BAB I PENDAHULUAN
I.1 Judul Kelayakan Kerja pada Usaha Jasa Katering Berdasarkan Hubungan Kerja antara Pengusaha dan Pekerja Elsa Catering.
I.2 Alasan Pemilihan Judul 1.
Aktualitas Studi tentang kerja layak atau lebih dikenal dengan decent work
menjadi salah satu kajian ILO yang dikembangkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Decent work ditujukan untuk mengatasi kemiskinan melalui tinjauan dari pekerjaan masyarakat. Pekerja-pekerja di Indonesia pasalnya masih belum memiliki standar kerja layak yang jelas, akibatnya banyak pekerja yang tidak mengetahui pentingnya kerja layak. Pekerja yang tidak mengetahui kelayakan kerja berpotensi mengalami eksploitasi tenaga kerja yang merugikan pihak buruh. Pekerja diharapkan dapat memahami standar pekerjaan layak melalui kajian kelayakan kerja terhadap pekerjaan-pekerjaan di masyarakat supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak pekerja di tempat kerja sampai dengan tindak eksploitasi tenaga kerja. Peneliti memfokuskan penelitian untuk mengetahui kelayakan kerja suatu pekerjaan melalui hubungan kerjanya. Hubungan kerja merupakan relasi antara pengusaha (majikan) dengan pekerja (buruh) 1
yang berdasarkan pada kesepakatan atau perjanjian kerja, namun tidak semua hubungan kerja menggunakan perjanjian kerja. Tidak semua perusahaan menggunakan perjanjian kerja. Perjanjian kerja biasanya digantikan dengan kesepakatan lisan antara pihak yang kuat sebagai penentu syarat, dan pihak yang lemah sebagai penerima syarat. Pekerja sebagai pihak yang lemah pada akhirnya memiliki posisi tawar yang rendah di dalam perusahaan. Pekerja akan terus mengalami kondisi demikian jika tidak ada kesadaran mengenai standar kelayakan kerja yang melindungi hak-hak pekerja di perusahaan. Peneliti merujuk pada salah satu usaha sebagai obyek penelitian untuk mengetahui kelayakan kerja pada pekerjaan masyarakat. BPS Yogyakarta
mencatat
20,09
persen
struktur
perekonomian
D.I.
Yogyakarta pada Triwulan III tahun 2014 merupakan kontribusi bidang penyedia akomodasi, perhotelan dan jasa penyedia makanan. Salah satu usaha pada bidang penyedia akomodasi, perhotelan dan jasa penyedia makanan adalah usaha jasa katering. Usaha jasa katering yang menjamur di kawasan Yogyakarta otomatis membuka peluang kerja. Peneliti mengambil salah satu perusahaan katering untuk mengetahui kondisi kelayakan kerja usaha jasa katering yang notabene menjadi salah satu pilihan pekerjaan masyarakat. Elsa Catering merupakan salah satu usaha jasa katering yang berada di Kota Yogyakarta, tepatnya di kawasan RW 05 Terban. Elsa Catering memenuhi kebutuhan perusahaan terhadap tenaga kerja melalui gate-hiring recruitment. Pengusaha melakukan perekrutan tersebut 2
dengan mengandalkan relasinya, seperti tetangga, kerabat, teman, dan lain sebagainya. Sistem perekrutan tersebut membuat sebagian besar pekerja Elsa Catering sudah saling mengenal satu sama lain. Latar belakang relasi personal antar pekerja maupun pekerja dengan pengusaha akan mempengaruhi kondisi kerja di dalam perusahaan. Peneliti tertarik untuk mengetahui kondisi kelayakan kerja di perusahaan Elsa Catering yang ditinjau melalui hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja.
2.
Orisinalitas Orisinalitas penelitian mengharuskan suatu penelitian untuk
menghasilkan suatu karya yang asli dari peneliti dan bukan jiplakan dari penelitian orang lain. Penelitian dengan tema yang diangkat peneliti dalam penelitian ini sudah sering digunakan sebagai penelitian, sebagai contoh penelitian yang dilakukan Reza Manggala Putra (2012) yang berjudul Kondisi Kelayakan Kerja Pekerja Paruh Waktu. Penelitian tersebut melihat kelayakan kerja khususnya pada pekerja paruh waktu yang
dilihat
melalui
indikator
ILO.
Hasil
penelitian
tersebut
menunjukkan bahwa pekerja paruh waktu belum mendapat kelayakan kerja berdasarkan indikator kelayakan kerja ILO, namun jika dilihat dari pemaknaan kelayakan kerja oleh pekerja paruh waktu sendiri, kelayakan kerja sudah terpenuhi. Penelitian tersebut memberi pandangan baru terhadap kelayakan kerja, namun hasil penelitian lebih menekankan pada persepsi pekerja paruh waktu yang ditinjau dari relasi pertemanan pekerja paruh waktu dan fleksibilitas sistem kerja paruh waktu saja. 3
Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Riska Widiana Asmiati (2013) yang berjudul Pemaknaan Kerja Layak oleh Pekerja Penyandang Tuna Daksa di Industri Kerajinan Rumah Lidi Handicraft, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Penelitian tersebut memunculkan makna kelayakan kerja yang didasarkan pada kesesuaian upah oleh mayoritas pekerja penyandang tuna daksa sebagai pencapaian kerja layak, selain itu kenyamanan kerja dan dukungan psikologis dari pihak luar menjadi komponen pendukung di samping pemenuhan upah berdasarkan standar upah minimum. Penelitian ini melihat kelayakan kerja dari persepsi pekerja. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya ada pada subyeknya, yaitu dari pekerja paruh waktu ke pekerja penyandang tuna daksa. Ulifa Arifina (2014) juga melakukan penelitian serupa, dengan judul
Kondisi
Kelayakan
Buruh
Tetap
Berdasarkan
Indikator
International Labour Organization (Studi Kasus di Perusahaan Tenun Agung Saputra Tex, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul). Penelitian ini menghasilkan ketidaksesuaian antara indikator ILO dengan kepuasan kerja para pekerja yang dilihat dari pengupahan pekerja. Indikator kelayakan kerja ILO juga tidak berjalan di dalam perusahaan. Penelitian tersebut menekankan indikator kelayakan kerja ILO yang tidak relevan dengan kondisi kerja di perusahaan, penelitian perlu dikembangkan dengan melihat makna dari kelayakan kerja yang muncul dalam perusahaan itu sendiri sehingga tidak kaku untuk direfleksikan dalam kondisi kerja perusahaan. 4
Ketiga penelitian di atas memiliki fokus yang sama, yaitu mengkaji kelayakan kerja pada suatu pekerjaan berdasarkan indikator kelayakan kerja ILO. Walau demikian, yang membedakan penelitian ini adalah obyek kajian yang dipilih peneliti, jika penelitian sebelumnya memilih subyek kajian terhadap pekerja paruh waktu, penyandang tuna daksa, dan pekerja tetap, dalam penelitian ini peneliti memilih mengkaji pekerja lepas pada industri jasa boga, yaitu perusahaan Elsa Catering. Peneliti melihat kelayakan kerja pada industri tersebut tidak hanya dengan indikator ILO, namun dari hubungan kerja buruh – majikan yang dilatar belakangi oleh relasi pertemanan, tetangga dan kekerabatan, sehingga akan menghasilkan temuan baru mengenai kondisi kelayakan kerja.
