BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir, produksi perikanan Indonesia mengalami trend peningkatan. Peningkatan tersebut ditopang oleh semakin pesatnya perikanan budidaya. Data dari kementerian kelautan dan perikanan dalam lima tahun terakhir rata-rata produksi perikanan tangkap Indonesia tumbuh sekitar 1,70% per tahun sedangkan perikanan budidaya tumbuh sekitar 21,83% tiap tahunnya. Sejak tahun 2009 produksi perikanan Indonesia didominasi oleh perikanan budidaya. Tahun 2011, perikanan budidaya Indonesia menyumbang sekitar 58,9% dari total produksi perikanan Indonesia sedangkan perikanan tangkap hanya sekitar 41,1%. Beberapa komoditas unggulan dalam produksi perikanan budidaya antara lain rumput laut, bandeng, udang, dan lele. Produksi perikanan Indonesia yang sangat besar tidak hanya berorientasi dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri malainkan juga sebagai salah satu sektor yang diunggulkan untuk menyumbang devisa Indonesia.1 Komoditas perikanan yang menjadi komoditas ekspor unggulan Indonesia adalah udang, tuna, cakalang dan kepiting. Sejak tahun 2007 volume ekspor perikanan Indonesia tumbuh fluktuatif. Komoditas perikanan yang menyumbang bagian terbesar adalah udang. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata ekspor udang Indonesia mencapai 16,27% dari total volume ekspor perikanan Indonesia. Jika dilihat dari nilai ekspor, rata-rata nilai ekspor udang Indonesia menyumbang 40,86% dari nilai ekspor perikanan Indonesia disusul dengan tuna, cakalang dan kepiting dengan 13,62%. Pada tahun 2007, volume ekspor udang Indonesia mencapai 157.545 ton dengan nilai ekspor mencapai 1.029.935 ribu USD. Pada tahun 2011, volume
1
Kholifin Bustanul, 2013. Determinan Permintaan Ekspor Udang Beku Indonesia Ke Uni Eropa, Universitas Negeri Semarang.
ekspor udang Indonesia sekitar 152.053 ton dengan nilai ekspor 1.211.547 ribu USD.2 Udang merupakan salah satu komoditas andalan ekspor perikanan Indonesia. Meskipun menjadi komoditas andalan, jumlah ekspor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif. Fluktuasi ekspor udang Indonesia disebabkan adanya persaingan yang cukup ketat dengan Negara eksportir udang lainnya yang diketahui memiliki teknologi, cara pengolahan, dan strategi pemasaran yang lebih baik3. Di pasaran Eropa, jenis udang tiger shrimps memiliki harga yang tinggi karena ukuran, tekstur daging, dan cita rasanya banyak digemari oleh para konsumen di pasar yang bersangkutan.4 Komoditas udang dalam dunia perdagangan biasa disebut dengan istilah shrimp. Spesies udang sendiri di seluruh dunia tercatat tidak kurang dari 2.700 jenis. Udang tropis menguasai pasar hingga 70% dari angka konsumsi udang, sedangkan golongan lainnya hanya 30% saja. Menurut Nazaruddin (1993), jenis udang yang dipasarkan oleh Indonesia adalah jenis udang tropis. Kelompok spesies ini berasal dari dan hidup pada perairan pantai daerah tropika serta memiliki ukuran yang lebih besar. Daerah penyebaran udang laut tropika meliputi teluk Meksiko, pantai tenggara Amerika Serikat, Jepang, Eropa bagian selatan, Thailand, dan Indonesia. Salah satu jenis udang laut tropika yang menjadi primadona adalah udang windu (giant tiger prawn) dan udang putih (indian white prawn). Jenis udang yang berasal dari perairan tropika ini menempati bagian terbesar di pasar udang Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. Khususnya pasar Eropa, potensi pasar udang terus berkembang seiring dengan bertambahnya Negara anggota Uni Eropa dari 6 Negara pada tahun 1952 menjadi 28 Negara anggota pada 1 juli 2013. Masing-masing negara anggota berpotensi menjadi 2
Setiyorini A, Analisis Permintaan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Dunia (Studi Kasus: Pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa). Institut Pertanian Bogor, 2010.
3
Setiyorini A, Analisis Permintaan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Dunia (Studi Kasus: Pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa). Institut Pertanian Bogor, 2010.
4
Murty KH. 1991. Perdagangan Udang Internasional, Cetakan I, Jakarta, Penebar Swadaya
Negara tujuan ekspor udang.5 Integrasi ekonomi yang dilakukan oleh Negara-negara Eropa melalui Uni Eropa disisi lain melahirkan kebijakan ekonomi kolektif yang berlaku di seluruh Negara anggota Uni Eropa. Dalam analisa peningkatan dan ekspor non migas (BAPPENAS, 2005) disebutkan bahwa permasalahan dan tantangan pokok yang dihadapi dalam bidang perdagangan internasional, terutama dari sektor perikanan adalah meningkatnya hambatan non tarif yang awalnya ditandai dengan isu lingkungan, seperti ecolabelling dan perlindungan terhadap spesies hewan tertentu serta isu pekerja anak pada produkproduk pertanian dan perikanan. Investasi perdagangan internasional. Produk perikanan saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran tapi juga ditentukan oleh hasil-hasil konvensi dan perjanjian internasional perikanan. Perjanjian tersebut mengatur mekanisme perdagangan komoditi perikanan di pasar internasional, antara lain: a) perjanjian internasional yang bernuansa menjaga kelestarian sumber daya perikanan seperti Code of Conduct for Responsible Fisheries, International Convention for the Concervation of Atlanic Tuna (ICCAT), Indian Ocean Tuna Comision dan Agreement of Straddling Stocks; b) perlindungan internasional terhadap satwa yang terancam punah seperti Convention on International Trade of Endangered Species (CITES); dan c) perjanjian internasional tentang perdagangan seperti GATT/WTO, termasuk didalamnya perjanjian Sanitary and Phyto sanitary Measures (SPS) dan Agreement on Technical Barriers to Trade termasuk didalamnya bidang pengawasan dan pengendalian mutu perikanan. Standar dan aturan yang berbeda yang diberlakukan Negara importir pada Negara eksportir untuk menjamin bahwa produk tersebut memenuhi persyaratan keamanan pangan menjadi salah satu hambatan yang dirasakan oleh eksportir Indonesia. Bahkan, sesudah ratifikasi langkah-langkah Agreement on Sanitary and Phytosanitary (ASP) dan Perjanjian Hambatan Teknis pada Perdagangan, Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) di bawah World Trade Organization (WTO), 5
Nazaruddin. 1993. Seri Komoditas Ekspor Pertanian: Perikanan dan Peternakan, Cetakan I, Jakarta, Penebar Swadaya
akan memperkecil perbedaan di antara berbagai macam standar nasional dan sistem pemeriksaan yang mungkin akan mempertahankan atau menciptakan hambatan perdagangan non-tarif yang baru.6 Tarif yang dikenakan oleh pihak importir merupakan salah satu aspek yang turut mempengaruhi proses jual beli antar Negara. Secara umum, tarif yang diberlakukan oleh tiap-tiap Negara adalah berdasarkan persetujuan Most Favoured Nation (MFN) sebesar 12% pada berbagai komoditas. Sedangkan hambatan non-tarif (non-tariff barrier) adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional.7 Menurut A.M. Rugman dan R.M. Hodgetts ada tiga macam hambatan non-tarif (non-tariff barrier) diantaranya batasan khusus (specific limitation), aturan administasi yang berlaku umum (customs administration), dan keterlibatan pemerintah (government participation).8 Bagi Negara-negara berkembang kebijakan non tariff barrier ini berakibat pada peningkatan nilai ekspor. Pelaku usaha di Negara berkembang didominasi oleh usaha kecil menengah yang standar pengelolaannya masih relatif rendah. Salah satu contohnya adalah tuntutan sertifikasi mutu manajemen dan produk ekspor. Penolakan
produk
ekspor
Indonesia
oleh
Negara
pengimpor
dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan hasil pengujian di dalam negeri dan hasil pengujian yang dilakukan oleh
Negara pengimpor, serta ketidakmampuan
pengujian di dalam negeri karena lemahnya infrastruktur pengukuran nasional yang mengatur tentang metrologi, pengujian, dan pengontrolan kualitas produk.
