BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani kecil Tinggal di rumah desa dengan sawah di sekelilingku Luas kebunku sehalaman akan kutanami buah dan sayuran Dan di kandang belakang rumah kupelihara bermacam-macam peliharaan Aku pasti akan hidup tenang jauh dari bising kota yang kering dan kejam Aku akan turun berkebun mengerjakan sawah ladangku sendiri dan menuai padi yang kuning bernas dengan istri dan anakku Memang cita-citaku sederhana, sebab aku terlahir dari desa Istriku harus cantik lincah dan gesit tapi dia harus cerdik dan pintar Siapa tahu nanti aku akan terpilih jadi kepala desa kan kubangkitkan semangat rakyatku dan kubangun desaku Desaku pun pasti mengharap aku pulang Aku pun rindu membasahi bumi dengan keringatku Tapi semua itu hanyalah tergantung padanya jua Tapi aku merasa bangga setidak-tidaknya ku punya cita
Lagu Ebiet G. Ade dalam album Camellia II tersebut berjudul Cita-cita Kecil si Anak Desa1. Lagu tersebut dirilis pada sekitar tahun 1979. Lirik lagunya menceritakan tentang citacita seseorang untuk hidup di desa dan menjadi petani. Setelah mendengar dan menyimak lirik dari lagu tersebut muncul pertanyan dalam benak saya, bagaimana meletakkan tema lagu tersebut dalam Indonesia masa kini? Apakah cita-cita yang digambarkan dalam lagu tersebut menjadi bagian dari cita-cita anak-anak di pedesaan kini? Dalam konteks Indonesia masa kini, anak-anak terkondisi menjawab pertanyaan tentang apa cita-citanya kelak dengan jawaban umum, yaitu menjadi dokter, insinyur, pilot, "tentara
1
Lagu ini sangat berbeda dengan lagu jaman sekarang -era 2000an- yang hanya bertema tentang cinta (tema-tema tentang orang jatuh cinta, patah hati dll).
1
atau polisi". Anak-anak pikirannya dibentuk oleh lingkungan masyarakat sekitarnya. Masyarakat Indonesia cenderung sangat menghormati profesi-profesi yang menghasilkan duit banyak alias kaya. Hal ini terbukti ketika saya bertanya kepada anak-anak di sebuah desa di wilayah Kebumen, Jawa Tengah, yang rata-rata berusia antara 14 sampai 18 tahun tentang apa citacitanya kalau sudah besar besok? Jawaban dikemukakan oleh anak-anak pada umumya adalah dokter, tentara, polisi, dan guru. Jawaban yang sangat lazim bagi anak-anak usia tersebut. Profesi-profesi yang disebutkan memang lazim dikenal oleh anak-anak. Namun diantara anakanak itu ada juga yang menjawab ingin menjadi artis penyanyi. Ada juga yang ingin jadi animator. Salah satu dari anak menjawab ingin menjadi TKW. Tentu saja jawaban ini bukan sebuah jawaban yang luar biasanya karena memang daerah itu banyak yang menjadi TKW sukses. Namun yang menjadi luar biasa bagi saya adalah tidak adanya satu anak pun yang ingin menjadi petani sukses, atau pengusaha sukses di desa. Hal ini mengingat desa Balingasal masih dominan tanah pertaniannya. Jawaban tentang cita-cita anak di pedesaan itu terdengar kontradiksi dengan lagu yang dikarang
oleh Ebiet G Ade. Jawaban yang diungkapkan oleh anak-anak menunjukkan
keinginannya untuk meninggalkan desa demi menggapai cita-cita. Hal ini berbeda dengan lirik lagu yang mengungkapkan keinginan kembali hidup di desa. Ada perbedaan
pencitraan
tentang desa sebagai tempat untuk melanjutkan hidup. Dalam lirik lagu ”Cita-cita Kecil si Anak Desa” itu sangat kental dengan nostalgia dan imajinasi tentang citra masyarakat desa. Citra desa adalah alam yang indah, pemandangan persawahan yang luas dan masyarakat yang tentram. Imajinasi tentang perdesaan didasari citra kehidupan yang bersahaja dan tidak
2
mengenal pamrih. Masyarakat desa digambarkan sebagai komunitas yang menjunjung tinggi kebersamaan, memiliki ikatan sosial yang kuat dan senantiasa menjaga harmoni. Nostalgia kehidupan desa sangat kental terlihat dalam sebuah program acara televisi untuk anak-anak yang ditayangkan di jaman Orde Baru pada era tahun 1990an, yang bertajuk: ”Anak Seribu Pulau” – Kisah Anak-anak di Indonesia. Program ini diawali dengan video klip lagu ”Negeri di Awan” yang menjadi lagu pembuka program acara TV ini. Dalam video klip tersebut terlihat gambar seorang anak laki-laki yang melepas panah dalam bayang matahari terbenam. Kegiatan anak-anak yang sedang melakukan permainan tradisonal dan anak-anak perempuan membatik. Gambar ini menunjukkan anak-anak sebagai pewaris tradisi dan kebudayaan di Indonesia. Video Klip pembukaan program TV Anak Seribu Pulau Ini diakhiri dengan gambar pemandangan lingkungan alam Indonesia yang indah. Gambaran itu seakanakan sebagai renungan bagi anak-anak sebagai pewaris kehidupan tradional untuk masa depan. Dari semua seri film yang ditayangkan dalam program televisi tersebut hampir semua bercerita tentang kisah-kisah anak-anak yang hidup di daerah pedesaan, hanya satu saja yang bercerita tentang anak-anak di daerah perkotaan. Tayangan semacam ini nampak juga diadopsi sampai sekarang ini, seperti contoh program acara ”Petualangan si Bolang” yang di tayang televis Trans 7 yang modelnya sama dengan program acara ”Anak Seribu Pulau” di atas. Dalam tayangan-tayangan itu terdapat metafor-metafor tentang masa kanak-kanak dengan pemandangan pedesaan yang tradisional yang nampaknya ingin menggambarkan tentang kehidupan desa yang adil dan tentram. Namun gambaran seperti itu tampaknya lebih mencerminkan harapan daripada kenyataan. Dalam konteks Indonesia modern, anak-anak di pedesaan mengalami perubahan, mereka ada di tengah-tengah, tidak di sini dan tidak di sana. Kehidupan anak-anak di pedesaan