3.
Keterkaitan
dengan
Jurusan
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki tiga konsentrasi, yaitu tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), kebijakan sosial (social policy), dan pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Penelitian ini merujuk pada konsentrasi kebijakan sosiaal (social policy) khususnya untuk kajian kelayakan kerja (decent work). Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan didukung oleh pusat kajian Social Protecion and Decent Work Studies Center (SECURE) yang fokus terhadap masalah ketenagakerjaan dan jaminan sosial. Maka penelitian Kelayakan Kerja pada Usaha Jasa Katering Berdasarkan Hubungan Kerja antara Pengusaha dan Pekerja Elsa 5
Catering di Terban, Yogyakarta memiliki keterkaitan dengan jurusan PSdK. Penelitian ditujukan untuk mengetahui kelayakan kerja pada industri katering yang diwakili oleh perusahaan Elsa Catering. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu acuan terhadap kebijakan, khususnya dalam masalah ketenagakerjaan, dimana posisi industri katering adalah usaha yang mempekerjakan pekerja secara lepas.
I.3 Latar Belakang Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil menyatakan jumlah penduduk Indonesia sampai dengan tahun 2014 sebesar 254.826.034 jiwa, sehingga Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang saat ini merasakan dampak dari ledakan penduduk. Badan Pusat Statistik mencatat persentase kemiskinan di Indonesia sampai dengan September tahun 2014 yang sebesar 10,96 persen. Ledakan penduduk di Indonesia juga memberi dampak terhadap tingginya persentase kemiskinan karena kondisi tersebut menghasilkan tenaga kerja yang berlebihan. Tenaga kerja yang berlebihan semakin tidak dapat dikendalikan karena sebagian merupakan tenaga kerja tidak terlatih (unskilled labour). BPPN (2009) menyatakan masalah utama yang dihadapi kebanyakan Negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia hingga saat ini adalah bagaimana memanfaatkan faktor manusia yang melimpah dan sebagian tidak terlatih (unskilled) bagi pembangunannya, sehingga penduduk besar bukan merupakan beban pembangunan, justru menjadi modal pembangunan. Unskilled labour merupakan tenaga kerja yang tidak terlatih, pengalaman dan ketrampilan 6
yang
dimiliki
cenderung
minim,
sehingga
berpotensi
menjadi
beban
pembangunan. Tenaga kerja biasanya dibarengi dengan tingkat pendidikan yang tergolong rendah. BPS menyatakan bahwa penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja selama satu minggu yang lalu menurut lapangan pekerjaan utama dan pendidikan tertinggi pada tahun 2014 sebesar 114.628.026 pekerja, dan 47,07 persennya merupakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tidak pernah sekolah, tidak / belum tamat SD, dan tamat SD. Tenaga kerja dengan kemampuan yang seadanya atau bahkan sama sekali tidak terlatih, serta latar belakang pendidikan rendah, umumnya akan tersisih dari persaingan di sektor formal. Sektor formal dan sektor informal tidak lepas dari sejarah pembangunan ekonomi di Indonesia yang bersifat ekonomi dualistis. J.H Boeke adalah ekonom Belanda yang pertama kali mengemukakan dualisme ekonomi Indonesia (Daru Wahyuni, 2005:57). Dualisme diartikan sebagai situasi yang tidak seragam seperti istilah modern-tradisional, superior-inferior, ataupun desa-kota. Dualisme ekonomi yang terjadi di Indoensia dikemukakan Boeke dalam Wahyuni (2005:57), bahwa masyarakat Indonesia sebelum Perang Dunia I terbagi menjadi dua, yaitu masyarakat kapitalis dan masyarakat pre-kapitalis. Masyarakat kapitalis yang maju hidup berdampingan dengan masyarakat pre-kapitalis yang tertinggal. Perkembangan ekonomi membuat para ahli pertanian meniru prinsip-prinsip industri perkotaan (J.H Boeke, 1983:9-10). Masyarakat desa yang tadinya berproduksi untuk swasembada, kini mulai berkaitan dengan industri perdagangan kota, namun hal tersebut diikuti dengan kemajuan industri. Dualisme ekonomi seolah tidak bisa dipisahkan dari modernisasi karena nuansa tradisional masih terasa seiring dengan kemajuan ekonomi masyarakat. 7
Dualisme ekonomi di Indonesia menghasilkan kesenjangan antara sektor formal yang padat modal dengan sektor informal yang padat karya ternyata dapat hidup berdampingan seiring dengan aktivitas ekonomi masyarakat hingga saat ini. Hidayat dalam Daru Wahyuni (2005:57) memaparkan perbedaan kedua sektor melalui kriteria berikut ini : Tabel I. 1 Perbandingan Karakteristik Sektor Formal dan Sektor Informal
Karakteristik
Sektor Formal
Sektor Informal
Modal
Relatif mudah diperoleh
Sukar diperoleh
Teknologi
Padat modal
Padat karya
Organisasi
Birokrasi
Mempunyai organisasi keluarga
Kredit
Dari lembaga keuangan resmi
Dari lembaga keuangan tidak resmi
Serikat buruh
Sangat berperan
Tidak berperan
Bantuan pemerintah
Penting untuk kelangsungan usaha
Tidak ada
Hubungan dengan desa
One way traffic untuk kepentingan sektor formal
Saling menguntungkan
Sifat wiraswasta
Sangat bergantung pada perlindungan pemerintah atau import
Berdiri di atas kaki sendiri
Persediaan barang
Jumlah besar dan kualitas baik
Jumlah kecil dan kualitas berubah
Hubungan kerja majikan Berdasarkan kontrak kerja
Berdasarkan atas saling percaya
Sumber : Jurnal Economia Vol.1 Nomor 1 Agustus 2005 Tabel di atas menunjukkan perbedaan karakteristik sektor formal dan sektor informal. Perbedaan karakteristik kedua sektor secara tidak langsung memberi pilihan pekerjaan bagi masyarakat. Masyarakat bebas untuk memilih pekerjaan di sektor formal maupun informal yang disesuaikan dengan 8
kemampuannya. Sektor formal maupun sektor informal sebaiknya memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai dukungan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Mohamad Yani (2006:4-7) melakukan pengamatan dan penilaian terhadap kegiatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja dan pekerja. Penilaian dilakukan dengan menggunakan lima faktor untuk menguji kelayakan kegiatan K3 di suatu perusahaan sebagai berikut :
9
Tabel I. 2 Indikator Pengamatan dan Penilaian terhadap Kegiatan K3 (Tempat Kerja dan Pekerja)
No.
