BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Kulit merupakan suatu organ yang berada pada seluruh permukaan luar
tubuh manusia. Kulit memiliki fungsi yang sangat penting untuk perlindungan organ tubuh bagian dalam terhadap berbagai rangsangan dari luar, baik itu rangsangan mekanis, kimia, maupun radiasi. Warna kulit setiap manusia berbedabeda tergantung pada perbedaan kadar melanin dalam tubuh. Pada dasarnya, melanin merupakan suatu zat pigmen yang berguna melindungi kulit dari paparan sinar matahari. Namun, jika terkena sinar matahari secara berlebihan akan menyebabkan kulit memerah, perih, bahkan melepuh. Selain disebabkan oleh sinar matahari, hormon, kosmetik, kelainan genetik, gangguan metabolik, gangguan nutrisi (defisiensi vitamin B12), infeksi, serta alergi obat juga dapat mengakibatkan hiperpigmentasi. Akan tetapi, sinar matahari merupakan pengaruh terbesar yaitu sekitar 90% terhadap timbulnya hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi ditandai dengan adanya flek-flek hitam (melasma) yang tidak merata pada permukaan kulit. Untuk mengatasi hiperpigmentasi dapat dilakukan dengan menggunakan krim pemutih kulit sehingga menekan produksi melanin. Namun, krim pemutih kulit yang banyak beredar dipasaran saat ini belum terjamin keamanannya. Krim pemutih yang berbahaya adalah krim-krim pemutih yang mengandung senyawa merkuri, hidrokuinon, alpha hydroxide acid (AHA), asam retinoat, dan zat warna sintesis seperti rhodamin. Senyawa seperti 1
hidrokuinon yang berfungsi untuk mengelupas kulit bagian luar dan menghambat pembentukan melanin, hanya diperbolehkan maksimum digunakan sebanyak 2%. Lebih dari ketentuan ini, produk ini dapat membahayakan kesehatan kulit seperti kanker kulit. Senyawa AHA juga dibatasi penggunaannya yaitu hanya dapat digunakan sebanyak 10%. Asam retinoat dapat menyebabkan kulit kering dan dapat membuat kulit terasa seperti terbakar. Rhodamin yang berfungsi memberikan warna, juga berbahaya pada kulit. Sementara merkuri sudah dilarang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk digunakan dalam kosmetik walaupun hanya dioleskan sedikit. Penggunaan merkuri yang berlebih lamakelamaan akan mengendap di dalam kulit sehingga menyebabkan bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit, dan bersifat karsinogenik karena memicu timbulnya kanker kulit. Penggunaan senyawa-senyawa kimia tersebut dalam kosmetik dapat membahayakan kesehatan dan dilarang digunakan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/ MENKES/PER/V/1998 Tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat Pengawet dan Tabir Surya pada Kosmetik dan Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik. Oleh sebab itu, sebagai alternatif perlu dicari senyawa-senyawa lain yang aman dan efektif penggunaannya, salah satunya adalah yang berasal dari bahan alam. Untuk mencegah terbentuknya warna kulit yang tidak indah, maka reaksi pembentukan melanin perlu dihambat dengan menggunakan suatu bahan penghambat yaitu inhibitor. Produksi melanin berasal dari reaksi L-tirosin yang terjadi secara enzimatik. Dalam hal ini, enzim yang berperan pada tahapan biosintesis melanin adalah tirosinase, di mana enzim ini banyak terdapat pada 2
mikroorganisme, tumbuhan, hewan, serta manusia (Chang, dkk, 2005). Inhibitor yang dapat menghambat produksi melanin adalah inhibitor tirosinase yaitu suatu senyawa yang mampu menghambat proses kerja tirosinase untuk menekan produksi melanin secara berlebihan pada lapisan epidermis. Oleh sebab itu, perlu ditelusuri bahan-bahan alam apa saja yang berpotensi sebagai senyawa bioaktif inhibitor tirosinase. Artocarpus adalah salah satu genus dari famili Moraceae yang mampu menginhibisi reaksi tirosin-tirosinase. Beberapa senyawa bioaktif inhibitor tirosinase dari bahan alam diantaranya arbutin, ellagic acid, chloroforin, kojic acid, isoartocarpesin, artocarpanone, dan oxyreveratrol (Arung, dkk, (2006) dalam Supriyanti (2009)). Senyawa isoartocarpesin dalam ekstrak inti kayu Artocarpus incisus diketahui mempunyai aktivitas inhibitor