1
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang penting bagi penopang sendi utama kehidupan. Air bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan mendasar manusia namun juga berfungsi sebagai sumber penghidupan seperti mengairi lahan pertanian, perikanan, hingga pembangkit energi listrik. Kebutuhan terhadap air hampir dapat dipastikan mempunyai kecenderungan tidak sejalan dengan tingkat ketersediaannya baik terkait dengan dimensi waktu dan ruang, maupun jumlah dan kualitasnya. Dalam satu tahun persediaan air di alam berubah-ubah. Pada musim penghujan air berlimpah, kemungkinan sungai tidak mampu lagi menampung aliran air dan akan menyebabkan adanya banjir. Sementara pada musim kemarau air berkurang, padahal kebutuhan air untuk berbagai keperluan tetap berlangsung dan dalam keadaan seperti ini terjadi kekurangan air. Untuk itu manusia melakukan intervensi ke pola ketersediaan air melalui pembuatan bangunan-bangunan penahan laju aliran air baik di darat maupun di sungai. Bangunan penahan laju aliran air di sungai dikenal dengan sebutan bendung dan bendungan. Bendungan atau dam adalah konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Umum
Indonesia
mendefinisikan
bendungan
Kementerian Pekerjaan
sebagai
"bangunan
yang
berupa tanah, batu, beton, atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat juga dibangun untuk menampung limbah tambang atau lumpur."
2
Bendungan (dam) dan bendung (weir) sebenarnya merupakan struktur yang berbeda. Bendung (weir) adalah struktur bendungan berkepala rendah (lowhead dam), yang berfungsi untuk menaikkan muka air, biasanya terdapat di sungai. Air sungai yang permukaannya dinaikkan akan melimpas melalui puncak/mercu bendung (overflow).
Di negara dengan sungai yang cukup besar dan deras
alirannya, serangkaian bendung dapat dioperasikan membentuk suatu sistem sumberdaya air. Dewasa ini masyarakat dunia mulai dihadapkan pada bayang-bayang krisis air yang perlu penanganan segera dengan tepat. Salah satu upaya penanganan yang telah terbukti berhasil baik, adalah dengan menampung air di waduk-waduk atau bendungan. Disamping untuk menampung air, bendungan juga dibangun untuk memenuhi kebutuhan lain seperti untuk pengisian kembali air tanah, penampung limbah industri, penampung limbah tambang.
Bendungan disamping memiliki
manfaat yang cukup besar, juga menyimpan potensi bahaya yang besar pula yang dapat mengancam kehidupan masyarakat luas di hilir bendungan. Hingga saat ini, di Indonesia telah terbangun sebanyak 284 buah bendungan besar dan bendungan-bendungan tersebut memenuhi kriteria dalam PP No. 37 Tahun 2010 tentang Bendungan, yang diadopsi dari kriteria Komite Nasional Indonesia-Bendungan Besar (KNI-BB) atau Indonesian National Large Dams (INACOLD) (Sabar, 2008). Bendungan tersebut tersebar utamanya di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Konsep dasar perencanaan sebuah bendungan biasanya tidak berdiri sendiri melainkan menjadi satu dengan perencanaan sebuah bendung yang lokasinya
3
berjarak beberapa kilometer bahkan sampai puluhan kilometer di sebelah hilirnya. Bendungan Kedung Ombo dan Bendung Sedadi di Kali Serang Jawa Tengah, Bendungan Jatiluhur dan Bendung Curug di Sungai Citarum Jawa Barat, dan Bendungan Batutegi dan Bendung Argoguruh di Sungai Way Sekampung Lampung merupakan contoh-contoh dari implementasi konsep dasar perencanaan bendungan tersebut. Pelaksanaan konstruksinya bisa berbarengan, namun umumnya bendung yang dilaksanakan terlebih dahulu dan setelah bendung berfungsi bertahun-tahun dan ternyata diperlukan tambahan kebutuhan air yang lebih dapat diandalkan, maka barulah bendungan di sebelah hulu dilaksanakan konstruksinya.