Faktor K3
1.
Pengetahuan tentang K3
Mendengar
Melih at
Mencoba
Pengalama n
Baca
Penjelasa n dari atasan
Trainin g
Rutin training
Trainer
Master trainer
2.
Kondisi Ruang Kerja
Luasan cukup
Perger akan bebas
Kelembaba n cukup
Cahaya cukup
Suhu tidak panas
Ada ventilasi
Ada blower
Tidak berdebu
Meja dan kursi
Ada tempat istirahat
3.
Penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD)
Tahu dan perlu tapi belum menerapkan
Pelind ung kepala
Kaca mata
Masker
Pelindun g muka
Ear plug
Sarung tangan
Safely shoes
Baju khusus
Persediaan personal safety
4.
Pencegahan dan Teknik Pemadaman Kebakaran
Penjelasan bahaya kebakaran
Poster bahay a kebak aran
Poster dilarang merokok di tempat yang berbahaya
Alat pemadam kebakaran
Beberapa unit alat pemadam kebakara n
Pakaian anti api
Pintu darurat
Alarm, sensor kebakara n
Latihan penanganan/pencegaha n kebakaran
Program pelatihan tenaga kerja
Wasta fel
Kamar mandi memadai dan bersih
Kotak P3K
Kotak P3K berisi obat yang cukup memadai
Air bersih
Air minum yang bersih
Rujukan fasilitas kesehatan bila terjadi kecelakaan
Biaya penangana n dan pengobatan bila kecelakaan
5.
Fasilitas Kesehatan
Setiap Pengamatan Bernilai 1
Toilet memadai dan bersih
9
Tersedia klinik
Kegiatan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) suatu perusahaan dapat dinilai melalui pengamatan tabel di atas. Setiap pengamatan yang sesuai atau mendekati dapat diberikan nilai 1, sehingga total nilai maksimal sebesar 50 point. Penilaian kegiatan K3 juga mencerminkan dukungan perusahaan terhadap kelayakan kerja pada pekerjaan tersebut. Pekerja berhak bekerja di tempat yang mampu menjamin keselamatannya sehingga menimbulkan suasana kondusif di dalam aktivitas kerja. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja menjadi salah satu point ILO (Internasional Labour Organization) kaitannya dengan mewujudkan kelayakan kerja (decent work) bagi masyarakat. Kajian decent work sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan yang berkelanjutan melalui pekerjaan yang digeluti masyarakat. Pekerjaan layak dikembangkan oleh ILO memiliki empat pilar, yaitu menciptakan lapangan pekerjaan, mengakui hak-hak tenaga kerja di tempat kerja, perluasan perlindungan sosial, dan perwujudan dialog sosial. Kajian ini dianggap tepat untuk mengetahui bagaimana kelayakan kerja pekerjaan yang digeluti masyarakat. Decent work dapat diaplikasikan ke sektor formal dan sektor informal untuk melihat bagaimana kelayakan kerja dan prospek sektor ini dalam pengentasan kemiskinan. Indonesia juga menjamin pekerjaan layak bagi warga negara melalui UUD 1945 Pasal 27 ayat 2, tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan pengidupan yang layak bagi kemanusiaan. Setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan yang layak, namun realitasnya masih ada pekerjaan yang jauh dari standar layak. Kondisi tersebut mendorong peneliti untuk mengkaji kelayakan kerja pada pekerjaan masyarakat. Unit-unit usaha di kota-kota besar umumnya terkonsentrasi
36
pada perdagangan dan penyedia jasa. Hal tersebut dibuktikan melalui kontribusi usaha perdagangan dan penyedia jasa di Yogyakarta yang cukup signifikan. Tabel I. 3 Pendapatan Daerah Produk Domestik Regional Bruto menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku di Kota Yogyakarta Triwulan III 2013 – 2014
No.
Lapangan Usaha
% Triw III 2013
Triw III 2014
1.
Pertanian
13,31
12,34
2.
Pertambangan dan penggalian
0,64
0,64
3.
Industri pengolahan
13,58
13,68
4.
Listrik, Gas dan Air Bersih
1,21
1,33
5.
Bangunan
10,41
10,38
6.
Perdagangan, hotel-restoran (penyedia akomodasi, makan minum)
20,75
20,88
7.
Pengangkutan, komunikasi dan transpot
8,63
8,37
8.
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
10,12
10,47
9.
Jasa-jasa (Pemerintahan dan Swasta)
21,35
21,91
Sumber : Badan Pusat Statistik(BPS) Provinsi D.I. Yogyakarta
Tabel di atas menunjukkan sektor perdagangan berkontribusi sebesar 20,75 persen (triwulan III tahun 2013) dan meningkat menjadi 20,88 persen pada triwulan III tahun 2014. Sektor perdagangan, hotel – restoran (penyedia akomodasi dan konsumsi) berada di peringkat kedua setelah bidang jasa – jasa pemerintah dan swasta dalam pendapatan daerah, sayangnya tidak ada data yang lebih konkrit mengenai proporsi per bagian usaha dalam bidang tersebut. Perdagangan, hotel – restoran yang meliputi penyedia konsumsi (warung makan, cafe, katering, dan lain sebagainya), namun data tersebut didukung dengan Disperindagkop 37
Yogyakarta yang menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen UMKM yang ada di Yogyakarta bergerak di bidang kuliner. Persentase tersebut menjadi salah satu latar belakang yang cukup kuat bagi peneliti untuk mengkaji kelayakan kerja pada salah satu usaha di bidang kuliner. Usaha jasa katering termasuk salah satu usaha yang termasuk dalam kelompok bidang penyedia makanan atau kuliner yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Usaha jasa katering dapat masuk dalam kategori usaha mikro, usaha kecil, ataupun usaha menengah. UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM menjelaskan kriteria masing-masing usaha sebagai berikut : 1. Kriteria Usaha Mikro : a. Memiliki kekayaan paling bersih sebanyak Rp 50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau b. Memiliki
hasil
penjualan
tahunan
paling
banyak
Rp
300.000.000,00 2. Kriteria Usaha Kecil : a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00. 3. Kriteria Usaha Menengah : a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau b. Memiliki
hasil
2.500.000.000,00
penjualan sampai
50.000.000.000,00.
