BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Kota adalah tempat berpusatnya berbagai macam aktifitas dan kegiatan masyarakat yang pada umumnya melaksanakan kegiatan di berbagai bidang. baik ekonomi, sosial, budaya dan pengembangan ilmu teknologi, untuk itu sebuah kota dituntut memberikan ruang yang nyaman dan aman bagi masyarakat agar dapat melaksanakan berbagai macam aktivitas kegiatan yang dilakukannya dengan baik dan lancar sesuai kebutuhan yang di harapkan. Dalam perkembangannya kota sebagai tempat berlangsungnya bermacam kegiatan ini tidak lepas pula dengan berbagai macam persoalan yang menyangkut masalah perkotaan seperti masalah transportasi kota. Pertumbuhan jumlah penduduk dan arus urbanisasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun yang disertai dengan peningkatan pendapatan sangat mempengaruhi sektor transportasi baik orang maupun barang, karena permintaan orang untuk melakukan perjalanan dan distribusi barang juga cenderung meningkat sementara sarana dan prasarana transportasi yang tersedia tidak mampu mengimbanginya. Pada ukuran kota yang besar transportasi yang diandalkan adalah transportasi yang menggunakan jalan raya yang merupakan moda transportasi yang dominan dibandingkan dengan moda lainnya. Oleh karena itu masalah transportasi yang dihadapi pada daerah urban tersebut adalah timbulnya kemacetan, kesemrawutan, kecelakaan lalu lintas maupun pencemaran udara.
1
Kondisi ini akan menuju pada suatu titik kompleksitas yang menimbulkan permasalahan serius dimana akan menurunkan kualitas hidup masyarakat dan merupakan pemborosan sumber daya yang cukup besar. Kepadatan penduduk dan tingginya tingkat mobilitas penduduk di perkotaan membuat sarana transportasi menjadi penting artinya, Dalam masyarakat modern, sarana transportasi mempunyai dua fungsi. Yaitu, sebagai alat modal untuk mengangkut orang pergi ke tempat kerja mereka atau memindahkan barang atau produk barang pabrik ke konsumen, dan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan. Jaringan transportasi di kota dapat menimbulkan masalah apabila jumlah lalu lintas tidak seimbang dengan panjang atau ruas jalan yang ada. Rasio jumlah kendaraan dan panjang jalan turut menentukan terjadinya masalah – masalah lalu lintas, seperti kemacetan, pelanggaran – pelanggaran dan kecelakaan – kecelakaan. Beberapa jenis biaya sosial sebagai akibat kepadatan lalu lintas transportasi, antara lain : 1. Mempertinggi tingkat kecelakaan 2. Mempertinggi biaya pemeliharaan kendaraaan karena penggunaan bahan bakar yang lebih banyak dan mempercepat kerusakan kendaraan 3. Mempertinggi ongkos pengangkutan 4. Menimbulkan masalah pencemaran udara yang serius.1
1
Khairuddin, 2000, Pembangunan masyarakat : Tinjauaan aspek sosiologi, Ekonomi dan perencanaan, Liberty, Yogyakarta, hal. 220.
2
Di lingkungan perkotaan, kepadatan lalu lintas ini sangat terasa pada waktu pagi hari, dimana semua orang berangkat untuk melaksanakan aktivitas sehari – hari, seperti ke kantor, sekolah atau tempat aktivitas kemasyarakatan lainnya (peak hour), dan juga pada waktu siang hari, dimana jam tersebut merupakan jam produktif bagi lalu lintas barang maupun orang dengan berbagai jenis kendaraan yang ada. Beberapa penyebab lain timbulnya permasalahan kemacetan lalu lintas dan permasalahan transportasi di kawasan perkotaan diantaranya adalah : 1. Meningkatnya permintaan perjalanan, Bisa diartikan bahwa volume lalu lintas cenderung meningkat, dengan tidak ada perbandingan yang seimbang dengan kapasitas jalan yang terbatas pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya penurunan kecepatan rata-rata perjalanan. Beberapa faktor penyebab penurunan antara lain adalah tingginya aktivitas masyarakat, jauhnya jarak rumah dengan tempat tujuan dan meningkatnya jumlah kepemilikan kendaraan pribadi bermotor tiap tahun. 2. Rendahnya disiplin berlalu lintas, bisa di identifikasi sebagai tindakan yang tidak taat terhadap peraturan lalu lintas yang telah ada seperti sering kali terlihat pengendara menerobos lampu merah, berputar arah pada lokasi yang tidak di izinkan, parkir di tempat yang tidak diperbolehkan, berhenti bagi angkutan umum bukan pada tempatnya, masih banyak pesoalan lain sebagai bentuk pelanggaran yang menimbulkan permasalahan transportasi perkotaan yang kompleks.
