BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perjalanan kehidupan manusia adalah sebuah perjuangan. Sejak awal permulaan peradaban, arena pertempuran mulai tumbuh. Dalam personalitas manusia, antara baik dan buruk, benar dan salah saling diperhadapkan, mencuat, dan bertarung dalam dimensi psikis, berebut tempat dan kuasa, untuk selanjutnya diaktualkan dalam perilaku, tindakan, hasil pilihan manusia. Ketika Adam dan Hawa mendekat buah khuldi, maka ditandainya kemenangan bujuk-rayu Iblis. Iblis makhluk yang lebih dahulu kalah oleh perang melawan kesombongan diri. Dikisahkan Shawni ;“….kecuali Iblis. Ia malah menghina dan bersikap kurang ajar. Hatinya penuh kebanggan dan kesombongan terhadap junjungannya sendiri.” Lanjutnya Tuhan berfirman, “Wahai Iblis, kenapa kau tidak tunduk seperti yang Kuperintahkan? Apa yang menahanmu mengagumi apa yang Kuciptakan dari keagungan-Ku? Lancang kau, sombong bahkan di hadapan-Ku!”(Q.S. Al-Hijr:32) Kesombongan Iblis bersumber dari logika material, Iblis berkata dengan mantap pada Tuhan, “Aku Engkau ciptakan dari api, sedangkan Adam dari tanah.” (Q.S. Al-Hijr:33) Tuhan lalu mengutuk Iblis, “Kau tidak berhak sombong di sini. Terkutuklah kau!” (Q.S. Al-Hijr:34) Demikian Iblis lalu meminta penangguhan dan bersumpah mencari teman dengan izin-Nya untuk menyesatkan anak manusia. Tuhan menerima hal itu dan berjanji
1
2
menempatkan manusia yang tersesat bersama Iblis di neraka; “…kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka..” (Q.S. Al-Hijr:36-40) (Shawni,2013;21-22) Iblis merayakan kemenangan prematur, saat Adam dengan Akalnya (Pemberian Tuhan) segera memohon ampun, bertobat, hingga Adam dan Hawa mendapat ampunan. Tuhan memberikan amnesti dengan syarat manusia mesti mendapat uji dan coba di dunia. Iblis kecewa dan pada saat itu mulailah perjuangan manusia, dan Tuhan (dengan akal pemberian-Nya) menjadi pahlawan pertama bagi umat manusia melawan tipu muslihat Iblis. Dalam ilustrasi tersebut tersirat peradaban manusia dan kebutuhannya kepada sosok penyelamat, hero, pahlawan, messiah. Hal tersebut disebabkan masih terbawanya kesadaran primordialitas (fitrah) manusia atas kejadian dalam kisah Adam. Kegandrungan pada sosok hero ini masih dapat ditemukan dalam jejak sejarah, berupa, totem, manuskrip, cerita-cerita masyarakat lokal, dan berbagai artefak lainnya. Dalam keyakinan agama samawi (Agama dari Langit : Tuhan), Entitas Tuhan sebagai hero di dunia, selanjutnya diteruskan oleh makhluk pilihan-Nya yaitu Nabi dan Rasul. Tugas seorang nabi adalah sebagai pembimbing jalan manusia kembali pada Tuhan, dengan perjuangan melawan -kali ini disimbolkan- Iblis dan bala tentara. Di berbagai mitologi di dunia barat dan timur pun akan ditemukan sosok-sosok hero. Mitologi Yunani misalkan memiliki kepercayaan pada banyak sekali Demigod (anak dewa-dewa hasil perkawinan dengan manusia).
3
Hingga dewasa ini hero masih terus dibicarakan, diingat dan didambahkan -dalam kesadaran historis (Ingatan primordial) ataupun ahistoris (Keterlupaan)- dalam kedirian manusia. Keberadaan hero dalam kehidupan akan tetap eksis, bahkan jika tidak ada, akan membuat manusia segera mengusahakan
keberadaannya,
segera
mencarinya,
atau
bahkan
memproduksinya. Minimal individu yang menjadi hero untuk dirinya sendiri. Nietzsche seorang filsuf Jerman yang berusaha ‘membunuh’ Tuhan sebagai tempat bergantung umat manusia. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai kemedekaan atas kemanusiaan dan kehendak bebas (Free will) sepenuhnya (Kematian Tuhan akan menandai matinya ingatan purba tentang kepahlawanan Tuhan). Namun tetap saja Nietzsche harus bersepakat tentang pengharapan pada sosok hero. Hal itu tersirat dalam perkataannya; “Kuasakah engkau menciptakan Tuhan? Maka diamlah wahai segala Tuhan! Tapi pasti engkau dapat menciptakan superman.” (Pilliang, 2004;399). Jika tidak, untuk apa mempercayai Nietzsche? Jika semua hal tidak punya makna, maka apa yang dikatakan Nietzsche hanyalah sebuah hayalan pula.
