BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bank menjalankan kegiatan usahanya dengan membutuhkan kepercayaan dari masyarakat, antara lain tentang keamanan hingga keuntungan yang akan diperoleh bila menjadi nasabah, dan terlebih menjadi nasabah penyimpan pada bank. Selain faktor keamanan dan keuntungan tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Peachey bahwa kepercayaan masyarakat turut melingkupi faktor ketersediaan dana simpanannya yang kapanpun harus ada bila ingin diambil. Peachey1 mengatakan bahwa, para deposan harus memiliki kepercayaan bahwa dana mereka akan selalu tersedia saat mereka membutuhkannya. Jika mereka kehilangan kepercayaan itu, “penarikan besar-besaran” di bank akan terjadi dan bank pasti akan terpaksa ditutup kecuali mereka mampu mendapatkan likuiditas yang memadai dengan cukup cepat untuk memenuhi permintaan segera itu. Terkait kegiatan usaha pokoknya, perbankan Indonesia dikenal sebagai agen pembangunan (agent of development) yang memiliki tujuan menunjang
pelaksanaan
pembangunan
nasional
dalam
rangka
meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat
1
Alan N. Peachey, 2007, Bencana Keuangan Besar Masa Kini (Great Financial Disasters of Our Time), Indonesian Risk Professional Association, Jakarta, hlm. 61.
1
2
banyak.2 Dengan demikian, berdasarkan tujuan tersebut maka keberadaan perbankan
menjadi
unsur
yang
penting
dalam
sebuah
Negara.
Sebagaimana pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno menetapkan hari itu sebagai Hari Bank. Sukarman dan Sutaryono mengatakan hal demikian menunjukkan betapa pemerintah menganggap penting peran Bank dalam perekonomian dan pembangunan Negara.3 Sebagai unsur yang penting dalam sebuah Negara, kerentanan situasi perbankan terhadap stabilitas perekonomian nasional tentunya menjadi tinggi. Dimulai dari kepercayaan masyarakat yang menurun terhadap perbankan akan menurunkan kinerja perbankan itu sendiri, sebab sebagai intermediator, biaya operasional bank diperoleh dari keuntungan (spread based) selisih bunga yang diberikan kepada penyimpan dengan bunga yang diterima peminjam.4 Besarnya jumlah dana yang dikelola perbankan menjadi ukuran risiko apabila terjadi penurunan kepercayaan masyarakat. Semakin besar dana yang dikelola sebuah Bank maka risikonya menjadi semakin besar (too big to fail), dan demikian sebaliknya. Perbankan Indonesia memiliki pengalaman menghadapi fenomena menurunnya kepercayaan masyarakat saat terjadi krisis tahun 1997. Berdasarkan korelasi sektor keuangan Negara-negara di Asia maka
2
Muhamad Djumhana, 1993, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 77. 3 Infobanknews, Analisis, Widigdo Sukarman dan Paul Sutaryono, 17 Juni 2014, “Merawat Kesehatan Bank Nasional”, http://www.infobanknews.com/2014/06/merawat-kesehatan -banknasional/, diakses tanggal 7 November 2014, pukul 11.40 am. 4 Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, Rajagrafindo, Jakarta, hlm. 6.
3
penularan krisis terjadi pada beberapa Negara antara lain Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan. Satria5 menyatakan bahwa, berdasarkan teori efek penularan (contagious effect) ada dua hal yang dapat menjelaskan terjadinya penyebaran krisis di suatu kawasan. Pertama, efek penularan disebabkan oleh faktor fundamental (fundamental-based contagion) yakni eratnya hubungan dagang dan hubungan keuangan. Kedua, efek penularan disebabkan oleh faktor yang sifatnya spekulatif dari investor global dan pelaku sektor keuangan. Sejak masa orde baru, perbankan Indonesia telah mengalami perkembangan sebagaimana diuraikan oleh Djumhana6 menjadi beberapa tahap, antara lain tahap stabilisasi dan rehabilitasi pada tahun 1966 sampai tahun 1969, periode pembangunan pada tahun 1970 sampai tahun 1982, periode deregulasi pada tahun 1983 sampai tahun 1991.7 Paket deregulasi yang kemudian dimasukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
ialah
mengenai
prudential
regulation.
Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, perbankan Indonesia telah diwajibkan melaksanakan kegiatan usahanya berdasakan pada prinsip kehati-hatian. Secara umum, setiap Bank harus melaksanakan kegiatan usahanya dengan penuh kecermatan demi terhindar dari kerugian. Hal demikian menandakan upaya membangun kesehatan perbankan telah ditanamkan dengan maksud mencegah atau menghadapi krisis. Akan tetapi kenyataannya bertolak
5
Dias Satria, 2008, Keuangan Internasional “Explaining The Financial Crisis”, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 28. 6 Muhamad Djumhana, 1993, op.cit. hlm. 56. 7 Bandingkan dengan Kusumaningtuti SS., 2009, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 2.
4
belakang, perbankan belum mampu membangun pertahanan yang kuat menghadapi pengaruh negatif. Berdasarkan teori efek penularan yang mendeskripsikan alur bergeraknya krisis dari suatu Negara ke Negara lain, tentunya mengarahkan perhatian kita pada ketahanan sistem perekonomian suatu Negara, khususnya ketahahan sistem perbankannya dalam menyikapi ancaman krisis. Masuknya pengaruh negatif dari krisis di Thailand ke Indonesia telah menunjukan bahwa sistem perbankan dalam waktu yang relatif singkat telah diruntuhkan. Asrun dan Thohari menjelaskan bahwa, sistem perekonomian yang dibangun selama ini ternyata dengan cukup mudah diporak-porandakan, sesuatu yang beberapa tahun sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh para pembuat kebijakan (decision maker).8 Sebagaimana dikatakan oleh Nasution, reformasi keuangan yang terjadi pada awal tahun 1980an ternyata hanya memberikan peningkatan kuantitas lembaga-lembaga keuangan dan kuantitas aliran modal masuk (capital inflow) ke suatu Negara. 9 Selain menurut Asrun dan Thohari, serta Nasution yang melihat penyebab krisis dari aspek sistem perekonomian yang dibangun dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, dari aspek Hukum Paripurna menjelaskan bahwa krisis perbankan Indonesia juga disebabkan
8
Andi M. Asrun dan A. Ahsin Thohari, 2003, BLBI: Perspektif Hukum, Politik dan Ekonomi, Judicial Watch Indonesia, Jakarta, hlm. 1. 9 Anwar Nasution, 2003, Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia, Makalah disampaikan dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI tanggal 14-18 Juli di Denpasar, hlm. 1.
5
oleh lemahnya pengaturan sistem pengawasan, dan penegakkannya sehingga menimbulkan “pengabaian” terhadap praktek perbankan yang sehat.10 Salah satu upaya dalam membangun sistem perbankan yang kuat adalah peningkatan kesehatan Bank. Hal demikian juga untuk membangun kepercayaan masyarakat kepada perbankan yang baik. Sebagaimana dikatakan oleh Hermansyah, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga perbankan dalam kegiatan usahanya selalu berada dalam keadaan sehat. 11 Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU Perbankan), maka setiap Bank diwajibkan untuk memelihara tingkat kesehatannya.12 Dari aspek pengawasan maka melalui penilaian Tingkat Kesehatan, pengawasan terhadap perkembangan Bank menjadi lebih terfokus. Lebih luas lagi, bahwa Tingkat Kesehatan suatu Bank berkaitan dengan kepentingan yang bukan saja otoritas perbankan, namun juga pemilik dari Bank itu sendiri, pekerja dan masyarakat pengguna jasa Bank, bahkan kepentingan Nasional.
