BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kebijakan industri Taiwan berperan penting dalam perkembangan dan
kemajuan industri teknologi Taiwan. Industri teknologi Taiwan itu sendiri sekarang menjadi primadona dalam perekonomian Taiwan. Sehingga sekarang, Taiwan merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia Timur yang memiliki perkembangan perekonomian tidak kalah dibandingkan negara di kawasan Asia Timur lain seperti Jepang, Cina, ataupun Korea Selatan. Dengan fakta bahwa Taiwan memiliki jumlah sumber daya alam dan manusia yang cenderung lebih kecil jika dibandingkan negara-negara Asia Timur lain yang disebutkan diatas yang diklaim beberapa media memiliki perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Taiwan memiliki jumlah penduduk sebesar 23.399.716 jiwa yang mendiami luas wilayah Taiwan sebesar 35.890 kilometer persegi.1 Menurut data yang berhasil ditemukan, pada tahun 2010 GDP Taiwan meningkat 10,7% dan meningkat 4% pada tahun 2011, walaupun pada tahun 2012, terjadi penurunan sebesar 1,3% dikarenakan melemahnya permintaan produk Taiwan di pasar dunia.2 Hal ini wajar terjadi karena memang perekonomian Taiwan cukup tergantung terhadap kegiatan ekspor mereka dengan negara lain, sehingga
1
Central Intelligence Agency, The World Factbook: Taiwan (daring),
, diakses pada 5 Februari 2014 2 Central Intelligence Agency, The World Factbook: Taiwan (daring), , diakses pada 5 Februari 2014
1
perkembangan perekonomian mereka pun cukup tergantung dengan fluktuasi mekanisme pasar dunia. Akan tetapi, di balik itu semua perlu juga diperhatikan mengenai komoditas ekspor utama Taiwan. Karena komoditas ekspor inilah berarti yang menjadi poin penting perkembangan perekonomian dan merupakan tumpuan utama perekonomian Taiwan untuk bisa menjalankan fungsi kenegaraan mereka. Komoditas ekspor yang terkemuka dan terkenal dari Taiwan adalah barang-barang elektronik, mesin-mesin, dan petrokimia. 3 Seperti yang sudah dijelaskan diatas, salah satu barang yang menjadi komoditas utama adalah barang-barang elektronik, dimana barang elektronik tersebut merupakan hasil produksi dari industri manufaktur teknologi yang berkembang di Taiwan. Berkembangnya industri teknologi Taiwan ini tidak lepas dari kejelian pemerintah Taiwan yang memberlakukan kebijakan-kebijakan yang bersifat suportif terhadap perusahaan teknologi tersebut. Sehingga kemudian Taiwan dipandang sebagai salah satu pemain dominan di pasar global dalam komoditas barang elektronik. Bentuk nyata Taiwan sebagai pemain dominan di pasar global dapat dilihat dari beberapa contoh perusahaan mereka yang bergerak di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang cukup populer di tingkat dunia seperti Asus dan Acer. Kepopuleran kedua perusahaan tersebut dapat dilihat dari besarnya perkembangan mereka dan banyaknya konsumen mereka yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan saat ini, pihak Asus mengklaim bahwa Asus adalah perusahaan teknologi terdepan di Taiwan dengan jumlah karyawan lebih dari 3
Central Intelligence Agency, The World Factbook: Taiwan (daring), , diakses pada 5 Februari 2014
2