6
Jurnal Warta Ekspor, Ditjen PEN/MJL/005/6/2014, Kementerian Perdagangan Indonesia.
7
Hady H. 2004. Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
8
Rugman A.M. dan Hodgetts, R.M. 1995. International Business – A Strategic Management Approach, McGraw-Hill Inc. New York.
Dari data kementrian kelautan dan perikanan RI, volume ekspor udang rata-rata naik 8,81% per tahun selama kurun waktu tahun 2010-2014. Peningkatan volume ekspor udang selama ini juga diikuti dengan peningkatan nilai volume ekspor Indonesia yang terus meningkat. Bahkan di tahun 2013 nilai volume ekspor udang meningkat tinggi (KKP, 2015).9 Produksi perikanan budidaya komoditas udang selama 2010-2014 mengalami kenaikan rata-rata 13,83 % per tahun. Produksi udang tersebar pada daerah yang memiliki pesisir pantai di seluruh wilayah Indonesia. Sejumlah daerah menjadikan produk udang sebagai andalan dalam meningkatkan penghasilan daerah.10 Tabel 1. Provinsi Produsen Udang di Indonesia
9
Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2015. Data Potensi Produksi dan Ekpor/Impor Kelautan dan Perikanan 2009. Jakarta.
10
Diakses dari http://www.djpb.kkp.go.id/arsip/c/246/Udang-Vaname-dan-Udang-WinduMasih-Andalan-Ekspor-Indonesia/?category_id=13, tanggal 21 April 2016.
Sumber: DJPB (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya), 2015
Pengembangan produksi udang Indonesia tidak hanya dilakukan oleh pemerintah namun juga melibatkan perusahaan swasta dan didukung pula dengan berdirinya asosiasi perusahaan penghasil udang. Hal ini menunjukkan iklim industri perikanan laut Indonesia yang sehat. Peningkatan angka produksi udang nasional menjadi target bersama ditengah persaingan usaha diantara perusahaan penghasil udang namun situasi ini juga menunjukkan bahwa hambatan non tarif yang banyak diberlakukan di Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa disadari oleh perusahaan sebagai tantangan bersama yang dapat dihadapi dengan strategi kolektif.
Perusahaan pemasok kebutuhan ekspor udang Indoneisa diantaranya yaitu: PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) di Lampung yang disebut-sebut sebagai perusahaan tambak udang terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara, PT Central Proteinaprima Tbk di pesisir kawasan Bangkalan Pulau Madura, Jawa Timur. PT Sekar Bumi Tbk dan PT Wijaya Seafood di Sidoarjo Jawa Timur. PT Bibit Unggul, yang beroperasi di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, dan perusahaan lainnya.11 Perusahaan penghasil udang mengambil langkah kerjasama dengan membentuk asosiasi perusahaan udang seperti misalnya: Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI), Asosiasi Pengusaha Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI), Asosiasi Pengusaha Pembenihan Udang (APPU), Asosiasi Pengusaha Pengelola Hasil Perikanan Indonesia (APEHAPI), dan asosiasi serupa lainnya.12 Potensi kekayaan laut Indonesia yang melimpah tersebut harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, mengingat banyaknya kompetitor atau Negara-negara pengekspor udang ke Uni Eropa lainnya. Hubungan diplomasi dan kerjasama ekonomi Indonesia dengan Negara-negara uni eropa yang terjalin baik seperti misalnya kerjasama dalam industri transportasi, teknologi komunikasi dan kerjasama lainnya menjadi nilai lebih tersendiri bagi Indonesia dalam menjaga kerjasama ekspor udang ke Uni Eropa. Dalam hal kompetisi dengan Negara lain pada dasarnya Uni Eropa menciptakan situasi kompetisi yang sehat bagi Negara-negara pemasok udang ke Uni Eropa. Hal ini bearti faktor kesuksesan ekspor udang ke Uni Eropa terletak pada bagaimana sebuah Negara mampu menjaga kualitas produk udangnya agar sesuai dengan standarisasi mutu produk udang dipasar Uni Eropa. Dari regulasi yang
11
M. Tohamaksun. Udang pun Setia Ikut Membangun Lampung. Diakses dari http://megapolitan.antaranews.com/berita/11692/udang-pun-setia-ikut-membangun-lampung, http://www.beritasatu.com/ekonomi/312222-ntb-ekspor-udang-vannamei-ke-tiongkok.html, tanggal 9 Juli 2016.
12
Dafftar Himpunan Asosiasi Perikanan. Diakses dari http://kkp.go.id/2008/02/02/daftarhimpunanasosiasi-perikanan/, tanggal 9 Juli 2016.
diberlakukan tersebut, persaingan pasar ekspor tidak ditentukan oleh political leverage negara-negara bekas jajahan Uni Eropa.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi Indonesia dalam menghadapi persaingan pasar komoditas udang di Uni Eropa? 1.3 Tinjauan Pustaka Sejumlah literatur atau dalam penelitian sudah membahas strategi pemerintah Indonesia dalam meningkatkan ekspor udang ke Uni Eropa. Pertama, tesis yang berjudul
“Strategi
Pemerintah
Daerah
dalam
Menghadapi
Perdagangan
Internasional (Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bulungan dalam Meningkatkan Kapasitas Industri Udang Untuk Bisa Bersaing di Pasar Global)” oleh Irsyad Sudirman, alumni Program Studi Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada pada tahun 2012.13 Tesis ini mengatakan bahwa permasalahan yang menyebabkan terjadinya penurunan daya saing industri udang asal kabupaten Bulungan adalah persoalan
inftrastruktur,
birokrasi,
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
yang
menimbulkan rente ekonomi yang rumit, sedangkan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang efisien dan kompetitif dibutuhkan sinergitas kebijakan dari tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten/kota. Selain itu Kabupaten Bulungan tidak mendapatkan akses yang akomodatif baik pada tingkat perizinan usaha, pakan maupun ketiadaan regulasi berupa perda-perda yang mendukung para pebisnis udang kabupaten Bulungan dalam menjalankan usahanya. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, maka ada beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan yakni:
13
Irsyad Sudirman, Strategi Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Perdagangan Internasional (Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bulungan dalam Meningkatkan Kapasitas Industri Udang Untuk Bisa Bersaing di Pasar Global), Universitas Gadjah Mada, 2012.
