BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual.1 Untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak yang dipungut oleh pemerintah digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan sumber pembiayaan belanja-belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah guna menjalankan roda pemerintahan. Sektor pajak merupakan sumber penerimaan negara, penerimaan negara dari sektor perpajakan memberikan sumbangan dalam menurunkun volume dan rasio deficit anggaran. Maka peranan pajak sebagai salah satu sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat penting dan strategis. Oleh sebab itu, pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama.
1
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2001, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat. Jakarta, h.
2.
1
2
Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan pajak berdasarkan undang–undang mengandung pengertian bahwa terhadap mereka yang ternyata mengabaikan atau melanggar ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi penagihan secara paksa dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun penahanan.2 Tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembagapaksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.3 Dalam meraih target pendapatan pajak, ketetapan pajak yang diterbitkan oleh pejabat pajak yang berwenang tidak selalu dapat diterima oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, tentu ada perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dan Fiskus yang disebabkan karena adanya perbedaan dalam menafsirkan peraturan atau perundang-undangan perpajakan. Kemudian,
2 Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, 1984, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada, Jakarta, h. 3. 3
Ibid.
3
terkait dengan mekanisme perpajakan yang tentunya juga melibatkan Wajib Pajak dan aparat perpajakan, dalam mekanisme ini dapat juga melibatkan orientasi yang berbeda. Aparat perpajakan perpajakan di satu sisi tentunya berkepentingan untuk mengamankan pendapatan negara dari bidang perpajakan, sedangkan bagi Wajib Pajak disisi lain berkepentingan untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan tetap menjalankan bisnisnya. Perbedaan orientasi ini tentunya berpotensi untuk menimbulkan sengketa, terhadap sengketa tersebut tentunya memerlukan penyelesaian yang memadai, baik secara administratif maupun secara yuridis. Dalam hal penyelesaian secara administratif menemui jalan buntu, maka opsi penyelesaian yuridis melalui upaya banding di peradilan pajak. Perbedaan pendapat tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya sengketa pajak. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740, selanjutnya disebut UU KUP) menjamin hak setiap Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan sampai dengan tingkat banding atas ketetapan pajak yang dikenakan terhadapnya, hal ini dikarenakan pada prosesnya peradilan bebas dari setiap pembatasan-pembatasan atau hasutan-hasutan secara langsung ataupun tidak langsung. Terlebih saat ini masih ada peluang untuk mengajukan peninjauan
4
kembali atas putusan banding ke Mahkamah Agung, yang tidak hanya berlaku untuk Wajib Pajak tetapi juga untuk pejabat pajak yang berwenang. Definisi sengketa pajak sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189, selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) Pasal 1 angka 5 menjelaskan bahwa, “Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (selanjutnya di sebut BPSP). Penyelesaian sengketa pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3684, selanjutnya disebut UU BPSP) banyak mengandung kelemahan, dimana dalam pelaksanaannya masih terdapat
5
ketidakpastian
hukum
yang
pada
akhirnya
dapat
menimbulkan
ketidakadilan. Dengan disahkannya UU Pengadilan Pajak sebagai pengadilan yang khusus menangani sengketa di bidang pajak dan merupakan penyempurnaan UU BPSP, maka terjadi beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam penyelesaian sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan Fiskus. Salah satu alasan mengapa UU BPSP diubah antaralain adalah meminimalisasi ketidak pastian hukum yang dapat menimbulkan ketidak-adilan.4 Menurut Pasal 12 ayat (1) UU KUP, setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Yang dimaksud Surat Ketetapan Pajak berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU KUP adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Kadangkala terjadi selisih perhitungan pajak yang terutang menurut wajib pajak dan pihak kantor pelayanan pajak. Namun, kalau wajib pajak yakin pembukuan sudah benar dan penerapan pajaknya juga sudah benar, Surat Ketetapan Pajak (SKP) bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada jalan untuk mencari kebenaran dan keadilan. Pertama, menempuh jalur keberatan.
4
Gunawan Pribadi, 2014, UU Pengadilan Pajak sebagai Penyempurna UU BPSP, tersedia dalam URL: http://www.klikpajak.com, diakses tanggal 25 Desember 2015.
