BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Permasalahan Negara yang sampai saat ini belum dapat terselesaikan diantaranya adalah kasus tindak pidana Korupsi, yang dituding oleh banyak pihak sebagai pemicu kronis bangsa, sampai saat ini belum juga ditemukan obat penangkalnya. Semakin masih kampanye untuk melawan korupsi namun justru semakin banyak terkuak kasus korupsi yang menjerat para pejabat, baik di daerah hingga level menteri. Korupsi bukanlah hal yang asing bagi setiap kalangan masyrakat di dunia.Bahkan hal ini merupakan masalah terbesar di Negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Korupsi sepertinya sudah menjadi budaya yang berkembang dikalangan masyarakat kelas atas sampai bawah. Parahnya hampir semua pejabat-pejabat tinggi Negara melakukannya, tanpa mereka pikirkan bahwa tindakan itu merugikan Negara itu sendiri. Seperti yang selalu diingatkan dalam surat kabar dan siaran berita, sekarang ini diberbagai Negara korupsi harus dilawan sebagai sesuatu yang mendesak, dan sering sekali merupakan langkah awal yang diperlukan untuk mencapai pertubuhan ekonomi. Laporan-laporan mengenai korupsi hari demi hari makin banyak.Ini
menunjukkan dengan jelas bahwa meskipun berbagai upaya telah dijalankan di berbagai dunia untuk memberantas korupsi, namun korupsi semakin meningkat1. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyrakat umum. Kebiasaan berperilaku koruptif yang terus berlangsung dikalangan masyarakat salah satu disebabkan masih sangat kurangnya pemahaman mereka terhadap pengertian korupsi serta dampak buruk yang ditimbulkannya. Tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 (KAK) memandang perbuatan korupsi merupakan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan, melemahkan lembaga dan nilai demokrasi, etika, keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Perbuatan korupsi juga berkaitan dengan bentuk kejahatan lain sehingga sifatnya transnasional, perkara korupsi melibatkan aset-aset sedemikian besar yang menghabiskan sebagian besar sumber daya Negara. Konkretnya, perbuatan
1
korupsi
memerlukan
kerja
sama
internasional
dan
pendekatan
Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Grafika Mardi Yuana Bogor, h. 3.
komprehensif serta multidisipliner untuk mencegah dan memerangi korupsi secara efektif.2 Macam-macam bentuk korupsi yang telah terjadi di Indonesia misalnya: korupsi pengadaan barang dan jasa, penggelapan, mark up anggaran, penyalahgunaan anggaran, bahkan bantuan-bantuan sosial (Bansos) untuk rakyat miskin. Korupsi dana bantuan sosial melahirkan sejumlah pelaku utama korupsi seperti kepala daerah, pejabat di lingkungan pemerintah daerah serta anggota dan pimpinan parlemen daerah. Selain itu juga terlibat adalah pengurus yayasan, panitia pembangunan rumah ibadah, lembaga pendidikanm partai politik, ataupun organisasi masyarakat. Mengenai mekanisme penganggaran dana bantuan sosial dan pelaksanaannya tercantum dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Salah satu tindak pidana korupsi yang sering terjadi didalam pemerintahan adalah Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa yang mana pelaku telah menyalahgunakan pemberian dana bantuan sosial dari pemerintah baik dana APBN/APBD. Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa adalah penyebab utama dalam kasus-kasus pemecatan pejabat publik senior,yang tidak terhitung banyaknya dan bahkan penyebab runtuhnya pemerintahan. Korupsi pengadaan barang dan jasa
2
Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT.Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi I) h. 71.
adalah penghamburan uang rakyat secara besar-besaran menurut perkiraan mencapai 30% atau lebih dari nilai biaya total pengadaan barang dan jasa3. Korupsi dalam pengadaan barang kadang-kadang dianggap hanya terdapat di Negara sedang berkembang yang memiliki pemerintahan yang lemah dan staf begaji kecil. Di Negara-negara paling maju banyak bukti-bukti akhir-akhir ini bahwa korupsi dalam pengadaan barang dan jasa merupakan bagian tidak terpisahkan dari kegiatan pemerintahan. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 yang menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum sehingga dalam beracara tetap berlaku Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP. Sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
3
Jeremy Pope, op.cit, h. 378.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak menentukan lain, maka segala kesatuan hukum acara pidana yang terdapat dalam KUHAP berlaku bagi proses peradilan tindak pidana korupsi, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk pembuktian. Kasus Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa terhadap dana bantuan sosial yang terjadi di Bali adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Tabanan yang dilakukan oleh I Wayan Sukaja, S.Sos selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tabanan periode Tahun 2004 sampai dengan 2009. Dimana ketika itu tersangka I Wayan Sukaja, S.Sos mengajukan permintaan dana kepada Pemerintah Kabupaten Tabanan dan manggunakan dana APBD tersebut untuk membantu pembangunan Pura di Desa Adat Munduk Pakel, Desa Gadung Sari, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan untuk memperbaiki Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Munduk Pakel. Pada kasus ini terdapat penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan oleh I Wayan Sukaja yang mengakibatkan terjadinya korupsi terhadap dana keuangan Negara/bansos, yang mana mengakibatkan I Wayan Sukaja, S.Sos harus behadapan dengan hukum guna membuktikan apakah I Wayan Sukaja, S.Sos bersalah atau tidak. Sehingga, dalam proses pembuktian dipersidangan jaksa penuntut umum mengajukan dua keterangan ahli yang akan memberikan keterangan guna membantu dalam hal pembuktian di persidangan4.