a) Sistem imbal beli (kemitraan), diperlukan adanya kerjasama antar sektor, baik sektor produksi mentah, pengolahan, hatchery maupun private sektor lainnya. Petambak-nelayan diberikan pelatihan dalam mengelola sistem pertambakan yang berstandar internasional, penggunaan anti biotik yang tidak berstandar internasional. b) Sistem future market, sistem yang lebih banyak mengandalkan permintaan konsumen internasional secara langsung. c) Pembentukan local shrimp board, membentuk sebuah konsersium lokal yang saling berhubungan antara sektor, mulai dari industri minyak, gas, pakan,pupuk, dan lembaga pengembangan lainnya. d) Efisiensi biaya dan diversifikasi produk, permasalahan terbesar yang dialami para pelaku usaha budidaya udang adalah ketiadaan informasi tentang spesifikasi bibit/benih udang dan produk unggulan. Sehingga mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi. Ada dua strategi yang akan dilakukan oleh pemerintah kabupaten Bulungan untuk meningkatkan kapasitas daya saing industri udangnya yaitu pertama, dengan strategi melalui kebijakan Empowering Local Capacity berupa integrated farm system (food estate area) yang lebih bersifat pada tujuan domestik seperti menciptakan tata laksana pemerintah birokrasi yang bersih, akuntabel dan efisien. Kedua, kerjasama antar daerah maupun pelatihan dan hasil raker Bappeda seluruh Kaltim serta strategi secara Internasional melalui strategi yang berkaitan dengan kebijakan Cluster industri yang lebih bersifat pada tujuan peningkatan daya saing industri udang pada level perdagangan udang global. Adapun tujuan kabupaten bulungan melakukan dua strategi tersebut adalah : a) Untuk
mempersiapkan
infrastruktur
penunjang
bagi
perdagangan
internasional khususnya udang. Diperlukannya jaminan keamanan untuk berinvestasi maupun berbisnis diperlukan pra-kondisi pasar, yakni dengan membangun sistem jaringan yang mampu menghantarkan produk-produk
perikanan daerah ataupun udang lebih tepat sasaran, efisien dan just intimes. b) Mengingat bahwa latar belakang industri-industri besar di kawasan Asia, pada awal usahanya adalah memfokuskan diri pada kebijakan-kebijakan yang padat karya sebelum mencapai kondisi yang benar-benar kompetitif pada saatnya kelak. Begitupun dengan Kabupaten Bulungan yang tengah mempersiapkan program-program kebijakan industri yang padat karya. c) Sebagai
bagian
dari
pengembangan
tata
kelola
kota
sekaligus
mempersiapkan diri dalam rangka menyongsong terbentuknya provinsi baru, yakni Kalimantan Utara. d) Dari sisi pelatihan dan kerjasama sebagai rangka untuk menciptakan aparatur birokrasi yang bersih dan efisien yang juga pastinya akan mempengaruhi sistem usaha dan kewirausahaan daerah. Pada intinya segala upaya pemerintah baik pusat maupun daerah dengan berbagai kebijakan dalam hal perdagangan dan upaya meningkatkan daya saing industri udang kabupaten Bulungan harus disikapi dengan arif dan bijaksana sebagai sebuah keuntungan, peluang dan ancaman bagi Negara Indonesia. Berdasarkan tesis yang ditulis oleh Irsyad Sudirman, penulis berpendapat bahwa pentingnya meningkatkan prasarana infrastruktur, penyediaan pengelolaan lahan tambak yang lebih efektif, memberikan informasi yang lebih spesifikasi tentang bibit udang unggulan serta adanya perencanaan terpadu yang komprehensif dan visioner oleh pemerintah Bulungan sehingga untuk mencapai peningkatan dan mampu bersaing di pasar global dapat di raih. Kedua, tesis yang berjudul “Dampak Hambatan Non-Tarif Terhadap Permintaan Ekspor Udang Indonesia Ke Uni Eropa” oleh Toni Kuswoyo, Program Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada tahun 2007.14 Penelitian ini bertujuan 14
Toni Kuswoyo, Dampak Hambatan Non-Tarif Terhadap Permintaan Ekspor Udang Indonesia Ke Uni Eropa, Universitas Gadjah Mada, 2007.