38
tahunan dengan
lebih
paling
dari
Rp
banyak
Rp
Usaha jasa katering sendiri semakin menjamur baik di perkotaan maupun di pedesaan membuat usaha ini membutuhkan banyak tenaga kerja. Peneliti menemukan empat perusahaan katering yang berdiri di suatu wilayah, yaitu kawasan Terban, Yogyakarta khususnya di RW 05. Perusahaan katering tentu membutuhkan tenaga kerja untuk melakukan kegiatan produksi. Elsa Catering adalah salah satu perusahaan di wilayah RW 05 Terban yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Pengusaha Elsa Catering merekrut sebagian tetangganya untuk dipekerjakan, mengingat lokasi perusahaan yang berada di tengah pemukiman warga. Perusahaan juga merekrut saudara atau kerabatnya untuk dipekerjakan, sehingga hubungan buruh-majikan tidak hanya berlangsung dalam hubungan kerja tetapi juga berlangsung dalam relasi social dan kekerabatan. Relasi sosial yang sudah terbentuk sebelum adanya relasi kerja menjadi modal bagi pengusaha dan pekerja Elsa Catering dalam menjalankan hubungan kerja dengan dasar atas saling percaya (trust). Relasi sosial dan trust di dalam hubungan kerja menjadi dasar peneliti dalam melaksanakan penelitian ini. Keri L. Sugiarti dalam Safaria (2002:104) menyebutkan bahwa pekerja di dalam Perkebunan Teh Rakyat Ciwidey, Jawa Barat juga merupakan buruh-buruh dari hubungan pertemanan dan saudara si pemilik pabrik teh. Pemiliki lahan yang notabene adalah saudara dan kerabat menyetorkan pucuk teh ke pabrik. Pemilik pabrik memberikan timbal balik dengan pinjaman modal, perawatan lahan, dan lain sebagainya. Pemilik lahan di luar hubungan kekerabatan pun tetap menyetor pucuk teh ke pabrik karena mempunyai hubungan personal yang baik dengan pemilik pabrik. Elsa Catering
39
yang merekrut pekerja dari relasi-relasi pengusaha memunculkan rasa saling percaya (trust) yang kemudian dapat mempengaruhi kondisi kerja di perusahaan. Relasi sosial dan trust dalam hubungan kerja seolah mampu menjamin kesejahteraan buruh. Elsa Catering memiliki jam kerja yang tergolong tinggi dan jaminan sosial yang rendah. Apakah pekerja Elsa Catering mendapat kelayakan kerja dengan kondisi kerja tersebut? Peneliti akan menguak kelayakan kerja pada di perusahaan Elsa Catering melalui hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha. Peneliti menjadikan hubungan kerja sebagai dasar dalam mengetahui kelayakan kerja pada perusahaan Elsa Catering. Usaha jasa katering layak untuk ditinjau sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan yang berkelanjutan, mengingat daya serap terhadap tenaga kerja yang progresif. Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemaknaan terhadap kelayakan kerja khususnya di bidang kuliner melalui kajian di perusahaan Elsa Catering.
I.4 Rumusan Masalah Usaha jasa katering menjadi salah satu usaha yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah di Yogyakarta. Usaha jasa katering semakin banyak ditemui diberbagai wilayah membuktikan eksistensinya sebagai bisnis yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Elsa Catering merupakan salah satu usaha jasa katering yang mampu menyerap tenaga kerja di sekitar lingkungan perusahaan. Peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana kelayakan kerja pada usaha jasa Elsa Catering sebagai pekerjaan yang digeluti oleh sebagian masyarakat setempat. Bagaimana kelayakan kerja pada usaha jasa Elsa Catering di Terban Yogyakarta? 40
I.5 Tujuan Penelitian I.5.1
Tujuan Operasional 1.
Penelitian ini disusun untuk menyelesaikan skripsi sebagai syarat memperoleh gelar sarjana, di Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM.
2. Penelitian
diharapkan
mampu
memberi
kontribusi
bagi
pengembangan ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, khususnya mengenai masalah-masalah kelayakan kerja. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui kelayakan kerja berdasarkan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja dalam usaha jasa katering di Terban, Yogyakarta. I.5.2
Tujuan Substansial 1. Tujuan substansial dari penelitian ini adalah mengetahui kelayakan kerja berdasarkan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja di perusahaan Elsa Catering, Yogyakarta.
I.6 Manfaat Penelitian 1. Masukan kepada pemerintah selaku perumus kebijakan terutama kesejahteraan pekerja lepas. 2. Sebagai masukan dan referensi bagi pihak perusahaan untuk mendukung kelayakan kerja melalui hubungan kerja yang harmonis. 3. Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu di Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan khususnya kajian decent work (kelayakan kerja). 41
I.7 Tinjauan Pustaka Dalam penelitian “Kelayakan Kerja pada Usaha Jasa Katering Berdasarkan Hubungan Kerja antara Pengusaha dan Pekerja Perusahaan Elsa Catering di Terban, Yogyakarta” terdapat dua penjelasan mengenai hubungan kerja dan kelayakan kerja yang dapat dicermati dari uraian di bawah ini : I.7.1
Hubungan Kerja Hubungan
kerja
merupakan
relasi
antara
pemberi
kerja
(pengusaha/majikan) dan yang dipekerjakan (pekerja/buruh). UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pekerja sebagai setiap orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, sedangkan pengusaha adalah (a) orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu usaha miliknya sendiri; (b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; (c) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berbeda di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Imam Soepomo (1976:64-65) menjelaskan hubungan kerja adalah hubungan antara buruh dan majikan yang terjadi setelah diadakan perjanjian kerja oleh buruh dengan majikan, dimana pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya; dan majikan yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh, dengan membayar upah pada pihak lainnya. Perjanjian kerja yang dimaksud adalah perjanjian mengenai kerja yang menimbulkan 42
kewajiban suatu pihak untuk bekerja. Perjanjian kerja memuat ketentuanketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan. Perjanjian kerja menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja biasanya mencakup : (1) terdapat pekerjaan sebagai obyek perjanjian. (2) Adanya perintah dari pengusaha sebagai pemberi kerja kepada pekerjanya. Pekerja berkewajiban untuk melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan yang diperjanjikan. (3) Adanya upah sebagai tujuan utama orang-orang bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. (4) Dibatasi oleh jangka waktu tertentu, bahwa hubungan kerja tidak berlangsung abadi, namun ada batasan waktunya. Perjanjian kerja yang disepakati dalam suatu hubungan kerja perusahaan dikenal dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). PKB menjadi dasar pihak pekerja dan pihak pengusaha sebagai kesepakatan tertulis dalam melaksanakan aktivitas kerja, sayangnya tidak semua perusahaan
mau
dan
mampu
menyelenggarakannya.
