BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang “Rasanya tidak ada yang akan dapat menyangkal bahwa secara perlahan tetapi pasti, musik Dangdut telah menjadi musik rakyat yang paling ekspresif dan paling banyak penggemarnya dalam masyarakat kita. Konon menurut yang mendalami sejarah dangdut, jenis musik yang satu ini memang tumbuh dan berkembang dari cita rasa khas rakyat kita tentang seni. Itulah sumber kekuatan dan daya tariknya1”. Kutipan
di
atas
merupakan
kata
sambutan
yang
disampaikan oleh Moerdiono pada Agustus 1995 saat pembukaan peringatan
Kemerdekaan
Republik
Indonesia
dengan
tema
Semarak Dangdut 50 Tahun Indonesia Emas. Ia waktu itu selain menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia (Mensesneg RI) juga bertindak sebagai ketua panitia dalam acara peringatan tersebut. Pernyataan di atas memperlihatkan bahwa dalam periode tertentu, musik dangdut pernah benar-benar menjadi “anak emas” rezim Orde Baru (Orba). Berdasarkan kenyataan di atas, penulis kemudian tertarik untuk menyelidiki apakah dalam sejarah perkembangan musik dangdut hal tersebut
Syamsudin Haesy, N. 1995. Semarak Dangdut 50 Tahun Indonesia Emas. Jakarta: Pirus Interprise, hlm. 3. 1
1
selalu berjalan demikian, ataukah ada dinamika yang terjadi dalam hubungan keduanya. Peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-50 tersebut sangat menarik untuk diperhatikan, karena dalam peringatan tersebut musik dangdut benar-benar dilibatkan dan menunjukkan posisinya yang istimewa dalam pandangan rezim Orde Baru. Peringatan tersebut bahkan menempatkan dangdut sebagai bagian dari tema perayaan. Dangdut dipilih sebagai bagian dari acara tersebut menunjukkan dukungan rezim Orba yang besar terhadap perkembangan genre musik dangdut. Dukungan rezim Orba yang besar terhadap perkembangan musik dangdut memperlihatkan upaya campurtangan rezim Orba terhadap perkembangan genre musik ini. Dilihat dari sejarah perkembangan
musik,
upaya
rezim
penguasa
dalam
mengintervensi perkembangan musik sebenarnya memiliki akar sejarah yang cukup panjang.
Hal itu telah dimulai paling tidak
sejak zaman kekuasaan Soekarno. Kecenderungan politik Soekarno yang waktu itu condong ke blok komunis, ternyata sangat memengaruhi perkembangan musik di Indonesia. Sikapnya itu praktis membuatnya anti terhadap Barat, termasuk melarang perkembangan musik Barat di Indonesia. Ketika kekuasaannya digantikan oleh Soeharto pada
2
pertengahan
1960’an,
kebjikan
politik
yang
diambil
sangat
berkebalikan dengan rezim sebelumnya. Kecendrungan politik Soeharto yang pro Barat ternyata berpengaruh pula terhadap perkembangan musik di tanah air. Musik-musik dari Barat yang sempat
dilarang
sejak
akhir
tahun
1950’an
sampai
akhir
kekuasaan Soekarno, berkat dukungan rezim yang baru berkuasa ini, kini dapat berkembangan kembali. Dukungan rezim Soeharto terhadap perkembangan musik Barat di Indonesia, menyebabkan musik-musik tersebut dapat berkembang secara massif. Musik-musik dari Barat tersebut, khususnya rock, ternyata sangat digemari oleh anak-anak muda, khsususnya mereka yang berasal dari kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Malang dan Surabaya. Kegemaran anak-anak muda tersebut sangat terlihat dengan munculnya band-band rock lokal yang meniru band-band dari Barat2. Menurut Majlah Mas, kegemaran anak-anak muda terhadap musik Barat tersebut tidak terlepas dari
ritme musiknya yang
dinamis dan
mengajak
pendengarnya untuk ikut menggerakkan badan, sehingga sangat cocok dengan anak-anak muda yang penuh gairah3. Pentingnya
Susan Piper dan Sawung Jabo. Musik Indonesia dari 1950an hingga 1980-an. Prisma, 1987, Tahun XVI, No. 5 Mei 1987, hlm 11. 3 “Kenapa Masa Suka Dangdut dan Rock”, Mas, No.: 93/THN. Ke – IV Februari 1976, hlm. 14. 2
3
unsur dinamis dalam musik tersebut sangat disadari oleh Rhoma Irama, seorang musisi berbakat yang kelak memainkan peran penting dalam perkembangan musik di Indonesia. Kemampuan Rhoma dalam melihat pentinggnya unsur dinamis ini dalam musik – dalam dunia bisnis dikenal sebagai kemampuan membaca peluang – membuatnya pada awal tahun 1970’an memasukkan unsur dinamis tersebut ke dalam musik Melayu (salah satu genre musik yang sudah ia geluti sejak tahun 1960’an), sehingga terciptalah musik Melayu dinamis pada awal 1970’an yang dalam perkembangannya lebih dikenal dengan istilah musik dangdut4. Musik dangdut yang baru lahir ini ternyata dapat berkembang dengan pesat setidaknya sampai akhir tahun 1990’an. Pesatnya perkembangan musik dangdut menyebabkan genre musik ini bersinggungan dengan kepentingan rezim. Rezim Orba sendiri pada awal perkembangan dangdut tahun 70’an awal, menunjukkan sikap yang skeptsi, tidak mendukung maupun menghambat
perkembangan
musik
ini.