untuk mengetahui bentuk-bentuk hambatan non-tarif dan dampaknya terhadap permintaan ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa. Di dalam penelitian ini, dapat dilihat bahwa produk pangan yang masuk wilayah UE harus memenuhi standar keamanan pangan UE. Regulasi yang terkait keamanan pangan sangat banyak dan semakin terintegrasi setelah UE mengeluarkan White Paper on Food Safety pada tahun 2000. Berikut regulasi-regulasi yang berhubungan dengan produk perikanan: a) Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF), mengharuskan semua produk udang dari Indonesia dikenakan uji kandungan residu antibiotik di setiap pelabuhan UE. Udang yang tercemar residu antibiotik akan ditolak atau dimusnahkan oleh Lembaga Pengawasan Impor UE. b) Contaminant, tentang batas maksimum kontamina pada bahan pangan, metode sampling dan metode analisis kandungan lead, cadmium, merkuri, dan pada bahan pangan. c) Certain Substances and Residues, regulasi menyangkung monitoring substansi dan residu tertentu pada hewan dan produk dari hewan, persetujuan Komisi UE terhadap rencana monitoring residu yang diajukan oleh Negara ketiga, pelaksanaan monitoring residu tertentu, metode analisis, dan interpretasi hasil. d) Health Conditions and Food Hygiene Rules, regulasi yang menyangkut kesehatan produk perikanan mulai dari produksi sampai siap dipasarkan, aturan higieni minimum di kapal penangkapan, higieni makanan,dll. e) Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), merupakan bagian integral dari regulasi yang menyangkut health conditions and food hygiene rules. f) Marketing Standard, regulasi menyangkut standar pemasaran untuk produk perikanan tertentu, organisasi dari pasar produk perikanan dan budidaya. Dari semua regulasi perdagangan yang diterapkan oleh UE, dengan hasil bervariasi untuk setiap Negara, seluruhnya memiliki pengaruh negatif terhadap
ekspor udang Indonesia. Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa penerapan regulasi perdagangan oleh UE dapat menjadi hambatan terselubung dalam perdagangan, dalam hal ini termasuk hambatan non-tarif. Keenam kelompok regulasi tersebut sangat berkaitan dengan aspek keamanan pangan dan traceability, atau dalam kaitannya dengan kesepakatan WTO adalah masalah SPS dan TBT. Berdasarkan penelitian yang ditulis oleh Toni Kuswoyo, penulis berpendapat bahwa peraturan hambatan yang diterapkan oleh kompetitor sangat mempengaruhi ekspor udang Indonesia Maka perlu dilakukan upaya untuk menghilangkan atau mencari jalan keluar dari peraturan-peraturan yang telah diterapkan tersebut. Ketiga, penelitian yang ditulis oleh M. Bustanul Kholifin yang berjudul “Determinan Permintaan Ekspor Udang Beku Indonesia ke Uni Eropa”15 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor udang beku Indonesia ke Uni Eropa. Di dalam penelitian ini, dapat dilihat bahwa variabel yang memiliki pengaruh terhadap permintaan ekspor udang beku Indonesia ke Uni Eropa adalah harga riil ekspor udang beku Indonesia ke Uni Eropa memiliki pengaruh yang nyata terhadap permintaan ekspor udang beku indonesia ke Uni Eropa dan GDP riil Uni Eropa juga memiliki pengaruh yang nyata terhadap permintaan ekspor udang beku Indonesia di pasar Uni Eropa dan bersifat negatif dan berkualitas rendah. Dari penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa, terjadi banyak aturan atau standar yang di lakukan oleh Uni Eropa terhadap ekspor udang Indonesia sehingga sangat berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia akibat menurunnya jumlah ekspor udang tersebut. Keempat, Tulisan Mahreda yang berjudul “Analisis Permintaan Ekspor Udang Indonesia tahun 1996”.16 Dalam tulisannya Mahreda memaparkan bahwa kuantitas
15
Kholifin Bustanul, Determinan Permintaan Ekspor Udang Beku Indonesia Ke Uni Eropa, Universitas Negeri Semarang, 2013.
16
Emmy Sri Mahreda, Analisis Permintaan Ekspor Udang Indonesia, Universitas Gadjah Mada,1996.
ekspor udang Indonesia secara keseluruhan dipengaruhi oleh harga ekspor ikan tuna, pendapat perkapita Negara pengimpor, produksi udang lain., harga udang domestik, dan harga ekspor udang. Penyebab lain yang mempengaruhi turunnya permintaan ekspor Negara pengimpor terhadap Negara pengekspor adalah adanya harga yang lebih rendah di tawarkan Negara pengekspor lainnya. Misalnya Negara Cina yang menawarkan harga ekspor lebih rendah dibandingkan harga ekspor yang ditawarkan Negara pengekspor pertama. Kondisi ini akan menurunkan permintaan ekspor terhadap Negara pertama dan mengalihkan permintaan ekspornya ke Negara pengekspor yang baru yaitu Cina. Dengan demikian harga ekspor Negara Cina berbanding lurus dengan permintaan ekspor Negara pengimpor terhadap Negara pengekspor pertama. Melalui tulisan Mahreda ini penulis menilai bahwa permintaan ekspor udang Indonesia ditentukan dengan melihat harga ekspor ikan tuna yang artinya jika ekspor tuna meningkat maka ekspor udangpun ikut meningkat dan dipengaruhi juga oleh pendapatan perkapita Negara pengimpor yang menentukan naik atau tidaknya ekspor udang di tentukan jika pendapatan Negara perkapita tinggi dan harga, jika Indonesia mengekspor udangnya dengan harga yang relatif murah jika dibandigkan dengan Negara pengimpor lainnya. Dari beberapa tulisan di atas, penulis menyimpulkan bahwa banyaknya hambatan atau regulasi-regulasi yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap ekspor udang Indonesia. Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Melisa dan kawan-kawan, dengan judul penelitian “Kebijakan Hambatan Non Tarif di Pasar Uni Eropa Terhadap Ekspor Komoditas Udang Indonesia”.17 mengatakan bahwa hambatan non tarif yang ditetapkan oleh Uni Eropa terhadap ekspor komoditas perikanan Indonesia yaitu terkait dengan standar mutu dan pangan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa dengan berbasis perlindungan tingkat tinggi terhadap konsumen. Peneliti menggunakan 17
Melisa, Kebijakan Hambatan Non Tarif di Pasar Uni Eropa Terhadap Ekspor Komoditas Udang Indonesia, Universitas Riau, Transnasional Jurnal Vol. 6 No.1 Tahun 2014.
penelitian ini untuk memberi data standarisasi pasar Uni Eropa dalam mengimpor hasil perikanan, salah satunya udang yang diterapkan oleh Uni Eropa.
1.4 Kerangka Pemikiran Analisis daya saing kompetitif akan dibahas dengan mengadopsi Diamond Theory (Teori Berlian) yang diperkenalkan oleh Michael E. Porter (1990). Porter melihat bagaimana daya saing perusahaan-perusahaan Jepang dalam perdagangan dunia dimana mereka tidak mengembangkan lagi produk spesifiknya tetapi lebih meniru barang-barang yang telah ada namun dapat membuat produk yang lebih baik dan lebih murah. sehingga barang buatan Jepang mulai mendominasi dunia. Porter melihat bahwa paradigma the advantage of the first mover tidak berlaku pada produk Jepang. Apa yang dipelajari oleh Porter adalah adanya sinergi antara pemerintah Jepang dan pengusaha (Japan Incorporated). Porter menyadari bahwa keberhasilan Jepang tidak saja keberhasilan agresifitas perusahaan tapi juga didukung oleh pemerintah. Menyadari hal itu, Porter mulai mencari akar masalah dan faktor yang menyebabkan produk Jepang menjadi dominan. Ternyata tidak hanya Jepang, Korea Selatan juga mengikuti jalur yang sama.18 Keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif dan nilai tambah yang menentukan daya saing suatu industri suatu Negara adalah suatu topik yang saat ini banyak diperdebatkan. Kelompok teknokrat lebih condong menganut strategi keunggulan komparatif yang didasarkan pada kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tenaga kerja yang murah (padat karya), dengan muatan teknologi yang rendah, sehingga faktor produksi ini menjadi lebih murah dan merupakan andalan untuk berkompetisi dalam perdagangan internasional maupun terhadap barang-barang sejenis di dalam negeri dalam jangka pendek. Kelompok teknologi lebih condong pada strategi keunggulan kompetitif, dengan menekankan dasar industrialisasi dengan 18
Porter, Michael E, The Competitive Advantage of Nations, New York: Free Press, 1990.