10
Paripurna, 2012, Pengaturan Sistem Pengawasan Perbankan berdasarkan Prinsip Kehati-hatian di Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum, Yogyakarta, hlm. 4. 11 Hermansyah, 2013, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 182. 12 Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
6
Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank ialah melalui instrumen-instrumen yang substansial pada Bank itu sendiri. Perbankan Indonesia telah beberapa kali merubah metode penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Sebelumnya perbankan menggunakan metode penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dikenal dengan sebutan analisis CAMEL. Metode penilaian CAMEL diatur dalam SK Direksi BI No. 10/163/1977, yang kemudian dicabut dan disempurnakan dengan SK Direksi BI No. 23/81/KEP/DIR dan SEBI No. 23/21/BPPP tanggal 28 Februari 1991, dan terakhir disempurnakan dengan SK Direksi BI No. 26/23/KEP/DIR dan SEBI No. 26/5/BPPP untuk bank umum dan SEBI No. 26/6/BPPP untuk BPR.13
CAMEL adalah penilaian yang dilakukan dengan menggunakan alat ukur antara lain: 1. Capital (permodalan) 2. assets (kualitas aset) 3. management (manajemen) 4. earning (rentabilitas) 5. liquidity (likuiditas) Namun metode penilaian Tingkat Kesehatan Bank di Indonesia yang sebenarnya pada waktu itu menurut Widjanarto14 adalah CAMEL plus, karena disamping menilai keadaan keuangan Bank yang meliputi 13
Widjanarto, 1995, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 100. 14 Ibid.
7
unsur CAMEL, juga dinilai keadaan atau unsur-unsur yang tidak termasuk dalam keadaan keuangan Bank yang merupakan faktor plus, yaitu kepatuhan terhadap peraturan-peraturan, khususnya peraturan di bidang perbankan. Pasca krisis, pada tanggal 12 April 2004 melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/ 10/ PBI/ 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, metode penilaian Tingkat Kesehatan Bank diubah menjadi analisis CAMELS yakni dengan menambahkan aspek sensitivity to market risk dengan aspek-aspek sebelumnya, sehingga menjadi: 1. capital (permodalan) 2. assets (kualitas aset) 3. management (manajemen) 4. earning (rentabilitas) 5. liquidity (likuiditas) 6. sensitivity to market risk (sensitivitas terhadap risiko pasar) Selanjutnya pada tahun 2011 melalui otoritas perbankan, metode penilaian Tingkat Kesehatan Bank kembali mengalami perubahan sehingga menjadi penilaian Tingkat Kesehatan Bank umum berbasis risiko. Diaturnya metode penilaian berbasis risiko melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/ 1/ PBI/ 2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, telah menandakan peran Hukum dalam upaya membangun regulasi perbankan yang memenuhi kebutuhan kegiatan usaha perbankan
8
sekaligus menata perbankan agar memiliki pertahanan yang kuat.15 Sebagaimana dikatakan Jemadu, indikator pengukuran Tingkat Kesehatan Bank telah mengalami pergeseran, dari berbasis indikator CAMELS menuju paradigm baru yang lebih bersifat konsolidatif dan komprehensif dengan menggunakan pendekatan Kesehatan Bank berbasis risiko (risk based bank rating).16 Dengan adanya kepentingan berbagai pihak terhadap Tingkat Kesehatan suatu Bank maka melalui pemberlakuan penilaian Tingkat Kesehatan Bank umum berbasis risiko ini tentunya diharapkan sebagai sarana kontrol kualitas (quality control) suatu Bank yang mencukupi dan terlebih untuk mencegah terjadinya krisis perbankan lagi di Indonesia, ditambah kegiatan usaha perbankan yang semakin kompleks, terbuka dan keterkaitan sektor keuangan yang meningkat di era ini. Apa lagi sejak tahun lalu berdasarkan voting dari para anggota dewan gubernur The Fed, diputuskan bahwa program quantitative easing akan dikurangi dan pada awal 2015, suku bunga akan mulai dinaikkan.17 Menanggapi hal tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Sekretaris Jendral Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede18 bahwa pertanda itu sebagai sebuah sirene yang akan membuat likuiditas di pasar dalam negeri
15
Hukum harus diberi peran yang memadai dalam rangka pemulihan krisis ekonomi berkepanjangan. Petrus Elias Jemadu, Dilema Normatif Penyertaan Modal Pendirian Perusahaan Perseroan Terbatas, Jurnal Nusa Cendana, Volume 4, Nomor 1 (April 2003), Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana., hlm. 26. 16 Petrus Elias Jemadu, “Perlindungan Hukum Nasabah dalam Kaitannya dengan Risiko Penyelewengan (Fraud) pada Bank Umum”, Jurnal Hukum Yurisprudensia, Volume 12, Nomor 1, Januari 2013, Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, hlm. 42. 17 Stabilitas: Governance, Risk Management & Compliance, Laporan Utama: Syarif Fadilah, 10 Desember 2014, “Ketika Sungai Mulai Mengering”, stabilitas.co.id/home/detail/ketika-sungaimulai-mengering. Diakses pada tanggal 18 Desember 2014, pukul 07.39 am. 18 Ibid.