6
Keberatan merupakan hak bagi wajib pajak yang dijamin oleh undangundang perpajakan, dan itu merupakan pilihan.5 Hak keberatan juga diberikan kepada wajib pajak terkait pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Pengajuan keberatan harus memenuhi syarat formal dan material agar dapat diterima atau dikabulkan.6 Syarat formal menyangkut aspek formalitas pengajuan dan banding sesuai keberatan UU KUP, sedangkan syarat material sengketa, yaitu penetapan SKP atau penerapan ketentuan pajak yang tidak disetujui oleh wajib pajak. Syarat formal akan terlebih dahulu disetujui dan sangat menentukan hasil akhir. Apabila syarat formal tidak terpenuhi oleh wajib pajak, maka permohonan keberatan atau banding pasti ditolak dan hak wajib pajak terbuang sia-sia.7 Bila formalitas keberatan terpenuhi, baru materi sengketa ditelaah. Selanjutnya keberatan akan dikabulkan atau ditolak tergantung bukti dan pembuktian kedua belah pihak. Perlu diperhatikan pula, meskipun bukan merupakan syarat utama, pemenuhan aspek formalitas oleh wajib pajak saat pemeriksaan pajak, bahkan pemenuhan kewajiban Surat Pemberitahuan (SPT) juga mempengaruhi hasil putusan keberatan.8 Terhadap adanya keberatan wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak. Keberatan diajukan dalam jangka 5
Fidel, 2014, Tax Law: Proses Beracara di Pengadilan Pajak dan Peradilan Umum, PT Carofin Media, Jakarta, h. 28. 6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid.
7
waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak secara tertulis. Keberatan diajukan dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan. Kemudian berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sudah harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Jika jangka waktu telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Tata cara pengajuan keberatan dan penyelesaian diatur lebih lanjut melalui Permenkeu No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dan jika wajib pajak tidak puas dengan keputusan Dirjen Pajak atas keberatan yang diajukan, wajib pajak dapat mengajukan upaya hukum berupa banding maupun gugatan kepada pengadilan pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU KUP. Pada dasarnya pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, setelah Pengadilan Pajak menjatuhkan putusan terhadap upaya hukum banding maupun gugatan yang diajukan oleh wajib pajak, namun wajib pajak masih tetap tidak puas dengan putusan
8
tersebut maka wajib pajak hanya dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 UU Pengadilan Pajak. Penyelesaian sengketa pajak seharusnya mampu memberikan jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pihak yang bersengketa serta dapat dilakukan melalui prosedur dan proses yang cepat, transparan, biaya ringan dan sederhana. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) juga mengamanatkan
bahwa
peradilan
seharusnya
dilaksanakan
dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan. Butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan satu kasus pajak. Ada yang bisa selesai sampai proses keberatan saja, atau berlanjut ke proses banding, bahkan sampai peninjauan kembali. Masing-masing proses juga memakan waktu yang cukup lama, paling cepat selama satu tahun, dan jika dihitung sampai ke proses banding, bisa membutuhkan waktu tiga tahun lamanya.9 Berikut adalah tabel jumlah perkara yang masuk pada Pengadilan Pajak sejak didirikan pada tahun 2002:10
9 Direktorat Jenderal Pajak RI, 2013, Perlu Terobosan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, tersedia dalam URL: http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 25 Desember 2015. 10 Direktorat Jenderal Pajak RI, 2011, Jumlah Perkara di Pengadilan Pajak Meningkat, tersedia dalam URL: http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 25 Desember 2015.
9
Gambar 1: Tabel jumlah perkara yang masuk pada Pengadilan Pajak Jakarta sejak didirikan pada tahun 2002. Tahun
Perkara Yang Masuk
Perkara Yang Diselesaikan
2002
2.120
1.288
2009
14.473
4.650
2013
16.000
6.000
2014
10.866
8.845
Menurut Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi (PKE) Budi Christiadi, jika kasus pajak bisa diselesaikan tanpa proses hukum berbelit dan panjang tentu akan mempermudah Ditjen Pajak dalam menyelesaikan persoalan. Selain itu juga dapat memberikan pelayanan ke wajib pajak dalam proses penyelesaian sengketa dengan lebih cepat.11 Proses hukum panjang yang berujung pada adanya penumpukan perkara di pengadilan pajak menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas upaya hukum keberatan itu sendiri dalam penyelesaian sengketa di bidang pajak. Sebagai upaya hukum yang pertama kali ditempuh oleh wajib pajak dalam menyelesaikan sengketa pajaknya, sebaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP, upaya hukum keberatan seharusnya dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menyelesaikan sengketa pajak tanpa 11
Direktorat Jenderal Pajak RI, 2013, Perlu Terobosan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, tersedia dalam URL: http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 25 Desember 2015.