menerapkan teknologi canggih untuk memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi, yakni pada pemilihan industri yang betumpu pada economic of scale karena terkonsentrasinya pekerja terampil dan industri yang bernilai tambah tinggi (Halwani, 2002). Keunggulan komparatif dalam perkembangan selanjutnya sudah tidak identik lagi dengan upah yang rendah dan teknologi sederhana. Produk yang pada saat tertentu memiliki keunggulan komparatif, pada waktu berikutnya mengalami kemerosotan dalam keunggulan komparatifnya apabila disaingi dan digeser oleh produk lain yang memiliki desain dan kandungan teknologi yang lebih canggih dan lebih bisa memberikan kepuasan pada konsumen. Pergeseran ini terjadi dalam pola perdagangan internasional yang dinamis.19 Porter mengatakan : “competition is at the core of the success or failure of firms." Persaingan adalah inti dari kesuksesan atau kegagalan perusahaan. Terdapat dua sisi yang ditimbulkan oleh persaingan, yaitu sisi kesuksesan karena mendorong perusahaan-perusahaan untuk lebih dinamis dan bersaing dalam menghasilkan produk serta memberikan layanan terbaik bagi pasarnya, sehingga persaingan dianggapnya sebagai peluang yang memotivasi. Sedangkan sisi lainnya adalah kegagalan karena akan memperlemah perusahaan-perusahaan yang bersifat statis, takut akan persaingan dan tidak mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas, sehingga persaingan merupakan ancaman bagi perusahaannya. begitu pula dalam konteks Negara sebagai aktor bisnis, keunggulan daya saing Negara menjadi kunci keberhasilan ekspor-impor dalam perdagangan internasional.20 Menurut Porter, terdapat sinergi antara pemerintah dan dunia usaha dalam mengingkatkan daya saing Negara dalam perdagangan internasional. Sinergi tersebut amat membantu untuk mendukung komponen-komponen penting yang membentuk
19
Hidayat Irpan, Pemodelan Ekonometrik Daya Saing Ekspor Komoditas Agroindustri Berbasis Perikanan (Studi Kasus Komoditas Udang Dan Tuna), Institut Pertanian Bogor, 2006.
20
Porter, Michael E. and Claas van der Linde. Toward a New Conception of the Environment Competitiveness Relationship. 1995, Journal of Economic Perspectives
keunggulan kompetitif. Komponen tersebut adalah faktor sumberdaya, faktor permintaan, faktor industri terkait dan industri pendukung, faktor strategi perusahaan, struktur dan persaingan. Selain keempat komponen yang saling berinteraksi diatas terdapat dua komponen yang mempengaruhi keempat komponen tersebut yaitu faktor pemerintah dan faktor kesempatan.
Tabel 2. Teori Berlian
Komponen yang terdapat dalam analisis Teori Berlian meliputi: a) Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor-faktor produksi dalam suatu industri hasil perikanan laut seperti tenaga kerja dan infrastruktur. Beberapa hal penting yang menjadi perhatian dalam factor condition (FC) ini adalah sebagai berikut:
• Semua sumber daya harus memainkan peranan yang penting dalam mendapatkan keunggulan kompetitif, • Faktor produksi senantiasa ditingkatkan kualitasnya dan bisa menjadi lebih terspesialisasi untuk industri, • Faktor produksi meliputi sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya pengetahuan yang disediakan oleh perguruan tinggi, laboratorium riset, dan asosiasi dagang, serta sumber daya kapital dan infrastruktur, • Faktor produksi juga harus mempunyai kualitas tinggi dengan biaya murah dan bersifat unik agar perusahaan dapat menghasilkan keunggulan kompetitif, • Keunggulan kompetitif tergantung bagaimana faktor produksi disebarkan secara efektif dan efisien, • Faktor produksi tingkat tinggi seperti tersedianya institut riset, karyawan berpendidikan tinggi dan lainnya menjadi faktor penting dalam membentuk keunggulan kompetitif, • Keunggulan
kompetitif
dapat
terus
berlangsung
tergantung
dari
kesinambungan ketersediaan faktor produksi berkualitas tinggi dan juga selalu ditingkatkan kualitasnya, dan • Selalu membuat inovasi baru agar dapat mengatasi kekurangan karena tidak tersedianya faktor produksi yang khusus. b) Demand Condition (DS), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa berupa hasi perikanan laut dalam suatu Negara atau wilayah. Beberapa poin yang menjadi perhatian dalam memenuhi kondisi permintaan adalah sebagai berikut: • Memiliki segmen konsumen yang berlapis, • Adanya tekanan dari pelanggan untuk selalu melakukan inovasi, • Ukuran permintaan cukup besar dan dapat terlihat dengan jelas, • Para pembeli yang berselera tinggi dan penuntut, • Dapat mengantisipasi kebutuhan pembeli,
• Besarnya jumlah pembeli independen, • Tingkat pertumbuhan permintaan domestik yang tinggi, • Pasar cepat jenuh sehingga memerlukan inovasi untuk membuat pasar segar kembali, • Produk domestik harus berkualitas internasional, dan • Adanya pembeli yang mobil. c) Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan industri lainnya yang saling mendukung dan berhubungan dengan komoditi hasil perikanan laut. Beberapa poin yang menjadi perhatian dalam RSI adalah sebagai berikut: • Adanya akses yang efisien, • Selalu ada koordinasi yang tak putus, • Menolong proses inovasi dan peningkatan (upgrading) berdasarkan pada pertukaran litbang, informasi, dan ide, • Membawa kepada industri yang kompetitif, • Mendorong permintaan untuk produk-produk pendukung, • Memaksakan keunggulan kompetitif untuk industri yang terkait. d) Firm Strategy, Structure and Rivalry (FSR), yaitu strategi yang dianut perusahaan pada umumnya, struktur industri dan keadaan kompetisi dalam suatu industri untuk komoditi hasil perikanan laut. Beberapa poin yang menjadi perhatian dalam FSR adalah sebagai berikut: • Penerapan manajemen dan bentuk organisasi yang disukai harus sesuai dengan tujuan utama menuju keunggulan kompetitif termasuk melakukan pelatihan, orientasi pimpinan perusahaan, gaya manajemen, insentif inisiatif individu, dan kemampuan melakukan koordinasi termasuk mau dikoordinasi, • Berperilaku baik pada dalam berkomunikasi, selalu mau belajar, dan meningkatkan kemampuan berbahasa,
• Perusahaan
harus
memiliki
tujuan,
struktur
kepemilikan
yang
membanggakan bangsa, dan selalu berkomitmen dengan visi nasional, • Selalu terdapat rivalitas domestik dalam harga, litbang, inovasi, teknologi, emosional, dan juga personal, • Selalu mendukung diadakannya formasi bisnis yang baru. Keempat determinan tersebut, sendiri-sendiri maupun sebagai suatu sistem adalah konteks bagi pendirian perusahaan-perusahaan nasional dan kompetisi di dalamnya, yakni: (i) ketersediaan sumberdaya dan keahlian yang dibutuhkan untuk keunggulan kompetitif dalam industri tertentu, (ii) informasi yang membentuk persepsi-peluang dan memberi arah pengalokasian sumberdaya dan keahlian, (iii) sasaran-sasaran para manajer, pemilik, dan SDM yang dilibatkan dalam kompetisi; dan yang sangat penting (iv) tekanan-tekanan yang diperlukan oleh perusahaan untuk melakukan investasi dan inovasi tertentu. Industri-industri di suatu bangsa tertentu akan memperoleh keunggulan kompetitifnya, manakala (1) basis nasionalnya mengijinkan dan mendukung akumulasi tercepat aset-aset khusus (kadangkala hanya dengan memperkuat komitmen), (2) ketika basis nasionalnya lebih baik dalam memasok informasi dan pengetahuan baru ke dalam kebutuhan produk dan proses, (3) sasaran para manajer, pemilik, dan SDM mendukung komitmen investasi yang konsisten, dan puncaknya (4) bangsa yang sukses pada industri tertentu karena wilayah nasionalnya merupakan lingkungan yang paling dinamis, paling menantang, serta paling menstimulasi dan melecut perusahaan untuk meningkatkan (upgrade) dan memperluas keunggulannya terus-menerus.21 Suatu Negara akan cenderung sukses dalam industri atau segmen industri tertentu jika industri atau segmen industri tersebut sesuai dengan model “berlian”