3
3. Dominannya penggunaan angkutan pribadi, sebagai bentuk ketidak puasan masyarakat terhadap kondisi angkutan umum yang telah ada pada saat ini yang tidak mencerminkan sebagai sebuah bentuk fasilitas layanan publik yang dapat diandalkan.2
Dari potensi – potensi permasalahan transportasi yang dihadapi pembenahan bukan hanya terletak pada sistem transportasinya melainkan juga menyangkut berbagai aspek yang bersinggungan dengan transportasi itu sendiri baik secara langsung atau tidak langsung. Karena pada hakikatnya sistem transportasi yang baik tanpa diikuti oleh keseimbangan arah kebijakan transportasi tidak akan berjalan dengan baik dan benar sesuai harapan semua pihak. Kota Yogyakarta, sebagai kota yang menawarkan kemajuan pendidikan, keindahan pariwisata dan kebudayaan serta sebagai kota perbelanjaan tentu menjadi tujuan urbanisasi dari berbagai kota lainnya tentu saja kota Yogyakarta tidak luput dari masalah-masalah transportasi perkotaan, masalah yang terjadi di kota Yogyakarta memiliki ciri ruang jalan yang sempit, bertambah banyaknya kendaraan bermotor milik pribadi yang didominasi oleh sepeda motor.3 Bertambah banyaknya sepeda motor ada kaitannya dengan pelayanan angkutan umum yang begitu buruk dikarenakan permasalahan jumlah angkutan umum melebihi kapasitas sehingga perebutan penumpang semakin besar, selain itu angkutan - angkutan umum di kota Yogyakarta tidak disiplin berkendara di jalan, 2
Fauzy Ammary, “Urban Air Quality Improvement sector development Program” tentang peran dan fungsi dinas perhubungan, 29 juli 2005. 3 “Berkendara di jalanan Yogyakarta”, (Siar Demokrasi, Jurnal Forum LSM DIY, edisi 04, 2003), hal.11
4
sehingga dapat membahayakan para pengguna jalan yang lain seperti dalam proses naik turun para penumpang yang bukan pada tempatnya, berhenti mendadak sehingga menghambat kelancaran lalu lintas di ruas-ruas jalan kota Yogyakarta. Masalah izin membuat perusahaan angkutan umum begitu mudahnya sehingga banyak orang berusaha di bidang transportasi tanpa melihat jumlah peluang yang ada, bis kota idealnya 300-400 kendaraan tetapi yang beroperasi hampir 900-an,4 ini berarti perebutan penumpang semakin besar. Belum lagi mengenai masalah kenyamanan merupakan dampak utama yang paling dirasakan oleh para pengguna angkutan umum bus kota, Hal ini disebabkan kurangnya fasilitas yang tersedia bagi penumpang bus kota. meninggalkan kesan panas, gerah, berjubel, kumuh dan bau yang tidak sedap. Akibatnya para pengguna angkutan umum banyak yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dengan alasan lebih nyaman, efisien, hemat, tepat waktu yang menjadikan para pengguna jalan ini mengesampingkan peran angkutan umum bus kota sebagai sarana transportasi. Banyak masyarakat cenderung lebih memilih kendaraan pribadi yang bersifat personal akan memicu persoalan yang baru bukan menyelesaikan masalah transportasi kota yang telah terjadi. Masalah baru akan kembali lagi pada persoalan kesemrawutan arus lalu lintas yang semakin bertambah padat hingga menimbulkan kemacetan yang serius.
4
Ibid.
5
TABEL 1.1 DATA JUMLAH BERMOTOR YANG MENYUMBANG POLUSI UDARA DI KOTA YOGYAKARTA Jumlah kendaraan Taksi argo
Jumlah
Keterangan
800
Angkutan umum
566
Mobil pribadi Sepeda motor
2382 3490
Yang tidak berargo tidak terdeteksi karena biasanya melayani di luar kota Jumlah ini hanya yang beroperasi di jalan, sedangkan menurut izin ada sekitar 368 bus, rata-rata umur kendaraan delapan tahun Kebanyakan dimiliki oleh mahasiswa, 35% bernomor polisi luar DIY
Sumber : Data Komunitas Perkotaan
Pendapat dari berbagai elemen masyarakat bermunculan dari segi pro dan kontra terhadap penerapan perbaikan sistem transportasi yang akan direncanakan oleh pemerintah kota Yogyakarta. Setuju, dalam arti masyarakat menganggap bahwa penerapan kebijakan transportasi berbasis angkutan umum mampu menjadi sebuah solusi dalam mengatasi masalah transportasi dengan pertimbangan tingkat kenyamanan yang lebih baik di bandingkan dengan bus umum lainnya; masyarakat yang kontra menganggap bahwa kebijakan pemerintah tentang angkutan umum berbasis bus yang direncanakan oleh pemerintah semakin memperburuk keadaaan yang ada pada saat ini. Karena, masyarakat khawatir terjadi penumpukan angkutan umum perkotaan pendapat ini di dasarkan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai arah kebijakan dan tujuan kebijakan yang direncanakan oleh pemerintah.
6
Pemerintah daerah Yogyakarta sebagai aparat pemerintah yang berwenang menanggulangi masalah transportasi perkotaan yang muncul bersama dengan pemerintah kota melalui dinas perhubungan sebagai dinas terkait dan dinas pemerintah yang lain untuk dapat juga bekerja secara lebih profesional dan cekatan merespon masalah yang ada. Aparat pemerintah disini diposisikan sebagai pelayan publik (public service) yang berperan memberikan pelayanan publik yang baik pada masyarakat sesuai dengan misi mewujudkan pemerintah yang baik (Good Governance). Salah satu sikap positif sebagai wujud respon dari pemerintah daerah Yogyakarta adalah pembangunan sebuah fasilitas umum yang diharapkan mampu mengatasi persoalan tentang masalah perkotaan yang bersumber pada masalah transportasi. Fasilitas pelayanan umum merupakan wujud sarana yang berfungsi untuk memperlancar transportasi sehingga memiliki nilai positif bagi masyarakat sehingga mampu menekan sebuah permasalahan agar dapat ditemukan jalan keluar yang tepat. Melalui sarana fasilitas umum ini dapat diketahui bentuk kebijakan dari aparat pemerintah apakah sebuah kebijakan dari pemerintah telah berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Dengan mempertimbangkan solusi yang efektif menangani persoalan transportasi pemerintah mengambil sebuah langkah penting dengan mengadopsi sistem dalam kebijakan transportasi dengan mekanisme sistem buy the service yang berarti pemerintah membeli seluruh biaya perjalanan dengan pengadaan sarana angkutan umum bagi masyarakat berupa pembangunan sarana angkutan transportasi yang akan disebut sebagai Bus Patas Trans Jogja, Alternatif pilihan
7
kebijakan lain sebagai masukan yang diterima oleh pemerintah daerah sangat banyak misalnya dengan alternatif memberdayakan angkutan umum yang telah ada baik modern atau tradisional yang ada di kota Yogyakarta seperti andhong dan becak.5 Pemerintah sebagai aktor utama penentu kebijakan diharapkan mampu menyerap berbagai macam informasi seputar akar masalah transportasi dikota Yogyakarta pada khususnya dan daerah Provinsi Yogyakarta pada umumnya. Melihat dari berbagai sudut pandang ilmu sehingga dapat diketahui berbagai macam kelebihan dan kekurangan sebuah kebijakan yang akan di berlakukan. Termasuk melaksanakan pengujian terhadap ramalan rencana tindak lanjut di masa yang akan datang terhadap kebijakan transportasi di Yogyakarta. Hal ini sangat perlu dilakukan untuk menghindari adanya kebijakan yang bersifat sementara tidak berkelanjutan, kekhawatiran dari pemerintah ini didasarkan atas tidak berjalannya beberapa kebijakan yang ada sesuai dengan fungsinya. Contohnya, kebijakan proyek CDMA di kota Yogyakarta.6 Tahap-tahap perencanaan proyek angkutan umum trans jogja di mulai dengan survey yang di lakukan terhadap uji kelayakan transportasi di kota Yogyakarta, survey terhadap jalan dan jalur angkutan umum, pengenalan terhadap trayek–trayek angkutan umum. Salah satu hasil terpenting dari kegiatan ini adalah diketahuinya tingkat kenyamanan yang didapatkan oleh pengguna jasa
5
“Bus patas trans jogja alternatif transportasi jangka panjang”, (Berita UMY : 20 November 2007). 6 “Peluncuran bus patas di tunda”, (Kompas : sabtu, 1 Desember 2007).