Bendungan
Kedung Ombo yang berkapasitas 450 juta m3 dan ketinggian kurang lebih 120 meter, dilaksanakan konstruksinya setelah Bendung Sedadi berfungsi selama lebih dari 30 tahun.
Di Propinsi Lampung, Bendungan Batutegi dilaksanakan
konstruksinya pada akhir tahun 1990-an setelah Bendung Argoguruh berfungsi sejak tahun 1935. Pembangunan bendungan setelah adanya bendung di sebelah hilirnya umumnya diiringi dengan suatu tujuan. Salah satu tujuannya adalah untuk memperluas manfaat sumberdaya air bagi pengembangan daerah irigasi. Pembangunan Bendungan Kedung Ombo dimaksudkan untuk peningkatan irigasi hingga ± 70.000 hektar disamping sebagai pengendali banjir, penyedia tenaga listrik, penyedia air industri dan air minum, potensi perikanan waduk, dan potensi wisata
air
(http://wiki.pdsda.net/index.php/Bendungan_Kedung_Ombo).
Pembangunan Bendungan Jatiluhur diharapkan akan berfungsi sebagai pembangkit listrik, pengendali banjir, pasokan kebutuhan air untuk rumah tangga, industri, dan
4
penggelontoran kota, kegiatan budidaya perikanan air payau, pariwisata, dan perluasan areal irigasi hingga 242.000 hektar. Demikian juga halnya dengan pembangunan Bendungan Batutegi di Lampung. Selain untuk pengembangan budidaya perikanan air tawar, pariwisata, dan pembangkit listrik, Bendungan Batutegi dibangun dengan tujuan untuk meningkatkan areal irigasi teknis hingga mencapai 108.553 hektar. Setiap bendungan yang diperuntukkan bagi pengelolaan sumberdaya air, maka rencana pengelolaan bendungan tersebut dilengkapi dengan pola operasi waduk yang terdiri atas pola operasi tahun kering, pola operasi tahun normal, dan pola operasi tahun basah berdasarkan hasil prakiraan kondisi curah hujan. Di Indonesia rencana pengelolaan bendungan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2010 tentang Bendungan. Peraturan pemerintah tersebut memuat pengaturan untuk terwujudnya tertib penyelenggaraan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya sehingga memenuhi kaidah-kaidah kelayakan teknis dan ekonomis serta keamanan bendungan, dalam rangka mengurangi dampak negatif aspek lingkungan hidup, terjaganya keselamatan umum terkait kemungkinan terjadinya kegagalan bendungan, terjaganya kelestarian sumberdaya air serta meningkatkan kemanfaatan fungsi sumberdaya air, pengawetan air, pengendalian daya rusak air, keamanan serta keselamatan lingkungan hidup.
Dengan pola operasi sebagaimana telah ditetapkan untuk
masing-masing waduk berarti setiap waduk akan melepaskan sejumlah air untuk memenuhi kebutuhan consumer sesuai dengan kondisi tampungan (reservoir).
5
Pola operasi waduk untuk tiga kondisi iklim utamanya curah hujan, mengikuti tiga kurva aturan (rule curve), yaitu kurva aturan atas (upper rule curve), kurva aturan bawah (lower rule curve), dan kurva aturan bawah kritis (critical lower rule curve).