21
Manurung, Elvy Maria. Industri Mobil Nasional : Perspektif Berlian Porter, Bina Ekonomi Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan, Diakses dari Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=79282&Val=3915, tanggal 1 Mei 2016
yang dipunyainya. Sesuai model tersebut, suatu Negara tidak akan mungkin memiliki/membangun keunggulan kompetitif untuk semua jenis industri, akan ada industri yang sukses karena model spesifik berlian Negara tersebut cocok, dan ada yang gagal karena model berlian Negara tidak mendukung untuk jenis industri yang diinginkan. Tetapi, ini juga bukan berarti bahwa semua perusahaan dalam industri dengan dukungan model berlian spesifik yang sesuai pasti akan berhasil. Kemampuan perusahaan dalam “mengeksploitasi” lingkungan nasional tetap akan memegang peranan, dan dalam kenyataannya, kemampuan ini tidak merata di antara perusahaan. Demikian juga dalam penguasaan keahlian dan sumber daya. Walaupun demikian, perusahaan-perusahaan yang tumbuh dalam situasi kondusif yang sedemikian cenderung akan berhasil juga dalam persaingan internasional. “Berlian” adalah sebuah sistem di mana komponen-komponennya saling menguntungkan dan menguatkan. Besar pengaruh yang diberikan oleh salah satu determinannya merupakan fungsi kondisi ketiga determinan yang lain. Kondisi permintaan yang bagus misalnya, tidak akan memimpin pada keunggulan kompetitif selama situasi persaingan tidak cukup kuat untuk menyebabkan perusahaanperusahaan memberi respon yang sesuai. Keunggulan di salah satu determinan juga dapat menciptakan atau meningkatkan keunggulan pada determinan yang lain. Keunggulan kompetitif yang semata-mata didasarkan pada satu komponen saja masih mungkin bagi industri yang masih sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya alam atau yang hanya membutuhkan sedikit teknologi atau keahlian yang canggih. Namun, keunggulan yang demikian biasanya tidak akan bertahan lama, karena pesaing-pesaing globalpun mampu melakukan hal yang sama, bahkan mungkin lebih baik sehingga bisa menihilkan keunggulan itu sendiri. Pada industri padat-pengetahuan yang menjadi tulang punggung ekonomi/Negara maju keunggulan yang
meliputi
seluruh
berlian
sangat
mutlak
untuk
mendapatkan
dan
mempertahankan sukses persaingan. Artinya, bukan keunggulan dalam tiap komponen, tetapi saling pengaruh antar keunggulan, atau antar komponen. Saling
pengaruh seperti ini akan mencapai keuntungan yang saling menguatkan, yang akan sulit dinihilkan atau ditiru oleh pesaing asing. Dua variabel lain yang juga mempengaruhi adalah peluang (chance) dan pemerintah (government). Kejadian-kejadian
peluang adalah perkembangan-
perkembangan yang terjadi di luar kendali perusahaan (biasanya oleh pemerintah), seperti temuan dasar ilmu pengetahuan, terobosan dasar teknologi, perang, perkembangan situasi politik luar negeri, dan perubahan-perubahan utama pasar internasional. Semua ini menciptakan diskontinuitas yang dapat mencairkan atau membentuk ulang struktur industri dan memberi peluang bagi perusahaan-perusahaan suatu Negara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Negara lain. Pemerintah di semua level, dapat memperbaiki atau menghalangi terbangunnya keunggulan kompetitif. Peran ini terlihat paling jelas jika dilakukan pemeriksaan terhadap pengaruh kebijakan pada setiap determinan. Kebijakan antimonopoli misalnya, berpengaruh pada level persaingan domestik. Peraturan dan perundangan dapat mengubah kondisi permintaan domestik. Investasi pendidikan dapat mengubah kondisi faktor. Inisiatif pembelian oleh pemerintah dapat menstimulasi industri terkait dan pendukung. Kebijakan-kebijakan yang diimplementasikan tanpa pertimbangan akan mempengaruhi keseluruhan sistem-determinan, dan akan sangat mungkin mengurangi keunggulan bangsa ketimbang meningkatkannya.22 Dalam analisanya tentang strategi bersaing (competitive strategy atau disebut juga Porter’s Five Forces) suatu perusahaan, Michael A. Porter mengintrodusir 3 jenis strategi generik, yaitu: Keunggulan Biaya (Cost Leadership), Pembedaan Produk (Differentiation), dan Focus. 1) Strategi Biaya Rendah (Cost Leadership) Strategi Biaya Rendah (cost leadership) menekankan pada upaya memproduksi produk standar (sama dalam segala aspek) dengan biaya per unit 22
Ibid
yang sangat rendah. Produk ini (barang maupun jasa) biasanya ditujukan kepada konsumen yang relatif mudah terpengaruh oleh pergeseran harga (price sensitive) atau menggunakan harga sebagai faktor penentu keputusan.23 Dari sisi perilaku pelanggan, strategi jenis ini amat sesuai dengan kebutuhan pelanggan yang termasuk dalam kategori perilaku low-involvement, ketika konsumen tidak (terlalu) peduli terhadap perbedaan merek, tidak membutuhkan pembedaan produk, atau jika terdapat sejumlah besar konsumen memiliki kekuatan tawarmenawar yang signifikan. Terutama dalam pasar komoditi, strategi ini tidak hanya membuat perusahaan mampu bertahan terhadap persaingan harga yang terjadi tetapi juga dapat menjadi pemimpin pasar (market leader) dalam menentukan harga dan memastikan tingkat keuntungan pasar yang tinggi (di atas rata-rata) dan stabil melalui cara-cara yang agresif dalam efisiensi dan keefektifan biaya. Sumber dari keefektifan biaya (cost effectiveness) ini bervariasi. Termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan skala ekonomi (economies of scale), investasi dalam teknologi yang terbaik, sharing biaya dan pengetahuan dalam internal organisasi, dampak kurva pembelajaran dan pengalaman (learning and experience curve), optimasi kapasitas utilitas, dan akses yang baik terhadap bahan baku atau saluran distribusi.24 Untuk dapat menjalankan strategi biaya rendah, sebuah perusahaan harus mampu memenuhi persyaratan di dua bidang, yaitu: sumber daya (resources) dan organisasi.25 Strategi ini hanya mungkin dijalankan jika dimiliki beberapa keunggulan di bidang sumber daya perusahaan, yaitu: pemasaran produk, kreativitas dan bakat SDM, pengawasan yang ketat, riset pasar, distribusi yang kuat, ketrampilan
23
Fred R. David. Manajemen Strategis Konsep. Buku 1. Edisi 12. 2011, Jakarta: Salemba Empat
24
Ibid
25
Porter, Michel E. Keunggulan Bersaing Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggulan. 1994, Jakarta Barat: Binarupa Aksara.