Hero dan Pesan-Pesan Perlawanan Pesan-pesan Heroisme adalah pesan universal dan selalu eksis sepanjang sejarah peradaban manusia. Pesan tersebut adalah pertentanganpertentangan biner yang ada dalam kehidupan manusia. Pertentangan itu memerlukan
sosok
hero
tertentu
permasalahan pelik manusia itu.
untuk Hero
menengahi,
menyelesaikan
dibutuhkan untuk melawan,
4
mempertahankan, bahkan mengalahkan lawan/musuh dalam berbagai rupa dan begitu sulit dikalahkan. Hanya di tangan hero semua pemasalahan tersebut dapat diselesaikan dan kehidupan manusia diselamatkan. Sosok hero dewasa ini telah mengalam berbagai perubahan namun meninggalkan pola yang hampir-hampir serupa, yaitu pertentangan antara dua macam biner, benar melawan salah, baik melawan buruk, sosok hero di satu sisi dan lawan atau musuh di sisi yang lain, terus-menerus saling bententangan. Sosok hero mengejawantah dalam berbagai bentuk, mulai dari yang bersifat metafisik, fisik, psikis, hingga berupa imajinasi. Sosok hero yang didekonstruksi oleh Nietzsche misalkan, adalah pesan-pesan kritik moralitas masyarakat Eropa pada saat itu, yang telah menyingkirkan Tuhan dalam kehidupan mereka. Sosok hero dalam terminologi Nietzsche adalah sosok tersembunyi, tidur dalam diri manusia, dan mesti dibangunkan. Diri yang merdeka sebagai hero dan mental budak sebagai lawan yang mesti ditaklukan. Dalam terminologi ini musuh itu ada dalam diri. Atau sosok hero paling imajiner sekalipun ciptaan Warner Bros Studio, Marvel Hero, D.C. Comic, Shonen Jump, dll. Sosok hero digambarkan memiliki kekuatan super (yang tidak punya realitas sebenarnya) untuk mewujudkan cita-cita manusia mengalahkan kejahatan yang disebabkan oleh kekuatan jahat raksasa, monster, penyihir, alien dan lain sebagainya. Ciri khas yang dapat ditemukan dalam setiap hero bahwa antara dua biner yang bertarung, hero berada pada salah satu sisi -dan biasanya jika tidak
5
bisa dikatakan pasti- berada pada sisi yang benar (kebenaran). Setiap karakter dari sosok hero memiliki dan membawa standar etika, moral, kehidupan yang layak dan semestinya, jalan mana yang mesti ditempuh manusia. Hero menjadi pembimbing, pencerah, guide, di dunia kehidupan ini, menunjukan koridor perjalanan manusia menuju keselamatan. Entah itu berupa kondisi mental seperti hero dalam terminologi Nietzsche, dalam realitas sejarah penjajahan seperti pahlawan nasional Pattimura, dalam imajinasi seperti Avenger, atau Nabi dalam terminologi Agama. Dalam terminologi agama samawi diketahui sosok hero, juru selamat manusia seperti; Nabi Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, dan Muhammad SAW. Sudah kami ilustrasikan sebelumnya di awal tulisan ini bahwa nabi-nabi turun ke bumi sebagai perpanjangan tangan Tuhan sebagai hero, untuk menyelamatkan manusia dari peperangan besar melawan tipu daya serta godaan Iblis. Di dunia modern ini Iblis itu sendiri merupakan simbol dari, kebodohan, putus-harapan, kesombongan, matrialitas, rasisme, despotisime. Dikisahkan dalam sejarah perdaban manusia, Ibrahim AS berjuang menyelamatkan manusia dari jurang kebodohan penyembahan atas berhalaberhala hingga kemudian dihukum bakar hidup-hidup oleh Namrud setelah perdebatan
argumen
tauhid
yang
dimenangkan
oleh
Ibrahim
AS.