10
harus dilanjutkan ke lembaga Pengadilan Pajak. Upaya hukum keberatan yang efektif juga seharusnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada setiap wajib pajak. Tidak efektifnya upaya hukum keberatan dalam penyelesaian
sengketa
pajak
juga
dipengaruhi
oleh
faktor-faktor
penghambat, baik berupa ketentuan peraturan perundang-undangannya, aparat penegak hukumnya, maupun budaya dari masyarakat itu sendiri. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis dalam penulisan penelitian ini mengangkat judul “Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan”.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali? 2. Hambatan-hambatan apa yang timbul serta bagaimana solusi untuk menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali?
11
1.3
Ruang Lingkup Masalah Dalam Usulan Penelitian ini diperlukan ruang lingkup permasalahan untuk membatasi pembahasan guna menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari topik yang dibahas. Adapun ruang lingkup masalah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Terkait rumusan masalah yang pertama dibahas mengenai efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali. b. Terkait rumusan masalah yang kedua dibahas mengenai hambatanhambatan yang timbul serta solusi untuk menyelesaikan hambatanhambatan
dalam
pelaksanaan
upaya
hukum
keberatan
dalam
penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.
1.4
Orisinalitas Penelitian Penelitian Hukum dengan judul “Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan” merupakan hasil karya asli penulis. Sejauh observasi yang penulis lakukan baik di ruang koleksi Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun di internet, tidak terdapat penelitian yang sama yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan baik di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan juga di suatu perguruan tinggi manapun kecuali yang secara tertulis diacu dalam penulisan penelitian ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
12
Untuk penelitian yang serupa dengan penelitian yang diajukan, ditulis oleh Putu Riyani Kartika Sari, 2014, Universitas Udayana, Denpasar, dengan judul skripsi “Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan bagi Sengketa Hak Kekayaan Intelektual di Propinsi Bali”. Skripsi ini membahas mengenai dua permasalahan yaitu: 1. Mengapa mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan penting untuk diterapkan dalam menyelesaikan sengketa Hak Kekayaan Intelektual? 2. Bagaimanakah presisi mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan dalam menyelesaikan sengketa Hak Kekayaan Intelektual di Propinsi Bali dan faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa Hak Kekayaan Intelektual? Selain itu terdapat juga penelitian yang ditulis oleh Ayu Komang Sari Merta Dewi, 2014, Universitas Udayana, Denpasar, dengan judul skripsi “Efektivitas Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Mediasi pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Denpasar”. Skripsi ini membahas mengenai dua permasalahan yaitu, efektivitas penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Denpasar dan akibat hukum dari penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi pada Badan Penyelesaian Konsumen Kota Denpasar.
13
Dari kedua judul penelitian sebagaimana yang telah dijabarkan diatas tidak ditemukan kesamaan baik dari segi judul, rumusan masalah maupun lokasi penelitian.
1.5
Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan. 1.5.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai dari usulan penelitian ini meliputi: 1. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali. 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul serta solusi untuk menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.
14
1.6
Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dalam pengembangan hukum formil khususnya dalam hal pemahaman mengenai penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan. 1.6.2 Manfaat Praktis Manfaat Praktis yang diharapkan dari penelitian ini yakni agar penelitian ini dapat memberikan informasi terkait kondisi yang nyata di masyarakat dalam hal penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan serta memberikan kontribusi dan solusi bagi masyarakat yang sedang mengalami sengketa perpajakan.