tirosinase yang sama kuat dengan kojic acid (Shimizu, dkk, 1998). Pada penelitian Arung, dkk, (2006), artocarponone dari getah kayu tumbuhan Artocarpus heterophyllus mempunyai potensi bioaktivitas inhibitor tirosinase lebih besar dibandingkan arbutin, tetapi lebih lemah daripada kojic acid. Akan tetapi, studi baru-baru ini menyatakan bahwa kojic acid memiliki sifat karsinogenik (Miyazawa, dkk, 2006). Menurut hasil studi literatur yang diperoleh bahwa penelitian mengenai penelusuran senyawa bioaktif dalam kulit batang Artocarpus (nangka-nangkaan) telah dilakukan dengan jenis Artocarpus yang digunakan yaitu Artocarpus heterophyllus (nangka), Artocarpus altilis (sukun), dan Artocarpus communis (kluwih). Dari ketiga kulit batang jenis Artocarpus tersebut dilakukan ekstraksi dan diperoleh hasil bahwa ekstrak kulit batang Artocarpus heterophyllus 3
mengandung senyawa inhibitor tirosinase dengan aktivitas inhibisi terkuat dibandingkan dengan Artocarpus altilis dan Artocarpus communis (Rustianingsih, 2007). Dalam Rakhmawan (2008), diketahui bahwa untuk mendapatkan inhibitor tirosinase yang lebih efektif, dibutuhkan pelarut yang baik untuk mengekstrak kulit batang Artocarpus heterophyllus. Dari hasil penelitiannya, metanol merupakan pelarut yang paling baik dalam mengekstrak kulit batang Artocarpus heterophyllus dibandingkan diklorometan dan n-heksan. Untuk mengetahui efektifitas inhibisi senyawa bioaktif tanaman Artocarpus heterophyllus dalam menginhibisi tirosinase telah dilakukan penelitian yaitu mengenai aktivitas dan jenis inhibisi. Menurut Putri (2009), diketahui bahwa ekstrak metanol kulit batang Artocarpus heterophyllus memiliki aktivitas inhibitor pada reaksi tirosin-tirosinase yang ditunjukkan dari nilai IC50 sebesar 103,59 µg/mL serta proses inhibisi dalam reaksi tirosin-tirosinase terjadi secara reversibel dengan jenis inhibisi competitive. Pada hasil penelitiannya, aktivitas dan jenis inhibisi yang diberikan masih terbatas ekstrak metanol sehingga diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas dan jenis inhibisi menggunakan pelarut optimal. Pada penelitian Al-Ash’ary (2009), didapat bahwa aseton merupakan pelarut yang paling optimal dibandingkan metanol dan n-butanol dalam mengekstraksi kulit batang Artocarpus heterophyllus yang berpotensi sebagai inhibitor tirosinase. Ekstrak aseton kulit batang Artocarpus heterophyllus memiliki nilai IC50 pada konsentrasi inhibitor 5,57 µg/mL. Oleh karena itu, dapat dikatakan ekstrak aseton memiliki aktivitas inhibitor yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak metanol. 4
Berdasarkan latar belakang yang diungkapkan di atas, penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yaitu mengenai penentuan aktivitas dan jenis inhibisi ekstrak aseton kulit batang Artocarpus heterophyllus sebagai inhibitor tirosinase sehingga akan sangat bermanfaat dalam upaya mencari agen penghambat pencoklatan kulit yang potensial.
1.2
Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahannya adalah bagaimana
aktivitas dan jenis inhibisi senyawa bioaktif ekstrak aseton kulit batang Artocarpus heterophyllus sebagai inhibitor tirosinase. Dari permasalahan tersebut, dapat dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana aktivitas inhibisi senyawa bioaktif ekstrak aseton kulit batang Artocarpus heterophyllus terhadap laju reaksi tirosin-tirosinase? 2. Jenis inhibisi apakah yang terjadi pada ekstrak aseton kulit batang Artocarpus heterophyllus?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas inhibisi ekstrak aseton
kulit batang Artocarpus heterophyllus terhadap laju reaksi tirosin-tirosinase serta mengetahui jenis inhibisi dari inhibitor tersebut.
5
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat menjadi bahan pengetahuan mengenai aktivitas dan
jenis inhibisi dari senyawa bioaktif tanaman Artocarpus heterophyllus yang bermanfaat sebagai inhibitor tirosinase yang efektif sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku kosmetik untuk mencegah hiperpigmentasi pada kulit manusia yang bersifat alami.
6