12.500 orang di seluruh dunia. 4 Sementara Acer, menurut The Wall Street Journal, merupakan perusahaan pembuat personal computer (PC) terbesar keempat di dunia. 5 Tidak lupa juga disebutkan bahwa kedua perusahaan tersebut tidak hanya beroperasi di satu produk saja, namun juga sudah melakukan diversifikasi produk ke produk-produk lain yang masih memiliki hubungan dengan produksi awal mereka. Beragamnya produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dapat juga diartikan sebagai salah satu indikator berkembangnya perusahaan tersebut. Selain kedua perusahaan tersebut, masih ada pula perusahaan lain dari Taiwan yang juga bergerak di bidang industri PC, sebut saja Mitac dan Quanta yang juga memiliki market share yang tinggi di dunia internasional. Dengan berkembangnya perusahaan teknologi informasi dan komunikasi di Taiwan yang sangat pesat, sangat menarik rasanya untuk membahas mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah Taiwan dalam mendukung perusahaan-perusahaan teknologi yang ada di dalam negaranya agar bisa berkembang menjadi lebih baik. Keputusan pemerintah Taiwan untuk menyokong sektor teknologi dan elektronik dapat dinilai sebuah kejelian dan ketepatan strategi. Sehingga skripsi ini akan mencoba meneliti lebih jauh mengenai kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Taiwan dalam sektor ini. Dimana kebijakan-kebijakan di bidang industri teknologi tersebut berhasil mengembangkan dan memajukan perusahaan teknologi di Taiwan. Hingga yang terjadi sekarang sudah bukan lagi menjadi rahasia bahwa industri teknologi
4
Asus, Asal Usul Nama Asus (daring), , diakses pada 7 Februari 2014 5 E. Dou, & A. Poon, “Taiwan’s Acer Posts Third Full-Year Net Loss in a Row”, The Wall Street Journal (daring), , diakses pada 8 Februari 2014
3
Taiwan memang merupakan salah satu industri yang diperhitungkan di mata dunia internasional. Dan perusahaan Taiwan juga merupakan pemain penting dalam pasar produk teknologi informasi dan komunikasi dunia.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang
akan coba dijawab dalam skripsi ini yaitu sebagai berikut: bagaimana bentuk kebijakan industri teknologi Taiwan yang berhasil mengembangkan perusahaan teknologi Taiwan?
1.3.
Landasan Konseptual Dalam menjawab rumusan masalah diatas, penulis akan menggunakan
landasan konseptual berupa konsep Latecomer Firms yang dikemukakan oleh John A. Matthews, teori 3L (Linkage, Leverage, and Learning) yang juga dikemukakan oleh John A. Matthews, dan teori Developmental State yang berasal dari buku karangan Linda Weiss. a)
Latecomer Firms Konsep Latecomer Firms biasa digunakan untuk mengacu pada
perusahaan-perusahaan yang bisa dikatakan lebih lambat memasuki pasar internasional, dimana ketika perusahaan tersebut memasuki pasar internasional, sudah ada perusahaan lain yang lebih dulu ada dan beroperasi dalam pasar
4
internasional sektor tersebut (incumbent). Definisi Latecomer Firms menurut John A. Matthews adalah perusahaan yang memenuhi 4 kondisi berikut:6 a.
Industry Entry: sebuah latecomer firms adalah perusahaan yang terlambat memasuki industri tersebut, bukan karena pilihan tapi dikarenakan alasan historis.
b.
Resources: latecomer firms adalah perusahaan yang pada dasarnya kekurangan sumber daya (resources), seperti kurangnya teknologi dan akses pasar.
c.
Strategic intent: tujuan utama dari latecomer firms adalah untuk mengejar ketertinggalan mereka.
d.
Competitive Position: latecomer firms memiliki keuntungan kompetitif mendasar, seperti rendahnya biaya, yang bisa digunakan untuk meningkatkan posisi dalam industri pilihan.
