BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Setiap tahun lebih dari sepertiga kematian anak di dunia berkaitan dengan
masalah kurang gizi, yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ibu yang mengalami kekurangan gizi pada saat hamil, atau anaknya mengalami kekurangan gizi pada usia 2 tahun pertama, pertumbuhan serta perkembangan fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai pencapaiannya dalam Millenium Development Goals (MDGs) adalah status gizi balita. Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan dan tinggi badan. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 secara Nasional diperkirakan prevalensi balita gizi buruk dan kurang sebesar 19,6 %. Jumlah ini jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007, terjadi peningkatan yaitu dari 18,4 %. Bila dilakukan konversi ke dalam jumlah absolutnya, maka ketika jumlah Balita tahun 2013 adalah 23.708.844, sehingga jumlah balita gizi buruk kurang sebesar 4.646.933 balita. Masalah
kesehatan
masyarakat
dianggap
serius,
bila
prevalensi
kekurangan gizi pada balita antara 20,0-29,0%, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥ 30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kekurangan gizi pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah kekurangan pada balita di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi.
1 Universitas Sumatera Utara
2
Dinas Kesehatan Sumatera Utara, untuk balita pendek 43,1 persen, begitu juga hasil Riskesdas 2010, sebanyak 42,3 persen balita pendek yang lebih tinggi dari nasional sebanyak 35,6%. Demikian juga Riskesdas 2007 di Sumut, kasus gizi buruk 8,7 persen dan tahun 2010 turun menjadi 4,2 persen. Persentase ini masih dibawah target nasional tahun 2014 sebesar 5 persen, dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Merokok merupakan hak asasi manusia,
namun merokok merugikan
kesehatan tidak hanya bagi perokok sendiri tapi juga bagi orang lain disekitarnya khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rawan seperti balita . Padahal mereka yang bukan perokok mempunyai hak untuk menghirup udara bersih bebas asap rokok. Seseorang yang bukan perokok apabila terus-menerus terkena asap rokok dapat menderita dampak risiko penyakit jantung dan kanker paru-paru. Menurut Fawzani dan Triratnawati (2005), masalah rokok juga menjadi persoalan sosial ekonomi. Terdapat 60% dari perokok aktif atau sebesar 84,84 juta orang dari 141,44 juta orang adalah mereka yang berasal dari penduduk miskin atau ekonomi lemah yang sehari-harinya kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Selain itu, dengan berkurangnya hari bekerja yang di-sebabkan sakit, maka perokok menurunkan produktivitas pekerja. Dengan demikian, jumlah pendapatan yang diterima berkurang dan pengeluaran meningkat untuk biaya berobat (Chaudhuri, 2006). Menurut WHO (2002), Indonesia menempati urutan kelima dalam konsumsi rokok di dunia. Rokok telah menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Berdasarkan data, akibat rokok di Indonesia menyebabkan 9,8% kematian karena penyakit paru kronik dan emfisema pada tahun 2001. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
3
rokok merupakan penyebab stroke sebesar 5% dari jumlah kasus stroke yang ada. Lebih dari 40,3 juta anak Indonesia berusia 0-14 tahun terpapar asap rokok di lingkungannya. Akibatnya mereka mengalami pertumbuhan paru yang lambat dan lebih mudah terkena infeksi saluran pernapasan, infeksi telinga dan asma. Diperkirakan hingga menjelang 2030 kematian akibat merokok akan mencapai 10 juta pertahunnya dan di negara berkembang diperkirakan tidak kurang 70% kematian yang disebabkan oleh rokok. Meningkatnya kematian akibat rokok berbanding lurus dengan jumlah remaja perokok yang setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2010, di Indonesia usia perokok makin muda, yaitu sebanyak 1,7% perokok mulai merokok pada usia 5-9 tahun. Persentase nasional penduduk berumur 15 tahun ke atas yang merokok setiap hari sebesar 28,2%. Lebih dari separuh (54,1%) penduduk laki-laki berumur 15 tahun ke atas merupakan perokok harian. Persentase penduduk perokok yang merokok tiap hari tampak tinggi pada kelompok umur produktif (25-64 tahun) dengan rentang 30,7%-32,2%. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan pada bulan Maret 2014 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1.286.700 orang atau sebesar 9,38 persen terhadap jumlah total penduduk. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi September 2013 yang jumlah penduduk miskinnya sebanyak 1.416.400 jiwa, Dan jumlah penduduk di padang lawas 227.365 jiwa yang mengalami kemiskinan sebanyak 24.863 jiwa. di Desa Trans Pirnak Marenu Keluarga Miskin 80 kk dengan mendapat bantuan dari pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