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata. Hukum acara pidana bertujuan mencari kebenaran sejati atau yang sesungguhnya. Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harusnya dipenuhi membuktikan kesalahan seorang terdakwa atau dengan kata lain asas minimum pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya seorang terdakwa. Salah satu alat bukti yang penting dalam proses pembuktian adalah alat bukti keterangan ahli, yang mana keterangan ahli sendiri memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 KUHAP). Dengan dicantumkannya keterangan ahli dalam KUHAP, maka peran ahli dalam pemeriksaan perkara baik pada tingkat penyidikan maupun persidanagan tidak dapat diabaikan karena keterangan ahli sangat berguna dalam proses pembuktian perkara tindak pidana korupsi. Peran dari keterangan ahli sendiri sangat dibutuhkan karena jaksa penuntut umum, hakim, maupun penasehat hukum memiliki keterbatasan pengetahuan. Keterangan ahli juga berguna untuk meyakinkan hakim apabila alat bukti yang telah diajukan kurang optimal. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak menentukan hal-hal khusus mengenai keterangan ahli sebagai alat bukti, sehingga keterangan ahli dapat diterima sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi 4
Denpasar.
Sumber: Putusan No: 01/PID.SUS/2013/P.TIPIKOR DPS di Pengadilan TIPIKOR
pada umumnya berkaitan dengan berbagai aspek, seperti keuangan Negara, administrasi pemerintahan, korporasi dan sebagainya sehingga diperlukan keterangan ahli. Berdasarkan uraian latar belakang skripsi tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui lebih dalam mengenai peran keterangan ahli dalam proses pembuktian Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa dalam persidangan di pengadilan, khususnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) Denpasar. Dengan demikian penulis mengadakan penelitian hukum dengan judul “EKSISTENSI KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA (ANALISIS TERHADAP
PUTUSAN
PENGADILAN
TIPIKOR
NO:
01/PID.SUS/2013/P.TIPIKOR DPS)” 1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu dikemukakan. Adapun perumusan masalah yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peran keterangan ahli menurut KUHAP dalam pembuktian perkara pidana? 2. Bagaimanakah eksistensi keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dalam putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 01/PID.SUS/2013/P.TIPIKOR DPS?
1.3.Ruang Lingkup Masalah Untuk mendapatkan uraian yang lebih terarah perlu kiranya diadakan pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut. Hal ini untuk menghindari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Permasalahan yang pertama akan dibahas mengenai bagaimanakah peran keterangan ahli menurut KUHAP dalam pembuktian perkara pidana serta permasalahan yang kedua akan dibahas tentang bagaimanakah eksistensi keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pembuktian Tindak Pidana Korupsi terhadap Pengadaan Barang dan Jasa. 1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana eksistensi keterangan ahli dalam proses pembuktian menurut KUHAP dan dalam kasus Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis peran keterangan ahli menurut KUHAP dalam pembuktian perkara pidana. 2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis eksistensi keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pembuktian Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa 1.5.Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian berkontribusi untuk memberikan tambahan ilmu pengetahuan, konsep, asas, teori bagi pengembangan Ilmu Hukum di bidang Hukum Acara Pidana khususnya kekuatan pembuktian keterangan ahli dalam Hukum Pidana Korupsi. 1.5.2. Manfaat Praktis 1. Untuk mengetahui bagaimana peran keterangan ahli menurut KUHAP dalam pembuktian perkara pidana khususnya peran keterangan ahli dalam pembuktian tindak pidana Korupsi Pengadaan Barang dan jasa Pemerintah dalam putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 01/PID.SUS/2013/P.TIPIKOR DPS. 2. Dapat digunakan sebagai bahan masukan yang dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menambah pengetahuan bagi aparat penegak hukum dalam penelitian pada bidang atau masalah yang sama. 3. Dapat menambah pengalaman dan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian hukum. 1.6. Landasan Teoritis Tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan Negara atau penyelewengan atau penggelapan uang Negara untuk kepentingan pribadi dan orang lain5. Pengertian korupsi, kolusi dan nepotisme dimuat dalam Pasal
5
Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h. 15.