Melalui definisi tersebut, dapat dikaitkan dengan Taiwan dan perusahaanperusahaan teknologinya yang merupakan pendatang baru di industri teknologi tinggi dimana sebelumnya sudah ada perusahaan yang telah beroperasi di pasar ini seperti IBM, dan lain-lain. Mereka juga tertinggal di bidang teknologi dan akses pasar serta memiliki tujuan untuk mengejar ketertinggalan mereka dengan melakukan berbagai macam strategi hingga pada akhirnya bisa berkembang dan bersaing seperti sekarang ini. b)
3L (Linkage, Leverage, and Learning) Konsep 3L ini bisa digunakan untuk menjelaskan mengenai strategi yang
digunakan oleh latecomer firm untuk bisa mengembangkan perusahaan dan 6
J.A. Matthews, “Competitive Advantages of the Latecomer Firms: A Resource-based Account of Industrial Catch-up Strategies”, Asia Pacific Journal of Management, vol. 19, 2002, p. 472
5
mengejar ketertinggalan mereka dari perusahaan yang telah mapan sebelumnya (incumbent). Dalam konteks globalisasi, latecomer firm mendapatkan kesempatan untuk terhubung dengan institusi dan sistem yang telah berdiri. Seperti contohnya dengan adanya global value chain yang dibentuk oleh perusahaan yang telah maju untuk mengurangi besaran ongkos produksi dan meningkatkan fleksibilitas, memberikan kesempatan pada latecomer firm ini untuk terhubung dengan global value chain ini sebagai supplier. 7 Hubungan perusahaan yang maju dengan latecomer firm ini lah yang disebut dengan linkage. John A. Matthews juga menjelaskan bahwa linkage merupakan jalur untuk mendapatkan resources melalui hubungan kontrak antar perusahaan. 8 Melalui linkage, latecomer firm selain mendapatkan aliran pendapatan, juga mendapatkan pengetahuan, teknologi dan akses pasar – sesuatu yang berada diluar jangkauan dikarenakan sumber daya yang terbatas dari perusahaan tersebut. 9 Kemudian kapasitas untuk mendapatkan lebih dari sekedar hubungan baik dari perusahaan incumbent dan kemudian membuat latecomer firm tersebut dimasukkan kedalam strategi perusahaan incumbent inilah yang disebut dengan leverage.10 Atau mungkin penjelasan lain yang bisa digunakan untuk menjelaskan leverage adalah ketika resources yang dimiliki oleh perusahaan latecomer dinilai penting oleh perusahaan incumbent atau perusahaan incumbent kesulitan mendapatkan resource tersebut sehingga perusahaan incumbent ini menjadi
7
J.A. Matthews, “Catch-up Strategies and the Latecomer Effect in Industrial Development”, New Political Economy, vol. 11, no. 3, September 2006, p. 314 8 Matthews, “Competitive Advantages of the Latecomer Firms: A Resource-based Account of Industrial Catch-up Strategies”, p. 476 9 Matthews, “Catch-up Strategies and the Latecomer Effect in Industrial Development”, p. 314 10 Matthews, “Catch-up Strategies and the Latecomer Effect in Industrial Development”, p. 314
6
berkesan
bergantung
dengan
perusahaan
latecomer
sehingga
mau
mempertahankan linkage yang dijalani kedua perusahaan. 11 Rentetan linkage dan leverage ini bisa diulangi terus menerus hingga sebuah perusahaan meningkatkan kapabilitas mereka dan memiliki kemungkinan untuk menjadi pemain penting. Praktek yang berkelanjutan dan berulang-ulang dari strategi perusahaan ini dapat dideskripsikan sebagai bentuk industrial learning. 12 Learning dapat juga diartikan sebagai kemampuan latecomer firm untuk mengembangkan resources yang mereka miliki namun tidak dimiliki oleh incumbent dan mengembangkannya untuk menambah kemampuan mereka untuk lebih dinamis di pasar internasional. 13 c)
Developmental State Developmental State dewasa ini sering sekali dikaitkan dengan model
pembangunan yang diterapkan di negara-negara Asia Timur (salah satunya Taiwan). Developmental State menjelaskan tentang model pembangunan suatu negara yang berfokus pada pengembangan state capacity dimana dibutuhkan hubungan institusi-institusi yang saling mendukung di dalam suatu negara tersebut. Institusi yang dimaksud disini (dalam konteks pembangunan ekonomi di Asia Timur) adalah pihak pemerintah dan pihak swasta yaitu perusahaan selaku pelaku ekonomi negara. Hal ini kemudian memunculkan hubungan baik antara