3
telah berubah seperti kehidupan anak-anak di perkotaan. Seperti layaknya anak-anak perkotaan yang hidup di kota, pada masa sekarang, terpaan teknologi komunikasi telah memperluas cakrawala pengetahuan anak-anak di pedesaan. Dengan media elektronik
seperti TV,
Handphone hingga VCD Player yang menyentuh hidup sehari-harinya, anak-anak di desa menerima lebih cepat berbagai informasi. Pada suatu hari saya di SMS oleh seorang teman yang tinggal, di sebuah desa pinggiran kota kebumen Jawa tengah, namanya Sukro. Isi sms itu menanyakan tentang tempat kursus reparasi handphone di Yogyakarta. Saya kemudian mencari informasi tempat kursus melalui surat kabar dan kemudian menginformasikannya ke teman itu lewat sms. Saya bertanya kenapa dia ingin kursus reparasi HP, karena penasaran saya kemudian menelponnya, Sukro menjawab kalau di tempat tinggalnya belum ada tukang reparasi handphone, tentu hal itu saya pahami karena letak desa teman saya agak jauh dari pusat kota, kira-kira perjalanan setengah jam ke kota Kebumen bila menggunakan kendaraan pribadi. Sedangkan pengguna handphone sudah banyak sekali, hampir semua pelajar SMP atau SMA memilikinya. Kalau ada yang rusak maka mereka harus ke kota untuk mereparasi. Sukro melihat hal tersebut sebagai peluang untuk mata pencahariannya. Menurut saya, keputusan Sukro untuk membuka tempat reparasi handphone sangat jeli, ketika saya tinggal beberapa hari di desa Sukro itu tampak hampir semua anak-anak yang saya temui memiliki handphone. Bisa dikatakan bahwa handphone ini sebagai simbol kemodernan bagi anak-anak itu, tanpanya maka anak itu akan tersingkir dari pergaulan. Hal ini terlihat ketika saya sedang duduk di teras Pak Panut, tetangga Sukro, beberapa anak juga yang ikut duduk yaitu Ipul, Ipin dan Ivan. Ipul salah satu anak yang tidak memiliki handphone, ia selalu dimarahi kedua temannya, apabila Ipul ingin ikut membaca isi sms atau ikut main game sehingga Ipul hanya duduk diam di pojokan. Ipul tidak punya handphone sebagus milik kedua
4
temannya. Ipul biasanya membawa handphone ”jadul” milik ibunya, sehingga sering jadi bahan olok-olok teman-temannya. Oleh karena itu banyak anak menuntut untuk dibelikan handphone dengan tipe terbaru pada orang tua, tentu saja ini menjadi beban orang tua untuk memenuhi keinginan sang anak. Apabila keinginan sang anak untuk dibelikan
handphone
terbaru tidak terpenuhi, mereka mengancam tidak mau sekolah atau akan minggat dari rumah. Seperti yang diungkapkan oleh seorang bapak yang bernama Pak Setu yang mengeluh pada saya tentang perilaku anaknya itu yang tidak bisa lepas dari handphone2, ke mana-mana hanya telpon-telponan dan smsan. Uang yang diperoleh dari orang tuanya dihabiskan untuk beli pulsa handphone. Apabila ada yang sudah bekerja, maka gaji pertamanya dipakai untuk membeli handphone. Anak-anak di pedesaan butuh citra dan identitas baru. Namun citra dan identitas baru tidak ditemukan di desa, oleh karena setelah sang anak lulus sekolah lebih memilih untuk bekerja di kota. Hal ini berdampak pada kurangnya tenaga kerja pertanian di pedesaan. Seperti kasus yang saya temukan di sebuah keluarga yang tinggal di sebuah desa di kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pak Darman dan istrinya hanya tinggal berdua di sebuah rumah berbentuk rumah kampung. Pak Darman bercerita bahwa sekarang sulit untuk mengurusi sawahnya, karena tidak ada lagi tenaga kerja yang menangani. Sedangkan beliau sudah tua jadi tidak kuat lagi untuk mengerjakan sendiri sawahnya, karena itulah produksi pertanian mereka juga semakin menurun. Sebenarnya mereka punya anak, tetapi anak mereka sudah merantau menjadi pekerja pabrik ke Jakarta. Menurut bapak itu anaknya tidak mau lagi ”memegang cangkul” (membantu orang tua di sawah) setelah mereka mengenyam pendidikan di SMU,
2
Selain handphone barang lainnya yang menjadi simbol kemoderenan adalah sepeda motor, banyak kasus terjadi orang tua terpaksa menjual sapi untuk memenuhi tuntutan anak yang menginginkan dibelikan sepeda motor.
5
mereka merasa tidak kuat dan lebih memilih meninggalkan kampung halamannya untuk mencari kerja di kota.
