BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemunculan ide ‘multikulturalisme’ di awal abad ke-21 telah melahirkan satu fenomena baru didalam masyarakat dunia, yaitu meningkatnya arus imigrasi dan perpindahan kewarganegaraan atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Diaspora (Agarwal,1), dari negara berkembang ke negara maju. Amerika sebagai negara maju sekaligus penggagas ide multikulturalisme tersebut, lantas menjelma menjadi tanah tujuan bagi para imigran dari berbagai belahan dunia, termasuk India. Selain didasari oleh ide multikuturalisme yang digagas oleh negara Amerika, kedatangan para imigran tersebut juga dikarenakan mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk bisa bekerja dan dibayar secara profesional di negara maju tersebut yang diklaim sebagai ‘the land of promises’(Agarwal 1). Menurut Agarwal di dalam buku Women Writers and India Diaspora, untuk mendapatkan pencapaian yang mereka inginkan, tidak jarang para imigran dihadapkan pada satu permasalahan baru yaitu adaptasi kebudayaan, para imigran harus mampu beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan beberapa kebudayaan lainnya yang juga eksis di negara multikultural tersebut. Proses adaptasi tersebut, tentu saja berdampak terhadap kebudayaan asli mereka dimana para imigran mulai terlihat meninggalkan kebudayaan lama mereka dan mengadaptasi kebudayaan baru agar tujuan mereka sebagai seorang imigran dapat tercapai. Bentuk adaptasi tersebut dapat dilihat dari gaya hidup (penyesuaian terhadap makanan setempat), cara berpakaian (yang juga disesuaikan dengan mobilitas dan
cuaca setempat), bahkan para imigran harus mampu beradaptasi dengan bentang geografis yang jauh berbeda dari kampung halaman dan membuat mereka rindu kampung halaman. Maka tidak jarang di dalam proses adaptasi ini, para imigran menemukan diri mereka terjebak di dalam satu masalah baru yaitu keterasingan dengan kebudayaan setempat, bahkan yang lebih parah para imigran mulai kehilangan identitas kulturalnya (Agarwal, 2). Di dalam buku Women Writers and Indian Diaspora, Agarwal menambahkan: The immigrants found themselves caught in the old world values and the new world promises. The possibilities of the adoption in the life of immigrants were conditioned with the needs of the individual and the opportunities of bright future in professional world (8). [Para imigran mulai menyadari bahwa mereka terjebak diantara nilai-nilai asli mereka dan janji menggiurkan yang ditawarkan negara baru. Untuk itu memungkinkan bagi para imigran untuk dapat beradaptasi dengan kebudayaan baru karena dikondisikan dengan kebutuhan individu dan kesempatan emas yang ditawarkan negara baru tersebut.] Kutipan di atas mengimplikasikan adanya proses penukaran identitas kultural para imigran dari kebudayaan lama ke kebudayaan baru, sebagai bentuk adaptasi mereka di negara baru agar kesempatan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan di negara baru, bisa tercapai. Kemudian mereka sadari proses adaptasi tersebut akan memunculkan masalah baru yaitu kehilangan identitas kultural di dalam diri para imigran. Situasi yang dialami para imigran ini, menjadi latar belakang lahirnya penulis-penulis imigran yang menulis fenomena imigran dan konstruksi identitas berdasarkan latar belakang kebudayaan yang berbeda, yang kemudian dikenal dengan penulis diaspora (Agarwal, 2) dan karyanya yang disebut dengan sastra
diaspora. Isu-isu yang diangkat penulis diaspora kedalam karyanya ini, menyoal masalah keterasingan dengan kebudayaan baru, perasaan rindu kampung halaman, juga nostalgia akan masalalu di negara asal mereka. Format utama di dalam karya sastra diaspora ini adalah fenomena diaspora yang menciptakan masalah baru terhadap identitas asli mereka dimana beberapa karakter akan terjebak diantara kembali ke negara asal untuk menyelamatkan identitas aslinya, ataupun tetap meraih kesempatan bagus di negara baru dengan konsekuensi kehilangan identitas aslinya (Agarwal, 6). Di dalam buku Women Writers and Indian Diaspora karangan Agarwal, ada Beberapa penulis India yang turut meramaikan dunia sastra diaspora diantaranya Shanta Rama Rau, Jhumpa Lahiri, Chitra Banerjee, Anita Rau Badami, dan Bharati Mukherjee. Selepas menamatkan pendidikannya di Inggris, Shanta Rama Rau berhijrah ke Amerika. Karya sastra diaspora yang telah dihasilkannya diantaranya, Home to India (1945), Remember the House (1956), Gifts of Passage (1961), dan The Adventurer (1971). Mengutip bahasa Agarwal yang menyatakan bahwa, Karya diaspora yang telah dihasilkannya, banyak bercerita tentang kehidupan para imigran India di Amerika yang berjibaku dengan kehidupan Amerika yang menjanjikan, namun terkadang dibayangi oleh kenangan masalalu mereka di India. Identitas imigran yang dibentuk Rau didalam karyanya, kebanyakan tetap berasimilasi dengan kebudayaan baru tetapi didalam pikiran masih tetap dibayangi dengan nostalgia kampung halaman (8). Berikutnya
adalah
Jhumpa
Lahiri,
penulis
diaspora
yang
telah
menghasilkan tiga buah karya sastra diaspora diantaranya, Interpreter of Maladies (1999), Namesake (2002), dan The Unaccustomed Earth. Agarwal menambahkan