4
Profil kesehatan Depkes Provinsi Sumatera Utara (2008) menunjukkan sekitar 86,1% perokok merokok di dalam rumah. Anggota keluarga lain yang tinggal bersama dengan perokok akan terpapar dengan asap rokok tersebut. Keseluruhan perokok aktif yang merokok setiap hari dengan usia diatas 10 tahun di Sumatera Utara diperkirakan sekitar 23,3%. Jumlah perokok tahun 2011 di Padang Lawas sebanyak 4748 dan dari survei awal yang dilakukan, di Desa Trans Pirnak Marenu diketahui jumlah penduduk 280 KK, dengan tingkat ketersediaan pangan yang masih kurang karena belum mampu mempertahankan pangannya sampai 8 bulan dalam setahun. Terdapat
200 orang kepala keluarga (suami)
perokok, diantaranya memiliki anak balita. Tingginya jumlah perokok dalam keluarga miskin sangat berpengaruh pada gizi anak balitanya. Jumlah Balita sebanyak 112 Balita ditemukan pada keluarga perokok. Berdasarkan Antropometri rasio berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U), dan rasio berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB), dari 15 Balita yang dikunjungi, 2 orang memiliki berat badan lebih, 5 orang normal, dan 8 orang berat badannya kurang. Hal ini diduga karena tingginya angka kemiskinan pada keluarga perokok sehingga ketersediaan pangan rumah tangga tergantung pada daya beli keluarga. Peran keluarga khususnya orang tua merupakan faktor penting dalam rangka peningkatan status gizi balita. Penghasilan keluarga menjadi parameter dalam pemenuhan status gizi anak balita, didapatkan hasil bahwa rata-rata pengahasilan keluarga perbulan ialah Rp 800.000,- sampai Rp 1.000.000,- dengan pengeluaran untuk rokok Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,- perbulannya, mampu menghabiskan rokok sabanyak > 10 batang rokok atau dengan rata – rata satu
Universitas Sumatera Utara
5
bungkus setengah bahkan ada juga yang mampu menghabiskan dua bungkus dalam setiap harinya, selain itu didukung oleh pengetahuan gizi yang kurang dalam rumah tangga seperti
pembagian makanan dalam keluarga. Kondisi
kesehatan dan gizi banyak dipengaruhi pada kondisi ketersediaan pangan dan ekonomi keluarga. Melalui wawancara yang dilakukan keluarga cenderung beranggapan bahwa besarnya pengeluaran non pangan berpengaruh pada pangan rumah tangga, sehingga anak balitanya makan hanya untuk memenuhi kebutuhan saja, tanpa harus memerhatikan makanan yang dikonsumsi apakah mengandung gizi atau tidak. Anak balita yang ditemukan pada keluarga perokok lebih sering sakit dibanding anak balita pada keluarga yang bukan perokok. Untuk itu keluarga perokok harus memerhatikan gizi balitanya agar kebutuhan gizi balita terpenuhi. Hal ini disebabkan masih banyaknya keluarga miskin yang merokok dan masih mempunyai anak balita. Untuk itu informasi kesehatan perlu ditingkatkan terutama
tentang rokok
dan gizi balita,
agar keluarga perokok dapat
meminimalkan pengeluaran rokok dan memenuhi kebutuhan gizi balita dengan makanan bergizi. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melihat gambaran ketersediaan pangan dan status gizi balita pada keluarga perokok di Desa Trans Pirnak Marenu Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah apakah ada pengaruh ketersediaan pangan dan status gizi balita di
Universitas Sumatera Utara
6
Desa Trans
Pirnak Marenu Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten
Padang lawas.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui gambaran ketersediaan pangan dan status gizi balita pada keluarga perokok di Desa Trans Pirnak Marenu Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.
Mengetahui karakteristik keluarga perokok yang dilihat dari tingkat pendapatan keluarga, tingkat pedidikan, tingkat pekerjaan dan perilaku merokok keluarga di Desa Trans Pirnak Marenu Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas.
2.
Mengetahui ketersediaan pangan keluarga di Desa Trans Pirnak Marenu Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan informasi bagi masyarakat khususnya keluarga perokok dalam rangka meningkatkan kebutuhan gizi bagi balita. 2. Sebagai masukan informasi bagi Puskesmas Trans Pirnak Marenu untuk meningkatkan upaya promosi kesehatan bagi keluarga perokok terutama yang memiliki balita.
Universitas Sumatera Utara