8
transportasi angkutan umum mampukah fasilitas yang ada memenuhi tingkat kenyamanan para penumpang serta melakukan berbagai macam evaluasi terhadap sistem transportasi yang telah ada selama ini. Rancangan kebijakan angkutan umum bus trans jogja mengalami berbagai macam kendala persoalan. Hal yang paling menonjol menjadi bahan perdebatan ditingkatan dewan adalah perlu atau tidaknya peraturan daerah yang khusus mengatur mengenai trans jogja, Untuk mempermudah penyelesaian ditingkat birokrasi dan lapangan dibentuk sebuah panitia khusus untuk mengatasi kendala yang ada. Melalui proses yang panjang maka lahirlah produk hukum yang menjadi landasan pelaksanaan Pengoperasian Bus Trans Jogja ini. Pertama, Peraturan daerah No. 1 tahun 2008 tentang Perda Pengangkutan Orang Dengan Angkutan Umum di jalan di Wilayah Provinsi DIY merupakan revisi dari Peraturan daerah No. 10 tahun 2001 tentang penyelenggaraan angkutan orang di jalan dengan kendaraan umum; Kedua, Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 tahun 2008 tentang tarif angkutan bus perkotaan Trans Jogja di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui dana yang diperoleh pemerintah melalui Pendapatan asli daerah (PAD), DPRD DIY setuju mengalokasikan dana anggaran proyek bus patas senilai Rp 15,3 miliar untuk mewujudkan proyek angkutan umum Bus Trans Jogja. melalui mekanisme rapat anggota dewan Pemerintah daerah. Pemerintah melakukan kerjasama dengan pihak swasta atau stake holders dalam mewujudkan fasilitas angkutan umum Trans Jogja ini, Merupakan perwujudan dari UU Otonomi Daerah No.22 tahun 1999 pasal 92 ayat 1 disebutkan “Dalam
9
penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan, Pemerintah Daerah perlu mengikut sertakan peran masyarakat dan pihak swasta.” Pemerintah pusat sangat mendukung terealisasinya proyek angkutan umum Bus Patas Trans Jogja hal ini terbukti dengan bantuan yang di janjikan akan diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah kota Yogyakarta yaitu berupa pemberian bantuan armada bus berjumlah 20 buah armada melalui Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Direktorat Jendral Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Pusat. Bantuan oleh pemerintah pusat di harapkan dapat membantu meringankan beban pemerintah daerah dan kota Yogyakarta dalam proses mewujudkan proyek bus patas trans jogja pada bulan maret awal tahun 2008.7 Pemerintah daerah Yogyakarta memposisikan dirinya sebagai fasilitator yang memiliki salah satu fungsi sebagai pengawas pelaksanaan operasional proyek bus trans jogja, sebagai pelaksana dari operasional proyek bus trans jogja pemerintah menunjuk PT. Jogja Tugu Trans. Ditunjuknya pihak swasta dalam pelaksanaan trans jogja oleh pemerintah bertujuan lebih maksimalnya realisasi kebijakan pemerintah Yogyakarta. Bentuk kerjasama ini diperkuat adanya MOU perjanjian yang disepakati oleh pemerintah dengan pihak stakeholder dalam hal ini adalah PT. Jogja Tugu Trans (JTT).8 Sesuai dengan visi dan misi pembangunan transportasi kota Yogyakarta menciptakan sistem transportasi bermutu prima, ramah lingkungan, melayani warga masyarakat dan pendatang mendukung kegiatan pendidikan dan pariwisata, 7 “Badan Perencanaan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, (Bapeda : 21 November 2007). 8 “Bus Trans jogja segera terwujud”, (Kompas : 22 Agustus 2007).
10
melestarikan budaya dengan mengharmoniskan peranan pemerintah, masyarakat dan swasta. Pemerintah Daerah Yogyakarta melalui berbagai macam studi dan tinjauan menegaskan bahwa trans jogja berbeda dengan bus way yang diberlakukan di DKI Jakarta. Bus way dalam pelaksanannya memiliki jalur jalan khusus yang dilalui (way) dengan aturan yang melarang kendaraan angkutan pribadi atau umum melintasi jalur jalan khusus bagi bus way; bus way memiliki perda khusus yang mengatur pelaksanaannya, hal ini berbeda dengan trans jogja yang diperlakukan sama seperti angkutan umum yang lain; tidak memiliki perda khusus karena perda yang ada direvisi dan disesuaikan sesuai dengan kebutuhan tehnis dasar pelaksanaan. Kebijakan pemerintah tentang bus trans jogja perlu memperhatikan beberapa aspek–aspek yang menjadi tolak ukur keberhasilan kebijakan yang di laksanakan, Aspek–aspek tersebut meliputi aspek ekonomi, sosial, politik, budaya dan ilmu teknologi. Pembangunan fasilitas umum Bus Patas Trans Jogja ini di fokuskan pada daerah - daerah rawan kemacetan terutama pada saat memasuki jam-jam sibuk di wilayah kota Yogyakarta dan sekitarnya mencapai beberapa ruas jalan di daerah pusat Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan kabupaten Sleman, seperti : a) Jl. Kaliurang - Ring road utara b) Jl. Magelang - Ring road utara c) Jl. Magelang – Pingit d) Tugu e) Jl. C.Simanjuntak - Jl. Sudirman
11
f) Gramedia - Cik Di Tiro g) Galeria Mall h) Jl. Gejayan – Jl. Solo i) Condong Catur j) Janti dan Maguwo k) Jl. Bantul – Ring road Selatan l) Jl. Parangtritis – Ring road Selatan m) Jl. Godean – Ring road Barat n) Jl. Malioboro – Ring road Barat9 Catatan : Rata-rata kemacetan yang timbul antara 3-15 menit. Sumber : Data Komunitas Perkotaan Jurnal Forum LSM DIY
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, alasan penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana formulasi kebijakan transportasi bus Trans Jogja di Kota Yogyakarta sehingga mempermudah penulis dalam melakukan penelitian karena penulis berdomisili di kota Yogyakarta berguna menunjang faktor –faktor yang diperlukan bagi penyelesaiaan tulisan.