bahwa karya Lahiri, membuka era baru di dalam kepenulisan diaspora. Karyanya sedikit menyimpang dari trauma akan pengasingan oleh kebudayaan dominan, dan juga kehilangan identitas. Konstruksi identitas imigran yang dibangun Lahiri di dalam karyanya, lebih membaur dengan kebudayaan baru sebagai imigran, asimilasi kebudayaan menjadi isu utama dalam karya diaspora Lahiri. Karakter di dalam karya Lahiri banyak mengeksplorasi ‘cinta’ sebagai metafor pemersatu kehidupan, kebudayaan, dan waktu yang berbeda. Penulis diaspora selanjutnya adalah Chitra Banerjee, yang turut menyumbang ide nya kedalam karya sastra diaspora dengan gaya yang sedikit inovatif. Chitra menggabungkan unsur magis, fantasi, mitos, dan mimipi kedalam alur ceritanya sebagai penghubung pada kebudayaan lama. Teknik ini digunakannya sebagai bentuk kesadaran pengalamannya sebagai seorang imigran bahwa dia berada diantara dua kebudayaan yang berbeda. Konstruksi identitas imigran yang dibentuk Chitra di dalam novelnya, tidak jauh berbeda dengan dua penulis yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu berasimilasi dengan kebudayaan setempat. Agarwal menambahkan bahwa karakter di dalam novel Chitra, menyadari bahwa ‘otherness’ yang ada dalam diri mereka merupakan dampak yang harus mereka terima sebagai imigran yang hidup dikebudayaan baru dan kenangan akan kebudayaan lama. Penulis keempat yang ada dalam daftar penulis diaspora adalah Anita Rau Badami. Di dalam karyanya, Anita menampilkan fenomena imigrasi dalam persepsi yang lebih sesuai dengan kehidupan. Karyanya banyak menghindari permasalahan krisis identitas, karena dia menyadari bahwa krisis identitas tidak hanya dirasakan oleh orang yang hidup sebagai imigran. Anita banyak
mengeksplorasi perbedaan kebudayaan tidak hanya dirasakan oleh para imigran saja, mereka yang berada di negara asalnya juga kerap menemukan perbedaan kebudayaan dan keterasingan satu sama lain. konstruksi identitas para imigran di dalam karyanya sama dengan penulis-penulis yang telah disebutkan sebelumnya bahwa asimilasi terhadap kebudayaan tidak hanya sesuatu yang dilakukan oleh para imigran saja, tetapi juga mereka yang hidup di negara asal. Penulis diaspora kelima yang disebutkan di dalam buku Women Writers and Indian Diaspora adalah, Bharati Mukherjee. Menurut Agarwal, berbeda dengan beberapa penulis sebelumnya yang menyadari asimilasi sebagai bentuk konstruksi identitas para imigran, Bharati cenderung membuat cerita yang lebih kompleks. Narasi diaspora didalam karya-karya Bharati, fokus terhadap isi-isu keterasingan, nostalgia akan masalalu, kesadaran yang kuat atas perbedaan kebangsaan yang tengah dialami para imigran di dalam karyanya, dilema kebudayaan, dan kesetiaan terhadap nilai moral dan hubugan di dalam keluarga. Kompleksitas yang ada di dalam karya Bharati kemudian membentuk konstruksi identitas yang kebanyakan menentang kesempatan yang diberikan oleh lingkungan multikultural (Agarwal), dengan kata lain memilih teguh dengan nilainilai moral masalalu. Sebagai penulis diaspora, menurut Agarwal karakter di dalam karya Shanta Rama Rau, Jhumpa Lahiri, Chitra Banerjee, Anita Rau Badami, cenderung memilih untuk mengasimilasi kebudayaan Amerika sebagai bentuk adaptasi mereka terhadap kebudayaan baru. Bahkan Agarwal juga menegaskan bahwa ide yang dikemukakan Anita Rau Badami lebih nyata di dalam kehidupan sehari-hari, dimana perbedaan dan keterasingan dapat ditemui dimana saja, menandakan
bahwa kebudayaan yang berbeda bukan hanya menjadi masalah para imigran. Namun disaat asimilasi menjadi hal yang dipilih para penulis tersebut, Agarwal justru memunculkan penulis lain yang disebutnya menentang untuk berasimilasi dengan kebudayaan baru dan di dalam karyanya memilih tetap teguh terhadap nilai tradisional. Hal ini yang kemudian menggelitik penulis untuk membuktikan pernyataan dari Agarwal yang mengatakan bahwa konstruksi identitas yang dibentuk Bharati di dalam karyanya, menunjukkan penolakan terhadap asimilasi dan tetap teguh kepada nilai-nilai tradisional. Dari beberapa karya yang telah diterbitkannya seperti, The Tiger’s Daughter (1972), Wife (1975), Jasmine (1989), Holder of the World (1993), Leave it to me (1997), Desirable Daughters (2004), dan The Tree Bride (2006), penulis memilih karya Bharati yang terbit di tahun 2004 Desirable Daughters. Agar lebih spesifik, novel ini dipilih untuk menelusuri konstruksi identitas para imigran yang digambarkan Bharati lewat karyanya yang juga terbit di awal abad ke-21, dimana arus imigrasi mengalami peningkatan secara besar-besaran. Homi K Bhabha, di dalam teori hibriditasnya mengungkapkan bahwa, identitas bersifat dinamis dimana satu identitas merupakan hasil dari peleburan dengan identitas yang lain. Permasalahan diaspora berakar dari munculnya kesadaran imigran akan adanya perbedaan diantara kebudayaan baru dan yang lama. Penyelesaian masalah diaspora ini, di dalam teori hibriditas Bhabha akan dijawab, karena secara tegas Bhabha mengatakan bahwa selalu ada ruang ketiga diantara benturan dua kebudayaan yang berbeda. Setiap oposisi yang dibentuk oleh pengarang, akan mengalami kemenduaan karena menurut Bhabha di dalam self selalu ada other begitupun sebaliknya. Untuk itu, penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian terhadap novel Desirable Daughters ini untuk membuktikan dengan pasti konstruksi identitas di dalam karya diaspora Bharati Mukherjee yang dikatakan Agarwal sebagai keteguhan terhadap nilai-nilai moral kebudayaan lama.
1.2 Rumusan Masalah Latar belakang diatas membawa penelitian ini pada masalah-masalah berikut: 1. Bagaimanakah struktur novel Desirable Daughters? -
Bagaimana hubungan struktur novel tersebut dengan konstruksi identitas dan hibriditas?