Kurva aturan waduk adalah batas permukaan air yang harus
dipertahankan dalam waduk selama satu periode pengelolaan setelah memenuhi berbagai kebutuhan air yang berbeda. Kurva tersebut menunjukkan batas minimum tinggi muka air waduk yang dibutuhkan pada waktu tertentu untuk dapat memenuhi suatu kebutuhan baik secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan sesuai dengan tujuan dan fungsi waduk. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk berdampak pada semakin meningkatnya aktifitas sosial dan ekonomi guna memenuhi ketubuhan terhadap sandang, pangan, dan papan. Pemenuhan terhadap kebutuhan hajat hidup manusia tersebut berimplikasi kepada meningkatnya pemanfaatan sumberdaya energi baik yang berasal dari dalam bumi, di permukaan bumi, maupun di atmosfer. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup BAPPENAS dalam Simposium Meteorologi Pertanian VII, di Jakarta Tahun 2008 menyampaikan bahwa peningkatan aktifitas sosial dan ekonomi manusia berdampak pada peningkatan jumlah konsentrasi gas carbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) di udara melebihi kemampuan asimilasi dan stabilisasi alam. Hal ini pada akhirnya menimbulkan dampak yang merugikan terhadap ekosistem secara luas, terutama meningkatnya pemanasan global (Lukito, 2008). Lebih lanjut Lukito (2008) mengatakan bahwa bagi Indonesia, perubahan iklim akibat peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akan menyebabkan
6
terjadinya peningkatan suhu udara rata-rata global sebesar 2,8 oC dari tahun 2000 ke tahun 2010.
Dampak utama perubahan iklim adalah terjadinya gangguan
terhadap siklus hidrologi dalam bentuk perubahan pola dan intensitas curah hujan, kenaikan permukaan air laut, peningkatan frekuensi dan intensitas bencana yang dapat menyebabkan terjadinya krisis ketersediaan dan bencana terkait air (kekeringan dan banjir), penurunan hasil panen pertanian dan perikanan, serta perubahan keanekaragaman hayati. Masalah air dan bencana yang ditimbulkannya sudah menjadi masalah dunia dan tidak hanya merupakan masalah di Indonesia saja. Keberadaan air di suatu tempat tidak lagi seimbang. Air semakin berkurang di musim kemarau dan sangat berlebih pada musim penghujan yang menimbulkan kerusakan yang sangat hebat.
Fenomena tersebut acap kali juga terjadi pada daerah-daerah yang telah
dibangun satu atau beberapa unit bendungan, sehingga sering terdengar berita berkurangnya produksi listrik akibat menyusutnya permukaan air waduk, atau gagal panen akibat air waduk yang tidak dapat memenuhi kebutuhan irigasi yang semakin meningkat.
Oleh karena adanya perubahan iklim global sebagai akibat terjadinya
perubahan lingkungan seiring dengan peningkatan aktifitas sosial dan ekonomi manusia yang secara tidak langsung juga berdampak pada perubahan frekuensi dan intensitas kejadian-kejadian hidrologi seperti kekeringan dan banjir, maka telaahan tentang
pola
operasional
waduk/bendungan
mempunyai
peluang
untuk
pengembangan dan menjadi dasar perlunya dilakukan kajian lanjut, terutama yang berkaitan dengan pola operasional waduk yang sesuai dengan asas berkelanjutan dan berkeseimbangan.
7
1.2. Rumusan Masalah Keterdapatan suatu bendungan di bagian hulu sungai dan sebuah bendung di bagian hilirnya banyak dijumpai pada sungai-sungai besar yang memiliki potensi sumberdaya air untuk pengembangan daerah irigasi. Untuk mengatasi masalah pada kejadian berkurangnya tampungan waduk, akibat berkurangnya pasokan air dari hulu pada satu sisi dan semakin besarnya pengeluaran waduk untuk memenuhi permintaan kebutuhan di hilir pada sisi yang lain, diajukan suatu konsep operasional bendungan efektif efisien melalui integrasi pola operasional bendungan dan bendung berbeda basis waktu dengan pemberlakuan 3 (tiga) tolok ukur resiko yaitu
keandalan
(reliability),
kelentingan
(resiliency),
dan
kerawanan
(vulnerability) sebagai batas dalam operasional. Sebagai upaya pemanfaatan potensi sumberdaya air antara bendungan dan bendung dalam rangka efisiensi pengeluaran waduk, proses pengalihragaman hujan menjadi aliran sungai di antara bendungan dan bendung dikaji melalui model SWAT. Untuk meningkatkan efektifitas pengeluaran waduk, lama perjalanan air dari bendungan hingga mencapai bendung ditelusuri menggunakan model penelusuran sungai. Konsep yang diajukan diharapkan dapat memberikan jawaban apakah integrasi pola operasional bendungan dan bendung yang berbeda basis waktu layak diberlakukan sebagai satu pola operasional waduk yang handal, memiliki daya lenting tinggi, dan tingkat kerawanan yang rendah untuk mengatasi masalah keseimbangan tampungan waduk pada berbagai kondisi curah hujan yang semakin
8
berkurang namun permintaan air yang semakin meningkat sebagai upaya pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan.