Perusahaan
mempunyai kewenangan untuk memutuskan ada tidaknya PKB. Beberapa perusahaan tidak menyelenggarakan perjanjian kerja bersama karena berbagai alasan. Umumnya usaha di sektor formal menggunakan PKB sebagai landasan kerjanya, sedangkan sektor informal berlandaskan atas rasa saling percaya (Kertonegoro, 1999).
43
Hubungan kerja tidak hanya ditinjau dari landasan hubungan kerja itu sendiri, namun juga dapat dilihat dari relasi buruh-majikan itu sendiri. Relasi buruh-majikan yang bersinergi positif akan menghasilkan hubungan kerja yang baik, sebaliknya jika relasi buruh-majikan cenderung negatif, maka akan mempengaruhi kondisi kerja dan relasi kerja yang kurang harmonis. Relasi buruh majikan yakni hubungan timbal balik antara pemberi pekerjaan dengan yang menerima pekerjaan, mencakup aspek: pertukaran sumber daya, kesepakatan hak dan kewajiban dalam konteks hubungan produksi, kepentingan masing-masing pihak dan mekanisme pengelolaan konflik, kontrol majikan terhadap buruh dan sebaliknya (Safaria, 2003:2). Relasi buruh-majikan di atas menjadi tolak ukur penilaian bagaimana kondisi hubungan kerja di dalam suatu perusahaan. Definisi relasi buruh-majikan di atas bersumber pada relasi timbal-balik. Relasi buruh-majikan dimaknai sebagai hubungan timbal balik antara pekerja ke pengusaha, dan juga sebaliknya. Maka kondisi hubungan kerja suatu perusahaan dapat diketahui melalui hubungan timbal balik tersebut. Berikut adalah beberapa aspek dari hubungan buruh-majikan :
a. Kesepakatan Hak dan Kewajiban dalam Konteks Hubungan Produksi Hubungan kerja setidaknya melibatkan dua pihak atau lebih yang pada dasarnya masing-masing mempunyai hak dan kewajiban dalam konteks produksi. Hak dan kewajiban tersebut dapat disepakati bersama melalui perjanjian kerja bersama (PKB). Pekerja dan pengusaha adalah dua pihak yang berkepentingan di dalam hubungan kerja dengan hak dan 44
kewajiban masing-masing sesuai dengan posisinya di perusahaan. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 telah mengatur kewajiban pengusaha dan pekerja yang tercantum sebagai berikut : Tabel I. 4 Kewajiban Pengusaha dan Pekerja
Kewajiban Pengusaha Wajib membayar upah pekerjanya tepat waktu
Kewajiban Pekerja pada Membayar ganti rugi kepada pihak lain (pengusaha) sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja apabila mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut
Wajib memberikan istirahat/cuti. Hak Wajib melakukan prestasi/pekerjaan atas istirahat penting untuk bagi majikan menghilangkan kejenuhan pekerja dalam melakukan pekerjaan. Wajib menyediakan fasilitas Wajib mematuhi peraturan perusahaan kesejahteraan bagi pekerja untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. Penyediaan fasilitas kesejahteraan dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja dan kemampuan perusahaan. Wajib memberitahukan dan Wajib mematuhi perjanjian kerja menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja Wajib untuk melaksanakan ketentuan Wajib mematuhi waktu kerja. ketentuan waktu kerja perburuhan adalah 7 jam/hari dan 40 jam/minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu, dan 8 jam/hari dan 40 jam/minggu dalam 5 hari kerjadalam 1 minggu.
perjanjian
Wajib menjaga rahasia perusahaan. Wajib mematuhi peraturan majikan.
Sumber : UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003
45
Kewajiban pekerja dan pengusaha di atas sebaiknya dilakukan dengan penuh tanggung jawab supaya mendapat hasil yang maksimal. Kedua pihak yang telah memenuhi kewajibannya berhak mendapat haknya terkait dengan hubungan produksi. Hak menjadi timbal balik atas pelaksanaan kewajiban pekerja dan pengusaha. Pekerja berhak atas pengupahan yang layak, sedangkan pengusaha berhak atas keuntungan atau laba perusahaan. Kesepakatan hak dan kewajiban dalam konteks hubungan produksi umumnya disepakati bersama dan tertulis dalam perjanjian kerja bersama (PKB), namun beberapa perusahaan tidak mengadakan PKB. Alhasil muncul peraturan majikan yang menggantikan fungsi PKB. Imam Soepomo (1976:67) menyebutkan bahwa peraturan majikan adalah peraturan yang dibuat sepihak oleh majikan, sehingga pihak majikan dapat memasukkan kewajiban pekerja semaksimal-maksimalnya dengan hak seminimal-minimalnya, dan sebaliknya mencantumkan kewajiban pengusaha seminimal-minimalnya dengan hak semaksimal-maksimalnya. Peraturan majikan juga dinilai sebagai realisasi dominasi kekuasaan majikan terhadap buruh. Hyman dalam Salamon (1992:62) memaknai kekuasaan (power) sebagai berikut : “ ... the ability of an individual or group to control his (their) physical and social environment; and, as part of the process, the ability to influence the dicisions which are or are not taken by others”. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk melakukan kontrol dan mempengaruhi pihak lain. Pihak yang mendominasi kekuasaan dapat mengontrol dan mempengaruhi pihak 46
lainnya, dengan catatan pihak lain tersebut mengakui adanya kesenjangan kekuasaan di perusahaan. Pengusaha umumnya lebih berkuasa dibanding dengan pekerja, sehingga pengusaha mampu menekan posisi tawar pekerja melalui kesepakatan lisan yang dilakukan untuk memandulkan fungsi PKB. Kesepakatan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha terkait hubungan
produksi
akhirnya
tidak
disepakati
bersama,
namun
dikendalikan oleh dominasi kekuasaan. Dominasi kekuasaan pengusaha di dalam pelakasanaan hak dan kewajiban dalam hubungan produksi dapat merugikan pihak pekerja. Pekerja memiliki posisi tawar yang rendah, sedangkan pengusaha mempunyai kekuasaan yang kuat di perusahaan. Pengusaha mampu mengeluarkan kebijakan dan peraturan yang cenderung menguntungkan pihaknya, sedangkan pekerja wajib melaksanakan kebijakan dan peraturan majikan. Pekerja menjadi rentan mengalami eksploitasi apabila pengusaha hanya tertuju pada kepentingan laba perusahaan dan dijalankan melalui legalitas peraturan majikan.