2. Apa faktor paska-kolonial yang mempengaruhi terbentuknya konstruksi identitas dan hibriditas di dalam novel? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Memaparkan struktur di dalam novel Desirable Daughters untuk mengetahui sudut pandang pengarang. - Menjabarkan hubungan dari struktur novel tersebut dengan konstruksi identitas dan hibriditas. 2. Menemukan konstruksi identitas yang terdapat di dalam novel yang mana belum berhasil diungkap pada penelitian sebelumnya. Tujuan yang lain adalah memperkenalkan teori hibriditas Bhabha kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat sastra. Diharapkan kemudian penelitian
ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap perkembangan kritik sastra, khususnya kritis sastra paska-kolonial.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap novel Desirable Daughters karya Bharati Mukherjee ini, sejauh yang penulis ketahui, sudah ada yang meneliti. Namun dengan pendekatan dan teori yang berbeda. Diantara beberapa penelitian tersebut adalah: Penelitian pertama adalah sebuah tesis yang ditulis oleh Sumana Coppan dengan judul Desirable Daughters: Cultures Creating the Multiple and Malleable Self. Penelitian ini dilatar belakangi oleh fenomena imigran yang turut mempengaruhi kepenulisan di dalam karya sastra. Salah satunya Bharati Mukherjee, yang dengan pengalamannya sebagai seorang imigran, turut serta mengkonstruksi identitas imigran India di Amerika. penelitian ini menggunakan teori identitas Du Boisan, dimana di dalam teorinya Du menyatakan bahwa persepsi diri merupakan pondasi utama dalam membentuk identitas. Teori Du juga menjelaskan bahwa solusi buat mereka yang hidup di antara dua kebudayaan adalah dengan tetap memiliki persepsi diri, dimana satu individu bebas memilih identitas berdasarkan persepsi mereka. Satu karakter yang menjadi fokus utama penelitian ini adalah Tara, disini Tara digambarkan sebagai karakter yang fluid. dimana saat berimigrasi ke Amerika Tara mengadaptasi kebudayaan baru dan mulai kehilangan identitas aslinya. Di dalam penelitian ini Sumana mengkritisi konstruksi identitas kultural yang digambarkan Bharati sebagai bentuk adaptasi dari proses imigrasi yang dialami oleh karakternya. Di dalam penelitian ini,
Sumana mengkonstruksi ulang konsep identitas di dalam novel sesuai dengan teori Du, bahwa identitas seseorang dapat berubah dengan cepat sesuai dengan persepsi yang ada di pikiran masing-masing individu. Sumana berpendapat bahwa dengan persepsi tetap menjadi India atau Amerika, Tara tidak akan mengalami masalah krisis identitas. Pada penelitian ini, Sumana cukup baik memaparkan permasalahan diaspora yang hadir pada karakter novel merupakan hasil dari adaptasi mereka terhadap kebudayaan baru dan disini Sumana mengkonstruksi ulang konsep identitas berdasarkan persepsi diri. Namun masih ada kelemahan di dalam penelitian ini, persepsi diri yang dimaksud tentu akan berdampak terhadap perubahan identitas para imigran dengan sangat signifikan, yang justru mengimplikasikan tetap terciptanya gap diantara kebudayaan baru dan yang lama. (2004) Penelitian kedua adalah sebuah jurnal internasional yang ditulis oleh Ashish Kumar Gupta dengan judul Race, Multiculturalism and Immigrant Identity in Bharati Mukherjee’s Desirable Daughters. penelitian ini diawali dengan fenomena ras, kasta, dan bahasa di India yang berbeda-beda, dan tidak jarang perbedaan tersebut menimbulkan konflik tersendiri diantara masyarakatnya. Perbedaan ras ini, tidak hanya terjadi di India. Karena saat beberapa penduduk India tersebut hijrah ke Amerika, konflik perbedaan ras ini juga masih terus berlanjut. Ashish menggambarkan beberapa konflik yang terdapat di dalam novel Desirable Daughters ini, dimana beberapa karakter yang berasal dari kasta Brahmana yang tetap menganggap diri mereka dewa, justru di negara baru mereka tidak dianggap lagi seperti Brahmana. Kasta Brahmana di Amerika, dianggap sama dengan kasta-kasta lainnya yang jauh lebih rendah dari mereka posisinya.
Hal ini menimbulkan keputusasaan di dalam karakter yang berasal dari kasta Brahmana, dan memori tentang India kembali diungkit di dalam novel ini. Ashish menggunakan metode modus operandi dan modus vivendi di dalam menjawab persoalan diaspora yang dialami karakter yang berasal dari kasta Brahmana tadi. Metode ini menjelaskan bahwa selalu ada perubahan diantara waktu, ruang, dan atmosfer yang dirasakan oleh masing-masing etnik. Jika di tempat asal mereka ditinggikan, justru di tempat baru mereka dianggap sebagai orang timur yang berfikiran sempit saat mereka tetap menganggap diri mereka berbeda satu sama lain. Peneliti mengkritisi konstruksi identitas di dalam novel Desirable Daughters ini yang terlalu membuat batasan perbedaan diantara ras dan kasta yang ada di India. Pada akhir penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa identitas akan terus berubah selagi dunia masih dibagi-bagi kedalam perbedaan bahasa, agama, ras. Kecuali timbul kesadaran untuk menganggap bahwa semuanya adalah satu dan sama. Penelitian kedua ini, sedikit lebih netral di dalam menanggapi perbedaan ras, kasta yang ada dengan memberikan konstruksi baru dimana merubah perbedaan itu menjadi persatuan. Namun, tetap ada kekurangan di dalam penelitian ini, karena untuk sampai pada kesadaran akan persatuan, perlu adanya pengetahuan akan konteks identitas itu sendiri. Dan perlu diungkapkan sedikit latar belakang sejarah mengenai identitas masyarakat India, agar kesadaran tersebut dapat diterima dengan baik. Penelitian ketiga adalah Helenice Nolasco Queiroz di dalam tesis yang berjudul Desirable Relations: Diaspora and Gender Relations in Bharati Mukherjee’s Jasmine and Desirable Daughters. Tesis ini dilatar belakangi dengan beberapa kritik penelitian terhadap gaya kepenulisan Bharati di dalam novelnya,