9
Siar Demokrasi, Jurnal Forum LSM DIY. Op.cit. hal : 11-12
12
B. PERUMUSAN MASALAH Mengacu dari titik tolak latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana Analisis Formulasi Kebijakan Transportasi Bus Trans Jogja Di Kota Yogyakarta?”
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bagaimana Analisa Formulasi Kebijakan Transportasi Bus Patas Trans Jogja Di Kota Yogyakarta, permasalahan yang terjadi dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. 2. Manfaat Penelitian Dari sisi keilmuan diharapkan memperkaya literatur yang mengkaji
masalah
kebijakan,
yaitu
khususnya
kebijakan
yang
berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak (publik) dan permasalahan kota khususnya menyangkut masalah transportasi. Secara praktis dapat memberikan masukan kepada pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan mengenai kebijakan bus trans jogja, apakah arah hasil
kebijakan sudah sesuai dengan tujuan dan
harapan yang telah direncanakan. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya bagi peneliti secara pribadi dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
13
D. KERANGKA DASAR TEORI Kerangka dasar teori adalah teori-teori yang dipergunakan di dalam melakukan penelitian sehingga kegiatan ini menjadi jelas, sistematis, dan ilmiah. Selain itu penulis pun di sini memaparkan pula definisi lain dari teori menurut para ahli, disertai pula dengan definisi dari Manajemen Transportasi, Lalu lintas, Kebijakan Publik, Proses Formulasi Kebijakan, Proses Pengambilan Keputusan, dan Formulasi Kebijakan Transportasi. Adapun definisinya sebagai berikut: Menurut Masri Singarimbun dan sofyan Effendi, “teori adalah Serangkaian asumsi, konsep, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.” 10 Sedangkan menurut Koentjoroningrat, “teori merupakan Pernyataan mengenai sebab akibat atau mengenai adanya suatu hubungan positif antara gejala-gejala yang diteliti di satu atau beberapa faktor tertentu dalam masyarakat.” 11 Berbeda dengan pendapat yang disampaikan oleh Sarlito Wirawan Sarwono, yang mengatakan bahwa : “teori merupakan serangkaian hipotesa atau proposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala atau fenomena atau sejumlah gejala.”12
10
Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, “Metode Penelitian Sosial”, LP3ES, Jakarta, 1983, hal.37. 11 Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia, Jakarta, 1997, hal. 9. 12 Sarlito W.S., Teori-teori Psikologi Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 4.
14
Dari ketiga definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa teori adalah sekumpulan dalil yang berkaitan secara urut berdasar atas hubungan sebab akibat diantara variabel, merupakan sarana pokok yang mengatakan hubungan sistematis antara fenomena sosial maupun alami yang hendak diteliti, sedangkan teori-teori yang digunakan tersebut sebagai dasar atau pijakan dalam penelitian yang penulis lakukan. Definisi-definisi mengenai teori apabila kita hubungkan dengan kerangka dasar teori yang penulis gunakan yaitu mengenai hal formulasi kebijakan Bus Trans Jogja. Maka lahirlah kerangka dasar teori di bawah ini. 1. Kebijakan Publik a. Pengertian : Istilah kebijakan atau kebijaksanaan (policy) menurut Carl Friedrich adalah : “suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang di usulkan oleh seorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatanhambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencari tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.”13
Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan sebagai “is whatever government choose to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh
13
Carl Friedrich, dalam Solikhin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan. Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bina Aksara, Jakarta 1997, hal. 3.
15
pemerintah untuk dilakukan atau tidak untuk dilakukan)14. Selanjutnya Dye mengatakan bahwa : “Bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijaksanaan Negara itu harus meliputi semua ‘tindakan’ pemerintah, jadi bukan
semata-mata
merupakan
pernyataan
keinginan
pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Disamping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan Negara. Hal ini disebabkan karena ‘sesuatu yang tidak
dilaksanakan’
oleh
pemerintah
akan
mempunyai
pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan ‘sesuatu yang dilakukan’ oleh pemerintah.”15
Irfan Islamy menambahkan dalam pernyataannya menyatakan bahwa : “Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.” 16
14
M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hal. 18. 15 Ibid. 16 Ibid.