b. Pertukaran Sumber Daya Hubungan buruh-majikan ditinjau melalui timbal balik dari pertukaran sumber daya. Pengusaha dan pekerja adalah dua pihak yang melakukan pertukaran sumber daya. Pengusaha mempunyai sumber daya modal yang digunakan untuk membiayai kegiatan produksi, sedangkan pekerja sebagai sumber daya manusia mempunyai modal tenaga. Pengusaha dan pekerja melakukan pertukaran sumber daya di dalam
47
hubungan kerja karena kedua pihak tidak dapat mencapai tujuan masingmasing hanya dengan modal (sumber daya) yang dimilikinya saja. Kedua pihak yang melakukan pertukaran sumber daya diharapkan dapat memberikan timbal balik yang adil. Pekerja menukarkan tenaganya dengan upah sebagai bentuk timbal balik dari kinerjanya di perusahaan. Pengusaha berhak mendapat laba atau keuntungan sebagai timbal balik dari biaya produksi yang telah dikeluarkannya. Pekerja dan pengusaha dapat terus melakukan pertukaran sumber daya selama tujuan masingmasing tercapai melalui timbal balik yang adil. in exchange there should be reasonable reciprocity or balance between the parties concerned...” (Hyman dan Brough dalam Salamon, 1992:60) Pertukaran sumber daya sebaiknya mempunyai timbal balik yang sepadan dengan yang telah diberikan (bersifat adil), misalnya upah pekerja diberikan sesuai dengan kinerja mereka di perusahaan. Pekerja satu dengan yang lainnya mempunyai kinerja yang berbeda, sebaiknya pengusaha dapat memberikan penilaian obyektif terhadap pengupahan pekerja. Pengusaha sendiri akan menerima laba atau keuntungan dari hasil produksi yang perenstase keuntungannya ditentukan oleh pihaknya sendiri. Pengusaha memiliki kebebasan dalam menentukan keuntungan atau laba, namun kebebasan tersebut sebaiknya disesuaikan dengan kondisi perusahaan yang tetap harus mengupayakan keadilan dalam relasi timbal balik buruh dan majikan. “Ultimately, whether or not reciprocity exists can only be determinedby reference to the values of the participants and their view of the natureand quality of their exchange. Its „fair‟ if the participants consider it to be fair” (Salamon, 1992:60) 48
Pekerja dan pengusaha yang melakukan pertukaran sumber daya dapat mencapai makna adil. Penilaian adil masih sangat relatif, Michael Salamon (1992:60) menilai keadilan melalui tiga hal, yaitu timbal balik, menghargai persamaan dan perbedaan, serta melihat kedilan dari standar penilaian yang sama (konsisten). Pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan kerja dapat memberi penilaian terhadap keadilan dalam pertukaran sumber daya yang telah dilakukan. Pengusaha dan pekerja dapat memberi penilaian sesuai dengan persepsi adil masing-masing pihak. Pertukaran sumber daya yang sudah mencapai makna adil akan menciptakan relasi timbal balik yang seimbang dan menguntungkan kedua pihak.
c. Kepentingan Masing-Masing Pihak dan Mekanisme Pengelolaan Konflik Hubungan kerja Elsa Catering melibatkan dua pihak, yakni pengusaha dan pekerja yang memiliki tujuan dan kepentingan masingmasing. Kepentingan masing-masing pihak menjadi latar belakang disepakatinya hubungan kerja. Pihak satu dengan pihak lain tentu mempunyai kepentingan yang berbeda, misalnya pekerja menginginkan jam kerja yang rendah dengan upah kerja yang tinggi dan sebaliknya pihak pengusaha menginginkan ongkos produksi yang minimal untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Kedua pihak pada dasarnya adalah individu bebas menentukan prioritas kepentingannya, sehingga perbedaan kepentingan menjadi suatu hal yang wajar terjadi. 49
Perbedaan kepentingan dalam hubungan kerja berpotensi memicu konflik apabila salah satu pihak atau kedua pihak mementingkan kepentingan pribadi. Gibson, et al (1997: 437) menyebutkan bahwa hubungan selain dapat menciptakan kerja sama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Pihak-pihak di dalam hubungan kerja yang tidak bisa menekan ego kepentingan masingmasing berpotensi mengalami konflik. Konflik merupakan proses yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif atau akan segera mempengaruhi secara negatif. Konflik dapat terjadi mulai dari derajat dan lingkup konflik yang kecil sampai yang besar, dari tingkat individu, kelompok, sampai unit. Konflik yang relatif kecil misalnya masalah adu mulut antar pekerja, sedangkan konflik yang relatif besar misalnya beda pandangan tentang strategi bisnis di kalangan manajemen. Konflik dipengaruhi oleh kekuasaan yang bersifat statis, hal ini mengacu pada pendapat Rousseau dalam Seojono Soekanto (1983:293) yang menyatakan bahwa pihak yang terkuat tidak akan pernah cukup kuat untuk selalu menjadi penguasa, kecuali apabila ditransformasikan kekuatannya menjadi hak (wewenang), dan kepatuhan menjadi kewajiban. Masyarakat melahirkan kesenjangan kekuasaan karena di dalamnya terdapat individu atau kelompok dengan kekuasaan yang intensitasnya berbeda – beda. Wewenang tidak terletak dalam diri individu tetapi dalam posisi individu. Seseorang bisa saja memiliki wewenang dalam lingkungan tertentu dan tidak mempunyai kuasa atau 50
wewenang tertentu pada lingkungan lainnya. Seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin saja menempati posisi superordinat pada kelompok yang lain. Kondisi yang sama juga dapat terjadi dalam hubungan kerja di perusahaan, terlebih bagi perusahaan yang posisi buruh – majikannya berada dalam satu pola sosial yang sama. Hubungan konfliktual antara buruh dan majikan tersebut dapat mempengaruhi relasi social, begitu juga sebaliknya.