Sikap
yang
skeptis
tersebut kemudian berubah pada 1976, ketika musik dangdut dianggap berani mengkritisi pemerintah. Satu tahun kemudian rezim Orba menunjukkan sikap yang lebih tegas terhadap musik “Satria Berdakwah, Raja dari Bawah”, Tempo No. 18 Thn. XIV, 30 Juni 1984, hlm. 29. 4
4
dangdut dengan mengeluarkan larangan terhadap penayangan genre musik tersebut di televisi pemerintah, TVRI5. Periode pelarangan terhadap musik dangdut untuk tampil di TVRI sendiri berlangsung cukup lama, yaitu antara 1977-19886. Periode itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu 1977-1981 berupa pelarangan terhadap musik dangdut secara umum, 1977-1988 pelarangan bagi Rhoma Irama dan Soneta Grup-nya. Rhoma Irama sendiri dalam kedua periode tersebut memainkan peranan yang sangat menonjol. Hal tersebut tidak terlepas dari popularitas Rhoma selaku musisi dangdut dan kenyataan bahwa pelarangan terhadap musik dangdut diawali dengan pelarangan terhadapnya karena
lirik-lirik
lagunya
yang
dianggap
kritis
terhadap
pemerintah7 dan ia sendiri merupakan tokoh pencipta genre musik
S.N Ratmana, “Lagu-lagu Pop sebagai Saluran untuk Melihat Aspirasi Masyarakat: Perlu Penyaringan, tapi juga Pendekatan Lapang Dada” Kompas 12 Oktober 1976 hlm. 5; “Lagu Rupiah akan Dilarang di Teve”, Kompas, Selasa, 21 September 1976, hlm. 2. Selain lagu Rupiah, lagu Rhoma lainnya seperti Hak Asasi, Cape dan Ada Udang di Balik Batu juga dilarang tampil di TVRI sejak tahun 1976. Lihat pula “Hak Asasi Dilarang”, Tempo, 1 Desember 1977, Th VII, No. 42, hlm. 17. 6 Wawancara Rhoma Irama 6 Februari 2015. 7 “Lagu Rupiah akan Dilarang di Teve”, Kompas, Selasa, 21 September 1976, hlm. 2. Selain lagu Rupiah, lagu Rhoma lainnya seperti Hak Asasi, Cape dan Ada Udang di Balik Batu juga dilarang tampil di TVRI sejak tahun 1976. Lihat “Hak Asasi Dilarang”, Tempo, 1 Desember 1977, Th VII, No. 42, hlm. 17. Rhoma paling tidak sampai dengan akhir 80’an masih serin merilis lagu-lagu mengkritisi pemerintah. 5
5
yang baru ini8. Kritik yang dilontorkan oleh Rhoma, jelas dianggap berbahaya bagi rezim Orba, sebab popularitas musik dangdut dalam masyakarat yang ketika itu sudah cukup tinggi. Popularitas dangdut yang semakin tinggi menjadi perhatian tersendiri bagi rezim Orba. Selain dari sisi ekonomi, rezim Orba memandang dimanfaatkan
dangdut –
memiliki
dalam
potensi
yang
perkembangannya
besar
untuk
keduanya
saling
memanfaatkan. Ditinjau dari sisi ekonomi, tentu saja bertambah tingginya
popularitas
musik
dangdut
ini
mendatangkan
keuntungan yang besar di kedua belah pihak (rezim Orba dan penyanyi). Ditinjau dari sisi politik, rezim Orba tentu saja memandang perkembangan dangdut yang pesat sebagai pisau bermata
dua
yang
dapat
membahayakan
sekaligus
dapat
digunakan sebagai senjata. Dengan demikian menjadi masuk akal apabila rezim Orba merasa perlu berusaha untuk melakukan kontrol terhadap genre musik ini. Kontrol terhadap perkembangan musik dangdut oleh rezim salah
satunya
dilakukan
dengan
mengkoorporasi
dan
mengkooptasi para penyanyi dangdut dalam satu wadah yang
“Berkat Revolusi Sang Raja” Gatra, 19 Agusturs 1995, hlm. 67; Piper, Susan dan Sawung Jabo. Musik Indonesia dari 1950-an hingga 1980-an. Prisma, 1987, Tahun XVI, No. 5 Mei 1987, hlm. 12; Sarsidi G,B “Dangdut Versus Rock”, Dangdut No. 04, TH-1/ Minggu Keempat, Juni 1995, hlm. 7. 8
6
terhubung dengan pemerintah. Guna melaksanakan hal tersbut, maka
didirikan
YAMMI
(Yayasan
Artis
dan
Musik
Melayu
Indonesia) pada tahun 1978 yang diketuai oleh seorang mantan Jendral yang sekaligus merupakan wakil gubernur Jakarta, Eddie Nalapraya9.
YAMMI
adalah
sebuah
organisasi
profesi
yang
berfungsi sebagai wadah bagi para seniman dan artis musik melayu-dangdut di Indonesia guna memperjuangkan aspirasi anggotanya,
melindungi
hak-haknya
dan
mengupayakan
peningkatan kesejahteraan bagi para anggotanya. Lembaga ini pada 1980 berganti nama menjadi LAMMI (Lembaga Artis Musik Melayu Indonesia) dan pada 1989 berganti lagi menjadi PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia)10. Pendirian PAMMI yang berhasil menarik hampir seluruh penyanyi dangdut secara sekilas dapat dinilai sebagai sebuah keberhasilan rezim Orba dalam mengontrol mereka melalui strategi koorporasi. Namun dalam kenyataannya, keberhasilan rezim Orba dalam menarik hampir seluruh artis dangdut saat itu ke dalam PAMMI, ternyata tidak berarti bahwa rezim Orba sepenuhnya berhasil dalam mengontrol musik dangdut. Ketika strategi
koorporasi
rezim
Orba
tidak
sepenuhnya
berhasil
“10 Terbaik dari Festival Lagu Dangdut ‘80”, Kompas Minggu 4 Mei 1980, hlm. 5. 10 “Berkat Revolusi Sang Raja” Gatra, 24 Februari 1996, hlm. 31. 9
7
mengendalikan
musisi-musisi
dangdut,
maka
jalan
yang
kemudian ditempuh adalah dengan menggunakan TVRI. TVRI sebagai satu-satunya televisi yang ada sampai dengan tahun1980’an jelas memainkan peran yang sangat penting – meskipun bukan satu-satunya – dalam menentukan popularitas musisi
dangdut.
Mereka
(penyanyi-penyanyi
dangdut)
yang
dipandang sebagai “anak penurut” tentu saja akan mendapatkan kemudahan untuk tampil di TVRI. Rezim Orba di satu sisi dapat memanfaatkan popularitas musisi dangdut – suatu hal yang memang dilakukan – untuk kepentingan mereka, dan di sisi lain, musisi dangdut juga memanfaatkan kedekatan dengan rezim Orba tersebut sebagai alat untuk
mendongkrak
popularitas
mereka.