B. Kajian Literatur Hilderd Geertz (1982) menuliskan bahwa keluarga inti atau somah merupakan unit utama pertalian keluarga. Anggota somah masing-masing termasuk anak-anak, memiliki hak atas miliknya. Semua wajib dan pekerjaan yang masuk ke dalam rumah tangga itu dibagi antara para anggota keluarga menurut kebutuhan. Anak-anak pedesaan Jawa selain sekolah, pada umur kurang lebih enam tahun mulai ditunjukkan pada aktivitas di luar somah. Anak perempuan kecil diperkenalkan dengan dunia jual beli. Gunanya untuk belajar belanja sendirian bagi keluarga, terkadang juga mengganti peranan ibu apabila ibunya berjualan di pasar. Sedangkan anak laki-laki juga mempunyai pekerjaan lain, mereka membantu di sawah dan menggembalakan ternak. Anak laki-laki menjelang dewasa, mulai mencari uang sambilan dengan bekerja produktif di luar somah. Berbeda dengan studi sebelumnya yang melihat sosialisasi masa kanak-kanak berperan membentuk kepribadian masyarakat James T Seigel (1981) dalam studinya tentang masyarakat Aceh menunjukkan bahwa kebudayaan suatu masyarakat dibentuk melalui proses belajar. Pendidikan pada masa anak-anak merupakan suatu bentuk tranfer kebudayaan dari generasi sebelumnya. Pendidikan yang dijalani anak di Aceh, khususnya pendidkan agama, memisahkan anak laki-laki dengan anak perempuan. Anak laki-laki dan perempuan menjalani pendidikan bersama-sama hanya sampai masa akil baliq. Setelah itu, anak-anak laki-laki dan perempuan mendapat pendidikan yang berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, pendidikan sebagai sarana tranfer pengetahuan berlangsung dalam kelompok tertutup. Pendidik semacam ini membuat
6
garis batas yang tegas antara dunia laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, anak laki-laki tidak mengetahui bagaimana anak perempuan seharusnya bersikap demikian pula sebaliknya. Studi tentang anak-anak yang lainya adalah studi White (1982) tentang peranan anakanak dalam ekonomi rumah tangga desa di Jawa. Dalam studi ini White menunjukkan bahwa sejak kecil –rata-rata sejak anak berusia 8 tahun anak-anak sudah terlibat dalam kegiatan ekonomi rumah tangga. Walaupun produktivitas kegiatan ekonomi rumah tangga yang dilakukan anak-anak tersamar, namun cukup memberikan sumbangan pada ekonomi rumah tangga. White menunjukkan bahwa anak mempunyai nilai ekonomi bagi rumah tangga desa di Jawa, anak dipandang sebagai aset bagi keluarga. Hudson (dalam Ihromi, 1994:44) dengan jelas menerangkan salah satu siklus kehidupan manusia. Siklus pada masa anak-anak pada suku Dayak Ma’anyan. Anak-anak pada suku tersebut, sejak mulai bisa berjalan telah dibiarkan bermain berkeliling kampungnya. Beranjak umur dua tahun mulai dibebani tanggung jawab menjaga adik di rumah. umur tiga dan empat tahun mulai menggendong adik sambil bermain dengan teman sebaya. Lebih dari umur tersebut diberi tugas rumah tangga seperti mencari kayu, memikul air dan menumbuk padi. Usia enam sampai tujuh tahun diharapkan sebagai tenaga yang menguntungkan keluarga untuk mengerjakan ladang. Waktu luang anak-anak tetap diberi kebebasan bermain. Pada usia tujuh tahun, seorang anak harus pandai membagi waktu. Di samping harus membantu di ladang, juga harus sekolah. Anak-anak yang lebih tua, yakni sepuluh sampai empat belas tahun telah terbiasa dengan pekerjaan ladang atau rumah tangga sesuai dengan jenis kelaminnya. Deskripsi Hudson ini lebih ditujukan untuk mengungkapkan pembagian kerja namun secara implisit pengaturan waktu dan tempat kegiatan anak-anak juga mendukung pembagian kerja.
7
Dalam studi lain Kartono (1995) menjelaskan bahwa dalam proses pertumbuhan dan perkembangan Jiwa, sikap anak-anak yang mula-mula subyektif terhadap kenyatan aktual lambat laun menjadi obyektif. Anak-anak sedikit demi sedikit belajar mengenal dunia lain yakni lingkungan sosial yang melingkupinya. Lingkungan tersebut adalah keluarga, sekolah dan masyarakat. Peran keluarga dalam proses sosialisasi anak seperti yang diungkapkan Sukanto (1992) bahwa sikap dan perilaku anak tidak terlepas dari peran keluarga. Lebih jauh Sukanto merumuskan keluarga mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Pertama, ruang berlangsungnya sosialisasi primer, di mana anak-anak di didik untuk memahami dan menganut kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kedua, unit pengatur hubungan. Ketiga, unit sosial ekonomis yang menunjang dasar kehidupan. Keempat, ruang tempat berlindung, agar kehidupan berlangsung tertib dan tenteram sehingga anak-anak hidup dalam kedamaian. Menurut Ertanto (2005) dalam proses sosialisasi dan pendewasaan anak-anak ada pemisahan yang tegas antara masa anak-anak dengan orang dewasa. Penciptaan masa kanakkanak yang terpisah dengan orang dewasa memungkinkan kita mengenali secara lebih baik bagaimana anak-anak dilihat (diposisikan) sekaligus memahami cara masyarakat modern beroperasi. Konsekuensi dari pemilahan anak dengan orang dewasa adalah anak dipandang sebagai memiliki kebutuhan khusus untuk perkembangan mentalnya serta membutuhkan masa transisi menuju dewasa. Dalam perkataan lain anak belum sepenuhnya menjadi manusia yang rasional dan arif karena belum memiliki pengalaman hidup yang cukup banyak. Dalam nalar yang lebih kritis bisa dikatakan bahwa anak tidak mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya yan pada orang dewasa selalu diandaikan sudah problematik lagi.
8
Menurut Shiraishi (1995) melalui studinya yang dilakukan di Indonesia menemukan bahwa gagasan mengenai masa kanak-kanak modern yang bermula di Eropa dikenalkan pada zaman kononial Hindia Belanda melalui jalur pendidikan. Pada jaman itu kolonialisasi tidak hanya menciptakan organisasi politik dan ekonomi saja tetapi juga menciptakan tatanan sosial untuk para aktor sosial yang diharapkan memiliki pola berpikir yang sama . dalam arti tertentu. Dengan demikian pengertian masa kanak-kanak yang terpisah dengan orang dewasa ditularkan melalui sekolah yang dibentuk pemerintah Belanda. Dengan demikian, masa kanak-kanak yang terpisah tegas dari orang dewasa mulai terbangun sejak zaman kononial Hindia Belanda. Pada kemudian hari, hal ini akan menciptakan globalisasi pada masa kanak-kanak3. Dalam studinya yang dilakukan oleh Shiraishi (2001) tentang anak-anak di Jakarta menemukan bahwa sekolah menjadi bagian yang penting dalam proses sosialisasi anak untuk menjadi dewasa dalam masyarakat. Ia menunjukkan bahwa pendidikan bangku sekolah yang masuk pada masa kolonial Belanda tidak saja menciptakan organisasi politik dan ekonomi saja tetapi juga menciptakan gagasan mengenai keluarga modern yang bermula dari kaum borjuis Eropa. Pendidikan yang sebelumnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab keluarga perlahanperlahan diambil alih oleh sekolah. Oleh karena itu Shirashi melihat sekolah sebagai lembaga penciptaan tatanan sosial dan aktor sosialnya diajarkan untuk memiliki cara berpikir yang sama. Pendidikan formal di sekolah menempati jumlah waktu yang substansial dalam kehidupan sehari-hari anak-anak usia sekolah di kawasan pedesaan. Ada hal yang ironis di sini, meluasnya pendidikan formal berbasis sekolah telah menjadikan peserta didik tercerabut dari dunia kedesaan, pertanian, dan pekerjaan mengolah tanah. Porsi substansial dari waktu pagi 3
Istilah globalisasi masa kanak-kanak dipinjam dari istilah yang dipakai oleh Sharon Stephens (1995) dalam melihat permasalahan yang sama. Sharon Stephens dengan gamblang menyebutkan bahwa masa kanak-kanak yang terpisah dengan orang dewasa sungguh merupakan gejala masyarakat modern.