d. Kontrol majikan terhadap buruh dan sebaliknya Hubungan kerja melibatkan dua pihak dengan kepentingan yang berbeda. Kepentingan satu pihak dengan yang lain tidak selalu dapat berjalan seimbang, sehingga kondisi tersebut rentan mengalami perpecahan atau konflik. Kedua pihak sebaiknya saling melakukan control sebagai upaya meminimalisir terjadinya konflik. Kontrol meliputi tindakan pengawasan, pemeriksaan, dan pemantauan yang dilakukan pihak satu terhadap pihak lainnya. Pekerja dan pengusaha pada dasarnya mempunyai hak yang sama untuk melakukan kontrol, hanya saja dilakukan dengan kapasitas yang berbeda. Pengusaha memiliki wewenang sebagai pemilik dan majikan, sehingga dengan mudah dapat mengkontrol pekerja dari segala sisi, sedangkan kontrol pekerja terhadap pengusaha terbatas oleh kapasitasnya sebagai bawahan dengan wewenang yang terbatas. Soejono Soekanto (1975:161) menyatakan bahwa wewenang merupakan kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok yang mempunyai dukungan atau pengakuan dari masyarakat. Pengusaha yang mendapat pengakuan 51
wewenang dari pekerjanya akan selalu dipatuhi, sebaliknya pekerja pun mempunyai kekuasaan namun dalam kapasitas yang berbeda sehingga tidak sepadan dengan kewenangan majikan. Maka kesenjangan wewenang menjadikan kontrol antar pihak tidak dapat dilakukan secara seimbang. Kontrol dapat dilakukan melalui evaluasi kerja maupun dialog sosial. Dialog sosial sebagai wadah bagi kedua belah pihak dalam menyampaikan
pendapat,
menolak
ataupun
menyepakati
suatu
keputusan. Dialog sosial melibatkan semua pihak yang berkepentingan di dalam hubungan kerja, seperti pemerintah, pengusaha, dan juga pihak pekerja. Pengusaha dapat memberikan penilaian langsung dengan mengevaluasi kinerja bawahannya, dan pekerja dapat menyampaikan pendapat sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
I.7.2
KelayakanKerja Kelayakan kerja atau decent work menjadi salah satu upaya
pengentasan kemiskinan melalui tinjauan ketenagakerjaan. Pekerjaan masyarakat dapat diuji kelayakannya menggunakan kriteria kelayakan kerja guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Decent work dapat dikaji di sektor formal dan sektor informal, mengingat kedua sektor tersebut
hingga
saat
ini
mampu
perekonomian Indonesia.
52
berjalan
bersama
menunjang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dapat masuk dalam sektor formal dan sektor informal. Salah satu UMKM yang cukup marak adalah usaha kuliner, salah satunya usaha jasa katering. Usaha katering yang semakin menjamur berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja. Peneliti tertarik untuk mengetahui kelayakan kerja pada usaha jasa katering yang menjadi salah satu pekerjaan masyarakat yang saat ini telah banyak memberikan kontribusi. Kerja layak atau lebih dikenal dengan decent work pertama kali dicetuskan oleh ILO pada tahun 1999 dalam Laporan Konverensi Jendral pada konferensi ILO ke-87. Decent work menjadi salah satu kajian di Indonesia sebagai upaya-upaya pengentasan kemiskinan dan merupakan cara untuk mencapai pembangunan yang inklusif, berkelanjutan dan merata. Indonesia menjadi anggota ILO pada tahun 1950 melakukan ratifikasi konvensi ILO. Adapun konvensi ILO yang diratifikasi pemerintah Indoensia ada sepuluh sebagai berikut : 1. Konvensi ILO nomor 898 mengenai berlakunya dasar-dasar hak untuk berorganisasi dan berunding bersama dengan UU Nomor 18 Tahun 1956. 2. Konvensi ILO nomor 100 mengenai pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya dengan UU Nomor 80 Tahun 1957. 3. Konvensi ILO nomor 106 mengenai istirahat mingguan dalam perdagangan dan kantor-kantor dengan UU Nomor 3 Tahun 1961.
53
4. Konvensi ILO nomor 120 mengenai hygiene dalam perniagaan dan kantor-kantor dengan UU Nomor 3 Tahun 1969. 5. Konvensi ILO nomor 87 mengenai kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dengan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998. 6. Konvensi ILO Nomor 105 mengenai penghapusan kerja paksa dengan UU Nomor 19 Tahun 1999. 7. Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan UU Nomor 20 Tahun 1999. 8. Konvensi ILO Nomor 111 mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan dengan UU Nomor 21 Tahun 1999. 9. Konvensi ILO Nomor 144 mengenai konsultasi tripartit untuk meningkatkan pelaksanaan standar perburuhan internasional dengan UU Nomor 26 Tahun 1990. 10. Konvensi ILO Nomor 69 mengenai sertifikasi bagi juru masak di kapal dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1992. Indonesia menunjukkan partisipasinya dalam keanggotaannya di ILO yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui fokus ketenagakerjaan dan pekerjaan masyarakat. Ghai (2002) menyebutkan, ILO menyimpulkan pekerjaan layak memiliki empat komponen yakni penciptaan lapangan pekerjaan (employment), hak-hak di tempat kerja (rights at work), perlindungan sosial (social protection), dan dialog sosial (social dialogue). Keempat komponen tersebut masing-masing memiliki
54
indikator yang dijabarkan ILO dalam Decent Work Indicators for Asia and The Pasific sebagai berikut : Tabel I. 5 Indikator Kelayakan Kerja No.
Decent Work
1.
Rights At Work
2.
Employment
3.
Social Protection
4.
Social Dialogue
Indicators 1. 2. 3.