Kita
dapat
membayangkan bahwa ketika seorang penyanyi dangdut yang sangat terkenal seperti Rhoma Irama, Elvy Sukaesih atau Camelia Malik mengadakan sebuah pertunjukkan – apalagi biasanya pertunjukkan tersebut gratis – yang sebenarnya tujuannya adalah untuk kampanye partai menjelang pemilu, maka masyarakat akan dengan senang hati untuk menghadirinya. Perkembangan musik dangdut yang sangat pesat dari 1970’an sampai 1990’an juga dianggap oleh rezim Orba sebagai suatu prospek politik yang luar biasa, sehingga rezim Orba
8
berusaha
untuk
menggandeng
musisi
dangdut
demi
kepentingannya. Salah satu musisi yang dianggap memiliki prospek yang besar adalah Rhoma Irama. Melalui intrik-intrik politik yang canggih serta instrument-instrumen kekuasaannya, rezim Orba kemudian berusaha menggandeng Rhoma dan juga musisi-musisi dangdut papan atas lainnya. Usaha itu tidak selalu berjalan lurus, karena Rhoma Irama misalnya, selain berprofesi sebagai musisi dangdut, juga memiliki pendirian yang nampaknya cukup kuat. Sebagaimana yang sering ia katakan bahwa bermusik itu adalah kewajiban terhadap Tuhan dan manusia11, maka hal itu dalam banyak kasus benar-benar ia terapkan. Terkait dengan relasi rezim Orba dan musik dangdut, Rhoma Irama memainkan peran yang sangat menonjol atau dapat dikatakan memonopoli relasi tersebut, terutama dalam periode 70’an hingga 80’an. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya syairsyair lagunya yang mengkritisi pemerintah. Menjalang tahun 90’an sampai dengan runtuhnya rezim Orde Baru, relasi tersebut terlihat lebih dinamis dengan mulai menonjolnya musisi-musisi dangdut lainnya seperti Camelia Malik, Ikke Nurjanah, Elvy Sukaesih, Evi Tamala dan lain-lain yang juga aktif menjalin hubungan dengan
Wawancara Bang Ndang, 30 Januari 2015. Prinsip semacam ini mulai menjadi ciri khas Rhoma Irama terutama sejak ia menunaikan ibadah haji pada 1975. 11
9
rezim Orba dalam bentuk dukungan mereka ketika kampanye Golkar menjelang pemilihan umum. Penyanyi dangdut tersebut hadir mengisi acara hiburan dalam kampanye-kampanye Golkar. Mempertahankan idealisme sebagai seniman memang tidak mudah, terlebih rezim Soeharto sering melakukan penindasan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap kontra terhadap kepentingan membuat
rezim
Orba.
musisi-musisi
Kondisi dangdut
yang harus
demikian bersikap
tersebut, kooperatif
terhadap rezim Orba untuk tetap bertahan dalam dunia hiburan. Sikap
kooperatif
ini
sangat
penting,
karena
faktanya
memperlihatkan bahwa ketika musisi dangdut sejalan dengan rezim Orba, maka karirnya dapat berjalan dengan baik atau setidaknya tidak mendapatkan hambatan dari rezim, demikian pula sebaliknya. Rezim Orba sendiri seringkali tidak konsisten dengan pandangannya terhadap musik dangdut, sehingga seringkali menghasilkan tindakan-tindakan yang ambigu.
Tahun
1983
misalnya, pada saat pelarangan terhadap Rhoma untuk tampil di TVRI masih belum dicabut, Rhoma justru dipercaya untuk tampil menghibur ABRI yang notabenya merupakan simbol kekuatan
10
utama Orde Baru12. Demikian juga halnya dengan tahun 1988, meskipun TVRI telah mencabut larangan terhadap musik dangdut untuk ditayangkan di stasiun pemerintah tersebut, namun dalam kenyataanya musik ini tetap dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa13. Memasuki tahun 1990, khususnya sejak tahun 1991, sikap rezim Orba terhadap musik dangdut menunjukkan perubahan yang sangat drastis. Apabila periode 70’an musik dangdut dihambat perkembangannya, terutama dengan adanya pelarangan tampil di TVRI, kemudian tahun 80’an sikap tersebut berubah menjadi ambigu, maka memasuki tahun 90’an rezim Orba justru memperlihatkan
dukungan
yang
luar
biasa
terhadap
perkembangan genre musik ini. Dukungan yang luar biasa tersebut mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi kedua belah pihak (musisi dangdut dan rezim Orba). Rezim Orba di satu sisi mendapatkan dukungan politis dan pemasukkan yang besar dari
musisi-musisi
dangdut,
di
sisi
lain
musik
dangdut
mendapatkan kedudukan yang sangat terhormat dan secara otomotis membawa kemakmuran yang luar biasa bagi para musisi dangdut. “Satria Berdakwah, Raja dari Bawah”, Tempo No. 18 Thn. XIV, 30 Juni 1984”. 13 “Hal-hal Terlarang di TVRI”, Kompas, Minggu 11 September 1988, hlm. 10. 12
11
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian Pada awal perkembangannya tahun 1970’an, musik dangdut dapat
dikatakan
semata
berfungsi
sebagai
hiburan
bagi
masyarakat dan musisi itu sendiri. Seiring dengan perjalanan waktu,
fungsi
itu
mengalami
pergeseran
ke
ranah
politik.
Pergeseran fungsi tersebut juga diiringi dengan perubahan liriklirik lagu dan simbol-simbol yang dibawa ketika tampil di atas panggung serta tujuan ketika musisi-musisi dangdut mengadakan suatu pertunjukan. Tesis ini mengaji dinamika hubungan musik dangdut dengan rezim Orba dalam periode 1970’an hingga 1990’an serta siapa yang diuntungkan dari dinamika hubungan yang terjadi antara periode 1970’an hingga 1990’an tersebut. Pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam tesis ini: 1) Bagaimana
pengaruh
orientasi
politik
Soekarno
terhadap
perkembangan musik di tanah air? Sejauh mana orientasi politik tersebut berpengaruh terhadap perkembangan musik? 2) Apakah pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto memiliki dampak terhadap perkembangan musik di Indonesia dan bagaimanakah pengaruh orientasi politik rezim Orba terhadap perkembangan musik? 3) Adakah dinamika dalam hubungan rezim Orba dan musik
dangdut
antara
periode
1970’an
hingga
1990’an?