9
dan siang hari dihabiskan di sekolah, sejak rata-rata usia tujuh tahun hingga selesainya pendidikan pada tingkat sekolah lanjutan atas pada rata-rata usia 18 tahun. Proses sosialiasasi anak melalui media pernah dikaji oleh Strassler (1998). Studi ini mengkaji tentang film serial ”anak seribu Pulau”, dalam studi ini Strassler menunjukkan bagaimana keeksotikkan kehidupan anak-anak pedesaan yang tersebar di Indonesia dimunculkan
dalam
media
massa
dan
menjadi
konsusmsi
publik.
Media
massa
mensosialisasikan keeksotisan Indonesia pada anak-anak mnggunakan cara yang sama dengan yang ditampilkan dalam artikel dan dokumen perjalanan, pertunjukkan museum dan buku-buku tentang keahlian dan kebudayaan Indonesia masyarakat lain terbatas pada yang ditampilkan dalam serial film tersebut. Ini menjadi seperti hal pembangunan taman mini di masa orde baru, kebudayaan Indonesia dilihat dalam satu sisi saja, yaitu seperti yang digambarkan lewat film ”Anak Seribu Pulau” saja. Dalam melihat tentang pengaruh intervensi negara dan globalisasi terhadap proses sosialisasi anak pernah di kaji oleh Trisnadi (2002). Kajian ini mengangkat isu sosialisasi anakanak Orang Laut untuk melihat pengaruh masuknya intervensi negara dalam bentruk sekolah, agama dan program relokasi. Label yang dilekatkan sebagai masyarakat yang masih primitif, bodoh dan tidak beragam telah menempatkan mereka dalam posisi daya tawar yang lemah dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Untuk mengatasi krisis ini mereka kemudian melakukan reproduksi identitas dengan pengadopsian nilai-nilai yang dianggap mewakili nilainilai yang berlaku pada masyarakat pada umumnya. Masyarakat yang dianggap lebih maju dan lebih modern. Salah satunya adalah dalam pola didik yang diterapkan kepada anak-anak. Trisnadi menunjuk bahwa pendidikan modern telah menghasilkan pola didik dengan ”kekerasan” yang diambil dari pengalaman yang diperoleh orang tua ketika mengenyam
10
pendidikan bangku sekolah. Perlakuan fisik seperti memukul anak kemudian dianggap sebagai bagian dari pola didik modern yang terkandung dalam konsep ”pendisiplinan”. Berbeda dengan pola didik tradisional yang justru memberi kebebasan pada anak untuk belajar dari alam mengenai konsekuensi atas segala tindakan mereka. Dalam hal ini orang tua lebih berperan sebagai pembimbing bukan pengawasan yang siap dengan ”hukuman” atas segala kesalahan yang dilakukan anak. Perubahan kehidupan anak Orang Laut ini menurut Trisnadi selain bersumber dari intervensi negara juga tidak lepas dari masuknya pengaruh pasar global. Masuknya pengaruh pasar dalam masyarakat yang sebagian masih nomaden ini diperlihatkan melalui perubahan pandangan mengenai nilai uang, bekerja dan perkembangan kebutuhan. Tulisan Trisnadi menunjukkan dampak lain dari masuknya ekonomi pasar yang terikat kuat dengan konsumsi yang cenderung royal terhadap aktivitas kesenangan saja seperti joget, minum dan nonton VCD. Dari kajian pustaka di atas menunjukkan
bagaimana anak dikonstruksikan dalam
kehidupan sekari-harinya. Anak-anak harus melalui proses pendewasaan dan sosialisasi dalam menjalani hidup untuk menjadi dewasa. Ada berbagai hal yang menjadi bagian dalam proses pendewasaan anak.
Hal ini berlaku pula bagi anak-anak di pedesaan Jawa yang harus
mengikuti perkembangan dan menghadapi perubahan dengan cepat. Namun dalam studi tersebut tidak ada yang menghubungkan lebih jauh dengan proyeksi masa depan anak-anak tersebut, yang tergambarkan melalui imajinasi dan citra keberhasilan yang tercermin dari tindakan-tindakan yang muncul dalam kehidupan sehari dalam masa globalisasi. Oleh karena itu, dalam studi ini akan mengkaji lebih lanjut tentang permasalahan tesebut.
11
C. Permasalahan Pergeseran dan perubahan-perubahan yang terjadi telah pula merubah orientasi dari anak-anak terhadap masa depan mereka. Imajinasi yang tumbuh tentu saja menjadi sangat luas, tidak hanya melulu tentang daerah sekitar tempat tinggalnya saja. Imajinasi itu diwujudkan dalam bentuk cita-cita dan citra akan keberhasilan yang harus dicapai dalam kehidupan yang akan datang. Sebagai konstruksi sosial, pendewasaan anak-anak selalu melibatkan orang di luar individu. Individu yang banyak terlibat dalam proses pendewasaan adalah ibu. Secara tradiosional ibu diposisikan sebagai orang yang bertanggung jawab atas proses pendewasaan anak (Mahasin Dkk, 1982). Namun nampaknya proses pendewasaan anak tersebut telah bergeser dari keluarga ke sekolah. Sekolah menjadi bagian yang berperan dalam proses pendewasaan. Peran anggota keluarga semakin terpisah dari proses pendewasaan anak. Bagi anak-anak, terutama di pedesaan, sekolah menyita waktu mereka untuk berinteraksi dengan lingkungannya.
Sekolah membawa pandangan-pandangan baru anak-anak, yang berbeda
dengan pandangan yang selama ini ada di masyarakat dan membawa angin perubahan bagi pandangan anak-anak. Selain itu ada yang menjadi faktor yang berpengaruh bagi proses sosialisasi (pendewasaan) bagi anak-anak di pedesaan ini yaitu masuk arus informasi melalui mediamedia komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Globalisasi dijalankan bersama dengan proses modernisasi. Modernisasi pada masyarakat pedesaan adalah, pembangunan jalan -jalan penghubung serta adanya alat transportasi yang memudahkan masyarakat pedesaan untuk melakukan pergerakan keluar daerahnya, merebaknya penggunaan handphone dan internet yang semakin memudahkan
12
koneksi dengan daerah lain (dunia lain). Anak-anak dapat menemukan sumber informasi seluas-luasnya, dari informasi yang bersifat ilmu pengetahuan yang bermanfaat, informasi hiburan sampai dengan informasi yang negatif. Seperti layaknya anak-anak perkotaan yang hidup di kota, pada masa sekarang, terpaan teknologi komunikasi ini
telah memperluas
cakrawala pengetahuan anak-anak di pedesaan Setelah melihat hal-hal yang ada dia atas, saya ingin mengkaji lebih jauh tentang: 1. Bagaimana wajah kehidupan sosial budaya anak-anak di pedesaan yang telah terimbas oleh modernisasi dan globalisasi seperti pada saat ini? 2. Apa imajinasi anak-anak di pedesaan akan masa depan? 3. Bagaimana imajinasi tentang masa depan dikonstruksikan anak-anak?