16
Maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah pilihan atau tindakan yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah. Dan dalam konsep demokrasi modern, kebijakan negara (publik) tidaklah hanya berisi beberapa pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin) dalam kebijakan-kebijakan negara (publik). Setiap kebijakan negara harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (public interest). Dari beberapa definisi diatas kemudian kita lihat dalam konteks kebijakan Bus Patas Trans Jogja sebagai sarana angkutan umum berbasis Bus oleh Pemerintah dan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta memiliki banyak tujuan, selain untuk mengatasi masalah perkotaan yaitu masalah lalu lintas dan transportasi di wilayah Kota Yogyakarta khususnya di ruas jalan-jalan utama strategis, juga banyak tujuan lain yang positif. Banyak sekali kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan proyek pembuatan Bus Patas Trans Jogja dari berbagai pihak yang merasa diuntungkan dan pihak yang merasa dirugikan oleh adanya sarana angkutan umum yang baru ini. b. Ciri-ciri Kebijakan Publik Pertama, kebijakan lebih merupakan tindakan yang mengarah tujuan (terencana) daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba kebetulan. Kedua, Kebijaksanaan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada
17
tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Ketiga, Kebijaksanaan bersangkut-paut dengan apa yang sengaja dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu misalnya dalam mengatur sector transportasi, ekonomi, pemukiman, pariwisata, dan berkaitan dengan unsur masyarakat atau rakyat. Keempat, Kebijakan negara kemungkinan positif mungkin juga negatif. Dalam bentuk yang positif, kebijakan negara mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu; sementara dalam bentuk yang negatif, ia kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.17 Kebijakan publik lebih merupakan keputusan pemerintah selaku institusi atau sebagai lembaga dan merupakan keputusan individu-individu yang duduk di dalam pemerintahan. Sebagai lembaga pelayanan public sudah saatnya dinas-dinas pemerintah melakukan sebuah tindakan nyata dengan memberikan solusi yang tepat yang berpihak pada masyarakat. Tetapi tidak sedikit dari sebuah keputusan individu yang duduk dipemerintahan diatas dinamakan kebijakan publik yang bertujuan menguntungkan diri pribadi, kelompok dan banyak mengesampingkan kepentingan publik.
17
Carl Friendrich, Dalam Solikhin Abdul Wahab, Op.Cit., hal. 6-7.
18
2. Formulasi Kebijakan a. Pengertian Formulasi Kebijakan Formulasi kebijakan berasal dari kata Formulation yang berarti perumusan, merupakan suatu tahapan dimana proses pembuatan kebijakan dilakukan. Formulasi kebijakan yang berupa pembangunan dan sintesis alternatif-alternatif pemecahan masalah, pada dasarnya merupakan aktivitas konseptual dan teoritis. Untuk memperjelas makna yang terkandung dalam konsep perumusan kebijakan, maka kita perlu mengemukakan beberapa pendapat para pakar yang dinilai dapat membantu untuk memperoleh kejelasan yang dimaksud. Diantara para pakar tersebut adalah sebagai berikut: 1) Menurut William N Dunn, formulasi kebijakan adalah : “Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat pemerintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.”18 2) Raymound Bauer, dalam tulisannya The Study of Policy Formulation,
memandang
perumusan
kebijakan
pemerintah
sebagai :
18
William N Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999, hal. 24.
19
“Proses pengalihragaman yang mengubah masukanmasukan politik menjadi keluaran-keluaran politik.” 19 3) Yehezkel Dror telah menjelaskan secara rinci makna dari perumusan kebijakan pemerintah, dengan mengatakan bahwa pembuatan kebijakan pemerintah itu adalah: “Suatu proses yang amat kompleks dan dinamis yang terdiri dari berbagai unsur yang satu sama lain kontribusinya berbeda-beda terhadap perumusan kebijakan pemerintah tersebut.
Perumusan
kebijakan
pemerintah
memutuskan
pedoman-pedoman umum untuk melakukan tindakan yang diarahkan pada masa depan, terutama bagi lembaga-lembaga pemerintah. Pedoman-pedoman umum tersebut secara formal dimaksudkan untuk mencapai apa yang termaktub dalam istilah
kepentingan
umum
dengan
cara
yang
sebaik
mungkin”.20
Perumusan masalah dapat memberikan masukan-masukan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. Perumusan masalah dapat memberikan asumsi-asumsi, mendiagnosa masalah-masalah, penyebab-penyebab yang timbul, menetapkan tujuan-tujuan yang 19 Solikhin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 3034. 20 Ibid.
20
memadukan beberapa pandangan-pandangan yang bertentangan dan perancangan pokok-pokok kebijakan baru.
b. Tiga Bagian Penting Setiap Keputusan/ Proses Politik 1) Input (Masukan) Dalam model-model tradisional input-input berasal dari lingkungan, kelompok, dengan cara tertentu dan berdampak terhadap sistem politik baik dilingkungan internal birokrasi atau eksternal dari tatanan birokrasi. Dalam semua lingkungan didefinisikan secara luas dalam istilah-istilah sosial ekonomi, fisik dan politik.21 Lingkungan tersusun tidak hanya individu-individu, organisasi
maupun
kelompok
yang
memiliki
kepentingan-
kepentingan yang berlainan dan berusaha untuk mempengaruhi keputusan-keputusan (kebijakan) agar nantinya tidak merugikan kelompoknya. 2) Proses Politik (Formulasi Kebijakan) Dalam proses ini terjadi pengolahan masalah yang telah terkumpul dari kelompok kepentingan yang secara terbuka mempengaruhi, keputusan
mengemukakan
berkaitan
dengan
pendapat
kepada
pembuat
permasalahan
yang
dihadapi.
Pemerintahan dalam hal ini eksekutif dan legislatif memproses kebijakan yang nantinya akan membuahkan kebijakan. Hal ini 21
Bill Jenkins, dalam Michael Hill, The Policy Proces, Harvester Wheatsheaf, New York, 1993 (Diterjemahkan oleh Muhammad Zaenuri dalam Proses Formulasi Kebijkan Publik) hal. 10.
21
terlalu sering dipandang sebagai kotak hitam yang dari dalamnya muncul berbagai kebijakan atau justru dimana sosiologis pola-pola aksi politik bisa ditentukan dalam ukuran dan variasi mayoritas politik atau mode kontrol elit.22 Dalam proses keputusan alternatif, pilihan-pilihan mulai diperhitungkan dan dipertimbangkan baik buruk dari akibat yang ditimbulkan dari keputusan tersebut. Dan proses ini dipandang sangat penting dari semua proses yang dijalankan karena ini merupakan
hal
yang
pokok
sebelum
sebuah
kebijakan
dipertaruhkan dalam mengatasi masalah. 3) Output (Hasil Kebijakan) Terlalu sering kebijakan dipandang sebagai respon terhadap tekanan (preasure), namun mengapa terkadang tidak ada tekanan.23 Kebijakan pemerintah akan mendapatkan tekanan dari lingkungan apabila tidak memenuhi keinginan dari masyarakat atau lingkungan itu sendiri. Dan tidak akan mendapatkan tekanan apabila telah sesuai dengan keinginan lingkungan tersebut 4) Analisis Kebijakan Analisis kebijakan sangat diperlukan untuk memahami apakah sudah memenuhi tuntutan masyarakat dan apabila sudah diterima akan segera dilaksanakan sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu kebijakan yang muncul merupakan suatu solusi yang 22 23
Ibid., hal 12. Ibid.