3,4 dan 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme6. Kasus-kasus tindak pidana korupsi biasanya melibatkan lebih dari satu orang, berbeda dengan kasus-kasus tindak pidana umum (misalnya pencurian dan penipuan). Umunya tindak pidana korupsi dilakukan secara rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan secara timbal balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu berupa uang. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Penberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain memuat perluasan perumusan tindak pidana korupsi juga memuat ketentuan khusus acara pidana, yang berbeda atau menyimpang dengan hukum acara pidana dengan tujuan dapat mengatasi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, meperlancar proses penanganan tindak pidana korupsi sekaligus memuat perlindungan terhadap hak asasi manusia serta memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Hukum pidana korupsi sebagai hukum pidana yang bersumber pada UndangUndang Khusus Hukum Pidana, disamping memuat hukum pidana materiil juga memuat hukum pidana formil. Sebagimana sifat hukum pidana formil khusus, ialah hanya mengatur hal-hal tertentu secara khusus. Sedangkan diluar hal khusus tadi tetap berlaku hukum pidana formil sebagaimana dalam KUHAP, kodifikasi hukum pidana formil. Berdasarkan ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
6
Leden Marpaung, 2009, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan, Djambatan, Jakarta, h. 11.
sebagian besar hukum pembuktian tindak pidana korupsi tetap berlaku sebagaimana hukum pembuktian dalam KUHAP. Hanya ketentuan hal pebuktian bidang tertentu sebagaimana didalam hukum korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tidak memberlakukan hukum pembuktian dalam KUHAP, walaupun segi khusus hukum pembuktian tindak pidana korupsi tidak sangat dominan, kekhususannya ini sebagian adalah sesuatu yang sama sekali baru dalam hukum pembuktian7. Ketentuan khusus acara pidana dalam proses pembuktian pada perkara tindak pidana korupsi ini sudah diatur di dalam Pasal 26A UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa: Alat bukti sah dalam bentuk petunjuk sebagiamana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang berupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
7
Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung (selanjutnya disingkat Adami Chazawi I), h. 5-6.
sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda, fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar peta rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna. Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Dikaji dari prespektif yuridis, menurut M.Yahya Harahap dikutip dalam buku Lilik Mulyadi menyatakan pembuktian adalah “ketentuan-ketenuan yang berisi penggarisan pada pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa”8. Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan perkara pidana. Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil (materieele waarheid) akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadiladilnya. Penerapan pembuktian atau hukum pembuktian dalam hukum pidana di Indonesia hakim lalu bertitik tolak pada sistem pembuktian dengan tujuan mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya. Untuk itu, secara teoritis guna menerapkan pembuktian asasnya dalam ilmu pengetahuan hukum acara pidana dikenal adanya tiga teori tentang pembuktian, yaitu berupa:
8
Lilik Mulyadi I, op.cit, h. 84.
1.
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) Pada dasarnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif berkembang sejak abad pertengahan. Menurut teori ini, pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut limitatif dalam UndangUndang. Konkretnya, Undang-Undang telah menentukan tentang adanya alatalat bukti yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tesebut, dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Pembuktian secara positif ini hakim terikat pada adagium jika alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan Undang-Undang, hakima mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim “berkeyakinan” bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah. Menurut D.Simons dalam buku Lilik Mulyadi, sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif ini berusaha untuk menyingkiran semua pertimbangan subjektif hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.
2.
Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction Intime/ Conviction Raisonce) Pada
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim maka hakim dapat
menjatuhkan putusan berdasrkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemodelijke overtuiging, conviction intime). Dalam perkembangannya lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim mempunyai dua bentuk polarisasi, yaitu: conviction intime dan conviction raisonce. Melalui pembuktian conviction intime kesalahan terdakwa bergantung pada “keyakinan” belaka sehingga hakim tidak terkait oleh suatu peraturan. Putusan hakim disini tampak timbul nuansa subyektif. pembuktian ini menetukan salah atau tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim, sedangkan
pembuktian
conviction raisonce asasmya identik dengan sistem conviction intime. Pada pembuktian ini keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam artian keyakianan hakim “dibatasi dengan harus didukung oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam megambil keputusan. 3.