D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian memiliki sifat empirik dan teoritik. Pada tingkat empirik, penelitian ini bertujuan untuk merekam gambaran dan kehidupan dari satu bagian masyarakat yaitu anakanak, lebih khusus lagi anak-anak di daerah pedesaan. Rekaman etnografis diarahkan pada konstruksi kebudayaan anak-anak di pedesaan. Dari segi teoritik, penelitian ini mencoba menerapkan perspektif antropologis mengenai apa yang dimaksud dengan proses pedewasaan melalui pendidikan anak-anak di pedesaan seperti yang akan dipaparkan dalam kerangka berpikir di bawah ini .
E. Kerangka Pemikiran Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu melihat konsep tentang desa yang selalu dibandingkan dengan konsep kota. Desa digambarkan dengan tidak moderen (tradisional) dan
13
tertinggal. Istilah desa dalam arti administratif pemerintahan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Desa pada awalnya merupakan entitas sosial yang otonom yang memiliki tradisi, adat istiadat dan sistem tata kelola tersendiri. Jauh sebelum terbentuknya negara-negara modern, desa sudah menjadi institusi sosial yang memegang posisi penting dalam penyelenggaraan tata kehidupan bersama. Dengan kearifan yang mengakar kuat pada tradisi turun temurun desa membentuk identitas kolektif dan menjaga kesatuan dengan lingkungan alamnya. Namun kemandirian dan kearifan desa semakin melemah seiring dengan menguatnya intervensi kekuasaan negara modern ke dalam tata kehidupan masyarakat. Intervensi kekuasaan negara modern tidak hanya mengabaikan kearifan tradisional tetapi juga mengambil alih tata kelola sumber kekayaan alam. Saat ini desa sering di konotasikan sebagai wilayah yang ”tertinggal”. ”Tertinggal” di sini berhubungan dengan kemiskinan yang melanda masyarakat desa. Kemiskinan di desa bermula pada zaman kolonial, tetapi baru mulai muncul kesadaran masyarakat yang menganggap kemiskinan sebagai masalah sosial pada tahun 1970-an, ketika dirasakan ada ketidakadilan antara wilayah perkotaan dan pedesaan yang disebabkan oleh tindakan pembangunan pada awal masa Orde baru. Tindakan pembangunan yang tidak adil melahirkan perbedaan klas dan kawasan dalam masyarakat dan meningkatnya masalah pengangguran (Shiraisi, via Sawada; 2001). Hingga saat ini kondisi semacam ini masih melekat di daerah pedesaan. Apabila merujuk tentang konsep anak maka terdapat
beberapa macam kategori
kelompok pada definisi tentang anak-anak. Salah satunya adalah seseorang yang berumur kurang dari 21 tahun atau belum menikah (dengan ketentuan umur dalam hukum perkawinan, seseorang laki-laki minimal berusia 18 tahun dan wanita berusia 16 tahun) (White dan Tjandraningsih, 1998). Dalam proses pendewasaannya masa anak-anak akan melewati masa
14
menjadi seorang yang sering disebut anak-anak. Mereka bukan anak-anak tapi juga bukan orang dewasa. Tetapi apabila dilihat dari kelompok umurnya berdasarkan pengkategorian di atas, mereka masih dalam kategori anak. Biasanya mereka berusia antara 14 tahun sampai dengan 18 tahun. Anak-anak dalam kategori inilah yang akan menjadi obyek perhatian dari studi ini. Melihat lebih jauh tentang konsep anak-anak pada kelompok umur seperti di atas maka ada dua konsep yang berbeda yang dapat diperbandingkan yaitu remaja dan pemuda. Keduanya mempunyai pengelompokan umur yang hampir sama, tapi lebih spesifik bila dibanding dengan definisi anak yang dipaparkan di atas. Namun kita perlu melihat lebih jauh tentang kedua konsep tersebut. Kita mulai dari pemuda terlebih dahulu. Kata ”Pemuda” adalah konsep yang sering diberati oleh nilai-nilai yang mengikutinya dan
mempunyai muatan ideologis dan
kultural. Pemuda menjadi harapan bangsa dan negara, atau pemuda harus dibina, itulah bukti bahwa pemuda itu mempunyai sarat nilai yang melekat pada kata pemuda itu (Abdullah,1974;1). Pemuda selalu dibebani dengan masa depan bangsa ini, bila ada pemudanya yang bermasalah maka masa depan bangsa ini akan mengalami masalah juga. Padahal masa depan adalah sesuatu yang tidak pasti, ketidakpastian itulah yang menjadi tanggungjawab para pemuda. Oleh karena itu mereka selalu butuh belajar untuk mempersiapkan diri untuk masa depan yang sulit untuk diprediksikan. Keberhasilan pembangunan bangsa yaitu agar tidak tertinggal dari negara lain, didukung oleh kecerdasan masyarakatnya. Bila dibanding konsep pemuda, maka ada pandangan stereotip kontemporer tentang remaja ini, mereka digambarkan sebagai sekumpulan orang yang belum matang, cenderung bergerombol, kadang kala mengenakan seragam sekolah, tidak disiplin, gampang naik darah liar, yang harus diutamakan dan menjadi sosok yang tidak penting. Mereka didefinisikan secara
15
mendua dalam keluarga dan masyarakat. Mereka bisa mahasiswa, pengangguran atau pegawai paruh waktu, namun hampir tidak ada yang jadi pegawai, karena jumlah pengangguran yang berusia 15 -25 tahun di Indonesia lebih dari 50%. Lebih dari dua juta orang memasuki pasar kerja setiap tahun namun hanya 300.000 orang yang akan mendapat kerja penuh. Ini akan menimbulkan kefrustasian yang berat bagi mereka yang menjalankannya dan mampu melakukan tindakan kekarasan, namun mereka jinak secara politik. Hal ini akan amat kontras bila dibandingkan dengan pemuda pada tahun 1940 yang revolusioner dan mahasiswa tahun 1960-an. (Shiraishi, 2001;237-238). Dalam penelitian ini saya akan mencoba memakai keduanya, dan mencoba untuk membandingkan kedua konsep tersebut. Sebelum beranjak dewasa, anak-anak itu juga melewati masa pendewasaan. Konsep pedewasaan ini menurut Mead (1963) merujukan pada masa transisi menuju dunia kerja yaitu memberi tanggung jawab dalam kehidupan ekonominya yang produktif. Rosaldo (dalam Trisnadi: 2002) menunjukkan bahwa proses pedewasaan ini tidak selalu sama satu dengan yang lainnnya. Pendewasaan sesungguhnya berbeda-beda tergantung pada pembagian jenis kelamin, etnis, kelas sosial dan faktor geografi. Oleh karena itu proses pendewasaan merupakan hasil dari pengalaman berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa konstruksi masyarakatlah yang membentuk anak-anak menjadi orang dewasa. Anak-anak itu tumbuh sebagai produk dari konstruksi sosial, mereka
memiliki
kemampuan menciptakan bentuk-bentuk hubungan sosialnya sendiri yang merupakan perwujuban kesinambungan budaya dan sekaligus perubaham budaya yang tidak pernah sama satu dengan lainnya. Artinya selain menerima, juga menciptakan nilai-nilainya sendiri (Toren, 2000:107).