9
mengering.19 Kalau itu terjadi, ada risiko terjadinya arus modal keluar (capital outflow) atau dengan kata lain, modal asing akan kembali ke negaranya.20 Namun demikian, perubahan metode penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum yang telah dilakukan beberapa kali tersebut tentunya juga menunjukan adanya perubahan konsepsi untuk melakukan penilaian terkait Kesehatan Bank. Adanya perubahan konsepsi tersebut menjadi suatu hal yang perlu dipahami bagaimanakah konsepsi penilaian terkait Kesehatan Bank yang digunakan saat ini. Untuk itu, sebagaimana diketahui bahwa saat ini digunakan penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berbasis risiko, maka perlu untuk memahami bagaimanakah konsep berbasis risiko. Ditengah upaya membangun perbankan yang kuat melalui perubahan metode penilaian Tingkat Kesehatan Bank menuju berbasis risiko, Pemerintah Indonesia bersama DPR telah mengesahkan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UUOJK). Dengan berlakunya UUOJK maka didirikanlah lembaga baru bernama Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut
OJK).
OJK
didirikan
dengan
maksud
mewujudkan
penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
19
Terdapat dua macam risiko likuiditas yang dihadapi perbankan, yaitu likuiditas di pasar dan likuiditas pendanaan. Risiko likuiditas pasar adalah risiko di mana likuiditas pasar memburuk ketika perbankan membutuhkan pendanaan untuk melanjutkan bisnis. Pendanaan risiko likuiditas adalah risiko di mana para pemilik dana tidak bersedia memberikan dananya untuk perbankan dan perbankan dipaksa untuk meningkatkan suku bunga. Ibid. 20 Stabilitas: Governance, Risk Management & Compliance, Manajemen Risiko: “Warisan Chatib Basri”, 8 Desember 2014, Ketika Sungai Mulai Mengering, stabilitas.co.id/home/detail/warisanchatib-basri. Diakses pada tanggal 18 Desember 2014, pukul 09.19 am.