1.3.
Keaslian Penelitian Penelitian yang telah dilakukan ini berusaha memecahkan permasalahan
pengelolaan sumberdaya air khususnya dalam pengelolaan bendungan dan bendung dalam rangka memenuhi kebutuhan air untuk berbagai keperluan di hilir utamanya pemenuhan kebutuhan air irigasi dan pemeliharaan lingkungan sungai pada satu sisi serta mempertahankan keberlanjutan simpanan air dalam waduk pada sisi yang lain. Pemikiran tersebut didasari karena pada hakekatnya pengelolaan sumberdaya air adalah upaya sadar manusia untuk memanfaatkan sarana dan prasarana sumberdaya air secara efektif dan efisien guna menjamin keberlangsungan fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Penelitian ini dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang mempengaruhi alokasi sumberdaya air , antara lain mencakup aspek teknologi, lingkungan fisik, dan kebijakan. Penelitian tentang pengelolaan sumberdaya air (Water Resources Management) sudah banyak dilakukan. Maantay. dan Maroko (2008); dan Belleza, dkk. (2009) melakukan penelitian pengelolaan sumberdaya air hanya dengan aplikasi Geoinformatic System (GIS).
Tsakiris dan Spiliotis (2004) telah
menggunakan logika fuzzy dalam penyelesaian masalah alokasi sumberdaya air untuk berbagai penggunaan air yang optimal menggunakan pendekatan linier programing. Pramanik dan Panda (2009) menerapkan kombinasi Artificial Neural
9
Network (ANN) dan Adaptive Neuro Fuzzy Inferences System (ANFIS) dalam memprediksi debit aliran sungai harian. Untuk kajian terkait dengan operasional waduk dan bendungan, beberapa penelitian telah dilakukan. Ngo (2006) melakukan kajian optimalisasi operasional bendungan dengan pendekatan kombinasi antara model optimasi dan simulasi yang dilakukan pada Bendungan Hoa Binh di Vietnam; Elferchichi dan Lamaddalena (2008) melakukan kajian operasional bendungan terhadap kebutuhan sistem irigasi dengan pendekatan model berbasis Genetic Algorithm (GA); Chandrashekar dkk (tanpa tahun) memprediksi debit inflow waduk menggunakan pendekatan Neural Network;
Henriette dan Smith (2008) mengkaji pola operasional bendungan
berkelanjutan dengan pendekatan optimasi. Penelitian yang telah dilakukan terkait dengan pengelolaan waduk di Indonesia antara lain oleh Gunawan (2005) dengan kajian penelitian evaluasi pola operasi multi waduk yang terletak secara serial dengan studi kasus pada waduk Saguling dan Cirata, dengan pendekatan optimasi menggunakan persamaan linier yang diproses dengan program LINDO dan simulasi hasil optimasi menggunakan MS Excel. Wahyudi (2006) melalui kajian pemutahiran pola operasi waduk berdasar analisis kapasitas tampung dan kondisi tubuh bendung; Mulyana dan Lubis (2006) melakukan kajian penentuan kurva aturan pengoperasian waduk berdasarkan kondisi musim tahun air menggunakan pendekatan program dinamik deterministik; Hadihardaja (2006) melakukan kajian kehandalan pengoperasian optimal waduk kaskade untuk pemenuhan kebutuhan air minum menggunakan pendekatan modifikasi aliran masuk (inflow) dengan teknik optimasi stokastik Chance-constrained Linier Programming; dan Pangestuti (2010)
10