16
Proses pendewasaan bisa dilihat sebagai proses konstruksi sosial, pendewasaan selalu melibatkan orang-orang di luar individu. Individu yang banyak terlibat dalam proses pendewasaan adalah ibu. Secara tradiosional ibu diposisikan sebagai orang yang bertanggung jawab atas proses pendewasaan anak (Mahasin Dkk, 1982). Peran anggota keluarga semakin terpisah dari proses pendewasaan anak, maka peran dalam proses pendewasaan digantikan oleh peer group, sekolah, lembaga agama dan media massa. Institusi-institusi besar ini berperan besar karena disinilah anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya. Pada institusi ini biasanya anak-anak saling berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk tumbuh menjadi dewasa. Proses pedewasaan itu akan memunculkan keragaman orientasi dan cita-cita dari anakanak desa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia cita-cita ini mempunyai dua macam definisi, definisi pertama yaitu ”keinginan dan kehendak yang ada dalam pikiran” dan definisi keduanya: ”tujuan sempurna yang akan dicapai atau dilaksanakan”. Menurut Juliete Koning (2004), kaum muda desa ini akan memiliki beragam cita-cita. Adanya faktor pendidikan dalam lingkungan masyarakat yang berbeda itu menimbulkan keragaman, seperti yang terjadi pada anak-anak lelaki tentu akan berbeda dengan pendidikan pada anak perempuan, karena cara mendidik berbeda sehingga pengalaman yang didapatnya pun berbeda. Determinasi kebijakan politik tidak bisa diabaikan dalam pendewasaan anak-anak. Dalam studi ini kebijakan politik yang berpengaruh besar adalah kebijakan pemerintah tentang pemukiman masyarakat terasing atau desa tertinggal yang didijalankan pada masa Orde Baru. Kebijakan politik yang selalu memandang ”masyarakat terasing” atau penduduk desa tertinggal sebagai masyarakat yang belum rasional, masih berada pada tingkat savage, barbaric atau preciviled membuat orang yang tinggal diwilayah seperti itu harus diubah supaya ”lebih beradab”,
17
”menjadi modern” dengan dalih diubah menjadi modern ini sehingga setara dengan masyarakat kebanyakan ((Tsing, 1993). Konsep modern yang dipakai merupakan versi penguasaan yang berlaku seragam untuk semua warga negara (Scott, 1998). Intervensi penguasa ini tidak terlepas dengan pengaruh masuknya dan kepentingan pasar global yang menunjukkan adanya proses globalisasi. Pengaruh globalisasi ini membawa dampak pada perubahan pandangan hidup yang mencakup aspek kehidupan. Globaliasasi4 senantiasa dihadapkan pada perjumpaan dengan praktik-praktik tradisional (Giddens dalam Herry Priyono, 2002). Hal ini membuat globalisasi juga menjadi proses dialogis antara yang global dan yang lokal. Dalam ekonomi global sendiri diakui bahwa penyesuaian terhadap kondisi-kondisi lokal ini memiliki banyak keuntungan. Banyak korporasi transnasional mengatur periklanan berdasarkan kondisi audience dan pasar yang spesifik, serta adanya adaptasi untuk menghasilkan perpaduan khusus dan identifikasi yang dapat bertahan di tingkat lokal. Pencitraan menjadi tulang punggung utama dalam merebut pasar dalam proses globalisasi tersebut. Citra dibangun untuk penetrasi pasar. Pencitraan ini menjadi alat masuk pengaruh pasar global melalui benda-benda konsumsi, iklan dan program-program media. Menurut Sontag (1995) citra adalah gambaran ”rekaan” untuk memahami realitas. Citra sebagai 4
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negaranegara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yg pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985 (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi).
18
sebuah ilusi atau bayangan, copy buka asli, representasi mental bukan reality. Citra disini akan mempunyai jarak dengan realita yang sebenarnya. Sontag melihat bagaimana citra kolektif mengkonstruksikan citra dari individu dan citra individu dipaksa untuk tunduk pada citra kolektif. Lebih jauh ia menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat diperlukan budaya yang didasarkan pada citra. Masyarakat kapitalistik memerlukan informasi yang sebanyak-banyak untuk lebih mengekplotasi sumber daya alam, meningkatkan produktivitas, memelihara tata tertib dan memberi pekerjaan pada birokrat. Citra atau dunia rekaan mampu menjembatani masalah pebedaan antara kenyataan dan fiksi. Perubahan sosial dirubah dalam perubahan citra. Kebebasan mengkonsumsi pluralitas citra dan pluralitas benda-benda disamakan dengan bendabenda itu sendiri. Menurut Baudrillard (dalam Murray:1995) citra bergerak melalui rangkaian tahap tertentu sampai citra itu menjadi suatu simulasi yang lengkap. Citra adalah refleksi atas kenyataan dasar. Citra menyamarkan dan menyesatkan kenyataan dasar. Citra menutupi tidak adanya kenyataan dasar. Citra tidak mengandung hubungan dengan kenyataan apapun. Citra adalah simulacrum murni sendiri. Melalui konsumsi citra ini anak-anak di pedesaan mengkonstruksikan identitas dirinya dalam kehidupan sehari-harinya. Konsumsi ini menandai salah satu proses yang dijalani oleh manusia dalam mendeskripsikan diri dan identitasnya. Menurut Hall (1997) identitas diri di bentuk oleh makna yang diproduksi dalam berbagai situs dan disirkulasikan melalui proses yang berbeda. Identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak dapat hadir di luar representasi kultural dan akulturasi. Mengacu pada pandangan anti esensialisme, bahwa identitas adalah konstruksi diskursif yang dibangun melalui representasi yang dipahami bersama.