kerja, serta biaya distribusi dan promosi rendah. Sedangkan dari bidang organisasi, perusahaan harus kuat dan mampu untuk melakukan: koordinasi antar fungsi manajemen yang terkait, merekrut tenaga yang berkemampuan tinggi, insentif berdasarkan target (alokasi insentif berbasis hasil). 2) Strategi Pembedaan Produk (differentiation)26 Strategi Pembedaan Produk (differentiation), mendorong perusahaan untuk sanggup menemukan keunikan tersendiri dalam pasar yang jadi sasarannya. Keunikan produk (barang atau jasa) yang dikedepankan ini memungkinkan suatu perusahaan untuk menarik minat sebesar-besarnya dari konsumen potensialnya. Cara pembedaan produk bervariasi dari pasar ke pasar, tetapi berkaitan dengan sifat dan atribut fisik suatu produk atau pengalaman kepuasan (secara nyata maupun psikologis) yang didapat oleh konsumen dari produk tersebut. Berbagai kemudahan pemeliharaan, features tambahan, fleksibilitas, kenyamanan dan berbagai hal lainnya yang sulit ditiru lawan merupakan sedikit contoh dari diferensiasi. Strategi jenis ini biasa ditujukan kepada para konsumen potensial yang relatif tidak mengutamakan harga dalam pengambilan keputusannya. Perlu diperhatikan bahwa terdapat berbagai tingkatan diferensiasi. Diferensiasi tidak memberikan jaminan terhadap keunggulan kompetitif, terutama jika produk-produk standar yang beredar telah (relatif) memenuhi kebutuhan konsumen atau jika kompetitor/pesaing dapat melakukan peniruan dengan cepat. Contoh penggunaan strategi ini secara tepat adalah pada produk barang yang bersifat tahan lama (durable) dan sulit ditiru oleh pesaing. Resiko lainnya dari strategi ini adalah jika perbedaan atau keunikan yang ditawarkan produk tersebut ternyata tidak dihargai (dianggap biasa) oleh konsumen. Jika hal ini terjadi, maka pesaing yang menawarkan produk standar dengan strategi biaya rendah akan sangat mudah merebut pasar. 26
Fred R. David. Manajemen Strategis Konsep. Buku 1. Edisi 12. 2011, Jakarta: Salemba Empat.
Oleh karenanya, dalam strategi jenis ini, kekuatan departemen Penelitian dan Pengembangan sangatlah berperan. 3) Strategi Fokus (Focus)27 Strategi fokus digunakan untuk membangun keunggulan bersaing dalam suatu segmen pasar yang lebih sempit. Strategi jenis ini ditujukan untuk melayani kebutuhan konsumen yang jumlahnya relatif kecil dan dalam pengambilan keputusannya untuk membeli relatif tidak dipengaruhi oleh harga. Dalam pelaksanaannya terutama pada perusahaan skala menengah dan besar , strategi fokus diintegrasikan dengan salah satu dari dua strategi generik lainnya: strategi biaya rendah atau strategi pembedaan karakteristik produk. Syarat bagi penerapan strategi ini adalah adanya besaran pasar yang cukup (market size), terdapat potensi pertumbuhan yang baik, dan tidak terlalu diperhatikan oleh pesaing dalam rangka mencapai keberhasilannya. Strategi ini akan menjadi lebih efektif jika konsumen membutuhkan suatu kekhasan tertentu yang tidak diminati oleh perusahaan pesaing. Biasanya perusahaan yang bergerak dengan strategi ini lebih berkonsentrasi pada suatu kelompok pasar tertentu, wilayah geografis tertentu, atau produk barang atau jasa tertentu dengan kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen secara baik.
Menurut Porter, hal-hal yang harus dikuasai atau dimiliki oleh setiap perusahaan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif adalah sebagai berikut:28
1) Teknologi 2) Tingkat entrepreneurship yang tinggi 3) Tingkat efisiensi/produktivitas yang tinggi dalam proses produksi 27 28
Ibid Tulus Tambunan. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. 2001, Jakarta: Ghalia Indonesia
4) Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan 5) Promosi yang meluas dan agresif 6) Pelayanan teknisal maupun nonteknisal yang baik (service after sale) 7) Tenaga kerja dengan tingkat keterampilan/pendidikan, etos kerja, kreativitas, serta motivasi yang tinggi 8) Skala ekonomis 9) Inovasi 10) Diferensiasi produk 11) Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup 12) Jaringan distribusi di dalam dan terutama di luar negeri yang baik dan wellorganized/managed 13) Proses produksi yang dilakukan dengan sistem just-in-time (JIT). Berdasarkan hasil analisis teori Berlian kita dapat melihat faktor apa yang menjadi keunggulan dan kelemahan komoditi hasil perikanan laut, sehingga kita dapat melihat potensi serta kendala pada komoditi hasil perikanan laut Indonesia. Dengan menggunakan Teori Berlian peneliti akan mengkaji strategi Indonesia dalam menghadapi persaingan pasar komoditas udang di Uni Eropa. 1.5 Argumen Utama Strategi yang diterapkan oleh Indonesia dalam upaya menghadapi persaingan pasar komoditas udang di Uni Eropa adalah dengan mengembangkan kerjasama dalam bentuk sinergitas antara pemerintah dan dunia usaha. Kombinasi peran dari Teori Berlian didasari oleh pertama, strategi dalam mengoptimalkan faktor kondisi atau faktor sumberdaya dilakukan dengan cara bersinergi dengan lembaga penelitian atau riset untuk dapat menjaga kualitas udang dan mendukung program pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan. Kedua, faktor perusahaan pendukung dilakukan upaya seperti penggunaan teknologi yang lebih menjamin mutu produk. Ketiga, faktor permintaan dapat ditingkatkan dengan melakukan inovasi produk olahan udang