dimana kritik tersebut kebanyakan fokus terhadap marginalisasi karakter di dalam novel dan penderitaan yang dialami karakter sebagai seorang imigran merupakan hasil dari marginalisasi imigran sebagai seorang pendatang. Queiroz menganalisis dua novel Bharati yaitu Jasmin dan Desirable Daughter. Di dalam penelitian ini Queiroz mengkritisi penelitian sebelumnya, Queiroz fokus kepada karakter imigran perempuan di dalam novel. Bagaimana para karakter perempuan ini memposisikan diri mereka sebagai seorang anak, saudara perempuan, ibu, istri, bahkan janda di Negara baru sebagai sebuah efek dari proses imigrasi tersebut. Penelitian ini menggunakan teori feminis. Dimana disimpulkan bahwa terdapat perubahan karakter perempuan di dalam novel ini, sebagai reaksi mereka terhadap perubahan kebudayaan dan terhadap liberalisasi seperti apa yang disebut para feminis bahwa para karakter ini telah menemukan rumah baru mereka di Amerika. Menurut Queiroz, dari kacamata feminis novel ini cukup merepresentasikan suara perempuan yang marginal di dalam komunitasnya dengan adanya imigrasi. Penelitian keempat yaitu Rosi Indriastuti dari Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Semarang. Di dalam penelitiannya yang berjudul Assimilation Among the Characters in Bharati Mukherjee’s Desirable Daughters. di dalam penelitian ini, Rosi menggunakan pendekatan assimilasi yang fokus kepada karakter utama di dalam novel, Tara. Penelitian ini membahas tentang Imigran India di Amerika yang berusaha untuk meng-asimilasi kebudayaan dominan kedalam kehidupan Tara sebagai seorang imigran. Penelitian ini terhenti hanya sampai deskripsi Rosi terhadap adanya sebuah asimilasi yang dilakukan karakter utama sebagai seorang imigran, sebagai bentuk pengadaptasiannya dinegara baru.
Penelitian ini tidak menggunakan teori tertentu, hanya terhenti sampai pendeskripsian.
1.5 Landasan Teori 1.5.1 Paska-kolonial Paska-kolonial di dalam kritik sastra merupakan metode yang digunakan untuk mengkritisi, menganalisa, dan mengevaluasi karya sastra paska-kolonial. Meskipun penjajahan telah berakhir, namun dampak dari penjajahan tersebut masih bisa dirasakan hingga saat ini (Aschroft, 2) salah satunya di dalam karya sastra. Di dalam buku The Empire Writes Back, Ashcroft dkk, mengatakan bahwa “we use the term ‘post-colonial’, however, to cover all the culture affected by imperial process from the moment of colonization to the present day (2). Istilah paska-kolonial yang diperkenalkan oleh Aschroft, dkk, adalah sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu kebudayaan yang dipengaruhi oleh proses penjajahan yang masih tetap berlangsung dari masa kolonial itu sendiri hingga yang masih tersisa saat ini. Adapun contoh dari kebudayaan yang dipengaruhi oleh penjajahan itu dapat dijumpai baik itu dari segi arsitektur bangunan, bahasa nasional, sistem pemerintahan, ideologi penjajah yang tertanam di dalam diri masyarakat yang dijajah, hingga yang terefleksi di dalam kesusastraan. Dibidang karya sastra, studi paska-kolonial menurut Aschroft dkk, adalah: Literatures offers one of the most important ways in which these new perceptions are expressed and is in their writing, and through other arts such as painting,
sculpture, music, and dance that day-to-day realities experienced by colonized peoples have been most powerfully encoded and so profoundly influential. (1) [Karya-karya sastra yang menawarkan tekhnik baru untuk menampilkan persepsi baru di dalam tulisan, persepsi baru ini juga yang terdapat di dalam karya seni lain seperti lukisan, pahatan, musik, dan tarian dimana menampilkan pengalaman pribadi orang-orang terjajah yang menyiratkan adanya pengaruh yang sangat kuat dari era penjajahan dan masih berlangsung hingga saat ini]. Ashcroft, dkk menjelaskan bahwa di dalam karya sastra dan karya seni lainnya, terdapat bentuk persepsi baru yang dituliskan penulis dimana di dalam tulisan tersebut dapat dilihat adanya bentuk pengaruh era kolonial bahkan pengaruh tersebut masih bisa dirasakan meskipun negara yang dijajah sudah mendapatkan kemerdekannya. Tulisan tersebut menggambarkan adanya pengaruh kolonialisasi di dalam kehidupan sehari-hari, kemudian ditangkap oleh pengarang dan dituliskan kedalam sebuah karya sastra. Cerita kolonialisasi yang dirangkum di dalam sebuah karya sastra tersebut, tidak hanya merujuk kepada sudut pandang penulis dalam menanggapi periode masa dimana penjajahan masih menjajah. Tetapi juga masa sekarang, yang di dalamnya masih terdapat sisa-sisa kolonialisasi yang tetap hidup di dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan Ashcroft dkk bahwa, “this is because there is a continuity of preoccupations throughout the historical process initiated by European imperial agression.” (2). [Karena selalu ada kelanjutan dari proses agresi yang dilancarkan oleh kolonialisasi Eropa]. Maka dari pada itu, karya sastra paska-kolonial tetap hadir untuk menanggapi dampak/efek daripada kolonialisasi tersebut yang masih bisa dirasakan oleh masyarakat (khususnya terjajah) dan tercermin di dalam karya
sastra. Ashcroft dkk menyebutnya di dalam buku The Empire Writes Back bahwa, “the world as it exists during and after the period of European imperial domination and the effects of this on contemporary literatures. (2) [Masa dimana dominasi bangsa Eropa masih berlangsung hingga sesudahnya, kemudian berdampak dan terefleksi di dalam karya sastra kontemporer]. Karya sastra paska-kolonial ini, disebut Ashcroft dkk sebagai karya sastra paska-kolonial. Karya sastra yang berasal dari penulis negara bekas jajahan, yang di dalamnya menggambarkan proses ataupun dampak dari penjajahan tersebut, digolongkan Aschroft dkk kedalam karya sastra paska-kolonial. “so the literatures of African countries, Australia, Bangladesh, Canada, Carribean countries, India, Malaysia, Malta, New Zealand, Pakistan, Singapore, South Pasific Island countries, and Sri Lanka are all post-colonial literatures. (2). Negara-negara yang digolongkan Aschroft dkk kedalam karya sastra paskakolonial, merupakan negara bekas jajahan Inggris yang di dalam karyanya menggunakan bahasa inggris sebagai media. Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menganalisa karya satra paska-kolonial, diantaranya adalah Orientalisme Said, Hybriditas, ambivalensi, mimicry Bhabha, dan Subalternitas Spivak. Khusus untuk penelitian kali ini, penulis akan menggunakan teori hibriditas Homi K Bhabha. 1.5.2 Teori Hibriditas Di dalam buku The Key Concept Postcolonial Studies, Ashcrofft dkk, menjelaskan bahwa “hybridity commonly refers to the creation of new transcultural forms within the contact zone produced by colonization”(188).