“Sesungguhnya, Ibrahim adalah seorang imam yang taat kepada Allah dan seorang yang hanif yang tak menyembah berhala.” (Q.S. An-Nahl: 120) Juga Musa AS yang menyelamatkan bangsa Israel dari kekangan keangkuhan, kesombongan, serta despotisme Firaun yang menindas bangsa
6
Israel. Seperti Isa AS yang hidup menentang kekaisaran Romawi yang terkenal zalim dan tidak adil. Lalu semua perlawanan nabi-nabi tersebut selanjutnya dihimpun pada sosok hero keturunan Ibrahim dari jalur nabi Ismail, Muhammad. Perlawanan dalam semua dimensi yang kompleks menjadi tanggung-jawab Nabi Muhammad menyelesikannya. Dalam firman Tuhan: “Hamba-hamba-Ku yang saleh akan mewarisi dunia ini.” (Q.S. Al-Anbiya: 105) Dimulai dengan perlawanan diri sendiri dalam dimensi psikologis dengan menaklukkan hawa-nafsunya hingga tidak terbawa arus jahil peradaban arab masa itu. Dalam dimensi sosial, melawan sikap korup dan menjadi orang paling amanah (jujur, dapat dipercaya) oleh kawan bahkan musuh sejazirah arab. Dan dimensi mistis, dimana Muhammad SAW menyatakan kenabiannya dan perlawanan terhadap kejahiliaan (tidak mau menerima kebenaran Tuhan), terhadap ketidak-adilan, kesewenang-wenangan terhadap kaum miskin, perbudakan, penindasan terhadap hak asasi perempuan yang diinjak-injak, dan banyak lagi pesan-pesan emansipsi serta perlawanan lainya yang tidak terima oleh kaum jahil. “Dan Kami hendak memberikan kepada orang-orang tertindas di muka bumi dan menjadikan mereka sebagai contoh dan pewaris (dunia).” (Q.S. Al-Qashash: 5) Muhammad SAW dengan perjuangannya melakuakan pencerahan terhadap manusia. Walaupun memiliki kemampuan adimanusia (mukjizat), sang Nabi lebih banyak melakukan pendidikan terhadap manusia dengan
7
menggunakan argumen akal yang bersumber dari Al-Quran (firman Tuhan). Muhammad adalah satu kesatuan dengan firman Tuhan dan menjadi simbol pesan-pesan purba untuk anak adam. Seperti ketika adam dimaafkan oleh Tuhan, posisi Tuhan kemudian terwakilkan oleh Nabi pilihan-Nya dan menjadi wadah manusia mendapatkan ampunan Tuhan. Demikian kisah tentang hero dalam term agama samawi mengantarkan kita pada kondisi ketidakterlepasan manusia pada sosok hero ini. Walaupun dalam perjalanan hidup manusia, ada yang melajutkan kepercayaan pada heroisme Teologis, ada yang mendekonstrusinya, dan ada yang ‘menciptakan’ hero-hero baru. Sosok hero dalam kehidupan manusia telah bersifat inhern dijiwanya dan integral dengan hidup dan kehidupannya. Hal inilah yang menjadi inspirasi bagi para pembuat cerita, novelnovel, atau cerita-cerita fiksi atau non-fiksi lainya. Juga dalam film-film, mulai dari documenter, drama, fiksi, hingga sc-fi berteknologi tinggi yang mampu mengaktualkan imajianasi ‘liar’ manusia. Tidak mungkin untuk menghapus sosok hero dari kisah-kisahnya! Karena pasar menyukainya dan hero seakan-akan menjadi refleksi (Cerminan) wujud pesan-pesan ‘perlawanan purba’ dalam perjuangan kehidupan dan perdaban manusia, apapun yang sedang dilawannya.
Hero dalam film Bukan sekedar kepemilikan terhadap kekutan berlimpah adimanusia. Seperti penjelasan sebelumnya, pemahaman heroisme bisa saja berarti
8
beragam dan aktual diberbagai kondisi kemanusiaan. Heroisme yang beragam bisa saja muncul pada kondisi normal manusia pada umumnya, dan tidak mesti selalu ditandai dengan kekuatan super. Diberbagai tingkatan dimensi berupa, psikis, fisik, metafisik heroisme mencari jalannya untuk teraktual. Perlu dicatat bahwa heriosme adalah kecenderungan sifat dan sikap dalam diri dan perilaku manusia. Heroisme bisa terjadi dalam dimensi psikis/pisikologi atau kondisi mental seseorang dan melibatkan diri sendiri atau orang lain sebagai pihak yang diselamatkan (Altruisme). Sebuah kecenderungan mengikuti keyakinan, berdamai dengan ‘aturan’ dalam jiwa, atau dikalahkan dan berperilaku ‘menyalahi’ kayakinan. Film karya sutradara kenamaan Crihstopher Nolan dengan baik menggambarkan kondisi ini. Pertarungan psikologis dalam diri karekterkarakter filmnya sebut saja; Batman: The Dark Knight. Kekuatan film ini ada pada penceritaan pergolakan batin sosok Batman yang di perankan aktor kawakan Cristian Bale. Bruce Wayne (Batman) berada pada pilihan dan harus memilih antara tetap menjadi super hero Batman, melawan Joker yang diperankan Heath Ledger (karakter antagonis yang hampir sama dominannya dengan sosok Badman). Pada film tersebut Batman memilih altruisme pada kemusiaan, yaitu
mendedikasikan
hidupnya
pada
masyrakat
Gotham.
Setelah
mengalahkan keinginan egoisnya untuk hidup bahagia menjadi manusia biasa, menjadi hero bagi kekasihnya Rachel yang diperankan Maggie Gylenhall. Batman telah melalui perlawanan berat melawan perbudakan atas
9
dirinya oleh hasratnya (seperti dikatakan Nietzsch di awal) dan berubah menjadi super-human yang tidak bergantung tetapi relah berkorban untuk kepentingan orang banyak (Altrusme Humanis). Dapat kita katakan pergolakan heroisme dalam film-film pasti menjadi bumbu penyedap atau bahan utama yang kita temukan dalam film-film. Dengan berbagai ragam penceritan menarik dan unik, untuk menciptakan kondisi-kondisi tertentu terhadap pemahaman tentang heroisme. Penggambaran heroisme selalu merupakan komitmen moral pada nilai-nilai tertentu yang menjadi keyakinan, pandangan dunia, ideologi pada pertarungan abadinya melawan seteru abadinya pula, kejahatan. Apapun tujuan di balik cerita pada film itu.