11
Matthews, “Competitive Advantages of the Latecomer Firms: A Resource-based Account of Industrial Catch-up Strategies”, pp. 477-478 12 Matthews, “Catch-up Strategies and the Latecomer Effect in Industrial Development”, p. 314 13 Matthews, “Competitive Advantages of the Latecomer Firms: A Resource-based Account of Industrial Catch-up Strategies”, pp. 478-479
7
pemerintah dengan aktor ekonomi negara yaitu perusahaan. Argumen utama yang digunakan oleh seorang Linda Weiss dalam salah satu tulisannya adalah:14 “government-business cooperation is integral to a theory of state capacity; that – in the more industrially vibrant systems – the forms of cooperation have adapted over time to the changing tasks of transformation; and that the most robust form of state capacity (and consequently industrial vitality) issues from the linkage between strong (cohesively organized) capital and strong (insulated) state agencies” Kerjasama yang dapat terjadi dalam konsep developmental state ini bisa digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu bentuk yang “state led” dan “corporate driven”. Dua bentuk itu menunjukkan bahwa pola hubungan kerjasama diantara kedua pihak terkadang terdapat kecenderungan untuk mendominasi di salah satu fase perkembangan industri. 15 Akan tetapi, Linda Weiss menganggap dibutuhkan hubungan yang setara antara pemerintah dan perusahaan/bisnis, dimana pemerintah maupun bisnis memiliki kemampuan yang sama untuk membuat inisiatif kebijakan walaupun masih memerlukan negosiasi dalam hubungan tersebut, dan menamainya sebagai bentuk governed interdependence (GI). 16 Governed Interdependence (GI Theory) dalam ranah politik ekonomi Asia Timur digolongkan menjadi 4 bentuk oleh Linda Weiss, yaitu:
14
L. Weiss, The Myth of The Powerless State, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1998, pp.43-44. 15 Weiss, The Myth of The Powerless State, p.44. 16 Weiss, The Myth of The Powerless State, pp.69-71.
8
a.
disciplined support Merupakan bentuk dimana dalam sebuah negara, dukungan besar pemerintah terhadap sebuah perusahaan baru akan diberikan, ketika perusahaan tersebut dapat memenuhi ekspektasi dan target dari negara tersebut atau orientasi produk hasil perusahaan tersebut diarahkan menuju pasar ekspor. 17 Atau bisa juga dikatakan, dukungan
pemerintah
diberikan
kepada
perusahaan
yang
‘berprestasi’, dan jika perusahaan tersebut gagal memenuhi target mereka maka mereka akan mendapatkan hukuman dari pemerintah. b.
public risk absorption Merupakan pemberian dukungan pemerintah dalam bentuk penyerapan resiko yang ditanggung oleh perusahaan. Bentuk penyerapan resiko bisa dalam bentuk memediasi antara produsen dan pengguna produk tersebut. 18 Atau dengan pemahaman lain, perusahaan atau sektor privat sangat dilindungi oleh pemerintah dengan cara pemerintah akan menanggung semua resiko dari kegagalan perusahaan untuk bisa mengembangkan perusahaan. Bentuk ini biasanya digunakan terhadap perusahaan baru yang masih berkembang.
c.
private-sector governance Pemberian wewenang dari pemerintah kepada sektor privat untuk membuat inisiatif kebijakan. Pemerintah semacam mendelegasikan pembuatan industrial policy kepada perusahaan yang bergerak di
17 18
Weiss, The Myth of The Powerless State, p.73. Weiss, The Myth of The Powerless State, p.75
9
bidang tersebut. Sehingga kemudian kebijakan yang dibuat berkesan penuh dengan kepentingan perusahaan untuk bisa mengembangkan diri atau untuk menyelamatkan diri bagi perusahaan yang terancam. Pemberian wewenang ini dalam bentuk akses yang luas kepada perusahaan terhadap institusi yang bertanggung jawab membuat kebijakan. Dalam model governed interdependence yang ketiga ini, peran pemerintah lebih banyak di balik layar. 19 d.