Konsep hibriditas ini merujuk kepada pembentukan sebuah kebudayaan baru yang mana terbentuk dari dua kebudayaan yang berbeda tetapi mengalami kontak antara satu sama lain, dalam kasus ini yang terjadi karena proses penjajahan itu sendiri yang mana terdapat interaksi kebudayaan antara penjajah dan bangsa yang dijajah kemudian menghasilkan satu kebudayaan baru yang serupa tapi tidak sama. Ilmu holtikultura juga menggunakan istilah hibriditas ini untuk mengelompokkan satu spesies yang dihasilkan dari persilangan dua spesies yang berbeda, “as used in horticultture, the term refers to the cross-breeding of two spcies by grafting or cross-pollination to form a third ‘hybrid’ species” (118). Di dalam bukunya yang berjudul The Location of Culture Bhaba menyebutkan bahwa “hybridity can have at least 3 meanings – in term of biology, ethnicity, and culture”. Sedikitnya ada tiga defenisi yang berbeda mengenai hibriditas dan tergantung kepada ilmu yang menaunginya. Seperti disebut di dalam ilmu holtikultura diatas, bahwa hibriditas merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah spesies yang lahir dari proses persilangan. misalkan saja satu pohon mangga arum manis, yang kemudian dikawinkan dengan mangga golek dengan sistem okulasi (penempelan), maka buah mangga yang akan lahir merupakan sebuah spesies mangga yang hibrid. Proses defenisi hibriditas secara ilmu holtikultura tadi tentu saja berbeda dengan konsep hibriditas yang ada didalam kajian paskakolonial seperti yang akan dibahas ini. Istilah hibriditas di dalam studi paska-kolonial, dipopulerkan dan diperkenalkan oleh Homi K Bhabha, seorang yang berlatar belakang dari keluarga
Parsi yang berasal dari Bombay India. “the term ‘hybridity’ has been most recently associated with the work of Homi K. Bhabha, whose analysis of colonizer/colonized relations stresses their interdependence and the mutual construction and their subjectivities.” (118). [Istilah hibriditas diperkenalkan di dalam karya Bhabha
yang mana disebutkan bahwa hubungan
antara
penjajah/terjajah itu merupakan satu hubungan yang saling ketergantungan]. Melalui kumpulan essainya yang terangkung di dalam sebuah buku berjudul The Location of Culture, Bhabha menyebutkan bahwa “for me the importance of ‘hybridity’ is not to be able to trace two original moments from which the third emerges, rather ‘hybridity’ to me is the ‘third space’ which enables other positions to emerge” (211). Kesimpulan dari kutipan tersebut adalah bagi Bhabha, konsep hibriditas itu sendiri bukanlah untuk melacak keaslian satu posisi (kebudayaan) diantara dua kebudayaan yang sudah ter-hibrid, tetapi lebih luas lagi bahwa konsep hibriditas itu sendiri merupakan sebuah konsep yang menggabungkan dua unsur untuk kemudian menghasilkan satu unsur yang benar-benar baru yang disebut Bhabha sebagai ‘Third space’/ ruang ketiga. Konsep hibriditas yang dipelopori oleh Bhabha ini kemudian ditanggapi serupa oleh seorang sosiolog bernama Alina sajed yang dituangkan di dalam essainya yang berjudul Hybridity, “hybridity can be defind as the process that involves a mixture or a combination of two different elements, which results in a third element that claims a difference from either of the two terms” (1). Secara garis besar, Sajed menyebutkan bahwa hibriditas dapat didefenisikan sebagai sebuah proses yang melibatkan percampuran antara dua elemen yang berbeda, dimana penggabungan dua elemen tersebut kemudian menghasilkan satu elemen
baru yang disebut sebagai elemen ketiga yang tidak sama dengan kedua elemen yang tadi membentuknya. 1.5.3 Ambivalensi kontribusi Bhabha terhadap dunia paska-kolonial, tidak lagi merujuk kepada subjek yang berbeda (antara penjajah dan terjajah) yang sebelumnya dihasilkan oleh penjajahan. Tetapi lebih kepada penyelamatan/pembebasan subjek kolonial dari hegemoni wacana kolonial yang tidak pasti (wacana yang memandang timur dan barat sebagai dunia yang berbeda). Kontribusi Bhaha ini “bisa digunakan untuk melawan dominasi kekuasaan dan pengetahuan yang selama ini diciptakan oleh penjajah” (33). Dominasi kekuasaan dan pengetahuan yang selama penjajahan ditanamkan kedalam ideologi masyarakat terjajah, dimana didalam ideologi tersebut menempatkan barat sebagai bangsa terdidik dan timur sebagai bangsa tertinggal. Melalui teori hibriditas Bhabha kemudian menyamarkan dominasi tersebut, dimana barat tidak selamanya superior dan timur tidak selamanya terbelakang. Kebudayaan yang homogen, menurut Bhabha adalah sesuatu yang tidak mungkin. Karena didalam teks, selalu ada oposisi biner yang membentuk kemenduaan/split/ambivalensi. Berangkat dari interaksi hubungan antara penjajah dan terjajah, akan membentuk sebuah kebudayaan yang merupakan proses dari hibriditas, yang akan selalu split (menerima sekaligus menolak) atau ketidak pastian tanda. Ketidak pastian tanda yang dimaksud Bhabha adalah dimana satu tanda yang telah diciptakan oleh penjajah, dilawan oleh Bhabha dengan teori hibriditas. konsep