Amerika, citra heroisme, dan Terorisme Sejak awal industri perfilman dunia, film selalu dianggap sebagai medium penyampaian pesan efektif dalam mempengaruhi penonton. Dengan pengemasan pesan berupa, dialog, acting, mimik, music (Soundtrack), teks (Subtitle), simbol, special effect, film dianggap media yang paling menarik perhatian massa. Dengan kompleksitas sajian film, medium ini mampu mempromosikan ide-ide tertentu yang ingin dibangun citranya dengan optimal. Dalam dunia perfilman industri mega Hollywood, telah menjadikan Amerika sebagi rumah produksi ‘kebudayaan’, dalam berbagai film yang dijejalkan kepada penonton, dominasi budaya Amerika begitu terasa. Apa-apa
10
yang dia angap ideal normatif (menurut standar Amerika), secara massif di sebarkan ke belahan dunia mengunakan corong-corong pemutaran film. Selain menjadi proyek multi jutaan dollar, film Hollywood kini menjadi proyek ekspansi kebudayaan global Amerika Serikat. Film menjadi media pencitraan yang menguntungkan secara ekonomis dan ideologis. Amerika dewasa ini semakin getol menyebarluaskan kuasanya sebagai Negara adidaya, melakukan ekspansinya dengan begitu gencar ke berbagai belahan dunia, menegaskan dan memantapkan posisinya sebagai ruler of the world dengan bantuan Negara sahabat dan PBB. Kebijakan luar negeri Amerika sendiri sangat sering bermasalah dan bersfifat tiranik. Ekspansinya ke Vietnam Tahun 1955 sampai dengan 1975 dengan berujung pada kekalahan telak. Dan ekspansi ke Irak tahun 2003 hingga 2011 yang kemudian disesalkan oleh G.W.Bush, presiden Amerika saat itu. Dan banyak kejahatan perang lainnya yang pernah tercatat sejarah. Untuk mengurangi efek buruk kebijakan itu, Amerika memanfaatkan media film (dengan Hollywood) untuk merubah cara pandang (citra positif) terhadap kesalahan kebijakan luar negeri Amerika tersebut. Sebut saja, pada tahun 1982 film Rambo: First Blood pertama kali ditayangkan. Film garapan Ted Kotcheff
bercerita tentang Rambo diperankan Sylvester Stallone,
digambarkan sendirian, berbadan kekar, dengan senjatanya, sebagai simbol amerika, menjadi hero menyelamatkan tawanan perang Vietnam Utara (di gambarkan sadis dan kejam).
11
Rambo mampu menyelesaikan dan menyelamatkan target misinya, pula berhasil memberi kerusakan pada militer Vietnam Utara. Namun sejarah mencatat berbeda perang selesai 1975 dengan kekalahan telak pada kubu Amerika dan kubu Anti-Komunis lainnya. Perang tersebut menewaskan banyak militer dan rakyat sipil Vietnam Selatan. Kebijakan yang menjadi aib bagi Amerika dan merugikan bangsa Vietnam. Ada pula kasus Irak sendiri tidak berbedah jauh dengan nasib Vietnam. Perang menelan banyak korban dari kedua bela pihak, setelah satu dekade berlalu, Amerika Serikat menyatakan kesalahannya dan meminta maaf atas apa yang mereka sebut “perang yang salah”. Kenyataan bahwa Irak ternyata tidak memiliki persenjataan seperti yang ditakutkan Amerika. Memanfatkan ‘simpati’ atas korban tragedi WTC 11 September 2001, menjadi sebuah pembenaran, Amerika melawan ‘terorisme’, namun merupakan ekspansi yang ditolak warga Amerika dan dunia pada umumnya. Arundhati Roy mengungkapkan kekesalanya terhadap banalitas tindakan Amerika dengan tegas; “Pekerjaan AS yang tidak pernah selesai adalah perang secara total, sebagai cara jitu bagi ekspansi imprealisme AS tanpa Akhir.” (Makmuralto, 2014; 55) Selanjutnya tugas lembaga apresiasi film tertinggi Amerika seperti Academy Awards (Oscar) untuk menegaskan dan mendukung tindakan yang dilakukan oleh negaranya itu. Dukungan itu dilakuakn dengan cara memenangkan film-film tertentu yang mengandung unsur pencitraan Amerika Serikat yang kuat. Dalam data daftar pemenang Oscar akan ditemukan
12
banyak film-film yang menceritakan sisi baik (heroisme) Amerika dan menyudutkan lawan politik Amerika sebagai peraih Oscar. Pada tahun 2009, tersebut film “The Hurt Locker” memenangkan piala Oscar. Film tersebut bercerita tentang beratnya pekerjaan anggota militer Amerika, beban psikologis penjinak bom dalam perang Irak. Dengan kuat film ini menunjukan sisi-sisi humanis Militer Amerika, menggugah simpati, dan menjadi statement bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika sudah semestinya, karena ‘tidak mungkin’ tindakan itu sebuah kesalahan. Amerika tidak akan melakukan operasi yang akan memakan korban dari militernya sendiri, jika tidak dilakuakan demi kemanusian dan pembebasan dari gerbong ‘terorist’. Ironisnya pula tidak akan ditemukan kisah yang menyudutkan dan menyinggung kebijakan Negara Adidaya dalam film tersebut. Noam Chomsky dengan sarkastik berkometar; “Dalam semua kasus itu, ada pengandaian yang tak pernah disangsikan bahwa apa yang dilakukan dan menjadi sikap Amerika Serikat itu benar dan baik; jika negara-negara lain gagal memahami kebenaran moral ini, maka jelas negara-negara lain itu telah keliru. Pandangan naïf ini sendiri bukannya tak punya daya tarik kekanakkanakan, namun daya tarik dari pandangan itu akan dengan segera pudar manakala kita memahami bagaimana pandangan itu berubah menjadi sebuah alat untuk menciptakan penderitaan dan kepedihan.” (2008; 84) Chomsky dalam salah satu bab khusus pada bukunya (Neo Imprealisme Amerika Serikat;34-168) juga menceritakan standar ganda Amerika dalam berbagai kegiatan hubungan internasional dalam bab
13
“Keterampilan ‘Rekayasa Sejarah’”. Kemampuan inilah yang tercermin dalam film-film Hollywood, terkhusus film yang bergenre kolosal dan perang.