public-private innovation alliance Bentuk ini memiliki ikatan kerjasama yang baik antara pemerintah atau sektor publik dengan perusahaan atau sektor privat, dimana pemerintah
dan
perusahaan
berkoordinasi
untuk
bisa
mengembangkan faktor-faktor ekonomi yang ada (dalam kasus Taiwan, adalah mengembangkan teknologi) melalui kebijakankebijakan yang mendukung proses memperoleh, mengembangkan, meningkatkan, dan menyebarkan faktor ekonomi tersebut. Dalam model ini, bisa dikatakan gabungan antara model disciplined support dan public risk absorption, dimana semua perusahaan harus memiliki kontribusi dalam pengembangan perekonomian ini, dan resiko ditanggung secara bersama-sama oleh seluruh perusahaan. Sehingga perusahaan akan lebih baik dalam mengatur dan mengembangkan perusahaannya. 20
19 20
Weiss, The Myth of The Powerless State, pp.76-78. Weiss, The Myth of The Powerless State, pp.78-79.
10
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dilihat bahwa kondisi di negara yang menganut developmental state, atmosfer politik biasanya cukup bersahabat dengan pihak perusahaan. Oleh karena itu, bentuk dukungan negara yang paling sering terjadi dalam konsep developmental state ini adalah diberlakukannya kebijakan-kebijakan yang bersifat suportif oleh pemerintah negara tersebut terhadap perusahaan. Dan lagi, mayoritas negara tersebut berfokus di sektor industri. Sehingga kemudian muncul banyak sekali kebijakan-kebijakan industri di negara tersebut. Hal ini bertujuan untuk mempermudah perusahaan atau industri mereka dalam mengejar ketertinggalan dengan para pesaing yang telah lebih dulu maju. Atau bisa dikatakan tujuan utama dari negara tersebut adalah mentransformasi perusahaan di negara mereka agar bisa menjadi pemain penting dalam pasar internasional. Poin lain yang cukup penting dalam developmental state adalah adanya institusi yang mengakomodasi hubungan antara pemerintah dan swasta, seperti organisasi industri untuk mempermudah akses perusahaan terhadap decision making dalam pemerintah negara tersebut. Linda Weiss juga berpendapat bahwa tujuan transformatif, pilot agency (aktor yang mengendalikan arah), dan kerjasama antara bisnis dan pemerintah yang terinstitusionalisasi merupakan 3 resep utama dalam sebuah developmental state.21 Lebih lanjut Linda Weiss berpendapat bahwa bila terjadi ketiadaan 2 resep pertama, maka negara tersebut kekurangan intelijensi yang mengatur dan rentan terkena kepentingan khusus dari salah satu pihak.22 Sementara bila terjadi ketiadaan resep ketiga, maka negara 21
L. Weiss, “Developmental States in Transition: Adapting, Dismantling, Innovating, Not ‘Normalizing’”, The Pacific Review, vol. 13, 2000, p. 23 22 Weiss, “Developmental States in Transition: Adapting, Dismantling, Innovating, Not ‘Normalizing’”, p. 23
11
tersebut akan kekurangan desain kebijakan dan implementasi yang efektif dan rentan terhadap halangan informasi dan kegagalan kebijakan.23
1.4.
Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi literatur
dari buku-buku dan jurnal-jurnal yang bertemakan mengenai perkembangan perekonomian Taiwan, teori-teori ekonomi pembangunan, industrialisasi dan kebijakan-kebijakan industri teknologi di Taiwan, serta mengenai perkembangan perusahaan teknologi di Taiwan dan juga menggunakan riset online seperti pencarian data di artikel online, koran digital, atau website resmi dari pihak-pihak yang terkait dalam skripsi ini.