untuk menunjukkan bahwa pelaku industri produk kekayaan laut Indonesia memiliki daya saing yang tinggi. Keempat, strategi perusahaan dalam menghadapi kompetisi pasar dapat dilakukan dengan merangkul perusahaan untuk secara kolektif mengembangkan ekspor udang Indonesia dan menciptakan iklim industri yang sehat untuk meningkatkan angka investasi asing. 1.6 Metode Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini, yaitu metode deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Dalam penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk memaparkan kebijakan perdagangan di Uni Eropa, pengaruh kebijakan terhadap ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa, serta kebijakan pemerintah Indonesia dalam menghadapi kompetisi ekspor udang ke Uni Eropa. Berdasarkan sumbernya, data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data atau informasi yang diperoleh dari hasil diskusi dan wawancara dengan stakeholders seperti pejabat dinas kelautan dan perikanan mengenai produksi dan ekspor udang Indonesia serta permasalahan ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa. Selain itu data primer melalui wawancara atau diskusi di pakai untuk mengkonfirmasi kesesuaian kasus notification oleh EuropeanRASFF dari Directorates General of Health and Consumers (DG Sanco) terhadap produk perikanan asal Indonesia serta bagaimana strategi pemerintah Indonesia menghadapai kebijakan tersebut. Data sekunder yang merupakan data teks berupa keterangan mengenai prosedur ekspor, kondisi pasar Uni Eropa, peraturan perdagangan Uni Eropa, kondisi komoditas udang Indonesia, kebijakan ekspor Indonesia, dan data-data lain yang relevan dengan penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh melalui informasi dan laporan tertulis dari lembaga atau instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Food and Agriculture Organization (FAO), World Trade Organization (WTO), European Commission (EC), dan
Directorates General of Health and Consumers (DG Sanco). Selain itu, data juga diperoleh dari literatur berupa skripsi, buku teks, dan website yang terkait dengan penelitian. Tabel 3. Sumber Data Penelitian Data yang Diperlukan
Sumber Data
Total Ekspor dan Impor Uni Eropa Total Kementerian Kelautan dan Ekspor dan Impor Perikanan Uni Eropa
Perikanan RI,
Total Ekspor dan Impor Udang dari ke Kementerian Perdagangan RI Uni Eropa
Kementerian BAPPENAS RI
Total Ekspor Udang Indonesia ke Uni Situs resmi European Eropa Commission. Kementerian Kebijakan Perdagangan Uni Eropa yang
Kelautan dan Perikanan,
terkait dengan perikanan
Kementerian Perdagangan,
Kebijakan Indonesia yang terkait dengan
Kementerian BAPPENAS RI
ekspor Perikanan Indonesia Prosedur umum ekspor perikanan
Pengumpulan data dilakukan sebagai langkah awal untuk mengelompokkan data yang akan di bahas. Data berupa kebijakan baik yang diterapkan Uni Eropa maupun pemerintah Indonesia terkait produk perikanan khususnya udang diobservasi lalu dikumpulkan berdasarkan jenisnya, tahun pelaksanaannya, dan ketentuan dalam kebijakan tersebut. Selain itu, mengenai kasus notification oleh European-RASFF, data diobservasi melalui website dikumpulkan dan dikonfirmasi kepada stakeholder di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tahun ekspor, dan alasan notification. Kelompok berdasarkan ikan dan udang dilakukan untuk membandingkan jumlah notification antara ikan dan udang oleh European-RASFF. Kelompok berdasarkan tahun dikelompokan untuk melihat perkembangan notification yang dialami produk udang Indonesia, mengetahui perbedaan terjadinya kasus penolakan yang mengalami
penaikan, penurunan, atau fluktuatif setiap tahunnya. Kelompok berdasarkan alasan penolakan produk dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan jumlah alasan paling banyak. Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan pengelompokan data dari data-data yang telah dikumpulkan. Data-data yang berupa gambaran umum kondisi perdagangan udang yang diolah dari berbagai sumber yang didapat untuk disederhanakan dalam bentuk grafik ataupun tabel. Kemudian data-data tersebut dimasukkan sebagai bahan untuk dikelompokkan sesuai kebutuhan penelitian sebelum dianalisis. Selanjutnya data kebijakan terkait produk udang yang ditetapkan Uni Eropa dikelompokkan untuk disederhanakan sebagai bahan menghubungkan terhadap fakta ekspor udang yang terjadi sedangkan data mengenai strategi pemerintah menghadapi kebijakan Uni Eropa dalam mendatangkan udang dikelompokkan dalam kelompok analisis strategi pemerintah. Data yang sudah dikumpulkan dari website tersebut kemudian dimasukkan sebagai input computer lalu diolah menjadi lebih sederhana dalam bentuk gambar dan grafik dengan bantuan program Microsoft Excel untuk dianalisis dengan metode kualitatif deskriptif. Analisis data kualitatif yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Deskriptif artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu. Metode deskriptif bertujuan untuk: a) Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, b) Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktekpraktek yang berlaku, c) Membuat perbandingan atau evaluasi, dan d) Menentukan apa yang dilakukan pihak lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang. Analisis
kualitatif
deskriptif
pada
penelitian
ini
digunakan
untuk
menghubungkan fakta perkembangan ekspor udang Indonesia dengan adanya kebijakan yang diterapkan Uni Eropa. Selain itu, analisis ini juga mengkonfirmasi kebijakan yang dikeluarkan Uni Eropa terhadap kaitannya atas alasan fakta notification yang dikeluarkan European-RASFF terhadap produk ikan dan udang
Indonesia, sehingga dari analisis ini dapat dipahami apa yang terjadi pada penerapan kebijakan perdagangan yang ditetapkan Uni Eropa terhadap produk udang Indonesia. Tahap analisis selanjutnya adalah dengan merujuk pada model porter’s diamonds untuk mengkaji stategi pemerintah Indonesia bersaing dalam pasar ekspor udang Uni Eropa. 1.7 Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab dan sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah Bab I tersusun penjelasan mengenai latar belakang permasalahan mengenai gambaran umum mengenai kondisi udang Indonesia serta posisi perdagangan udang Indonesia di Pasar Uni Eropa, rumusan masalah menjadi tujuan utama dalam penulisan tesis ini, landasan teori menggunakan Teori Berlian Porter sebagai instrumen utama untuk menganalisis strategi Indonesia dalam upaya menghadapi persaingan pasar komoditas udang di Uni Eropa, selain Bab 1 juga tersusun dari tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, argumen utama, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II akan menjelaskan kompetisi pasar di Uni Eropa. Bab III akan menjelaskan mengenai hambatan-hambatan perdagangan. Bab IV merupakan bagian analisis yang akan menjelaskan sinergitas aktor dalam upaya membangun daya saing udang. Bab V terdiri dari kesimpulan untuk menjelaskan kembali dengan pembahasan yang lebih detail dari hasil analisis.