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) Pada prinsipnya pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie)menetukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa jika alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh Undang-Undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Pembuktian menurut undangundang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorien) tentulah melekat adanya anasir-anasir:
a. Prosedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan Undang-Undang; dan b. Terhadap alat-alat bukti tersebut hakim yakin, baik secara materiil maupun secara prosedural.9 Tindak pidana korupsi, ada 2 (dua) hal yang pembuktian berbeda dengan Acara Pidana yakni: a. terdakwa berhak membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi namun penuntut umum wajib mebuktikan dakwaannya. Hak terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah, diajukan pada saat mengajukan pembelaan (pledoi). Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa ( Undang- Undang No 20 Tahun 2001 Pasal 38B ayat (5) b. terdakwa wajib menerangkan tentang harta bendanya, harta benda istri dan anaknya. Ketidakseimbangan penghasilan dengan harta bendanya, menjadi petunjuk tentang kesalahannya.10 1.7. Metode Penelitian
9
Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia: Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik,Membuat, dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi II) h. 119-124. 10
Ibid, h. 27.
Pengertian metode adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu ilmu pengetauan, usaha mana dilakukan dengan metode ilmiah, metode penelitian hukum merupakan prosedur atau langkah-langkah yang dianggap efektif dan efisien dan pada umumnya sudah mempola untuk mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data dalam rangka menjawab masalah yang diteliti secara benar11. Permasalahan skripsi ini akan dipecahkan dengan menggunakan metode sebagai berikut: 1.7.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode normatif karena isi dari skripsi menganalisis putusan pengadilan tindak pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sehingga memerlukan teori-teori hukum, literatur-literatur dan Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan eksistensi keterangan ahli dalam proses pembuktian terutama pada kasus tindak pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa terhadap dana bantuan sosial. 1.7.2. Jenis Pendekatan Penelitian ini dipergunakan pendekatan kasus (the case approach). Pendekatan kasus (the case approach) dilakukan dengan melihat kasus tindak pidana Korupsi yang mana dalam kasus tersebut lebih melihat eksistensi
11
Soerjono dan Abdurahman, 2003, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung,
h.35.
keterangan ahli sebagai alat bukti dalam proses pembuktian di Pengadilan Tipikor Denpasar. 1.7.3. Bahan Hukum Bahan Hukum adalah suatu hal yang sangat penting di dalam menyusun suatu karya ilmiah yaitu untuk menunjang kebenaran. Dalam penulisan ini data diperoleh dari: 1. Bahan Hukum Primer, meliputi: a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ( LN Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasab Tindak Pidana Korupsi (LN Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874) c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LN Nomor 4150) d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (LN Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286) e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (LN Tahun 2009 Nomor 155)
f. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. h. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. i. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. 2. Bahan Hukum Sekunder, penelitian kepustakaan (Library Reaserch) yaitu untuk mendapatkan data sekunder dengan cara membaca buku-buku literatur, jurnal-jurnal hukum, karya para sarjana, surat kabar, serta Perundang-Undangan
yang
berkaitan
dengan
masalah
eksistensi
keterangan ahli dalam proses pembuktian perkara pidana terutama pada kasus tindak pidana Korupsi. 1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 1. Teknik Bola Salju (snowball methode) Tujuan menggunakan metode bola salju ini untuk mengidentifikasi praktik-praktik
tentang
diskresi
yang
relevan.Metode
tersebut
digandengkan dengan sistem kartu (card system), disususun berdasarkan
pokok masalah dalam penelitian. Bahan-bahan yang dicatat dalam kartu meliputi permasalahan,argumentasi, langkah-langkah yang diambil dan konsekuensinya, serta alternatif pemecahan masalah. 2. Teknik sistematis Sebuah metode yang bertujuan untuk melukiskan atau menggambarkan keadaan di lapangan secara sistematis dengan fakta-fakta dengan interpretasi yang tepat dan data yang saling berhubungan, serta bukan hanya untuk mencari kebenaran mutlak tetapi pada hakekatnya mencarai pemahaman observasi. 1.7.5. Analisis Bahan Hukum Karya tulis ini merupakan karya tulis dibidang ilmu sosial, dengan demikian didasarkan pada analasis kualitatif yang tidak disajikan dalam bentuk angkaangka yang bersifat kuantitatif. Data yang telah terkumpul melalui metode pengumpulan data kemudian disajikan dalam bentuk tulisan ilmiah secara analisis deskriptif kualitatif, yaitu keseluruhan data yang terkumpul baik data dengan dari data primer maupun sekunder akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara atik, digolongkan dalam pola dan tema, dikategorisasikan dan diklarifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lainnya dan dilakukan penafsiran dari prespektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Penelitian ini secara umum bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan realita dari eksistensi keterangan ahli dalam proses pembuktian
terutama pada kasus Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa dana bantuan sosial.12
12
95.
Ronny Hanitijo Soemitro,1985, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.