Child worker Women in the work place Complaints/cases brougth to labour courts or ILO 1. Labour force participation rate 2. Employment-to-population ratio 3. The working poor 4. Wages 5. Unemployment 6. Youth unemployment 7. Youth inactivity 8. Time related underemployment 9. Employment by status by employment and type of economic activity 10. Labour productivity 11. Real per capita earning 1. Informality and social protection 2. Occupational injury rate 3. Hours of work 1. Trade union membership rate 2. Number of enterprises belonging to employer organizations 3. Collective bargaining coverage rate 4. Strike and lockouts : Rates of days not worked.
Sumber : ILO Indikator-indikator tersebut dikelompokkan ke dalam empat pilar yang telah disebutkan di atas. Berikut keempat pilar beserta indikator masingmasing yang secara rinci akan dijelaskan dalam penjabaran berikut :
a. Menciptakan Lapangan Pekerjaan Kelayakan kerjabertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan yang ditinjau dari pekerjaan masyarakat. Kelayakan kerja atau decent work tidak mungkin terjadi tanpa kerja itu sendiri. Konsep dasar pekerjaan 55
adalah meliputi segala bentuk kegiatan ekonomi, termasuk bekerja sendiri (self-employment), pekerja rumah tangga tidak dibayar, dan upah kerja baik di sektor formal maupun informal. Menciptakan lapangan pekerjaan berarti membuka peluang atau kesempatan kerja bagi masyarakat. Tenaga kerja berkesempatan menemukan pekerjaan dari terbukanya peluang atau kesempatan kerja.
b. Hak-Hak di Tempat Kerja Salah satu indikator kelayakan kerja adalah pengakuan hak-hak pekerja di tempat kerja. Pekerjaan yang layak sebaiknya mampu melindungi hak-hak pekerja supaya terjadi peningkatan kesejahteraan. Hak-hak di tempat kerja meliputi kebebasan untuk memilih, persamaan perlakuan, kebebasan berserikat, perlindungan dari kerja paksa dan pekerja anak, dan kesempatan di tempat kerja. Pengakuan hak-hak tersebut melibatkan peran pengusaha sebagai penyelenggara kerja dan juga regulasi dari pemerintah. Semua pihak yang terkait diharapkan bisa berkoordinasi agar masyarakat mendapat hak-hak tersebut dengan layak. Masyarakat berkesempatan meningkatkan kesejahteraannya seiring dengan semakin banyak pekerjaan yang layak.
c. Perlindungan Sosial Perlindungan kerja merupakan kerangka perlindungan sosial yang menjadi
acuan
dalam
penyelenggaraan
pekerjaan
layak.
Asian
Development Bank (ADB) menyebutkan perlindungan sosial merupakan 56
sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kemampuan penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan. Perlindungan sosial yang diselenggarakan di Indonesia salah satunya adalah jaminan sosial. Jaminan sosial merupakan pemberian uang/pelayanan sosial guna melindungi seorang dari resiko tidak memiliki/kehilangan pendapatan akibat kecelakaan, cacat, sakit, hamil, masa tua dan meninggal dunia. Jaminan sosial sendiri terdiri dari asuransi sosial, bantuan sosial, tunjangan keluarga, dan skema yang diadakan oleh employer seperti kompensasi dan program komplimenter lainnya. Jaminan sosial diperuntukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik yang diselenggarakan melalui program pemerintah ataupun yang dikelola masyarakat sendiri. Indonesia mengatur jaminan sosial melalui UUD 1945 Pasal 28 amandemen kedua yang berisi, “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia
yang
bermartabat”.
Perusahaan
selayaknya
memberi
perlindungan sosial terhadap pekerja, namun tidak semua perusahaan mampu mengikutsertakan pekerjanya ke dalam program jaminan sosial. Skema jamsostek yang ditujukan pada usaha di sektor formal, namun belum semua usaha di sektor ini yang memberikan jamsostek kepada pekerjanya.
57
Terlepas dari program jamsostek, terdapat jaminan sosial tradisional yang menurut Legg dalam Safaria (2003) merupakan bentuk relasi patron – klien. Relasi patron-klien adalah relasi antara seperangkat pelaku yang mengusai sumber daya secara tidak sama, relasi yang bersifat khusus (partikularistik) dan sedikit banyak mengandung kasih sayang (affectivity), sekaligus berdasarkan asas saling menguntungkan, saling memberi dan menerima (take and give). Relasi patron-klien memiliki konsekuensi yaitu timbal balik yang tidak harus bermakna setara (satu banding satu) melainkan sekedar seimbang, dalam arti mereka saling mengharapkan. Buruh dan majikan yang berada dalam satu pola sosial yang sama memudahkan kedua pihak menyelenggarakan jaminan sosial tradisional. Jaminan sosial tradisional yang bernuansa patron-klien dilatar belakangi oleh relasi sosial buruh-majikan. Jaminan tersebut mampu memberi keuntungan bagi kedua pihak. Majikan akan terus mendapatkan tenaga kerja (buruh) untuk kelancaran aktivitas produksi perusahaan, sedangkan buruh mendapatkan bantuan dana kesehatan, pinjaman tanpa bunga, dan lain sebagainya yang berguna bagi kehidupan sosial-ekonomi.
d. Dialog Sosial Dialog sosial dalam hubungan kerja merupakan suatu ruang bagi pekerja dalam menerapkan haknya untuk mengajukan pendapat, membela kepentingannya dan terlibat di dalam diskusi menegosiasi sejumlah hal terkait pekerjaan dengan pemberi kerja dan pemangku 58
kebijakan (Ghai, 2003). Dialog sosial yang paling dekat adalah di tempat kerja. Dialog sosial ini dapat terjadi antara para pekerja dan asosiasi perwakilan dengan perwakilan kelompok pemberi kerja. Asosiasi pekerja atau serikat pekerja merupakan wadah bagi pekerja untuk menghimpun kekuasaan (power) demi memperkuat posisi mereka di dalam suatu perusahaan. Pekerja sektor informal merupakan pekerja di luar hubungan kerja yang posisinya dapat diganti kapan saja dengan tenaga kerja lain. Serikat pekerja dapat membantu pekerja untuk memperkuat dan mempertahankan posisi mereka di dalam perusahaan. Dialog sosial juga dapat digunakan sebagai wadah untuk berkomunikasi antar pihak terkait hubungan kerja, misalnya perundingan antara pekerja dan pengusaha untuk mencapai kesepakatan bersama. Kedua pihak yang melakukan komunikasi juga dapat mempermudah penyelesaian konflik ketika terjadi perselisihan atau sebagai tindakan preventif agar konflik dapat diminimalisir.
59