1.7
Landasan Teoritis Adapun landasan teoritis yang berkaitan dan digunakan untuk membahas rumusan masalah dalam penelitian mengenai Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan adalah teori yang berkaitan dengan asas-asas hukum acara peradilan pajak dan sengketa pajak, upaya hukum dalam penyelesaian sengketa perpajakan, teori tentang penegakan hukum serta teori tentang efektivitas hukum.
15
1.7.1 Teori tentang Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Pajak Hukum acara peradilan pajak tidak berbeda dengan hukum acara lainnya yang diberlakukan, karena memiliki asas-asas hukum sebagai pedoman untuk menciptakan norma hukum atau kaidah hukum.12
Asas-asas
hukum
merupakan
suatu
sarana
yang
menyebabkan hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana perkembangan hukum pajak akhir-akhir ini. Satjipto Rahardjo mengatakan13 apabila kita sekarang sampai pada pembicaraan mengenai asas hukum, maka pada saat itu kita membicarakan unsur yang paling penting dan pokok dari peraturan hukum. Hal ini dikarenakan asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis.14 Berpatokan pada undang-undang yang berkaitan dengan perpajakan yang berlaku maka asas-asas hukum yang diberlakukan atau diterapkan dalam hukum acara peradilan pajak, antara lain: a. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas;
12
Muhammad Djafar Saidi, 2013, Hukum Acara Peradilan Pajak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 7. 13 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 45. 14
Ibid.
16
b. Pengadilan sebagai instrumen terakhir untuk mendapatkan perlindungan hukum; c. Objektivitas; d. Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan; e. Kesatuan beracara dalam sengketa atau perkara yang sejenis; f. Praduga rechmatig; g. Pencegahan untuk tidak menunda penagihan pajak; h. Ne bis in idem; i. Sidang terbuka untuk umum; j. Hakim wajib aktif; k. Kesamaan di hadapan lembaga peradilan; l. Satu saksi bukan saksi; m. Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15 Asas-asas hukum memiliki fungsi yang bersifat universal dan mengayomi kaidah hukum yang terdapat dalam hukum itu sendiri. Tidak boleh dianggap bahwa asas-asas hukum acara peradilan pajak hanya untuk kepentingan hukum pajak, khususnya pada pembentukan kaidah hukum dalam kerangka penegakan hukum pajak.16 Asas-asas hukum pajak bersifat sangat fleksibel yang berfungsi sebagai pedoman untuk menegakkan hukum pajak secara utuh dan menyeluruh dalam kerangka mengisi kekosongan hukum pajak.
15
Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 8.
16
Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 11.
17
1.7.2 Teori tentang Upaya Hukum Dalam UU Pengadilan Pajak dikenal empat upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa yaitu keberatan, banding, gugatan dan peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan keberatan dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi dikarenakan wajib pajak merasa kurang atau tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya, maupun atas pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga. Maka dalam hal ini wajib pajak dapat mengajukan keberatan. Upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya hukum keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui keberatan karena yang diajukan banding adalah surat keputusan keberatan sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak di tingkat Lembaga Keberatan. Hukum acara peradilan pajak tidak hanya mengenal keberatan dan banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk melawan kebijakan fiskus yang terkait dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat tagihan pajak dan penagihan secara paksa. Gugatan dan banding keduanya merupakan upaya hukum biasa.17 Pengadilan
Pajak
dalam
menangani
masalah
gugatan
kompetensinya diperluas sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU KUP. Di samping terhadap pelaksanaan penagihan pajak, gugatan 17
Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 183.
18
dapat diajukan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.18 Bagi pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak, terhadap putusan Pengadilan Pajak dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali oleh pihak-pihak yang bersengketa ke Mahkamah Agung berdasarkan alasan tertentu yang diatur dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak. 1.7.3 Teori tentang Penegakan Hukum Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi dengan sesama sehingga memerlukan aturan untuk menjaga perilaku para pihak agar tidak terjadi gesekan antar individu selama berinteraksi di masyarakat. Dalam rangka menjaga ketentraman dan kedamaian di masyarakat selama berinteraksi, maka aturan atau norma-norma yang ada harus ditegakkan. Arti dari penegakan hukum di masyarakat terletak pada penyerasian hubugan antara nilai yang ada dalam kaidah atau norma dengan realisasi atau penerapan dalam tindakan sebagai penjabaran nilai tersebut untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan.19 Dengan demikian
18
Widayatno Sastrohardjono dan TB. Eddy Mangkuprawira, 2002, dalam Makalah “Prosedur Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak”, Jakarta, hlm.2 19
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet.XI, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h. 5.