pelawanan terhadap tanda ini sejalan dengan perlawanan Derrida terhadap Logocentrism. Menurut Bhabha, apa yang terjadi ketika adanya kontak antara penjajah dan terjajah adalah munculnya ruang ketiga, hibrid, ambivalensi, dan ketidak jelasan tanda. Sebagaimana Derrida yang menambahkan adanya istilah ketiga dalam memaknai tanda yang dimaksud oleh Saussur, Bhabha juga menciptakan ruang ketiga, sebuah celah untuk sebuah makna, diantara penduduk asli dan bangsa eropa, penjajah dan terjajah. Kemunculan ruang baru yang tercipta dari hasil pertemuan antara penduduk asli dan bangsa barat, membuat kedua kebudayaan tersebut terus berkembang. Kehadiran subjek kolonial yang split tidak hanya ditujukan untuk melawan kekuatan bangsa barat atas timur yang selama ini tercermin dalam sejarah, tetapi juga untuk menghancurkan kesatuan dari bangsa barat itu sendiri (dimana bangsa timur juga bisa menduduki posisi seperti bangsa barat). Pada bab delapan, “dissemination”, Bhabha menuliskan, “masalah bukan hanya terdapat pada rasa “individudalistik” terhadap bangsa sendiri yang menganggap bangsa lain tidak sama. Tetapi juga kita terkadang lupa bahwa didalam bangsa sendiri juga terdapat heterogen dan ketidak bersatuan. (148) Konsep hibriditas dan ambivalensi yang dimaksudkan Bhabha ini, sedikit banyaknya dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran para paska-strukturalis
termasuk diantaranya dekonstruksi Derrida dan psikoanalisis Lacan. Juga diakui Bhabha bahwa konsep hibriditas ini juga terlahir dari hasil tanggapannya terhadap wacana
paska-kolonial
sebelumnya,
yaitu
wacana
Orientalisme
yang
diperkenalkan oleh Edward Said. Sebagaimana disebutkan Bhabha didalam wawancaranya dengan W.J.T. Mitchell (1995) bahwa Edward Said adalah penulis yang paling berpengaruh didalam karyanya. 1.5.4 Wacana Orientalisme Said Melalui teori hibridtas ini, Bhabha menanggapi wacana Orientalisme yang telah lebih dahulu dikemukakan oleh Edward Said. Sebelumnya Said telah menegaskan bahwa “there is always...the suggestion that colonial power and discourse is possesed entirely by the coloniser”. Stereotipe yang dijabarkan Said di dalam teorinya antara hubungan barat (occident) dan timur (orient), merupakan pengelompokan yang fix. Dimana yang satu bertindak sebagai superior, modern, menjajah, dan yang lain dikelompokkan sebagai kelompok terjajah, terbelakang, misterius, tempat yang menarik untuk didatangi. Di dalam wacana Orientalisme-nya, Said jelas menggambarkan hubungan yang kaku (antara barat dan timur) ini sebagai sudut pandang masyarakat barat yang memandang rendah masyarakat yang bukan barat (timur). Bhabha kemudian menanggapi wacana ini di dalam essai berjudul The Other Question di dalam buku The Location of Culture, “there is a space ‘in-between’ the designation of identity” (4). Selalu ada ruang ketiga di dalam proses terbentuknya sebuah identitas. Karena menurut Bhabha sendiri tidak ada identitas yang murni telah terbentuk, lebih jelas Bhabha menambahkan bahwa identitas adalah unsur yang bersifat dinamis dan terus berubah, identitas seperti ini yang dimaksud Bhabha sebagai identitas yang kokoh.
Menghindari
bias
dari
analisa kolonialisme Edward
Said
yang
membayangkan identitas penjajah dan terjajah sebagai identitas stabil tak berubah dan senantiasa berada dalam ketegangan, Bhabha memberi alternatif pembacaan relasi ini dengan lebih bernuansa. Dimana penyelesaian yang ditawarkannya adalah dengan menyibak ruang antara dua kategori yang dianggap stabil, yaitu sang penjajah dan si terjajah. Bhabha menyebut ruang antara itu sebagai ruang ketiga atau ruang hibriditas ataupun ruang liminal. Di ruang ambang inilah kaum terjajah menemukan strategi perlawanan terhadap dominasi wacana penjajah. Bukan melawan dengan cara frontal, melainkan justru dengan “perselingkuhan” budaya, yaitu dengan mengambil alih nilai-nilai budaya penjajah, dan mengawinkannya dengan kebudayaan bangsa terjajah itu sendiri sehingga menghasilkan identitas dan cara hidup yang baru (ruang ketiga). Contohnya saja, Pemakaian jas yang berasal dari Barat dikombinasi dengan jarik yang menjadi “seragam” resmi di kalangan priyayi Jawa menyiratkan dinamika ini. Namun demi membangun ruang ketiga ini, pertama-tama Bhabha tak mempermasalahkan seberapa menindasnya kolonialisme yang dilakukan penjajah terhadap si terjajah. Ia lebih mempersoalkan betapa tajamnya pembedaan kedua kategori itu, yang dipandangnya mengekalkan oposisi biner yang telah dikritik oleh pemikir Perancis, Jacques Derrida (1930-2004). Derrida menuduh wacana Barat didominasi oleh binerisme yang membagi dua dengan ketat identitasidentitas seperti putih/hitam, Barat/Timur, penjajah/terjajah, laki-laki/perempuan, dan seterusnya. Sebaliknya, ruang ketiga memberi ruang simbolis bagi si terjajah untuk melakukan manuver budaya dengan membebaskan diri dari binerisme di atas.
Alih-alih menganggap sikap “perlawanan” ini semata sebagai penolakan identitas yang diberi oleh penjajah, situasi ini justru menunjukkan dinamika pembentukan identitas yang terus berubah dan strategi “bertahan” dari landaan budaya dominan. Identitas yang disimpulkan bhabha sebagai identitas yang kokoh tadi.