1.5.
Asumsi Sementara Seperti halnya negara Asia Timur lain yang memilih menggunakan model
perkembangan ekonomi developmental state, Taiwan pun menggunakan model yang serupa dimana peran pemerintah negara sangat penting untuk bisa mengembangkan sektor swasta di dalam negara tersebut (dalam hal ini industri teknologi atau industri elektronik). Dimana dalam model ini dukungan pemerintah diwujudkan
dalam
bentuk
kebijakan
industri
yang
dibuat
mendukung
perkembangan industri teknologi di Taiwan. Bentuk kebijakan industri seperti: mengarahkan strategi perusahaan kecil di Taiwan untuk menjadi supplier terhadap perusahaan besar pada awalnya, sesuai dengan bagian linkage yang dikemukakan oleh John A. Matthews. Lalu memberikan perhatian lebih pada sektor research 23
Weiss, “Developmental States in Transition: Adapting, Dismantling, Innovating, Not ‘Normalizing’”, p. 23
12
and development (R&D) dengan cara meningkatkan interaksi dengan perusahaan besar untuk mempelajari teknologi baru, dan juga menerima keberadaan investasi asing di negaranya, atau bisa juga dengan cara membentuk institusi publik yang bergerak di bidang R&D untuk membantu perusahaan lokal Taiwan mendapatkan akses terhadap teknologi yang dimiliki perusahaan yang sudah mapan. Cara-cara tersebut merupakan kebijakan yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan kapabilitas dari perusahaan-perusahaan kecil Taiwan tersebut untuk berkembang menjadi pemain yang diperhitungkan dalam industri teknologi skala dunia. Ketika sudah diarahkan kearah tersebut, perusahaan kecil Taiwan yang pada awalnya hanya merupakan supplier untuk perusahaan besar, diharapkan bisa menjadi sebuah latecomer firm dalam pasar internasional. Manifestasi dari arah kebijakan industri Taiwan tersebut diadopsi menjadi strategi perusahaan yang tercermin dari konsep linkage, leverage, dan learning. Perusahaan Taiwan ini berawal dari memiliki koneksi dengan perusahaan besar, kemudian meningkatkan intensitas hubungan dengan perusahaan tersebut untuk kemudian dapat memperoleh transfer of knowledge, dan kemudian berujung pada berkembangnya perusahaan tersebut dan dapat bersaing karena sudah memiliki starting point yang sama dengan perusahaan lain yang lebih dulu beroperasi di pasar yang sama (incumbent).
1.6.
Sistematika Penulisan
Bab 1 Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan pertanyaan yang akan dijawab dalam skripsi ini, landasan konseptual yang akan
13
digunakan dalam menganalisis dan menjawab rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini, serta asumsi sementara yang diyakini oleh penulis. Bab 2 Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai awal industrialisasi serta perkembangannya di Taiwan dan kondisi industri tersebut pada masa sekarang. Serta menjelaskan mengenai bagaimana kondisi perusahaan teknologi yang berada di Taiwan. Serta dijelaskan pula alasan perusahaan tersebut menarik untuk diteliti lebih lanjut. Bab 3 Bab ini akan menjelaskan mengenai bentuk kebijakan industri sektor teknologi di Taiwan yang memiliki peran memajukan industri teknologi Taiwan, bagaimana perkembangannya, dan institusi apa saja yang berperan dalam pengembangan industri teknologi di Taiwan. Serta menjelaskan mengenai interaksi perusahaan teknologi terhadap kebijakan industri tersebut. Bab 4 Dalam bab ini akan berisi mengenai penjelasan secara menyeluruh tentang pembahasan yang sudah disampaikan pada bab sebelumnya serta akan dijelaskan pula mengenai kesimpulan akhir skripsi ini.
14