10
terhadap sektor jasa keuangan.21 Perbankan menjadi salah satu sektor jasa keuangan yang pengaturan dan pengawasannya dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan OJK. Berdasarkan Pasal 69 ayat (1) huruf a UUOJK, Pasal 8 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, yakni tugas mengatur dan mengawasi Bank beralih menjadi tugas OJK. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential sebagaimana dimaksud UUOJK, Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential. Demikian sama halnya pada penjelasan Pasal 7 UUOJK yakni OJK memiliki tugas pengaturan dan pengawasan microprudential yang melingkupi antara lain: 1. aspek kelembagaan 2. aspek kesehatan 3. aspek kehati-hatian
21
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
11
4. aspek pemeriksaan bank, sedangkan tugas pengaturan dan pengawasan macroprudential yang berada pada BI ialah hal diluar Pasal 7 UUOJK tersebut. Bersamaan dengan langkah untuk memahami konsep penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berbasis risiko, maka setelah itu perlu dilihat upaya OJK dalam memastikan kepatuhan terhadap kesehatan Bank Umum berbasis risiko, apakah kemudian upaya tersebut selaras dengan konsep berbasis risiko itu sendiri. Selain itu, pelanggaran terhadap tingkat kesehatan Bank Umum akan turut dikaji, hal demikian untuk melihat akibat Hukumnya terhadap Bank Umum, yang sekaligus memahami konsekuensi atas ketidakpatuhan Bank Umum terhadap Otoritas Perbankan. Turut untuk ditelusuri pula apakah kemudian akibat hukum dari pelanggaran terhadap Tingkat Kesehatan Bank juga mengandung konsep berbasis risiko. Berdasarkan uraian tersebut diatas, Penulis mengangkat judul penelitian “Kajian Yuridis mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berbasis Risiko”. Melalui penelitian ini akan diteliti mengenai bagaimana metode penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum saat ini diatur, dan juga memaknai konsepnya yang berbasis risiko. Selain itu, juga akan dilihat bagaimana upaya OJK terhadap Kesehatan Bank Umum, serta akibat Hukum terhadap pelanggaran Tingkat Kesehatan Bank Umum.
12
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas yang menitikberatkan pada konsep penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berbasis risiko dan upaya OJK mengenai hal tersebut serta pelanggaran tentang penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, maka hal-hal demikian disusun dalam bentuk rumusan masalah antara lain sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berbasis risiko? 2. Bagaimana upaya Otoritas Jasa Keuangan memastikan kepatuhan terhadap Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berbasis risiko? 3. Bagaimana akibat Hukum terhadap pelanggaran Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui pelaksanaan penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsep Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berbasis risiko, termasuk alasan penggunaannya. 2. Untuk mengetahui upaya Otoritas Jasa Keuangan memastikan kepatuhan terhadap Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berbasis risiko. 3. Untuk mengetahui akibat Hukum terhadap pelanggaran Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
13
D. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam segi praktis maupun akademis antara lain sebagai berikut: 1. Segi Akademis Melalui penelitian ini maka diharapkan hasilnya dapat berguna bagi pengembangan ilmu Hukum, khususnya berkaitan dengan pengaturan penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berbasis risiko, upaya Otoritas Jasa Keuangan terhadapnya dan akibat Hukum terhadap pelanggaran penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. 2. Segi Praktis Melalui penelitian ini maka diharapkan hasilnya menjadi masukan kepada para pihak yang terlibat dalam dunia praktik perbankan, khususnya tentang penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berbasis risiko, upaya Otoritas Jasa Keuangan terhadapnya dan akibat Hukum terhadap pelanggaran Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang dilakukan dalam tataran tesis, Penulis belum menemukan penelitian yang pernah dilakukan dengan mengangkat judul serta permasalahan yang sama dalam penelitian ini, khususnya tentang konsep penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berbasis risiko. Adapun penelitian yang telah dilakukan seputar OJK antara lain:
14
1. Penelitian oleh Afif Amrulah yang dilakukan pada tahun 2014 tentang Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Industri Jasa Keuangan di Indonesia berdasar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Penelitian oleh Yustina Wahyu Kusumaningsih pada tahun 2013 tentang Telaah Kritis Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 3. Penelitian oleh Triantono pada tahun 2013 tentang Konsep Kepatuhan (Compliance) dalam sistem pengawasan perbankan di Indonesia. Walaupun demikian, ketiga penelitian tersebut di atas tidak meneliti secara khusus upaya Otoritas Jasa Keuangan terkait penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Oleh karena itu yang membedakannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini secara khusus mengkaji upaya Otoritas Jasa Keuangan terkait penilaian Tingkat Kesehatan Bank umum.