22
baik dalam mengatasi permasalahan dengan memperhatikan berbagai aspek yang ada. Dengan demikian analisis kebijakan perlu menelaah lebih detail hakekat dari suatu kebijakan public dan hubungan antara variabel-variabel seperti proses income dan out come.24 Pemahaman tentang lingkungan sosial dan sistem politik sangat penting dan vital untuk diketahui. Karena tanpa pemahaman seperti respon-respon terhadap kebijakan tidak akan dapat dipahami ataupun diantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh sebuah kebijakan.
c. Proses Formulasi Kebijakan Dalam formulasi sebuah kebijakan melewati beberapa proses tahapan, yaitu : 25 1) Mengidentifikasikan alternatif Sebelum
pembuat
keputusan
memformulasikan
kebijaksanaan, maka terlebih dahulu harus melakukan identifikasi terhadap alternatif untuk kepentingan pemecahan masalah tersebut. Alternatif-alternatif kebijaksanaan itu tidak begitu saja tersedia dihadapan pembuat kebijaksanaan. Terhadap problema yang hampir sama atau mirip dapat saja mungkin dipakai alternatifalternatif kebijaksanaan yang telah pernah dipilih, tetapi terutama 24 25
Ibid., hal 13 M. Irfan Islamy, Op. Cit., hal. 92-95.
23
bagi problema-problema baru pembuat kebijaksanaan di tuntut untuk secara kreatif menemukan alternatif-alternatif kebijaksanaan yang baru. Alternatif-alternatif yang baru ini perlu diberikan identifikasinya
sehingga
masing-masing
nampak
jelas
karakteristiknya. Pemberian identifikasi yang benar dan jelas pada setiap
alternatif
kebijaksanaan
akan
mempermudah
proses
formulasi kebijaksanaan. 2) Mendefinisikan dan merumuskan alternatif Kegiatan mendefinisikan dan merumuskan alternatif ini bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh
pembuat
kebijaksanaan
itu
nampak
dengan
jelas
pengertiannya. Semakin jelas alternatif itu diberi pengertian maka akan
semakin
mudah
pembuat
kebijakan
menilai
dan
mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif tersebut. Sebaliknya alternatif yang tidak dapat didefinisikan atau dirumuskan dengan baik maka tidak akan dapat dipakai secara baik sebagai kebijaksanaan untuk memecahkan masalah. 3) Menilai Alternatif Menilai alternatif adalah kegiatan pemberian nilai mutu pada setiap alternatif, sehingga nampak dengan jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing-masing. Dengan mengetahui bobot positif dan negatif dari
24
masing-masing alternatif itu membuat pembuat keputusan akan mengambil sikap untuk menentukan alternatif mana yang lebih baik memungkinkan untuk dilaksanakan/ dipakai. Alternatif yang memiliki bobot positif yang lebih besar dibandingkan dengan bobot negatifnya, maka apabila dipakai sebagai alternatif kebijaksanaan akan memberikan dampak atau akibat yang positif pula. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap alternatif dengan baik diperlukan kriteria tertentu, kriteria ini tidak hanya mempunyai konotasi bahwa pemilihan resiko, biaya, dan waktu, tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah bahwa alternatif yang dipilih itu dapat benar-benar berfungsi dengan baik (pragmatis) dan menguntungkan semua pihak. 4) Memilih alternatif yang memuaskan Proses pemilihan alternatif yang “memuaskan” atau “yang paling
memungkinkan
dilakukan
setelah
untuk
pembuat
dilaksanakan” kebijaksanaan
barulah berhasil
dapat dalam
melakukan penilaian terhadap alternatif-alternatif kebijaksanaan. Proses memilih alternatif yang memuaskan bukanlah semata-mata
bersifat
rasional,
tetapi
juga
emosional.
Ini
mempunyai arti bahwa pembuat kebijaksanaan akan menilai alternatif-alternatif kebijaksanaan sebatas kemampuan rasionya dengan mengantisipasikan dampak positif dan negatifnya dan ia membuat pilihan alternatif tersebut bukan hanya untuk kepentingan
25
dirinya saja tetapi untuk kepentingan pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh, akibat dan konsekuensi dari pilihannya itu. Dengan kata lain proses pemilihan alternatif yang memuaskan itu bersifat obyektif dan subyektif.
3. Kebijakan Transportasi a. Pengertian Transportasi Ada beberapa definisi tentang transportasi. Oleh Marlok, transportasi berarti : “memindahkan atau mengangkut sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.” 26 Menurut Bowersok, definisi transportasi adalah : “perpindahan barang atau penumpang dari suatu lokasi ke lokasi lain, dengan produk yang digerakkan atau dipindahkan ke lokasi yang membutuhkan atau menginginkan.” 27
Sementara menurut Papacostas, transportasi didefinisikan sebagai : “suatu sistem yang terdiri dari fasilitas tertentu berserta arus dan sistem kontrol yang memungkinkan orang atau barang dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lain secara efisien dalam setiap waktu untuk mendukung aktivitas manusia.” 28
26
Marlok (1981), dalam Robert J. Kodoatie, Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan I, Agustus 2003, hal. 352. 27 Bowersox (1981), dalam Robert J. Kodoatie, Ibid. 28 Papacostas (1987, dalam Robert J. Kodoatie, Ibid.