19
Namun demikian para anak-anak tidak pasif dalam mengkonsumsi citra-citra baru ini, tetapi mereka juga aktif untuk ikut menyebarkannya dan memproduksinya kembali. Menurut Michel de Certeau (1984) konsumsi meliputi berbagai prosedur mengenai hal-hal yang diperbuat atau dilakukan oleh konsumen dengan produk tertentu, cara-cara memakai produk. Konsumsi merupakan sebuah seni atau cara berbuat, sebagai cara berbuat ini dan juga meliputi cara-cara mengoperasikan atau melakukan sesuatu. Anak-anak ini melalui proses pendewasaan dan sosialisasi dalam menjalani hidup untuk menjadi dewasa, mereka harus selalu mengikuti perkembangan dan menghadapi perubahan dengan cepat dan proses pendidikan yang memperkenalkan sebuah bentuk kehidupan moderen dan terimbas oleh globalisasi, yang pada akhirnya mau tidak mau ikut mengkonstruksikan identitas diri anak-anak di pedesaan mengenai eksistensi masa depannya, yang jauh dari konteks kesehariannya. Riset ini melihat tentang imajinasi
akan cita-cita masa depan anak-anak di desa.
Kacamata yang saya pilih untuk menelaah fenomena sosial budaya tentang
mimpi anak-anak
di pedesaan ini, yaitu pendekatan interpretatif. Aliran interpretif dalam ilmu sosial pertama kali diperkenalkan oleh Max Weber dan wilhem Dilthey. Dilthey memaparkan adanya dua tipe pengetahuan yaitu Naturwissenschaft dan Geisteswissenschaft. Tipe yang kedua ini berakar pada pengertian empaties (verstehen), mengenai pengalaman yang terjadi setiap hari dari manusia dalam historis tertentu. Sementara Weber (1981:159) berpendapat bahwa ilmu sosial perlu untuk mempelajari tindakan sosial yang bermakna atau tindakan sosial yang memiliki tujuan. Ia memakai Vestehen dan menganjurkan untuk mempelajari alasan-alasan individual atau motif-motif yang membentuk perasaan-perasaan mendalam dalam diri individu dan mengarahkan keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu. Pendekatan Interpretif ini dapat dijabarkan sebagai berikut: ”Analisis secara sistematis tentang
tindakan sosial dilakukan
20
melalui pengamatan langsung yang rinci pada orang-orang dalam lingkungannya untuk mendapatkan pemahaman dan penafsiran tentang bagaimana orang menciptakan dan memelihara dunia sosialnya” (Neuman, dalam Trisnadi : 2002). Pendekatan interpretif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Pendekatan interpretatif diadopsi dari orientasi praktis. Secara umum pendekatan interpretatif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail langsung mengobservasi. Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna sosial. Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan interpretatif. Fakta-fakta tidaklah imparsial, objektif dan netral. Fakta merupakan tindakan yang spesifik dan kontekstual yang bergantung pada pemaknaan sebagian orang dalam situasi sosial. Interpretif menyatakan situasi sosial mengandung ambiguisitas yang besar. Perilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang banyak dan dapat dinterpretasikan dengan berbagai cara. (Neuman, dalam Trisnadi: 2002). Dengan menggunakan paradigma interpretif, kita dapat melihat fenomena dan menggali pengalaman dari objek penelitian. Pendekatan interpretif ini melihat kehidupan manusia sebagai suatu accomplisment. Ia tercipta dari tindakan-tindakan yang bermakna dalam interaksi sosial manusia. Dunia sosial adalah apa yang diinginkan manusia untuk diwujudkan, ia sangatlah cair dan rawan. Manusia memperolehnya melalui interaksi dengan sesama dalam proses yang berkelanjutan yang melibatkan komunikasi dan negosiasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial dibangun berdasarkan interaksi dan sistem pemaknaan yang dibangun secara sosial (socially Constructed
21
meaning systems) (Neuman, dalam Trisnadi;2002). Oleh karena itu, untuk memperoleh pemahaman mendalam sangat diperlukan interaksi yang terus menerus untuk mempelajari tindakan sosial yang bermakna, tidak hanya perilaku eksternal yang bisa diamati saja. Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan manusia yang mengandung makna subjektif; aktivis dengan tujuan atau maksud, selain juga untuk mengungkapkan alasan-alasan dan konteks sosial dari tindakan tertentu.
F. Metode Penelitian a. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Balingasal, Kecamatan Padureso kab. Kebumen Jawa Tengah. Desa Balingasal terletak di daerah yang dekat dengan jalan besar yaitu jalan kecamatan antara daerah Prembun dengan daerah Wadas Lintang. Di wilayah desa ini tingkat migrasinya sangat tinggi, banyak yang menjadi TKI/ TKW, buruh pabrik dan pembantu rumah tangga di kota-kota besar. Hampir setiap anak-anak yang lulus dari SMU mereka akan merantau di kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Wilayah rantauan mereka adalah di Jakarta, Bandung dan Jambi. Dengan dinamika yang seperti itu maka penulis merasa cocok dengan tema penelitian yang akan saya lakukan. Pemilihan lokasi ini juga didasari oleh pertimbangan bahwa saya pernah tinggal selama beberapa minggu di sana, dengan demikian saya juga mempunyai kedekatan dengan daerah tersebut. Hal ini akan mempermudah bagi saya untuk melakukan penelitian di wilayah itu. Dengan pertimbangan-pertimbangan itu maka penulis menganggap daerah ini cocok dengan tema penelitian ini.
