BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG PENELITIAN Meskipun telah ditetapkannya UU Republik Indonesia No.23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun kasus KDRT masih saja meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas perempuan tahun 2014 yang dirilis pada 6 Maret 2015. Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) 2014 sebesar 293.220 sebagian besar dari data tersebut diperoleh dari data kasus/perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama di tingkat kabupaten/kota yang tersebar di 30 Provinsi di Indonesia, yaitu mencapai 280.710 kasus atau berkisar 96%. Sisanya sejumlah 12.510 kasus atau berkisar 4% bersumber dari 191 lembaga-lembaga mitra pengadaan layanan yang merespon dengan mengembalikan formulir pendataan yang dikirimkan oleh Komnas Perempuan. Kekerasan
yang terjadi di ranah
personal tercatat merupakan kasus paling tinggi, yaitu sejumlah 280.710 kasus. Data Pengadilan Agama seluruhnya dicatat dalam kekerasan yang terjadi di ranah personal yang terjadi terhadap istri. Sementara dari 12.510 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengadaan layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 68% atau 8.626 kasus. Di ranah komunitas CATAHU 2014 mencatat sebanyak 3.860 kasus atau 29%, dan di ranah negara CATAHU mencatat adanya 24 kasus atau kurang dari 1%.
1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
Sebanyak 8.626 kasus di ranah personal, 59% atau 5.102 kasus berupa kekerasan terhadap istri, 21% atau 1.748 kasus kekerasan dalam pacaran, 10% atau 843 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, 9% atau 750 kasus kekerasan dalam relasi personal lain, 1% atau 63 kasus kekerasan dari mantan pacar, 0,7% atau 53 kasus kekerasan dari mantan suami, dan 0,4% atau 31 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.Kasus kekerasan fisik masih menempati urutan tertinggi pada jenis tindak kekerasan dalam ranah personal di tahun 2014, yaitu mencapai 3.410 (40%), diikuti posisi kedua kekerasan psikis sebesar 2.444 (28%), kekerasan seksual 2.274 kasus (26%) dan kekerasan ekonomi 496 kasus (6%). Urutan di atas sama dengan data tahun 2013. Mayoritas rentang usia perempuan korban di ranah personal adalah 25-40 tahun, menyusul setelahnya di usia 13-18 tahun, kemudian di usia 19-24 tahun. Ini berarti bahwa kekerasan tertinggi terjadi pada usia nikah (25-40 tahun). Sedangkan catatan tahunan (CATAHU) 2015, Komnas Perlindungan Perempuan yang dirilis bulan Maret 2016, sejumlah 305.535 kasus berasal dari data PABADILAG dicatat dalam kekerasan yang terjadi di ranah KDRT/RP. Sementara dari 16.217 kasus yang masuk dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, kekerasan yang terjadi di ranah KDRT/RP tercatat 69% atau 11.207 kasus. Sebanyak 11.207 kasus di ranah KDRT/RP, 60% atau 6.725 kasus berupa kekerasan terhadap istri. Berdasarkan data diatas terlihat jelas adanya peningkatan jumlah korban KDRT di RP setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Tidak hanya di Indonesia, kasus KDRT juga menjadi perhatian dunia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
“Domestic violence is a pervasive international human rights violation against womenand a serious public health problem (United Nations Development Fund for Women[UNIFEM], 2006; World Health Organization [WHO], 2005).”(dalam Grose& Grabe 2014). Semua wanita mempunyai impian dan berharap pernikiahannya akan bahagia mempunyai keluarga yang bahagia. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa, dasar perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah
tangga yang bahagia. Pernikahan adalah
hubungan pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang ditujukan untuk melegalkan
hubungan seksual, melegitimasi
membesarkan
anak,
dan
membangun pembagian peran diantara sesama pasangan. (Duvall & Miller,1985). Alasan utama untuk melakukan pernikahan adalah adanya cinta dan komitmen yang dibagi bersama pasangan. Pasangan memiliki hasrat untuk membagi dirinya dalam hubungan yang berlanjut dan hangat (Turner & Helms,1995). Namun pada kenyataannya tidak semua harapan dapat terwujud. Yang
terjadi ditengah
