggung selama hidupnya bahkan penolakan, rasa malu, bahkan ketidakpedulian, terkadang menjadi bentuk dan wujud dari sikap orang tua yang tidak mampu menerima kondisi anaknya (Caplin, 2005). Banyak kasus yang melibatkan anak – anak tuna daksa, orang tua cenderung mengurung anak dikarenakan malu dengan kondisi anak tersebut dan malu akan stigma negatif dari tetangga dan masyarakat lainnya. Gambaran perilaku seperti ini bukanlah solusi yang bisa dijadikan sebagai jalan keluar dari permasalahan yang sesungguhnya. Permasalahan terbesar adalah cara orang tua sendiri menyikapi kondisi anak yang mengalami tuna daksa ini dan seperti apa sikap terbaik yang harus diambil demi perkembangan yang baik untuk anak. Tidak sedikit orang tua yang mengeluh ataupun bahkan mengalami tekanan ketika mengetahui anaknya tidak terlahir sama seperti anak – anak lainnya. Shock, malu, sedih bahkan rasa penolakan dari orang tua muncul ke permukaan, membayangkan bagaimana anak itu nanti akan tumbuh dan berkembang membuat orang tua akan semakin merasakan sebuah beban besar dalam hidupnya. Orang tua yang memiliki anak tuna daksa merasa kehilangan harapan dan rasa kekecewaan, hal tersebut menjadi pemicu dari kurangnya penerimaan dari keluarga atas kehadiran dari anak tuna daksa. Rasa kekecewaan dan putus asa dari orang tua menjadi faktor penghambat terbesar dalam perkembangan anak - anak tuna daksa. Secara harfiah penerimaan orang tua yaitu efek psikologis berkepanjangan dan wujud perilaku dari orang tua terhadap anaknya seperti rasa kasih sayang, kelekatan, kepedulian, dukungan
8
dan pola asuh orang tua dimana orang tua bisa merasakan serta mengekspresikan segala bentuk rasa sayang dan cinta kepada anak – anaknya (Hurlock, 1973). Sikap penerimaan (acceptance) itu sendiri terjadi apabila seseorang mampu menghadapi realita daripada hanya meratapi diri atau bahkan kehilangan harapan. Kemampuan orang tua dalam menerima anaknya adalah inti dari kesehatan mental yang digambarkan sebagai bentuk aktualisasi diri, dalam kata lain sesuatu yang berfungsi secara optimal dan sebagai bentuk dari sebuah kedewasaaan seseorang. (Ryff.dkk, 2002). Terkadang sebelum mencapai penerimaan (acceptance) itu sendiri, individu akan dihadapkan dengan beberapa kondisi seperti penolakan, rasa marah, depresi dan penerimaan (Kubbler Rose, 1970). Penerimaan keluarga (orang tua) ini akan mempengaruhi psikologis dan perilaku anaknya. Setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya, namun dalam prosesnya orang tua sendiri harus mampu menerima keadaan anaknya tanpa harus disertai penilaian, melainkan menghargai serta memahami sebagai individu yang berbeda dan memberikan dukungan. B. Perumusan Masalah a. Bagaimana penerimaan orang tua ketika mengetahui anaknya merupakan anak tuna daksa? b. Tindakan apa yang ditunjukkan orang tua terhadap anak tuna daksa serta faktor yang mempengaruhi penerimaan?
9
C. Tujuan Penelitian a. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami proses penerimaan orang tua yang memiliki anak penyandang tuna daksa. b. Memahami tindakan apa yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anaknya yang tuna daksa. D. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis 1. Diharapkan mampu sebagai media informasi dan pembelajaran serta jendela wawasan mengenai permasalahan yang dihadapi oleh anak – anak tuna daksa. 2. Penelitian ini diharapkan memberi sumbangan pengetahuan dibidang psikologi klinis dan perkembangan anak terutama dibidang anak – anak tuna daksa. b. Manfaat praktis 1. Diharapkan dapat memberikan informasi betapa pentingnya penerimaan terhadap anak tuna daksa dan upaya – upaya yang dilakukan orang tua terhadap tumbuh kembang optimal pada anak. 2. Menjadi bahan masukan bagi masyarakat umum terutama berkaitan dengan kondisi anak penyandang tuna daksa dan permasalahannya. 3. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam memandang dan memperlakukan anak – anak tuna daksa.
10