26
Secara umum dapat disimpulkan, bahwa transportasi adalah suatu kegiatan untuk memindahkan sesuatu (orang dan/ barang) dari suatu tempat ke tempat lain, baik dengan atau tanpa sarana (kendaraan, pipa, dan lain-lain). Sedangkan pengertian kebijakan bus trans Jogja diatur dalam Revisi Peraturan Daerah No.1 Tahun 2008 pasal 1 item no.6 menjelaskan bahwa angkutan adalah pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Item No.7 menjelaskan bahwa angkutan dalam trayek tetap dan teratur adalah pelayanan angkutan orang dengan menggunakan kendaraan umum yang dilaksanakan dalam jaringan trayek dengan pengaturan pengoperasian yang meliputi penetapan jenis pelayanan, sifat perjalanan, kode dan rute trayek, jadwal operasi, serta penetapan terminal pemberangkatan, persinggahan dan pemberhentian. Item No.11 menjelaskan tentang angkutan perkotaan adalah angkutan suatu kawasan ke kawasan lain yang terletak dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kota dan kabupaten yang berdekatan dan merupakan satu kesatuan ekonomi dan sosial dengan menggunakan mobil umum atau mobil penumpang umum yang terkait dalam trayek tetap dan teratur yang mempunyai sifat perjalanan ulang alik (komuter).
b. Penggolongan Masalah Transportasi Kebijakan transportasi muncul karena adanya masalah pada transportasi yang ada di golongkan sebagai berikut :
27
1). Tingkat aksesibilitas rendah. i
Rendahnya
tingkat
aksesibilitas
angkutan
umum
diindikasikan dengan masih banyaknya bagian dari kawasan perkotaan yang belum dilayani oleh angkutan umum. ii
Salah satu indikator tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap angkutan umum adalah rasio antara panjang jalan yang dilayani trayek dengan total panjang jalan. (Semakin tinggi angka rasio maka semakin tinggi tingkat aksesibilitas terhadap angkutan umum)
2). Tingkat pelayanan rendah i
Waktu tunggu tinggi Waktu tunggu merupakan indikator pelayanan yang paling penting bagi penumpang angkutan umum baik yang menggunakan bus.
ii
Lamanya waktu perjalanan Belum tertatanya jaringan pelayanan angkutan umum berdasarkan hirarki pelayanan merupakan salah satu faktor penyebab panjangnya trayek angkutan dan tumpang tindih trayek, Trayek yang terlalu panjang mengakibatkan waktu perjalanan semakin panjang karena semakin banyak tempat pemberhetian yang harus dilalui, Adanya tumpang tindih
28
trayek pada beberapa rute perjalanan mengakibatkan penumpukan angkutan umum pada beberapa ruas jalan, iii
ketidaknyamanan di dalam angkutan umum Kenyamanan di dalam angkutan umum berkaitan dengan suasana yang diterima penumpang selama di dalam angkutan umum baik oleh factor sarana angkutan, penumpang dan pengemudi angkutan umum, Khususnya untuk angkutan umum bus non AC, pada jam-jam puncak penumpang melebihi kapasitas yang
tersedia
sehingga
banyak
penumpang
yang
bergelantungan di luar, yang terakhir adalah Perilaku pengemudi yang tidak disiplin. 3). Biaya Rendahnya aksesibilitas dan tidak tertatanya jaringan pelayanan angkutan umum dengan baik mengakibatkan masyarakat harus melakukan beberapa kali perpindahan angkutan umum dari titik asal sampai ke tujuan, mengakibatkan biaya yang harus dikeluarkan menggunakan angkutan umum menjadi lebih besar. Sedangkan biaya atau tarif angkutan Bus Trans Jogja telah diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DIY No.5 tahun 2008.
c. Pemecahan masalah transportasi kota Sebagai langkah awal, proses kebijakan Transportasi maka pemerintah perlu memperhatikan berbagai aspek yang berpengaruh
29
atau saling mempengaruhi dasar munculnya suatu kebijakan tersebut. Dari memperhatikan berbagai aspek dan pokok permasalahan yang timbul maka pembuat kebijakan mampu memberikan suatu pemikiran dan hasil yang baik. Maka perlu bagi Pemerintah (dalam hal ini Dinas Perhubungan propinsi dan kota) merekomendasikan suatu usulan perbaikan komponen angkutan transportasi tersebut, yang nantinya akan dikoordinasikan dengan pihak-pihak dari instansi atau badan lain yang terkait dalam proses perbaikan (pemecahan masalah) komponen transportasi tersebut, seperti Dinas Perhubungan, stake holder dan sebagainya. Formulasi pemecahan masalah dalam alur kerangka dasar proses pengembangan strategi transportasi ada dua yaitu: Model pendekatan sederhana (land-use transportasi model) dan model integrasi sistem transportasi (integrated transport study).29 Lands-use
transport
study
menggunakan
pendekatan
berorientasi pada masalah (led-problems approach) disebut juga dengan pendekatan “top down” dan Integrated transport study menggunakan pendekatan berorientasi pada tujuan (led-objectives approach) dikenal dengan pendekatan “bottom up”.
29
Genius Umar, Makalah Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemacetan Lalulintas di DKI Jakarta, 2002, hal. 15.
30
E. DEFINISI KONSEPTUAL Berdasarkan penjelasan di atas sebelumnya dan agar tidak terjadi kekaburan dalam menentukan objek penelitian, maka definisi konseptual yang dapat saya tawarkan yaitu ada empat hal, sebagai berikut: 1. Kebijakan Publik kebijakan publik adalah pilihan atau tindakan yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah namun tidaklah hanya berisi beberapa pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin) dalam kebijakan-kebijakan negara (publik). Setiap kebijakan negara (publik) harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (public interest). 2. Proses Formulasi Kebijakan Proses Formulasi Kebijakan merupakan suatu tahapan dimana proses pembuatan kebijakan dilakukan. Formulasi kebijakan yang berupa pembangunan dan sintesis alternatif-alternatif pemecahan masalah, pada dasarnya merupakan aktivitas konseptual dan teoritis. 3. Kebijakan Transportasi Angkutan Umum Kebijakan transportasi sebagai proses pemecahan masalah dalam alur kerangka dasar proses pengembangan strategi transportasi melewati berbagai macam pertimbangan pola pemikiran alternatif – alternatif kebijakan menggunakan dua model pendekatan yaitu model yang berorientasi pada masalah atau disebut juga dengan pendekatan “top
31
down” (Land-use transport study) dan model yang berorientasi pada tujuan atau dikenal dengan pendekatan “bottom up” (Integrated transport study). Kebijakan
angkutan
umum
adalah
sebuah
solusi
dalam
menanggulangi masalah perkotaan yang berhubungan dengan sektor transportasi. Angkutan umum seperti bus merupakan sarana angkutan transportasi yang besar, banyak dipilih karena dapat menampung dengan kapasitas penumpang berjumlah banyak alasan dipilihnya angkutan masal berbasis bus dalam mengatasi masalah lalu lintas dinilai merupakan solusi angkutan masa depan yang modern, berbasis pada pemenuhan sarana fasilitas publik yang mengacu pada jasa layanan masyarakat.