Dengan kata lain penolakan dan kerjasama di antara penjajah dan kaum terjajah tak saling meniadakan (mutually exclusive), melainkan secara produktif masing-masing kategori tersebut saling menghasilkan dan menghidupi: si penjajah melahirkan si terjajah dan menghidupinya, demikian juga si terjajah bisa menghasilkan si penjajah yang baru, dan seterusnya.
Ruang ketiga ini tak begitu saja tunduk pada kategori-kategori tradisional semacam “bangsa” dan “suku” melainkan justru mengaburkan batas-batas tersebut. Itu sebabnya kita menyaksikan misalnya pada foto seperti yang terdapat di pendopo makam raja mataram di kota gede, tentara keraton Yogya yang menggabungkan unsur ke-Jawaan dengan kolonial Belanda. Dalam konstruksi tradisional Orientalisme dan studi kolonialisme hal ini dihakimi sebagai “ketundukan” kaum terjajah terhadap dominasi budaya penjajah Belanda, dan dari perspektif si penjajah Belanda itu adalah tanda “kedangkalan” budaya. Bagi Bhabha hal ini justru sebagai transformasi budaya melalui ruang ketiga yang diciptakan dari hubungan keduanya oleh si terjajah. Alih-alih memperhadapkan keduanya dalam posisi saling bertentangan dan bermusuhan, paska-kolonial Bhabha menunjukkan kelicinan kaum terjajah dalam menangkis dominasi budaya penjajah.
1.5.5
Konsep cermin Lacan Tahap cermin (mirror stage) yang terdapat di dalam teori psikoanalisis
Lacan merupakan sebuah proses/tahap bagi seseorang bocah, dimana ketika bocah tersebut dihadapkan dengan sebuah cermin, maka akan tampak olehnya penampilan yang kontras di dalam cermin yang tampak sebagai wujud seorang anak kecil. Mulanya, si bocah akan memandang pantulan tersebut sebagai seorang pesaing/lawan/musuh, ini yang disebut Lacan dengan rivalvy. Tahap cermin kemudian memberikan tegangan agresif (Aggresive tension) diantara subjek (si bocah) dengan citra (Image) yang dianggap si bocah sebagai lawan. Untuk
memecahkan
tegangan
agresif
tersebut,
subjek
mulai
mengidentifikasi citra, identifikasi awal ini yang kemudian disebut dengan ego. Identifikasi ini yang juga melibatkan ego ideal, yang membentuk keinginankeinginan sekaligus yang mengantisipasi ego tersebut atas kepentingan yang akan datang. Ego ideal ini yang menjanjikan seorang subjek mencapai keinginan melalui proses imitasi, peniruan, dan penjiplakan, dalam kasus si bocah diatas biasanya penjiplakan bapak/ibunya atau juga tokoh idaman. Itulah peranan singkat konsepsi cermin yang dimaksud Lacan. Dari penjelasan secara garis besar mengenai tahap cermin diatas, maka Lacan menyimpulkan bahwa “ego yang stabil hanyalah ilusi”(12). Di dalam teorinya Lacan menegaskan bahwa ide mengenai diri yang stabil pada orang dewasa adalah ilusi. Sama halnya juga seperti yang sudah dijelaskan bahwa teori hibriditas Bhabha ini lahir dari hasil tanggapan Bhabha akan wacana kolonial Said
yang mengatakan bahwa hubungan antara barat dan timur adalah hubungan stabil antara penjajah dan yang dijajah. Bhabha meminjam konsep berfikir Lacan, seperti apa yang dianggap Lacan sebagai tahap cermin. Di dalam bukunya Bhaba menyebutkan “like the mirror phase ‘the fullness’ of the stereotype – its image as identity – is always threatened by lack (77). “the fullness” itu merupakan stereotipe yang sebelumnya sudah dijelaskan di dalam wacana orientalisme Said, dan citra (image) yang dianggap sebagai identitas yang dianggap Bhabha tidak stabil. Jika dikaitkan dengan konsep hibriditas Bhabha, dimana pada tahap cermin ini dianggap sebagai pergulatan paska-kolonialisme. Kemudian subjek yang menganggap dirinya sebagai superior, merasa terusik dengan hadirnya pantulan cermin yang kemudian menghasilkan tegangan agresif. Sama seperti halnya penjajah yang merasa dirinya superior, ketika dihadapkan dengan pantulan lain
(negara
terjajah)
penjajah
tadi
justru
mempertanyakan/meragukan
identitasnya sendiri, begitupun sebaliknya. Hal ini yang mendorong munculnya ego yang kemudian menjadikan identitas diri tadi menjadi tidak stabil. Konsep terpenting hibriditas Bhabha adalah dimana satu kebudayaan tidaklah terlahir secara mutlak dengan sendirinya, karena menurut Bhabha kebudayaan adalah hasil dari perpaduan dengan kebudayaan yang lain yang kemudian menghasilkan kebudayaan baru yang disebutnya dengan ruang ketiga. Seperti tahap cermin, si bocah mulai melakukan pengidentifikasian terhadap pantulan cermin, sama halnya dalam interaksi antara penjajah dan terjajah, keduanya saling mempertanyakan identitas masing-masing, sehingga terjadilah
benturan identitas yang mana dalam prakteknya bangsa terjajah meminjam nilainilai kebudayaan bangsa, hingga kemudian menghasilkan sebuah kebudayaan atau identitas baru yang merupakan perpaduan keduanya. Itu sebabnya Bhabha juga menyetujui pendapat Lacan yang dijelaskannya bahwa identitas yang stabil adalah ilusi, karna bagi Bhabha pun tidak ada identitas yang stabil yang ada hanya identitas yang dinamis (yang dianggap Bhabha merupakan identitas yang kokoh) yang terlahir dari identitas-identitas yang lain. Di dalam studi paska-kolonialisme, yang merupakan studi yang mempelajari dampak dari sisa penjajahan itu sendiri, peranan teori hibriditas Bhabha ini dianggap sangat penting keberadaannya. Ini dikarenakan hibriditas dianggap mampu mengangkat kepala masyarakat terjajah, dimana melalui proses pembentukan ruang ketiga ini, Bhabha menegaskan bahwa masyarakat terjajah bukannya tunduk kepada nilai-nilai kebudayaan bangsa terjajah itu sendiri. Tetapi masyarakat terjajah justru melakukan resistensinya dengan bersikap tidak menerima secara mentah dominasi kaum penjajah, tetapi justru dengan mengadakan “perselingkuhan” kebudayaan dimana mencampurkan unsur-unsur yang terdapat didalam dua kebudayaan. Secara tidak langsung ditegaskan melalui ruang ketiga bahwa, barat tidak selamanya superior dan timur tidaklah selamanya terbelakang. Tidak semua nilai-nilai barat dianggap cerdas, modern, patut diakui, dan tidak selamanya nilai-nilai ketimuran itu terbelakang, tidak terdidik, dan primitif. disinilah peranan ruang ketiga membentuk sebuah identitas yang merupakan gabungan dari nilai-nilai kedua bangsa yang terlibat dalam sebuah skenario masa lampau yaitu masa penjajahan.