Bagaimanakah pengaruh dinamika yang terjadi tersebut terhadap
12
perkembangan musik dangdut? Siapakah yang diuntungkan dari dinamika hubungan yang terjadi tersebut? Penelitian ini berfokus pada usaha menguraikan dinamika hubungan atau relasi antara musik dangdut dan rezim Orba. Hubungan tersebut khususnya dilihat dari relasi yang terjalin antara sejumlah musisi dangdut terutama Rhoma Irama ditambah dengan sejumlah penyanyi dangdut lainnya seperti Camelia Malik, Evy Tamala, Elvy Sukaesih, Ike Nurjanah dan lain sebagainya. Namun demikian harus diakui bahwa Rhoma Irama memainkan peran sangat dominan dalam membentuk pola hubungan dengan rezim Orba, terutam dalam periode 1970’an-1980’an. Aspek temporal penelitian ini dibatasi antara 1970’an sampai 1990’an. Alasan yang mendasari dipilihnya tahun tersebut karena hubungan antara musisi dangdut dan rezim Orba yang paling
dinamis
terjadi
dalam
tahun-tahun
tersebut.
Tahun
1970’an dipilih karena pada awal-awal tahun ini muncul istilah dangdut yang segera menjadi begitu populer di tahun-tahun selanjutnya. Sedangkan tahun 1990’an akhir dipilih terutama karena
menjelang
akhir
tahun
tersebut
merupakan
akhir
kekuasaan Orde Baru yang secara otomatis mengakhiri hubungan antara musik dangdut dengan rezim tersebut.
13
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini akan menguraikan beberapa hal. Pertama Pengaruh orientasi politik Soekarno terhadap perkembangan musik dan sejauh mana orientasi tersebut berpengaruh terhadap perkembangan musik di tanah air. Kedua, menyelidiki apakah pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto memiliki dampak terhadap perkembangan musik di Indonesia dan seperti apa pengaruh orientasi politik Soeharto terhadap perkembangan musik. Ketiga, melihat apakah ada dinamika dalam hubungan rezim Orba dan musik dangdut antara periode 1970’an hingga 1990’an dan bagaimana dampak dari dinamika yang terjadi tersebut terhadap perkembangan musik dangdut serta siapa yang diuntungkan dari dinamika yang terjadi tersebut. Penelitian ini juga dapat memberikan persfektif lain yang dapat menjadi nilai tambah yang sangat bermanfaat dalam memahami maupun dalam penelusian sejarah (historiografi) Indonesia. Selama ini, penulisan sejarah tentang kurun waktu 1970’an-1990’an cenderung berupa historiografi politik – namun merupakan sebuah kesalahan yang fatal jika menganggap sejarah perkembangan dangdut tidak saling terkait dengan perkembangan politik di tanah air – sedangkan memahami masa-masa Orde Baru melalui seni hiburan khususnya dangdut masih sangat jarang sekali dilakukan. Artinya dengan mempelajari perkembangan
14
dangdut dari kurun waktu 1970’an-1990’an sebenarnya kita juga telah mempelajari sejarah Indonsia pada periode tersebut dari salah satu angle yang sangat menarik. Selain itu, sejarah tentang kesenian, khususnya musik dangdut tentu saja selama ini masih sangat jauh dari ‘track’ penulisan sejarah Indonesia yang ‘baku’ (qonun).
Dengan
berkaca
pada
masa
lalu,
khususnya
perkembangan dangdut, bukan tidak mungkin akan menjadikan perkembangan dunia musik di Indonesia pada masa-masa yang akan datang menjadi lebih baik.
D. Tinjuan Pustaka Penelitian tentang dangdut baik berupa kajian antropologis, sosiologis maupun musikologis telah banyak dilakukan baik oleh sarjana dalam maupun luar negeri. Namun, penelitian historis tentang musik dangdut masih sangat jarang sekali dilakukan. Dalam
sub
bab
ini
akan
diuraiakan
penelitian-penelitian
terdahulu. Penelitan-penelitian terdahulu sangat penting terutama untuk memastikan bahwa penelitian yang dilakukan ini tidak membahas persoalan yang sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya dan tentu saja akan berguna sebagai bahan rujukan. Beberapa penelitian terdahulu yang dianggap penting akan diuraikan dalam paragraf berikut:
15
Pertama tulisan Made Tony tahun 1996 dengan judul Bius Sosial di Balik Goyang Dangdut dalam jurnal Basis, no. 3-4, nomor 4-5,
Mei-
Juni
1996.
Dalam
tulisan
tersebut,
penulis
menyimpulkan bahwa dangdut – yang menurut penulisnya merupakan musik joget – dapat
menjadi semacam bius yang
membuat para penikmatnya (menurut penulis kebanyakan dari kelas menengah ke bawah) melupakan persoalan/ beban hidup sehari-hari yang mereka alami. Penulis juga mengatakan bahwa biduwanita (penyanyi dangdut perempuan) terutama pada tataran lokal biasanya berpakaian seksi. Namun demikian, menurut penulis hal tersebut juga dikarenakan memang hal yang demikian itu (pakaian mini) yang menjadi kegemaran para penonton. Selain banyak membahas tentang permasalahan goyang (joget) dangdut, penulis juga sedikit menguraikan tentang sejarah perkembangan dangdut dan kapitalisme pita kaset. Penelitian yang kedua dilakukan oleh seorang antropolog Amerika, Andrew W. Weintroub dengan judul bukunya Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music
yang
diterbitkan
tahun
2010.
Penelitian
ini
–
sepengetahuan penulis – merupakan penelitian yang paling kompreshensif bila dibandingkan dengan penelitian-penelitian lainnya tentang dangdut. Ditinjau dari sisi historis, sosiologis, antropologis maupun musikologis tulisan ini sagat kaya. Tulisan
16
ini menguraikan banyak hal, misalnya dari sisi historis, tulisan ini menguraikan
secara
cukup
panjang
lebar
tentang
sejarah
perkembangan dangdut yang berakar kuat pada musik Melayu. Dari tinjauan musikologis tulisan ini sangat membantu karena menganalisis
makna-makna
lirik
lagu
dangdut.