19
secara konsepsional penegakan hukum berkisar dalam hal penerapan kaidah atau norma sebagai pedoman bagi prilaku yang dianggap pantas aau yang seharusnya yang mana ditujukan untuk memelihara kedamaian. Kemudian penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya
merupakan
penerapan
diskresi
yang
menyangkut
pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum.20 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa dalam rangka penegakan hukum identik dengan penerapan hukum di masyarakat yang mana amat dipengaruhi berbagai faktor untuk dapat terselenggaranya penegakan hukum yang baik. Oleh karena itu dalam hal penegakan hukum di masyarakat sering kali dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: a. Faktor hukumnya sendiri yakni yang berkaitan dengan undangundang; b. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk atau menerapkan hukum; c. Faktor sarana atau fasilitas yakni fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan;
20
Soerjono Soekanto I, op.cit., h. 7.
20
e. Faktor kebudayaan yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang dirasakan manusia dalam pergaulan hidup.21 1.7.4 Teori tentang Efektivitas Hukum Efektivitas Hukum artinya bahwa seseorang atau masyarakat benar-benar berbuat sesuai dengan ketentuan norma-norma hukum sebagaimana yang harus mereka perbuat dalam norma-norma hukum tersebut dan bahwa norma hukum tersebut benar-benar diterapkan dan dipatuhi. Menurut L.J. Van Apeldorn, Efektivitas Hukum berarti keberhasilan, kemajemukan, atau kemujaraban hukum atau UndangUndang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.22 Penerapan hukum di masyarakat dalam berbagai teori ditujukan sebagai
alat
untuk
mengubah
masyarakat
serta
mendukung
pembagunan. Sebagai sarana pengubah masyarakat terdapat beberapa kondisi yang diperhatikan agar hukum dapat digunakan sebagai sarana pengubah masyarakat antara lain: a. Hukum merupakan aturan umum yang tetap, bukan aturan yang bersifat ad-hoc; b. Hukum harus jelas dan diketahui oleh warga masyarakat yang kepentingannya diatur; c. Dalam penerapan hukum sebaiknya dihindari penerapan peraturan yang bersifat retroaktif;
21
22
Ibid., h. 8. Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 11.
21
d. Hukum harus dimengerti oleh umum; e. Tidak ada konflik peraturan; f. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan warga masyarakan untuk mematuhi; g. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya perubahan pada hukum karena masyarakat dapat kehilangan pegangan bagi kegiatannya; h. Adanya korelasi antara hukum dengan penerapannya.23 Suatu kaidah hukum yang diterapkan di masyarakat agar dapat berlaku efektif harus memenuhi dua syarat utama yakni: 1. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan; 2. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima oleh masyarakat.24 Dalam rangka penerapan atau pemberlakuan hukum yang baik di
masyarakat
perlu
memperhatikan
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi penerapan hukum itu sendiri yakni faktor yuridis, filosofis dan sosiologis. Secara yuridis, hukum berlaku apabila hukum tersebut dibentuk melalui proses tertentu oleh Badan atau lembaga negara yang berwenang. Secara filosofis, hukum yang berlaku di masyarakat sesuai dengan cita-cita hukum dari masyarakat. Secara
23
Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Ed.I-Cet.XVI, RajaGrafindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h. 148. 24
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Kencana, Jakarta, h. 117.
22
sosiologis, hukum yang berlaku di masyarakat apabila hukum tersebut dapat diakui, ditaati oleh masyarakat meskipun diterima atau tidak.25 Berbicara mengenai hukum yang berlaku di masyarakat (efektivitas hukum) menurut Laurence M. Freidman dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science Perspective menyebutkan bahwa suatu sistem hukum tersusun atas tiga perangkat yakni struktur hukum (lembaga hukum); substansi hukum (peraturan perundang-undangan); dan kultur atau budaya hukum.26 Dengan demikian untuk melihat bahwa hukum tersebut berlaku secara efektif atau tidak di masyarakat maka dapat tolak ukurnya dapat kita lihat dari penerapan ketiga unsur dari sistem hukum tersebut sesuai dengan fungsinya
masing-masing
disesuaikan
dengan
kebutuhan
di
masyarakat.