Analisis semiotika untuk membedah heroisme dalam film Pola pemanfaatan film sebagai medium pencitraan tentu akan terus terulang. Amerika yang ingin menegaskan kuasanya tidak bisa terus-menerus mengunakan kekuatan militer untuk melanggengkan hegemoni negara tersebut. Perkembangan kekuatan persenjataan dan ekspansi bersenjata akan menyulut mosi tidak percaya dan kerusakan peradaban yang tidak menguntungkan secara ekonomi bagi pihak Amerika dengan kepentingannya. Ekspansi militer akan sedikit banyak ditambahkan/ditegaskan dengan ekspansi budaya (ideologi), salah satunya lewat film-film. Bagi penulis, heroisme (ideologi) pasti akan di temukan dalam setiap film. Karena ideologi dalam sebuah film merupakan makna mendasar, dapat di telusuri dari mitos-mitos (Bahasa : cara menampilkan pesan/makna) dalam kemunculannya pada sebuah film. Begitu pula dalam film American Sniper yang disutradarai oleh Clint Eastwood. Clint Eastwood adalah pemenang empat kali piala penghargaan Oscar, juga memenangi 151 penghargaan lainnya, dan masuk dalam 104 nominasi bergengsi sebagai aktor maupun sutradara. Film yang berdasarkan pada kisah nyata seorang sniper handal bernama Crish Kyle yang pada film tersebut dibintangi Bradley Cooper, Kyle
14
disebut-sebut sebagai seorang legenda dalam satuan militer khusus U.S Navy SEAL. Sesuai dengan inisal yang disematkan padanya, karena kemampuannya yang luar biasa melindungi pasukan militer U.S Navy SEAL, sehingga kompatriotnya dengan bangga memanggil Kyle dengan julukan “Legend” atau “hero”. Menarik bagi penulis untuk menjadikannya sebagai objek penelitian semiotika untuk menelusuri konstruksi heroisme (ideologi) Amerika dalam film tersebut. Sausanne Langer mengungkapkan bahwa makna yang hadir melalui penggunaan bahasa adalah sebuah hubungan kompleks diantara simbol, obyek dan pelaku komunikasi, melibatkan makna denotasi, dan makna konotasi. Artinya, bahwa pesan ideologis yaitu heroisme adalah simbol yang merupakan instrumen pemikiran tentang konseptualisasi manusia tentang suatu hal itu. (John,2014; 154). Pada tahap pertama semiotika akan dilakukan pemaparan mengenai sign, signified, signifier yang melakat pada unsur-unsur dalam sebuah film. Kemudian pada tahap kedua saat mengecek mitos dan menemukannya, maka selanjutnya penelitian akan masuk lebih dalam pada dimensi makna yang kompleks yang membutuhkan pemahaman holistik untuk dapat menunjukan ideologi yang bekerja. Film American Sniper inilah yang akan menjadi pusat perhatian peneliti sekaligus penulis mengunakan pisau bedah semiotika mengungkap mitos-mitos yang dimunculkan dan berusaha menemukan ideologi, dalam hal ini sebagai sebuah heroisme. Berdasarkan pada penjelasan diatas penulis
15
merasa penting untuk mengkajinya dalam bentuk skripsi berjudul:
“Konstruksi heroisme Dalam Film American Sniper” (Analisis Semiotika)
B. Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang di atas, maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Penanda apa yang digunakan untuk merepresentasikan heroisme dalam film American Sniper? 2. Bagaimana heroisme dikonstruksi dalam film American Sniper?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Atas dasar pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui penanda yang digunakan untuk merepresentasikan heroisme dalam film American Sniper. b. Untuk mengetahui heroisme yang dikonstruksi dalam film American Sniper. 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis
16
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan Ilmu
Komunikasi,
khususnya
bagi pengembangan
penelitian kualitatif dan analisis semiotik. b. Kegunaan Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai proses pemaknaan isu-isu heroisme sebagai pesan Ideologi, yang berseleweran di media-media khususnya dalam film-film produksi Amerika Serikat. Juga sebagai alternatif kritik/autokritik terhadap fenomena sosial dan pesan-pesan moral dalam sebuah film. Dan juga sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.