Dari
sisi
antropologis maupun sosiologis tulisan ini banyak juga membahas kaitan antara dangdut, politik, dan Islam pasca kepemimpinan presiden Soeharto, terutama isu mengenai goyang ngebor penyanyi dangdut yang sangat kontroversial, Inul Daratista (mulai tenar sekitar tahun 2003). Dalam tulisan ini juga dibahas mengenai wacana pembentukan dangdut sebagai musik nasional. Andrew W. Weintroub juga melakukan penelitian dengan judul Music and Malayness: Orkes Melayu in Indonesia, 1950-1965 yang dimuat dalam jurnal Archipel tahun 2010, halaman 57-78. Tulisan ini membahas musik Melayu di tiga kota utama di Indonesia, yaitu Jakarta, Medan dan Surabaya. Dalam tulisan ini Andrew juga menguraikan tentang asal usul musik Melayu itu sendiri, sehingga kajian ini dari sisi historis dapat membantu dalam menelusuri awal perkembangan musik dangdut. Tulisan ini membatasi kajiannya dari tahun 1950-1965 yang merupakan awal kemunculan istilah orkes Melayu (OM) dengan didirikannya beberapa OM terkemuka seperti OM Sinar Medan, OM Kenangan,
17
OM Irama Agung, OM Bukit Siguntang, Chandralela,OM Pancaran Muda dan OM Purnama. Penelitian keempat dilakukan oleh Indera Ratna Irawati dengan judul Music Jazz dan Dangdut dalam Analisis Stratifikasi Sosial yang diterbitkan dalam Masyarakat Jurnal Sosiologi 1 tahun 1992. Penelitan ini dilakukan
terhadap remaja yang
berusia 15 sampai 21 tahun yang belum menikah dan bertempat tinggal
di
wilayah
berkesimpulan
Jakarta.
bahwa
musik
Dalam Jazz
penelitian cendrung
ini,
diminati
Ratna oleh
kalangan dengan latar belakang Status Sosial Ekonomi (SSE) tinggi dan sedang; sedangkan dangdut cendrung lebih diminati oleh mereka dari SSE rendah dan sedang. Ia juga berkesimpulan bahwa terdapat kecendrungan pada kelompok responden pemilih musik Jazz, yaitu: semakin rendah SSE, keinginan pengakuan status semakin besar dengan lebih mempertimbangkan unsur rasio, demikian juga sebaliknya. Penelitian kelima adalah tesis MA seorang antropolog UGM, G. R. Lono Lastoro Simatupang tahun 1996 dengan judul The Development of Dangdut and Its Meaning: A Study of Popular Music in Indonesia. Kajian ini juga merupakan tulisan yang paling lengkap mengenai dangdut. Dari sisi historis, karya ini sangat membantu dalam memberikan rujukan, karena dalam tulisan ini juga diuraikan sejarah perkembangan dangdut. Kajian ini juga
18
menelusuri perubahan tempat dan makna musik serta bagaimana hubungan perubahan-perubahan makna musik dangdut dengan lingkungan sosial, politik dan budaya Indonesia yang lebih luas. Dalam tulisan ini dikatakan bahwa pengakuan dangdut sebagai bagian integral dari budaya bangsa juga mencerminkan sikap rezim Orba terhadap budaya ‘non-etnik’ dan ‘budaya supra etnik.’ Pengakuan itu merefleksikan adanya kesadaran negara akan signifikansi
budaya
pembentukan
‘sekarang’,
budaya
bangsa.
‘baru’, Tulisan
‘supra-etnik’ ini
menyinggung kaitan antara pengakuan – atau
juga
dalam sedikit
lebih tepatnya
wacana – dangdut sebagai musik nasional dengan industrialisasi dangdut. Selain itu, tulisan ini – sepengetahuan penulis – adalah penelitian yang paling dalam membuktikan bahwa dangdut berasal dari musik Melayu, khususnya Melayu Deli. Hal ini dapat dimengerti,
karena
peneliti
merupakan
seorang
musikolog
sekaligus praktisi. Karya keenam merupakan working papers yang ditulis oleh Susan Browne yang diterbitkan tahun 2000 dengan judul The Gender Implication of Dangdut Kampungan: Indonesian ‘Low-class’ Popular Music yang diterbitkan oleh Monash Asian Institute, Monash University. Penelitian ini mengambil setting di Purawisata dalam acara Sekaten di Jogkaarta yang selalu menampilkan hiburan
rakyat
berupa
dangdut.
Dalam
tulisan
ini
dikaji
19
bagaimana kaitan antara dangdut dan negara dalam balutan kajian gender. Slain itu, dalam tulisan ini juga dijelaskan bahwa musik dangdut tidak hanya dikonsumsi oleh kelas bawah (lower class neighbourhood) saja, tetapi juga menjadi konsumsi dari kalangan menengah dan atas. Susan Browne menemukan fakta bahwa dari segi politik, penampilan penyanyi sekaligus penari dangdut perempuan dalam pertunjukkan dangdut merupakan hal yang bertentangan dengan peran normal seorang wanita, yaitu sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga. Institusionalisasi peran perempuan oleh negara yang juga mengatasnamakan Islam merupakan suatu upaya kontrol terhadap perempuan, sehingga ketika
seorang
penyanyi
dan
penari
dangdut
perempuan
mengekspresikan diri lewat goyangannya, dari sudut stereotip budaya dipandang sebagai perempuan yang kasar, tidak punya sopan santun serta dipandang sebagai perempuan yang tidak dapat mengontrol nafsunya. Penelitian ketujuh - yang hampir serupa dengan tulisan Susan Browne di atas – adalah karya Budi Santoso dengan judul Dangdut Sekaten: Penguasa, “Agama” dan Musik Rakyat di Jogjakarta.