masyarakat, masih banyak istri yang menjadi korban kekerasan yang tidak mampu berbuat apa-apa dan memilih untuk tetap diam dengan berbagai macam alasan untuk mempertahankan keutuhan keluarga mereka. Istri yang menjadi korban KDRT tentu saja menjalani hari-hari yang tidak menyenangkan dan dihantui oleh kecemasan dan ketakutan ditengah keluarga yang seharusnya suami memberikan perlindungan kepadanya. Sciortino dan Smyth (1996) menulis sebuah tahun 1991 dari
laporan
Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum untuk Wanita dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
Keluarga (LKBHUWK) mengatakan bahwa “cukup banyak” kasus terjadi karena kekerasan psikologis dan fisik dalam keluarga, yang sebagian besar dilakukan
oleh
suami terhadap isteri, tanpa dapat memberikan angka
kejadiannya. (dalam Siti Rohma, 2006). Dari sekian banyak korban KDRT yang berani melapor ke lembaga terkait untuk meminta bantuan, masih begitu banyak korban KDRT yang memilih untuk diam dan menerima semua perlakukan suami. Kondisi ini diakibatkan oleh karena masih adanya stigma dimasyarakat bahwa persoalan rumah tangga merupakan ranah pribadi yang tabu untuk diketahui oleh orang lain. Kekerasan
dalam
rumah tangga terjadi dalam lingkup kehidupan rumah tangga yang dipahami sebagai urusan yang dianggap privasi, dimana orang lain tidak boleh ikut campur (intervensi) (dalam Ridwan, 2006). Atau bias gender, sebagai contoh adanya keyakinan bahwa perempuan harus bersikap lemah lembut dan mengorbankan kepentingan pribadi atau aspirasi lainnya untuk menjaga harmoni keluarga (Sciortino & Smyth dalam Siti Rohma, 2006). Senada dengan Seelau & Seelau (2005), persepsi yang menjadi pelaku kekerasan lebih memungkinkan adalah laki-laki dan yang mengalami kekerasan korbannya adalah perempuan hal ini berhubungan dengan stereotipe bias gender. Ataupun adanya alasan-alasan agama dan budaya dimasyarakat. Sesuai dengan pernyataan Yoshihama (dalam Siti Rohma, 2006), bahwa nilai-nilai dan norma-norma budaya mempengaruhi pilihan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mengatasi masalahnya. Hal itu sejalan dengan pendapat Setya Ninik (2013), sebagian besar istri sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindakan kekerasan yang dihadapi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
ini memantapkan kondisi yang tersembunyi terjadinya tindakan kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Bukan tidak mungkin sikap yang diambil oleh istri menimbulkan tekanan bagi diri istri, yaitu berusaha untuk mempertahankan keharmonisan keluarga namun disisi lain dia juga harus terus mencoba bertahan dalam situasi yang penuh kekerasan baik secara fisik, psikologis, seksual maupun ekonomi yang dilakukan oleh pasangan intimnya sendiri. Sebagai makhuk lemah yang akan terus bergantung pada suami
secara financial, istri lebih sering
memilih untuk mengalah. Ridwan (2006) mengatakan, pada umumnya korban adalah pihak yang secara struktural lemah dan mempunyai ketergantungan khususnya secara ekonomi. Dalam posisi ini korban pada umumnya selalu mengambil
sikap diam
atau bahkan menutup-nutupi
tindak kekerasan
tersebut, karena dengan membuka kasus kekerasan dalam rumah tangga ke publik berarti membuka aib keluarga. Setiap pasangan dalam pernikahan akan mendambakan kasih sayang, mendapatkan perlindungan terutama rasa aman, ingin dicintai dan mencintai, merasa dihargai, dimilki sehingga kebahagiaan yang menjadi dambaan semua istri didunia akan terwujud dalam keharmonisan keluarga. Maslow (1967), orang akan mendambakan
hubungan
kasih sayang dengan orang lain pada umumnya,
khususnya kebutuhan akan rasa memiliki tempat ditengah kelompoknya, dan ia akan berusaha keras mencapai tujuan yang satu ini. Ia akan berharap memperoleh tempat semacam itu melebihi segala-galanya didunia ini,bahwa mungkin kini ia lupa tatkala ia merasa lapar mencemooh cinta sebagai sesuatu yang tidak nyata tidak perlu atau tidak penting. (Purnama, F.S., & Pratomo, E.S., 2013)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