D. Kerangka Konseptual Penelitian Membicarakan tentang heroisme tidak melulu membicarakan tentang sosok pahlawan yang memiliki kemampuan super (Adimanusia) untuk mencapai tujuan
tertentu
yang
diperjuangkan.
Membicarakan
tentang
heroisme
membicarakan kualitas kemanusiaan dalam berbagai kualitas (Individualitas hingga Universalitas) perjuangan kepahlawanan manusia. Dalam memahami pandangan-pandangan tentang
kualitas
heroisme
merupakan kemampuan
abstraksi tinggi serta membutuhkan sistem filosofis yang rasional.
17
Heroisme merupakan konsistensi sikap terhadap moralitas tertentu, dengan karaktristik perlawanan tiada akhir
mempertahankan kebaikan melawan
kejahatan. Heroisme yang penulis maksudkan di sini sangat serupa dengan tindakan altruisme. Kemampuan tersebut tidak berarti kekuakan fisik saja namun juga merupakan kondisi psikis. Pemahaman mendalam, pandangan dunia, pengetahuan sejarah, keyakianan, adalah sebagian kondisi mental yang akan sangat mempengaruhi gerak seorang hero (heroisme). Kemudian setelah mentalnya dipenuhi keyakinan atas sebuah kebenaran tertentu, hero akan tampil dengan berani dan sekuat tenaga memperjuangkan apa yang diharapkan dan demi memperoleh kemenangan. Berdasarkan pemaparan tersebut maka ada berbagai macam kualitas tentang apa yang mendasari sebuah gerak atau tindakan heroisme. Sebuah tindakan heroisme mesti dan dapat dipastikan didasarkan pada pemahaman (keyakinan, pandangan dunia, ideologi) tertentu yang rasional hingga irasional sekalipun.
Sebut
saja
humanisme
sebagai
heroisme
kemanusian
yang
perjuangannya berbasiskan kepada nilai kemanusiaan secara keseluruhan, nasionalisme pada kebangsaan tertentu, rasisme pada ras tertentu, sukuisme pada suku tertentu dan lain sebagainya. Bahkan dalam skala sangat individualistik, narsisisme juga dapat masuk dalam kategori ini. Kemudian pada pendasaran irasional semisal terorisme dan vandalisme . Maka dari itu peneliti berupaya untuk mengetahui, pandangan apa kiranya, yang digunakan oleh sutradara dalam menunjukan dan memunculkan tentang gagasan heroisme dalam film American Sniper. Hal ini pula, akan memperjelas
18
dan menunjukkan mitos heroisme dalam film tersebut. Sebelumnya ada tiga hal yang akan menetukan frame cerita film tersebut, Pertama, konstruksi sosial masyarakat tentang heroisme. Kedua, penanda apa yang digunakan dalam film tersebut untuk menujukan tindakan heroisme. Ketiga, mitos dan ideologi yang dikembangkan atau terbantahkan dalam ruang sosial. Faktor eksternal pertama yang merupakan hasil konstruksi heroisme dalam film American Sniper mengungkapkan, bahwa amerika dan militernya merupakan sosok pembela kebenaran melawan apa yang mereka sebut ’teroris’. Lalu kedua, penanda apa yang menegaskan heroisme Amerika dan militernya, khususnya aktor utama Chris Kyle (Sniper) sang hero dalam pasukan militer Amerika, yang dikisahkan film tersebut. Sedangkan faktor ketiga, peneliti mampu menunjukan mitos dan membedahnya lalu menemukan ideologi yang terkandung dalam film tersebut. Film American Sniper sendiri dalam pengisahannya telah memberikan implikasi tertentu, dimana penulis sekaligus peneliti, akan berusaha menangkap berbagai macam pendasaran ataupun tujuan yang dimuat oleh film, melalui mitos dan ideologi yang terkandung dalam film tersebut. Ketiga faktor tersebut akan sangat membantu dan berperan penting dalam memperkuat gagasan penelitian ini untuk mengungkap realitas mitos heroisme yang dikonstruksi dalam film ”American Sniper”. Walaupun didasarkan pada kisah nyata seorang tentara Amerika, penceritaan film tersebut tidak dapat dianggap sebagai teks realitas dan lebih tepat dianggap sebagai konstruksi cerita baru yang fiksi. Namun tetap dapat digunakan untuk memahami aspek realitas tertentu sebagai teks film yang
19