Dalam
tulisan
ini
penulis
mengatakan
bahwa
pertunjukkan musik dangdut di Pasar Malam Perayaan Sekaten merupakan salah satu bentuk praktik kontrol politik (dan adat atau agama) terhadap masyarakat. Menurutnya, teguran berupa
20
skorsing pertunjukkan dangdut menyiratkan suatu pernyataan bahwa baik grup pemusik dan lebih-lebih para peminat dangdut adalah kelompok rakyat yang masih setiap kali perlu diawasi, dikontrol. Kepada para peminat musik dangdut, selayaknyalah kalau mereka itu masih perlu menerima peringatan dari pihakpihak lain yang lebih “berwenang”! kesementaraan dari skorsing justru semakin menekan bahwa rakyat Indonesia yang beradat, agamis dan masih selalu rapuh diancam naluri atau nafsu birahinya, perlu selalu diperingatkan dan didisplinkan. Penelitian kedelapan lainnya yang juga membahas sedikit tentang dangdut adalah Industri Musik Indonesia, Suatu Sejarah, karya Muhammad Mulyadi yang diterbitkan tahun 2009. Tulisan ini mengambil fokus pada musik pop, jazz dan rock, sehingga tulisan
ini
sifatnya
sebagai
pembanding
karena
banyak
menunjukkan angka-angka, seperti penjualan kaset. Tulisan ini dapat berguna misalkan ketika ada sumber yang mengatakan bahwa penjualan kaset dangdut pada periode tertentu mencapai angka yang sangat tinggi atau malah sebaliknya, maka agar pernyataan tersebut akurat harus juga dilihat bagaiamana dengan penjualan kaset lagu-lagu pop, jazz maupun rock pada periode yang sama. Karya kesembilan adalah tulisan dari William H. Frederick dengan judul Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspect of
21
Contemporary Indonesian Popular Culture. Dalam tulisan ini penulis lebih focus pada seorang tokoh yang menurutnya sebagai seorang
pembaharu
kemampuan
bermusik
dalam yang
dunia luar
dangdut biasa.
Ia
dan juga
memiliki banyak
menjelaskan kaitan antara lagu Rhoma Irama dan dakwah. Dari sisi historis, tulisan ini sangat membantu dalam penelusuran sejarah perkembangan dangdut.
E. Kerangka Konsep “justifikasi kebijakan budaya lebih umum terjadi pada masa Orde Baru, dan sejalan dengan hal ini, demikian juga kekuasaan birokrasi budaya untuk campur tangan dan mengubah praktik-praktik budaya. Orang-orang Indonesia dinilai sebagai orang yang membutuhkan bimbingan negara dan membutuhkan perlindungan dari apapun yang bisa mengalihkan perhatian mereka dari jalan yang telah ditentukan negara untuk pembangunan, seperti komentar publik14.” Konsep Jones yang menggambarkan bagaimana hubungan antara kebudayaan dan rezim Orba di Indonesia dapat digunakan untuk menggambarkan relasi yang terjalin antara musisi dangdut dan rezim Orba antara periode 1970’an-1990’an. Konsep Jones yang mengatakan bahwa campur tangan birokrasi, dalam hal ini rezim Orde Baru, mengubah praktik-praktik budaya. Budaya
Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 hingga Era Reformasi, Jakarta: KITLV-Jakarta dan Buku Obor, 2015, hlm. 208. 14
22
sendiri dalam tesis ini lebih spesifik pada musik, khususnya musik dangdut. Konsep tersebut kemudian akan digunakan untuk melihat apakah campur tangan semacam itu
akan
mengubah praktik-praktik budaya, seperti perubahan orientasi musisi
dangdut,
simbol-simbol
yang
ditampilkan
ketika
mengadakan pertunjukkan, lirik-lirik lagu dan lain sebagainya. Demikian juga halnya dengan konsep Jones yang mengatakan bahwa
“Orang-orang
membutuhkan
Indonesia
bimbingan
dinilai
negara
sebagai dan
orang
yang
membutuhkan
perlindungan dari apapun yang bisa mengalihkan perhatian mereka
dari
jalan
yang
telah
ditentukan
negara
untuk
pembangunan”, akan dilihat untuk menganalisis apakah dalam sejarah
perkembangannya,
rezim
Orba
“memberikan
perlindungan” terhadap musisi/ musik dangdut dari apapun yang bisa
mengalihkan
perhatian
mereka
dari
jalan
yang
telah
ditentukan oleh negara. Demikian juga halnya dengan konsep Nirwan Dewanto yang menggambarkan bagaimana seni dalam perkembangannya akan bersinggungan dengan kepentingan rezim. Ia mengatakan bahwa: “Tidak ada seni tanpa publik. Dan pada gilirannya, jika publik itu telah mencapai jumlah yang signifikan, keindahan (dan kebenaran) seni akan memperlihatkan
23
sisinya yang lain, yakni sisi etis. Di sinilah seni mulai bersinggungan dengan kekuasaan15.” Konsep dari Nirwan terkait perjumpaan seni – dalam hal ini musisi/ musik dangdut – dan rezim akan digunakan dalam penelitian ini. Konsep ini akan digunakan untuk mengetahui apakah benar bahwa ketika musik dangdut memiliki publik/ penggemar
yang
cukup
banyak
ia
akan
bertemu
dengan
kepentingan rezim. Bagaimana bentuk musik dangdut ketika ia bertemu dengan kepentingan negara juga dapat dianalisis dengan konsep tersebut. Selanjutnya, dalam penelitian ini juga akan digunakan konsep
totaliter.
KBBI
mendefinisikan
totaliter
sebagai
pemerintahan yang menindas hak pribadi dan mengawasi segala aspek kehidupan warganya16. Wikepedia menjelaskan bahwa pemerintahah yang totaliter adalah suatu pemerintahan yang dijalankan
bukan
saja
dengan
menindas
hak
pribadi
dan
mengawasi segala aspek kehidupan masyarakat, tetapi juga dengan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk bagi masyarakat17.
Nirwan Dewanto, Senjakala Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang, 1996, hlm 13. 16 http://kbbi.web.id/totaliter 17 https:/id.m.wikipedia.org/wiki/totalitarian, diakses pada 23 Maret 2016. 15
24
Selama rezim Orde Baru berkuasa, hubungan yang terjalin antara musik dangdut dan rezim Orba dapat digambarkan dengan ketiga konsep di atas. Misalnya rezim Orde Baru, melalui TVRI mengeluarkan larangan terhadap sejumlah lagu dan musisi dangdut
tertentu
untuk
tampil
di
TVRI.