22
b. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini adalah langkah awal untuk menulis etnografi anak-anak di pedesaan Jawa. Dalam disiplin Antropologi, Etnografi sering diartikan sebagai deskripsi detail yang holistik dan menganalisis budaya berdasarakan penelitian lapangan yang intensif. Penulis terlibat dalam kehidupan subyek yang diteliti dalam periode waktu tertentu, melihat apa yang terjadi, mendengar apa yang dikatakan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Tujuannya adalah untuk memproduksi apa yang disebut Geertz (1992) sebagai “deskripsi mendalam” dari keragaman struktur konseptual yang komplek apa yang tidak dikatakan atau yang diasumsikan seperti apa adanya. Etnografi dengan demikian terpusat pada detail kehidupan lokal yang terkait erat dengan proses sosial yang meluas. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pendidikan anak-anak yang erat terkait dengan kesaharian (everyday life). Untuk mencapai tujuan ini, cara pengumpulan data yang paling tepat adalah berbaur dengan masyarakat desa setempat yang menjadi subyek penelitian ini Sebelum melakukan penelitian, lebih dahulu dilakukan studi pustaka untuk mengumpulkan tentang data tertulis. Data tersebut menjadi pedoman yang bermanfaat untuk memasuki lokasi penelitian. Gambaran tentang wilayah penelitian meski masih berupa sketsa kasar sebagai bekal untuk melakukan penelitian lapangan. Pada saat di lapangan langkah awal yang dilakukan adalah “bersentuhan” dengan mereka dan mencoba “masuk” dalam kehidupan mereka. Mengingat mereka adalah orang asing bagi saya dan sebalik saya menjadi orang asing bagi mereka maka diperlukan waktu khusus dalam tahap pendekatan. Melalui tahap ini mulai dikembangkan laporan dan berinteraksi dengan mereka sebisa mungkin dengan kewajaran sehinga jarak antara saya dan mereka bisa
23
terjembatani. Tahap ini bisa dilewati karena sudah relatif mengenal subyek penelitian, sehingga proses pendekatan ini nampak dapat saya lewati dengan baik. Kemudian proses penelitian dilanjutkan dengan mulai melakukan terjun kelapangan dengan melakukan observasi terlibat dalam mencari data di lapangan. Teknik ini menuntut kontak secara langsung dengan subyek penelitian dalam waktu yang cukup lama. Ada dua metode penelitian observasi terlibat,
yaitu yang aktif dan yang pasif. Untuk lebih bisa
mengenal lingkungan anak-anak di desa ini secara lebih baik saya memilih banyak melakukan observasi terlibat yang pasif. Tujuannya agar dapat menangkap secara lebih baik interaksi antara sesama anak-anak desa atau anak-anak desa dengan orang dewasa di desa tersebut, dan interaksi anak-anak desa dengan pihak-pihak lain. Dengan observasi terlibat yang pasif ini dapat secara intensif mendengar apa yang mereka katakan. Dengan mendengar secara intensif diketahui apa yang mereka anggap penting secara lebih mendalam. Observasi yang dilakukan oleh penulis tidak bisa dilakukan secara 24 jam nonstop, hal ini mengingat aktivitas anak-anak desa ini juga sangat tinggi. Mengingat mereka kebanyakan masih sekolah maka sangat terbatas untuk melakukan observasi terlibat. Biasanya mereka berangkat jam enam pagi dan pulang ke rumah jam 3 sore hingga 6 sore. Jarak sekolah dengan tempat tinggal mereka memang agak jauh antara 5 km sampai 10 km. Namun ada juga yang kost di dekat sekolahnya sehingga hanya sabtu dan minggu atau pada hari libur mereka pulang ke desa. Dengan kondisi itu maka terbatas pula waktu yang bisa diakses untuk melakukan observasi terlibat dengan anak-anak desa ini yaitu antara jam 3 sore sampai malam hari. Kecuali di hari libur, mereka biasanya berada di kampungnya atau sekedar pergi ke kota untuk bermain.
Untuk mensiasati hal itu penelitian berusaha untuk mengikuti mereka sampai
24
sekolah, walaupun hal ini tidak bisa dilakukan setiap hari. Namun hal ini dilakukan beberapa kali untuk melihat lebih lanjut tentang jaringan sosial anak-anak desa ini di luar desanya. Karena tidak semua bisa ditangkap dengan metode observasi terlibat ini, maka penulis juga akan melakukan wawancara. Wawancara yang dilakukan bisa dengan melakukan wawancara sambil lalu
maupun
dengan menggunakan indepth interview dalam rangka
menggali data di lapangan. Wawancara secara mendalam dengan informan anak-anak ini menunjang hasil observasi terlibat. Namun dalam melakukan wawancara saya lebih banyak melakukan wawancara tanpa terstruktur. Dalam melakukan wawancara saya lakukan sambil lalu dan bisa berpindah-pindah topik yang berbeda. Pilihan ini dilakukan agar anak-anak yang menjadi subyek penelitian tidak merasa diinterogasi dan tertekan dengan berondongan pertanyaan yang dikemukakan. Hal ini perlu dijaga untuk keberlangsungan penelitian, karena kalau mereka merasa tertekan dan tidak senang dengan wawancara ini maka dikemudian hari mereka tentu akan menghindari pertemuannya dengan saya. Wawancara ini dilakukan untuk melihat pemahaman anak-anak desa terhadap permasalahan yang menjadi tema penelitian ini. Wawancara ini diharapkan dapat mengungkapkan pikiran serta perasaan anak-anak desa tentang dirinya secara rinci dan mendalam selain juga mendukung sikap, tindakan dan tingkah laku mereka.
Materi
wawancara juga menyangkut berbagai hal yang penting untuk digali lebih dalam khususnya bagi penulis, sehingga dalam peneitian tidak hanya menemukan pemahaman mengenai sesuatu peristiwa tapi sekaligus keterkaitannya dengan konteks sosial di mana peristiwa itu terjadi. Pengumpulan data juga menggunakan alat perekam data visual berupa foto. Data tersebut digunakan untuk merekam gambaran langsung dan mendekatkan kembali dengan
25
peristiwa sehingga akan membantu pembacaan dan interprestasi terhadap fenomena yang diamati.
c. Penentuan Informan Informan yang diwawancarai secara intensif dan mendalam dalam penelitian adalah anak-anak yang berusia sekitar 14 sampai 18 tahun bisa berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan dan dari segi jumlahnya dibatasi tidak lebih dari 10 orang anak. Selain itu, orang tua juga menjadi informan pada penelitian. Karena keduanya menjadi bagian yang tersangkut dalam topik penelitian ini.
26