dikonstruksi oleh sutradara demi kepentingan tertentu dan berdasarkan ideologi tertentu pula. Mitos seringkali berarti banyak hal, ada yang mengangapnya sebagai kebohongan ada yang mengangapnya sebagai cerita mistik, kisah-kisah dewata, aturan baik dan buruk, kisah malaikat dan iblis, dan berjubel kisah lainnya. Namun bagi pemikir Perancis bernama Roland Barthes memiliki pandangan berbeda tentang apa yang dimaksudkan dengan mitos itu. Baginya, mitos adalah tipe wicara (cara menyampaikan pesan/makna). Bahasa membutuhkan syarat khusus agar dapat disebut sebagai mitos. Mitos dapat dipahami sebagai sebuah bentuk atau cara pemaknaan (Fiske,2004;121). Perangkat analisis mitos yang dikembangkan oleh Barthes lebih signifikan digunakan untuk mengkaji elemenelemen dalam sebuah tipe wicara, dimana film American Sniper, juga diandaikan adalah satu bagian dari tipe wicara itu. Dalam penelitaan yang dilakukan penulis terhadap film American Sniper ini, peneliti menyusun kerangka penelitiannya mengunakan teori Barthes dalam meninjau mitos, yaitu secara semiotik dicirikan dengan hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis dua tahap (the second order semiological system). (Budiman, 2004; 63) 1. Signifier
Language
2.Signified
3. Sign I.Signifier
MYTH
II. Signified III. Signifier
Gambar : 1
20
Maksudnya, pada tataran bahasa semiologi pertama (dapat dilihat pada tabel di atas bagian Language), penanda-penanda berhubungan dengan petandapetanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Selanjutnya, tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penada yang berhubungan pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi tahap kedua inilah mitos muncul. Mitos yang muncul pada tahap kedua yaitu berupa penanda-penanda, pada tahap kedua ini disebut sebagai retorik atau konotator-konotator, yang tersususn dari tanda-tanda tahap pertama; sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi. (Budiman, 2004; 63-64) Dengan memperhatikan pola hubungan tanda tahap pertama dan tahap kedua yakni tanda yang bersifat denotatif dan konotatif, peneliti berusaha hingga makna yang tersembunyi dan menjadi kawasan mitos atau ideologi menunjukan dirinya. Tahap pertama, akan di temukan mitos heroisme yang beragam dan berbagai macam berkembang dan diketahui masyarakat. Dalam film American Sniper, pengambaran yang dilakukan oleh sang Sutradara untuk menyampaikan mitos tertentu dan akan berkembang dimasyarakat dalam bentuk imaji tentang seorang hero, dalam film ini oleh Chris Kyle, merupakan representasi pengambaran heroisme. Heroisme di sini digambarkan dalam pandangan semiotika, sebagai tanda akhir. Sedangkan, dalam analisis Mitologi Barthes, hal ini merupakan sebuah awal baru kemunculan mitos-mitos yang terkonstruksi. Bagi Barthes, hal tersebut mengindikasikan tahap akhir pada level linguistik menjelma dalam rupa baru bagi mitologi.
21
Tahap kedua, mengandaikan bahwa bentuk atau penanda baru mengalami dialog dengan petanda barunya, yang berujung pada kemunculan pada tanda tahap kedua. Pada tahap ini ideologi dan mitos memunculkan dirinya. Barthes meyebutkan analisis pada tahap kedua ini sebagai level konotatif. Berikut ini bagan tahap konseptual penelitian ini.
Kerangka Konseptual
Signifikasi 1 (denotasi) Heroisme dalam film “American
Signifikasi 2 (konotasi)
Sniper”
ANALISIS MITOS (semiosis)
Analisis Mitos
MITOS
(IDEOLOGI)
Konstruksi Heroisme film “American Sniper”
E. Definisi Operasional : 1.
Konstruksi didefinisikan pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk
22
memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger, 1990:1) 2. Kritik Sosial yang dimaksud adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap sebuah konsep yang berusaha dimapankan oleh sebuah kebudayaan. 3. Pesan Moral yang dimaksud adalah kecenderungan pada kebenaran melalui pencarian dalam membaca realitas sosial. 4. heroisme merupakan tindakan berdasarkan keyakianan pada kebenaran dalam membela dan menegakkan keadilan dan kebenaran. 5. Altruisme
merupakan
sikap
dan
tindakan
mementingkan
serta
mengutamakan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. 6. Film yang peneliti maksudkan disini adalah film karya Clint Easwood berjudul American Sniper garapan Warner Bros Pictures. 7. Semiotika adalah metode analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap tanda yang konstruksi dan dimunculkan dalam film American Sniper. 8. Denotasi merupakan tanda hasil sedemikian rupa hubungan penandapenada dengan petanda-petanda pada tahap pertama semiologi. (Budiman, 2004;63) 9. Konotasi merupakan makna tahap kedua dari penanda.