Hal
tersebut
memperlihatkan upaya campur tangan rezim terhadap musik dangdut. Demikian juga halnya penarikan sejumlah artis dangdut ke dalam partai penguasa, Golkar, benar-benar telah mengubah praktik budaya (musik dangdut). Musik dangdut yang semula disajikan sebagai sebuah bentuk hiburan, kemudian berubah menjadi sajian demi kepentingan penguasa. Persinggungan musik dangdut dan rezim Orde Baru terjadi ketika genre musik ini telah memiliki publik atau penggemar dalam jumlah yang besar18. Hal serupa juga terjadi ketika rezim yang berkuasa berdalih bahwa lagu-lagu dangdut tertentu, berbau pornografi, lagu tiruan atau alasannya lainnya yang jelas-jelas memperlihatkan sifat totaliter
dari
rezim
Orde
Baru.
Rezim
Orba
berusaha
Tempo misalnya, memperkirakan bahwa Rhoma Irama paling sedikit memiliki 15 juta penggemar (“Satria Berdakwah, Raja dari Bawah”, Tempo No. 18 Thn. XIV, 30 Juni 1984, hlm. 27). Banyaknya pengemar Rhoma Irama juga terlihat dari keberadaan SFCI di seluruh provinsi tanah air (wawancara Bang Ndang, 28 Januari 2015, Jakarta). Banyaknya penggemar Rhoma Irama juga tampak sekali ia dan temannya shooting film “Menggapai Matahari ” tahun 1986, dibanjiri puluhan ribu penonton – belum lagi ketika film itu diputar di seluruh pelosok tanah air. Penonton yang hadir waktu itu bahkan berkenan ditarik biaya (“Rhoma Irama Menggapai Matahari”, Kompas, Minggu 31 Mei 1987, hlm. 7) 18
25
mengendalikan segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya lagu-lagu seperti apa yang boleh ditampilkan di depan publik,
tampilan
musisi-musisi
dangdut
seperti
apa
yang
diperbolehkan dan pada akhirnya siapa yang boleh tampil di TVRI dan siapa yang tidak boleh. Sifat totaliter rezim Orde Baru terhadap musisi dan musik dangdut terlihat pertama kali pada tahun 1976. Ketika itu Rhoma Irama sebagai pelopor kelahiran musik dangdut menciptakan lagu yang berjudul “Rupiah” yang kemudian dilarang karena dianggap sebagai bentuk dokrtrinasi konyol, jelas memperlihatkan sifat rezim yang totaliter. Demikian juga halnya dengan pelarangan terhadap sejumlah lagu dangdut seperti “Gadis atau Janda” yang dianggap berbau pornografi, jelas memperlihatkan pula sifat totaliter rezim Orde Baru yang menggunakan standarnya sendiri dalam menilai makna dari sebuah lagu dangdut. Sejumlah judgment
negatif
memperlihatkan
lainnya
sikap
yang
dari
rezim
demikian,
Orde misalnya
Baru
juga
pelarangan
terhadap musik dangdut tampil di TVRI pada tahun 1988 karena dianggap sebagai musik tiruan.
26
F. Metode Penelitian dan Sumber Penulisan Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Gattschalk mengatakan bahwa metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekontruksi yang imajinasi dari masa lampau ini berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses tersebut,
disebut
dengan
historiografi
(penulisan
sejarah).
Prosedur yang ditempuh dalam metode penelitian sejarah atau disebut metode sejarah menggunakan empat tahap, yaitu; (1) Heuristik, menghimpun atau mengumpulkan bukti-bukti sejarah; (2) Kritik ekstern-internal menguji dan menilai sumber sejarah; (3) Interpretasi (Aufassung), memahami makna yang sebenarnya dari bukti-bukti sejarah yang telah di nilai, dan (4) Darstellung (historiografi), pengujian pemikiran baru berdasarkan bukti-bukti yang telah dinilai itu dalam bentuk tulisan19. Awalnya peneliti sangat ragu untuk mengangkat judul ini, karena ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, penelitian ini terancam tidak dapat terselesaikan karena – seperti yang sudah penulis duga sebelumnya – sulitnya menemui narasumbernarasumber yang notabenya adalah penyanyi top dengan berbagai kesibukan. Di sisi lain, peneliti juga merasa bangga karena akan Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Universitas Indonesia, hlm. 33-34. 19
27
bertemu orang-orang top pada zamannya. Selain itu, kata kunci dari penelitian ini, dangdut, – menurut penulis -
adalah
kata
kunci yang sangat menarik. Ternyata benar, narasumber seperti Rhoma Irama dan Rita Sugiarto sangat sulit ditemui, namun akhirnya penulis berhasil juga mewawancari keduanya. Rhoma Irama misalnya, meskipun penulis telah menunggu beberapa jam baru kemudian ia keluar rumahnya, itupun bukan untuk menemui penulis. Ia langsung pergi begitu saja, ora nguwongno (tidak memanusiakan manusia) meskipun penulis telah mengatakan bahwa penulis jauh-jauh datang dari Jogja hanya untuk mewawancarai beliau. Namun penulis menganggap hal tersebut agak wajar, mengingat Bang Haji, panggilan akrab Rhoma, adalah orang yang sangat sibuk. Baru
beberapa
minggu
kemudian
penulis
berhasil
mewawancarainya, berkat kebaikan seorang teman yang juga merupakan pendiri SFC (Soneta Fans Club), Bang Ndang Zulfikar. Rita Sugiarto sendiri hanya berhasil penulis wawancarai melalui telepon, karena ketika penulis bertandang ke rumahnya untuk melakukan wawancara, ia sedang berada di kantor Indosiar. Tampaknya waktu ia sedang mempersiapkan acara De Terong, dimana ia bertindak sebagai salah seorang juri. Meskipun Rita Sugiarto yang lebih akrab di panggil Bunda ini sangat welcome, namun tampak sekali – meskipun ia adalah penyanyi
28
dangdut senior dan sangat berbakat – pengetahuan sejarahnya tentang musik dangdut secara umum dan tentang relasi dangdut dan rezim Orba dalam periode 70’an hingga 90’an tidak begitu bagus.