F. DEFINISI OPERASIONAL Menurut Sofyan Effendi, definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variable.30 Penelitian terhadap formulasi kebijakan Bus Patas Trans Yogyakarta akan menganalisis data dengan menggunakan indikator-indikator sebagai berikut: 1. Perumusan Masalah ( Defining Problem ) a. Faktor Teknis
30
Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Op. Cit. hal. 46.
32
b. Faktor Sosial c. Faktor Ekonomi 2. Aktor-Aktor Yang Berperan Dalam Proses Formulasi Kebijakan 3. Analisa Formulasi Kebijakan Bus Trans Jogja a. Rencana Kebijakan Bus Trans Jogja Di Kota Yogyakarta. b. Tahapan Kebijakan. 1) Tahapan Kebijakan oleh Pemerintah (Eksekutif) 2) Tahapan Pembahasan dan Pengesahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif) 4. Respon Stakeholder Terhadap Proses Formulasi Kebijakan a. Proses Sosialisasi b. Pro Kontra c. Masukan Terhadap Kebijakan
G. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Deskriptif (Descriptive Research). Dimana dalam penelitian deskriptif data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.31
31
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998, hal. 6.
33
Apabila kita telaah secara mendalam banyak sekali pengertian penelitian deskriptif, diantaranya: Menurut Atherton dan Klemmack mengatakan: Penelitian deskriptif adalah : “Penelitian yang bertujuan memberikan gambaran tentang suatu dari masyarakat atau suatu kelompok orang berupa gambaran tentang gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih.”32 Berbeda dari persepsi umum yang menyatakan bahwa : “penelitian deskriptif adalah sesuatu metode dalam penelitian, dimana meneliti status kelompok manusia, kondisi dalam sistem pemikiran di masa sekarang.”33
Dari beberapa pengertian di atas, apabila kita persempit kembali dari aspek tujuan pada dasarnya secara umum memiliki maksud membuat deskriptif atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini digunakan karena dalam penelitian ini berusaha menggambarkan atau melukiskan keadaan, objek atau subjek penelitian pada saat ini berdasarkan fakta sebagaimana adanya. Dalam penelitian ini penulis menganalisis kebijakan yang dilaksanakan untuk mengetahui formulasi kebijakan guna memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang objek penelitian melalui pengkajian 32 33
Ibid., hal. 10. Ibid., hal. 15.
34
apa yang ada dan yang terlihat. Sehubungan dengan hal itu dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian adalah “deskriptif kualitatif” yang merupakan jenis penelitian yang dianggap tepat dalam penelitian ini. 2. Lokasi Penelitian Tempat penelitian skripsi penulis yaitu di Kota Yogyakarta. Adapun alasan-alasan penulis untuk memilih Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut: a. Melihat kebijakan pemerintah Yogyakarta mengenai Bus Trans Jogja yang dikatakan dapat mengurangi masalah Transportasi, lalu lintas kota berkisar pada kemacetan dan kesemrawutan di Kota Yogyakarta yang semakin tidak terkendali. b. Dimungkinkan adanya kemudahan memperoleh data yang diperlukan sesuai dengan tema yang penulis angkat di Dinas Perhubungan serta dinas bersangkutan yang lainnya di Propinsi dan Kota Yogyakarta, terutama data tentang permasalahan transportasi angkutan umum, dan sebagainya. 3. Data dan Sumber Data a. Data Primer Data diperoleh melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam penelitian yang peneliti lakukan, pihak-pihak tersebut adalah pegawai Dinas Perhubungan Kota dan Provinsi dan pegawai DPRD Kota Yogyakarta serta stakeholder lainnya.
35
b. Data Sekunder Data yang diperoleh dari buku-buku, internet, media massa, makalah, dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang peneliti lakukan. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Teknik yang dipergunakan untuk mendapatkan data atau memperoleh keterangan atau informasi dengan mewawancarai berbagai pihak yang terlibat secara langsung dengan aktivitas yang dihadapi dalam penelitian. adapun respondennya adalah pegawai Dinas Perhubungan Kota dan Provinsi dan DPRD Kota Yogyakarta serta stakeholder lainnya. b. Dokumentasi Teknik pengambilan data diperoleh melalui buku, jurnal, surat kabar, internet, dokumen-dokumen, arsip, dan lain-lain yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. 5. Unit Analisis Sejalan dengan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini, maka unit analisisnya adalah orang-orang yang menjadi anggota tim pembentukan dan pelaksana pembangunan proyek Bus Trans Jogja dan pihak-pihak yang terkait lainnya seperti dari, Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Dinas Perhubungan Provinsi DIY, dan DPRD Kota Yogyakarta.
36
6. Teknik Analisa Data Dalam menganalisa data penelitian ini penyusun menggunakan teknik
analisa
secara
kualitatif,
dimana
data
yang
diperoleh
diklasifikasikan, dijabarkan dengan bentuk kata-kata atau kalimat dipisahpisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan. Data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambaran dan bukan berupa angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut diperoleh dari naskah-naskah wawancara, catatan laporan, dokumen resmi dan sebagainya. Pada penelitian kualitatif tidak selalu mencari sebab akibat, tetapi lebih berupa memahami situasi tertentu dan mencoba mendalami gejala dengan menginterpretasikan masalahnya atau menyimpulkan kombinasi dari berbagai arti permasalahannya sebagaimana disajikan oleh situasinya yang terjadi secara urut dan nyata.
37