23
10. Mitos disini tidak dipahami sebagai pengertian biasa, tetapi dipahami sebagai proses pemaknaan itu sendiri, artinya dalam diskursus semiotika sendiri. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu budaya untuk memahami aspek alam dan realitas. Jika konotasi merupakan makna tahap kedua dari penanda maka mitos adalah makna tahap kedua dari petanda. (Fiske, 2004; 121) 11. Ideologi merupakan sistem kepercayaan dan sistem nilai serta representasi dalam berbagai media dan tindakan sosial. (Pilliang, 2010; 16) 12. Penanda adalah bentuk gambaran fisik dan teks dialog dalam film American Sniper yang berbentuk visual (subtitle), dan kata yang meliputi istilah. 13. Intertekstualitas yang penulis maksudkan adalah keterkaitan antara satu teks dengan teks sebelumnya. 14. Paradigmatik adalah sekumpulan tanda yang dari dalamnya dipilih satu untuk digunakan. Dalam semiotika, paradigmatik digunakan untuk mencari oposisi (simbol-simbol) yang ditemukan dalam teks yang bisa membantu memberi makna. 15. Sintagmatik adalah pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang dipilih. Sintagma digunakan untuk menginterpretasikan teks (tanda) berdasarkan urutan kejadian yang memberikan makna atau bagaimana urutan peristiwa atau kejadian menggenaralisasi makna.
24
F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam membedah film ini adalah pendekatan kualitatif. Dengan mengunakan salah satu paradigma yang sering digunakan, yakni konstruktivisme. Norman K. Densin dan Yvonna S. Lincoln mengungkapkan dalam pendahuluan bukunya; “Penelitian kualitatif sebagai serangkaian praktek interpretative, tidak mengunggulkan satu metodologi pun. Sebagai wahana bagi diskusi atau diskursus, penelitian kualitatif sulit didefenisikan secara tegas. ….beragam paradigma teoritis secara terbuka menggunakan metode dan stategi penelitian kualitatif, dari konstruktivisme hingga kajian-kajian feminism, Marxisme, dan model penelitian etnik.” (Densin & Lincoln, 2009;4) Konstruktivisme dalam penelitian ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif dengan teknik analisis Mitologi Barthes. Peneliti akan memfokuskan pada konteks permasalahan heroisme dalam film American Sniper sebagai sebuah mitos, dimana Mitologi berusaha menunjukan tanda-tanda yang terdapat pada gambar dalam film tersebut. 1. Teknik Penelitian Teknik analisis semiotika Barthes akan digunakan peneliti dalam penelitian ini. Teknik ini sebelumnya telah peneliti singgung disebut sistem semiologis dua tahap (the second order semiological system). (Budiman, 2004; 63) Model ini lebih menyoroti aspek produksi dan
25
pengunaan tanda-tanda. Sistem pertandaan bertingkat ini yang disebut Roland Barthes sebagai ‘denotasi’ dan ‘konotasi’. 2. Waktu dan Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Agustus 2015 dengan dengan objek penelitian adalah film karya Sutradara Clint Eastwood berjudul “American Sniper” dengan Chris Kyle sebagai tokoh utama yang diperankan
Bradley
Cooper.
Dengan
durasi
film
132
menit,
didistribusikan oleh Warner Bros (WB) Picture Production (USA), dan dirilis pada tahun 2014.
3. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini, tipe penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif interpretatif. Pendekatan ini memungkinkan penulis untuk melakukan pengamatan dan analisis secara mendalam terhadap objek yang akan diteliti.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri sumber-sumber terkait yang berkenaan dengan permasalahan penelitian. Data primer bersumber dari film berupa data dalam sebuah Compact Disk (CD), sedangkan data sekunder berupa penelitian pustaka (library research), dilakukan dengan mengkaji dan mempelajari literatur yang berhubungan
26
dengan untuk mendukung asumsi sebagai landasan teoritis permasalahan yang dibahas.
5. Unit Analisis Unit Analisis berupa data teks Unit Analisis berupa data teks audio dan visual tiap shot yang dapat mewakili dan menggambarkan heroisme dan pesan sosial yang diteliti.
6. Analisis Data Penelitian ini menggunakan perangkat analisis semiotika model Roland Barthes,
inti
gagasan
Barthes
menyangkut
dua
tingkatan
signifikasi/pemaknaan. Tingkatan pertama, menguraikan makna linguistik yaitu denotasi-relasi antara penanda dengan pertanda dalam sebuah tanda, serta tanda sebagai acuan realitas eksternal. Tingkatan dua, makna adalah sebuah bahasa mitis yang terdiri atas konotasi dan mitos. Deskripsi makna denotatif, yakni menguraikan dan memahami makna denotatif yang coba disampaikan oleh sesuatu yang tampak secara nyata atau materil dari tanda. Disini, Film American Sniper dideskripsikan dengan penekanan pada kedalaman untuk menceritakan ulang isi pesan film dan identifikasi sistem hubungan tanda dan corak gejala budaya yang dihasilkan oleh masing-masing tanda tersebut. Ada tiga bentuk hubungan tanda yang dianalisis, yakni hubungan simbolik (Intertekstualitas),
27
hubungan paradigmatic, dan hubungan sintagmatic. (Rakhmani, 2007;1819) Analisis mitos dalam sebuah film menciptakan mitologi atau ideologi sebagai system konotasi. Apabila dalam denotasi mereka menunjukkan ideological atau secondary meaning, semiotika berusaha menganalisis teks film sebagai keseluruhan struktur dan memahami makna yang konotatif serta tersembunyi. Konsep mitos Barthes inilah yang kemudian diadopsi oleh penulis untuk menunjukan dan menjelaskan fenomena “heroisme” dalam film American Sniper.