Bunda
Rita
tampaknya
merupakan
sosok
penyanyi
dangdut yang tidak begitu tertarik dengan dunia politik dan lebih memilih menukuni profesinya sebagai penyanyi dangdut. Selanjutnya
untuk
penyanyi
dangdut
lainnya
seperti
Camelia malik, Elvy Sukaesih, Evy Tamala dan Ike Nurjanah, peneliti hanya dapat menggunakan data skunder. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kendala yang peneliti temui – sesuatu yang sebenarnya sudah peneliti duga sejak awal – ketika berada di lapangan, terutama masalah dana penelitian. Selain dari wawancara terhadap Rhoma Irama dan personel Soneta lainnya serta Rita Sugiarto, data-data yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini juga penulis dapatkan dari Bang Ndang. Satu hal yang paling menarik dari percakapan penulis dengannya adalah ungkapannya yang mengatakan bahwa Rhoma sendiri sering lupa dengan lirik lagunya dan menurut keterangannya
(Bang
Ndang)
biasanya
menjadi
tempatnya
bertanya. Penulis juga mendapatkan data – berupa wawancara – dari Bang Ndang yang sangat melimpah. Hal tersebut dikarenakan atas
jasa
baiknya
yang
mengijinkan
penulis
menginap
di
rumahnya sekitar 2 minggu, sehingga penulis bisa melakukan
29
wawancara santai (ngobrol sekitar musik dangdut). Masyarakat musik dangdut tentu saja sangat kehilangan dengan wafatnya beliau, kira satu bulan setelah peneliti menyelesaikan semua wawancara,
karena
ia
merupakan
orang
yang
memiliki
pengetahuan yang luar biasa tentang sejarah perkembangan musik dangdut pada umumnya dan Rhomoa Irama beserta Sonetnya Grupnya secara khsusus. Ditinjau dari sisi sumber penulisan, selain wawancara, sebagaimana yang telah diuraiakan di atas, penelitian ini juga banyak sekali menggunakan sumber-sumber berupa surat kabar dan majalah, terutama Kompas, Tempo, Gatra dan tabloid Dangdut. Penelitian ini sangat sedikit sekali menggunakan arsip, hanya pidato presiden Soekarno terkait dengan orientasi bidang kebudayaan, khususnya musik dan UUD 1945 serta peraturanperaturan umum lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Sedikitnya penggunaan arsip ini tidak terlepas dari fakta bahwa “kebijakan” yang terkait dengan musik – sejauh pengetahuan penulis – tidak diurus secara formal, sehingga tidak terdapat arsip tentang hal tersebut. Dengan kata lain, penulis menganggap bahwa baik pada masa kekuasaan Soekarno maupun Soeharto sebenarnya tidak terdapat kebijakan tertentu dalam dunia musik, tetapi hanyalah kecenderungan atau orientasi semata.
30
Sumber lain yang tidak kalah penting dalam penelitian ini tentu saja adalah penelitian-penelitian tentang dangdut yang telah dilakukan oleh sejumlah sarjana. Beberapa diantara penelitian tersebut yang sangat penting antara lain yang dilakukan oleh Lono Lastoro Simatupang, Andrew Weintroub, William Frederick, Susan Browne dan lain-lain. Akhirnya
semua
data
yang
penulis
dapatkan,
dapat
memperkaya tulisan ini dan dapat dibandingkan antara data yang satu dengan lainnya. Dengan cara demikian, uraian-uraian dalam tulisan ini akan lebih kritis, artinya, apa yang dikatakan satu sumber, dapat dikonfirmasi pada sumber lainnya. Selanjutnya, peneliti harus mengakui bahwa tulisan ini masih memiliki banyak kelemahan,
misalnya penulis
tidak
mewawancarai sejumlah pejabat pada periode 1970’an-1990’an, sehingga informasi yang terkumpul masih cenderung berat sebelah. Namun demikian, untuk mengimbangi hal tersebut, penulis juga banyak menggunakan koran-koran nasional yang dikenal lebih obyektif seperti Kompas dan Tempo.
31
G. Sistematika Penulisan Tulisan ini menitiberatkan pada kronologisasi persistiwa yang merupakan kekuatan utama dalam penulisan sejarah. Secara sistematika, tulisan ini dibagi dalam beberapa bab di bawah ini: BAB I: bab ini merupakan bab pendahaluan yang akan menggambarkan apa yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun pendahuluan tersebut akan terdiri dari beberapa sub bab-sub bab antara lain latar belakang, perumusan masalah dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori,
kerangka
konsep,
metode
penelitian
dan
sistematika penelitian. BAB II: bab ini akan menguraikan bagaimana orientasi rezim Soekarno
terhadap musik.
Urian dilanjutkan dengan
mendeskripsikan mengenai orientasi politik pada masa Soeharto dan pengaruh dari orientasi tersebut terhadap perkembangan musik. Bab ini juga akan menguraikan dampak dari perubahan orientasi politik dari masa Soekarno ke Soeharto terhadap perkembangan kehidupan musik di Indonesia. BAB III: Bab ini akan menguraikan tentang perkembangan awal musik Melayu hingga transformasinya menjadi musik
32
dangdut. Uraian selanjutnya diteruskan dengan medeskripsikan perkembangan musik dangdut sejak awal kelahirannya awal (1970’an) hingga 1990’an. Bagian ini juga akan sedikit mengulas tentang peran Rhoma Irama terhadap perkembangan musik dangdut. Selain karena alasan etis – dapat dikatakan bahwa menulis tentang musik dangdut tidak mungkin tanpa menyebut nama Rhoma Irama – penjelasan tentang peran Rhoma terhadap perkembangan musik dangdut juga dikarenakan ia merupakan tokoh dangdut sentral dalam berhubungan dengan rezim Orba, terutama dalam periode 1970’an-1980’an. BAB IV: bab ini akan menguraikan bagaimana dinamika hubungan musik dangdut dan rezim Orba. Pembahasan dalam bab ini
diawali dengan mendeskripsikan posisi musik dangdut
ketika belum bersentuhan dengan kepentingan rezim Orba. Periode ini berlangsung selama awal 1970’an sampai 1980’an awal. Pembahasan dilanjutkan dengan melihat posisi dangdut dalam
berhadapan
dengan
rezim
Orba,
dimana
dangdut
menduduki posisi yang ambivelen. Periode ini berlangsung selama 1982 sampai menjelang tahun 1990. Pembahasan terakhir dalam bab ini adalah mengenai pewacanaan dangdut sebagai sebagai musik
nasional
(1991-1998)
yang
sebenarnya
merupakan
33
cerminan hubungan musik dangdut dan rezim Orba yang begitu harmonis. BAB V: bab ini merupakan bab penutup dalam tulisan ini yang akan menarik kesimpulan dari seluruh pembahasan dalam tulisan ini.
34