1.8
Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Penulisan Skripsi ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris. Artinya, penelitian hukum tersebut dalam penulisannya mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata.
25
Soerjono Soekanto II, Op.cit., h. 171.
26
Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, h.26.
23
Dalam konteks penelitian terhadap efektivitas hukum dibahas mengenai bagaimana hukum tersebut diterapkan dan beroperasi dalam masyarakakat.27 Dalam konteks efektivitas hukum diteliti bahwa hukum tidak semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literaturliteratur hukum, namun sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan masyarakat atau proses penerapan hukum di dalam masyarakat berdasarkan suatu gejala yang akan menimbulkan berbagai efek dalam kehidupan sosial dengan merumuskan kesenjangan antara das sein dan das solen, yaitu kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta hukum. Senada dengan hal tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa penelitian hukum non doctrinal merupakan penelitian yang berupa studi empiris untuk menemukan teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam masyarakat.28 1.8.2 Jenis Pendekatan Dalam penelitian ini digunakan beberapa jenis pendekatan yakni: a. Pendekatan Perundang-undangan b. Pendekatan Fakta c. Pendekatan Analisis Konsep Hukum d. Pendekatan Kasus
27
28
h.42.
Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31. Bambang Sunggono, 2012, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta,
24
Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan dengan berdasarkan kepada perundang-undangan, norma/kaidah hukum dalam hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan. Pendekatan Fakta adalah pendekatan dengan mendasarkan pada fakta-fakta yang didapat dari data-data yang ada di lapangan terutama berkaitan dengan pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali. Kemudian pendekatan analisis konsep hukum dimaksudkan untuk memahami konsep-konsep yang dapat dijadikan acuan untuk menjawab rumusan masalah terkait hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali. 1.8.3 Sifat Penelitian Dalam penelitian ini bersifat eksploratif dimana dalam penelitian ini mengeksplorasi mengenai penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan di masyarakat, pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan serta hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian
25
sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali. 1.8.4 Sumber Data Sumber data dalam penelitian hukum empiris didapatkan melalui data primer dan data sekunder. Data primer atau dikenal juga dengan nama data dasar adalah data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.29 Adapun data Primer berdasarkan atas data diperoleh di masyarakat yang berkaitan dengan rumusan masalah yang dibahas dengan kondisi yang ada di masyarakat. Data ini diperoleh dengan mengadakan penelitian secara langsung di lapangan yang akan dilakukan di Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali baik berupa hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.30 Dalam penelitian ini data sekunder bersumber dari bahan-bahan pustaka dalam bentuk bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Adapun beberapa bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai data sekunder dibedakan menjadi tiga, yakni: 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat, seperti Peraturan Perundang-undangan. Adapun
29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif, Cet.XV, Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III) h. 12. 30
Soerjono Soekanto III, loc.cit.
26
peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: -
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
-
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
-
Permenkeu No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan.
2. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian hukum; hasil karya ilmiah, literatur-literatur yang ditulis para ahli yang relevan dengan rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, kamus hukum, bahan dari internet. 1.8.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain menggunakan Teknik Wawancara (interview) dan Teknik Studi Dokumen. Adapun Teknik Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data primer yang akan dilakukan dengan melakukan
27
wawancara terhadap beberapa staf di Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali. Sedangkan teknik studi dokumen yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder sebagaimana yang telah dijabarkan diatas. 1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ini pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Dalam pengolahan dan analisis data secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang diperoleh di lapangan dengan permasalahan terkait. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif maka data yang diperoleh akan disajikan dengan secara deskriptif kualitatif dan sistematis. Hal tersebut dimaksudkan dengan menganalisis data yang didapat dikaitkan dengan teori-teori dalam landasan teoritis kemudian disajikan secara mendetail dan tersusun untuk merampungkan tulisan ini.