melakukan permodelan optimasi operasional waduk kaskade untuk produksi energi menggunakan seris data debit terukur. Perbedaan penelitian ini dengan yang sudah pernah dilakukan seperti tersebut di atas adalah pada pendekatan pemecahan masalahnya. Pada penelitian ini yang mana pokok permasalahan pengelolaan sumberdaya air terdapat dua prasarana sungai yang saling berhubungan yaitu waduk dan bendungan di bagian hulu dan bendung di bagian hilir adalah tidak efektif dan efisiennya debit release waduk yang menyebabkan semakin berkurangnya ketersediaan air dalam waduk untuk memenuhi kebutuhan irigasi dan konservasi sungai. Penyelesaian masalah didekati dengan modifikasi pola operasi waduk di bagian hulu yang lazimnya menggunakan satuan waktu tinjauan mingguan, 10 harian, atau setengah bulanan menjadi satuan waktu harian dan memperhitungkan ketersediaan air di sungai antara bendungan dan bendung untuk memenuhi kebutuhan irigasi yang diatur pada bendung di bagian hilir dengan pola operasi dua mingguan. Analisis besarnya kemampuan supply didekati dengan mengombinasikan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan model hidrologi SWAT (Soil and Water Assessment Tool) untuk memprediksi water yield dan hydrologic routing guna menentukan jumlah dan waktu konsentrasi air dari bendungan hingga mencapai bendung di bawahnya. Analisis ketersediaan air waduk dilakukan dengan reservoir routing untuk menentukan status elevasi muka air waduk berkaitan dengan besarnya inflow dan outflow waduk harian dalam memenuhi kekurangan supply. Dengan demikian sumbangan baru (State of the Art) yang dihasilkan melalui penelitian ini adalah menambah khasanah ilmu dan teknologi dalam manajemen
11
sumberdaya air melalui pengembangan model pola operasi dua prasarana sungai (waduk dan bendung) yang saling berhubungan serial namun berbeda basis waktu operasional dalam hal ini bendungan dengan basis waktu harian dan bendung yang berbasis dua mingguan (setengah bulanan) untuk tujuan pemenuhan kebutuhan irigasi dan konservasi sungai yang efektif dan efisien; dari segi konsepsi maupun implementasinya.
1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan suatu pola operasional
bendungan terintegrasi dengan operasional bendung yang layak diterapkan dengan pemberlakuan tiga tolok ukur resiko sebagai pembatas operasionalnya, yaitu kehandalan (reliability), kelentingan (resiliency), dan kerawanan (vulnerability). Namun karena dalam pola operasional bentungan terintegrasi tersebut terkait dengan ketersediaan air di sungai antara bendungan dan bendung di hilirnya dalam jumlah dan waktu yang tepat, maka penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh informasi pengalihragaman hujan menjadi aliran dan lamanya air mengalir di sungai antara bendungan hingga mencapai bendung. Hasil kajian diharapkan berguna sebagai sumbangan ilmiah dan praktek pengelolaan bendungan di masa datang, agar memenuhi tuntutan efektifitas, efisiensi, dan berkelanjutan.
12
1.5.
Manfaat Penelitian Kompleksitas masalah dalam pengelolaan sumberdaya air memerlukan
penanganan dan penyelesaian secara fungsional maupun fundamental, yang tidak saja membutuhkan landasan berfikir yang tepat, tetapi juga benar secara keilmuan. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konservasi sumberdaya air,
2.
Memberikan dasar kebijakan dalam penyusunan pola operasional waduk/ bendungan yang berhubungan dngan operasional bendung di bagian hilirnya untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu.
3.
Pengembangan pemanfaatan sumberdaya air bagi masyarakat, baik untuk pengembangan areal irigasi maupun pemanfaatan sumberdaya air untuk keperluan non irigasi.
4.
Secara khusus, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pengelola bendungan beserta waduknya untuk: 1)
Mengevaluasi pola operasi waduk untuk berbagai kondisi curah hujan yang terjadi di antara bendungan dan bendung di bawahnya;
2)
Menjamin kelestarian fungsi dan manfaat bendungan beserta waduknya;
3)
Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemanfaatan air;
4)
Menjamin keamanan bendungan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
13