Kebudayaan sendiri dianggap Bhabha sebagai suatu unsur yang dinamis, cenderung berubah sejalan dengan benturan/berbaurnya dengan kebudayaan lain dan di dalam sebuah kebudayaan, telah hidup beberapa identitas. Studi paskakolonialisme Bhabha jelas bahwa dimana tidak saatnya lagi kita mengutuk masa lalu atas kejamnya penjajahan, tetapi bagaimana masyarakat paska-kolonialisme mampu resist diantara dua benturan kebudayaan yang berbeda dan dimana satu dianggap lebih tinggi dari yang satunya. Di dalam hibriditas, tidak ada kebudayaan yang lebih bagus atau memimpin, keduanya memiliki nilai-nilai baik sekaligus buruk. Itu sebabnya setiap kebudayaan satu sama lain, saling membutuhkan, barat butuh timur begitupun sebaliknya. Dewasa ini, aplikasi hibriditas ini banyak terlihat dalam proses globalisasi terutama bagi bangsa yang tidak hanya pernah dijajah, tetapi juga bangsa besar dengan konsep multikultural. Dimana masyarakatnya dituntut untuk mampu resist dan beradaptasi diantara benturan kebudayaan yang berbeda-beda. Itu sebabnya, beberapa ahli kebudayaan menyimpulkan bahwa konsep hibriditas/ruang ketiga yang ditawarkan Bhabha ini adalah solusi bagi masyarakat yang hidup diantara benturan kebudayaan yang berbeda, seperti para imigran. 1.6 Hipotesis Penelitian Karya-karya diaspora seperti novel Desirable Daughters ini, terbangun dari kesadaran penulisnya akan adanya dua kebudayaan yang berbeda diantara kebudayaan lama dan kebudayaan baru. Kesadaran ini yang kemudian membentuk oposisi-oposi yang secara keseluruhan membangun struktur di dalam novel. oposisi-oposisi biner ini yang sebenarnya di dalam teori hibriditas Bhabha,
membentuk ruang ketiga. Ruang ketiga yang terbentuk dari hasil pertemuan diantara dua kebudayaan yang berbeda, ada hibriditas yang terbentuk dari kedua unsur kebudayaan tersebut. Kemudian perlu disimpulkan juga faktor-faktor paskakolonial, karena menurut teori hibriditas Bhabha ada pengalaman masyarakat paska-kolonial yang sudah mengalami persentuhan di antara kebudayaan setempat dan kebudayaan penjajah yang membentuk ruang ketiga. 1.7 Metode Penelitian Untuk pengumpulan data pada rumusan masalah yang pertama, penelitian ini menggunakan metode “simak”, yaitu menyimak satuan bahasa yang terdapat di dalam teks yaitu novel Desirable Daughters. Data yang diperoleh akan dipisah kedalam oposisi atau satuan biner, hingga akhirnya strktur didalam novel ditemukan, khususnya struktur yang berpola oposisi biner. Selain itu di dalam penelitian ini juga dibutuhkan data sekunder yang di dapatkan dari buku-buku teks sejarah kolonial India. Selanjutnya data-data yang sudah diperoleh akan dihubungkan satu sama lain dalam sebuah proses yang disebut analisis data. Hal ini disebaban karena data tersebut tidak dapat dibaca secara tunggal atau sendiri-sendiri. Satu data perlu dikaitkan dengan data lain untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan tertentu yang tidak akan terlihat ketika menghadapi data secara terpisah. Pertama-tama akan digunakan metode dekonstruktif yang akan membaca teks-teks di dalamnya. Metode ini dipilih untuk menemukan hal-hal baru didalam teks yang tidak terbaca bahkan mungkin terlewatkan oleh pembacaan biasa. Seperti yang disampaikan Faruk didalam buku Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal, bahwa
“dekonstruksi merupakan sebuah metode pembacaan sebuah teks yang dilakukan dengan begitu cermatnya sehingga perbedaan-perbedaan konseptual yang dijadikan pengarang sebagai sandaran teks menjadi terbukti gagal atas dasar penggunaanya yang inkonsisten dan paradoksikal dalam teks (210). Metode pembacaan dekonstruksi ini diharapkan mampu menemukan jawaban atas konstruksi identitas dan hibriditas yang ada di dalam novel Desirable Daughters. Pembacaan
dekonstruktif
ini
nantinya
akan
dirumuskan
kedalam
tiga
penyelesaian. Pertama, dengan menentukan oposisi biner yang terdapat didalam teks. Kedua, dengan penarikan garis lurus pada oposisi biner tersebut sehingga diketahui urutan hierarki yang ada didalam teks. Ketiga, pembalikan hierarki tersebut dan melihat konteks historis kebudayaan didasarkan pada teori hibriditas. Karena itu, penelitian ini menggunakan metode dekonstruktif untuk menemukan inkonsistensi pengarang dan menguji hipotesis yang telah disimpulkan.