Dalam situasi dan kondisi yang ada dalam tekanan dan penderitaan baik fisik maupun phsikis, istri tetap mampu bertahan hidup dengan perkawinan yang tidak lagi harmonis. Setiap orang tentu saja mempunyai alasan yang mampu memotivasi untuk tetap bertahan dalam perkawinan yang tidak lagi harmonis. Kondisi yang tidak nyaman, tidak mendapatkan kasih sayang dari suami, mendapat perlakuan kasar baik secara fisik maupun verbal. Kekerasan terhadap istri terbukti secara langsung maupun tidak langsug menimbulkan akibat buruk (Unger & Crawford, 1992). Secara fisik korban atau istri dapat menderita memar, patah tulang , terkilir, cacat fisik, gangguan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit kematian
(Hayati,
menular
seksual
bahkan
1999). Akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh suami,seharusnya membuat istri berhak penuh untuk mencari perlindungan atau setidaknya memikirkan kebahagiaannya. Sementara dalam rumah tangganya tidak ada lagi yang bisa dia harapkan untuk mendapatkan perlindungan. Penelitian ini terfokus pada apa yang menjadi motivasi istri untuk tetap bertahan dalam perkawinan yang tidak lagi harmonis ketika kebutuhan-kebutuhan dasar yang seharusnya didapatkan dari suami sudah tidak mampu dia dapatkan. Abaraham maslow memandang motivasi berasal dari kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang dianggap berlaku universal. Kebutuhan-kebutuhan fisik penting bagi pertahanan hidup yang sangat mendasar. Maslow meyakini kebutuhankebutuhan yang lebih tinggi hanya muncul jika kebutuhan-kebutuhan fisik sudah terpenuhi sebelumnya (Wilox dalam Purnama, F.S., & Pratomo, E.S., 2013).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
Menurut Maslow (1967) individu merupakan keseluruhan yang terpadu dan teratur adalah aneh dan tidak lazim jika sesuatu tindakan atau suatu keinginan secara sadar hanya memiliki satu motivasi saja. Penelitian ini berusaha menggali motivasi apa yang menjadi alasan istri untuk tetap mempertahankan penikahannya. 1.2
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin mengetahui gambaran motivasi
istri korban KDRT sehingga mampu bertahan dalam hubungan pernikahan yang tidak harmonis lagi dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada penelitian sebelumnya telah ditemukan bahwa alasan istri korban kekerasan dalam rumah tangga bertahan karena alasan ekonomi. Kegagalan perempuan korban kekerasan untuk meninggalkan pasangannya adalah karena mereka tidak mempunyai uang dan tempat tinggal yang akan dituju (Gelles,1976, Stube & Barbour,1983). Sedangkan menurut Ciciek (1999), salah satu faktor yang menyebabkan perempuan bertahan dalam pernikahannya adalah tidak ada tempat berlindung,banyak istri bergantung secara ekonomi kepada suaminya,sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mencoba bertahan dalam derita yang berkepanjangan. Penelitian ini lebih difokuskan pada motivasi lain diluar alasan ekonomi sehingga peneliti memilih subjek dengan karakteristik subjek adalah istri yang bekerja dan mapan untuk membiayai hidup sendiri.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
1.3
MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk memberikan
gambaran pengalaman yang dirasakan istri yang mendapat tindakan kekerasan dalam rumah tangga dan apa yang menjadi alasan yang memotivasi istri korban KDRT untuk tetap bertahan dalam pernikahan dan bertahan selama mengalami perlakuan kasar suami. Apa yang memotivasi tetap kuat untuk bertahan dalam pernikahan yang tidak harmonis lagi. 1.4
MANFAAT PENELITIAN
1.4.1.
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan, baik pemikiran ilmiah dalam perkembangan ilmu Psikologi Sosial dan Psikologi Keluarga. 1.4.2.
Manfaat Praktis.
Bagi para istri yang menjadi korban KDRT diharapkan mampu untuk menolong diri sendiri dengan berani terbuka dan
meminta bantuan lembaga
terkait yang menangani KDRT maupun dalam bentuk konseling. Bagi instansi terkait kepolisian dan pemerintah, diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai referensi berbagai pihak, khususnya pemerintah dan kepolisian untuk memberikan penanganan secara intensif menurut UUD atau aturan yang berlaku yang telah ditetapkan oleh Negara Indonesia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
Bagi Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi sehingga korban kekerasan yang ada di tempat tersebut dapat diberi perlindungan, dukungan dan motivasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/