Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PENGUSAHA Sandi Rahayu dan Linda Purnamawati (Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Pelita harapan) ABSTRACT Termination of employment, in any of its forms, is a very crucial, even the most important issue in human resource field. Practically, this means that such employee would be jobless and consequently lose his/her source of income, a state which often lead to future miseries. Although practically employees deserve any right to terminate their employment relationship, in practice such termination is often initiated by the employers. Therefore there is no doubt that termination of employement by the employers play major role in any employment relationship. This paper aims to answer several research questions which cover: a. Terms used to define various termination of employment and its possible causes. b. Justification of employment termination, improper termination and its sactions. c. Prevailing regulations on termination of employment. d. Differences between termination individual and group of employees (mass termination). e. Basis for termination of employment. f. Emlpoyers responsibilities and duties in the termination of employees doing major mistakes. g. Action and performances being categorized as major mistakes which legally lead employers to terminate employment. h. Procedurs for termination of employment. Keywords: Termination of employment; Human Resource Field; Employee; Income Employer; Employment; Major Mistakes; Prosedures for Termination.
I. Pendahuluan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan hal yang sama sangatpenting,bahkanterpenting dalam masalah ketenagakerjaan, karenadenganadanyaPHK.maka
berakhirlah hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang selanjutnya juga berarti bahwa pekerja akan kehilangan mata pencaharian. Bahkan dalam beberapa kasus PHK merupakan awal dari segala kesengsaraan
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
69
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
pekerja. Menurut teori, memang pekerja berhak pula untuk mengakhiri hubungan kerja, namun dalam prakteknya pengusahalah yang seringkali mengakhirinya.1 Oleh karena itu, cara-cara pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha merupakan aspek yang sangat penting dalam hubungan kerja, karena aturan dan praktek yang dilakukan dalam hal terjadi pemberhentian (dismissal) atau penghematan (lay off) memberikan dampak besar bagi pengusaha dan pekerja.2 Hal ini dapat dimengerti karena pengusaha mempunyai kepentingan agar perusahaannya berjalan baik dan efektif sehingga yang bersangkutan akan berupaya mempertahankan kebebasannya untuk mengambil segala keputusan yang sekiranya akan dapat mempengaruhi kinerja perusahaannya. Sebaliknya, buruh melihat soal pengakhiran hubungan kerja ini dari sudut yang berlainan karena dirinya mempunyai 'Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: (Djambatan, 1999), hal. 88. 2 Soepomo, Ibid, mengutip Report VII (1) International Labour Office, 1962 Termination of Employment (dismissal and lay-off). 70
kepentingan langsung untuk tetap mempunyai pekerjaan, yang dalam prakteknya seringkali merupakan satu-satunya sumber pendapatan (mata pencaharian) bagi diri dan keluarganya. Disamping kedua faktor tersebut, PHK juga harus dilihat dari latar belakang ekonomi (mikro dan makro), karena akibat PHK adalah sangat berbeda, tergantung dari ketersediaan lapangan kerja dalam suatu negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, peraturan mengenai prosedur PHK juga harus pula memperhatikan kepentingan pengusaha dan pekerja dan mampu memberikan penyelesaian yang layak dan praktis. //. Rumusan masalah Dengan demikian, tulisan ini disusun guna melihat lebih jauh peraturan perundang-undangan mengenai PHK, prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pengusaha dalam melakukan PHK terhadap pekerjanya. Secara khusus, pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab adalah: 1. Istilah apa sajakah yang digunakan dalam PHK dan digunakan untuk merujuk pada keadaan pengakhiran
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
hubungan kerja antara pengusaha dan karyawan serta sebab-sebab (faktorfaktor pemicunya) dari sudut pandang pengusaha? Adakah alasan-alasan pembenar PHK? PHK yang bagaimanakah yang dianggap tidak layak dan apakah sanksi untuk itu? Diatur dimana sajakah ketntuan-ketentuan mengenai PHK? Apakah perbedaan antara PHK oleh pengusaha terhadap pekerja perorangan dan terhadap pekerja massal? Apakah pengecualian terhadap kewajiban permohonan izin PHK oleh pengusaha? Dalam hal-hal apakah PHK oleh pengusaha terhadap pekerja dapat dilakukan? Apakah kewajiban pengusaha dalam hal yang bersangkutan melakukan PHK terhadap pekerjanya yang melakukan kesalahan berat? Hal-hal apa sajakah yang termasuk kesalahan berat oleh pekerja sehingga memberikan hak bagi pengusaha untuk melakukan PHK? Bagaimanakah prosedure/ langkah penyelesaian PHK?
Law Review, Fakultas Hukum Universitas
HI. Istilah dalam pemutusan hubungan kerja Ada 4 istilah dalam pemutusan hubungan kerja:3 a. Termination* yaitu putusnya hubungan kerja karena selesai/ berakhirnya kontrak kerja; b. Dismissal* yaitu putusnya hubungan kerja karena tindakan indisipliner; Misalnya dalam hal tenaga kerja/karyawan melakukan kesalahan-kesalahan seperti pemabok, madat, melakukan tindakan kejahatan dan sebagainya. c. Redudancy* yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan perkembangan teknologi; Misalnya suatu perusahaan yang menggunakan alat-alat teknologi canggih seperti penggunaan robot-robot dalam proses produksi, yang mengakibatkan pengurangan pegawai/karyawan;
1
Sendjun H. Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta: PT. RinekaCipta2001 (Cet.III), hal. 107 Harapan, Vol. II, No. I, Juli 2002
71
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
d. Retrenchment! yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran dan lain sebagainya, sehingga perusahaan tersebut tidak dapat/tidak mampu untuk memberikan upah kepada tenaga/karyawannya. Lebih jauh, Imam Soepomo membagi PHK ke dalam empat golongan, yaitu : a. Hubungan kerja yang putus demi hukum; b. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pihak pekerja; c. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pihak pengusaha; dan d. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pengadilan, terutama berdasarkan alasan penting. Makalah ini, sesuai dengan judulnya hanya akan membahas poin ke-3 (tiga) yaitu hubungan kerja yang diputuskan oleh pihak pengusaha.
IV. Alasan pembenar PHK Manulang 4 mengemukakan 3 alasan utama yang menjadi dasar pembenar dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha. Ketiga alasan pembenar tersebut adalah: a. Alasan-alasan yang berhubungan atau melekat pada pribadi buruh, misalnya tidak cakap dan tidak mampu secara badaniah maupun rohaniah, tidak ada keahlian, tidak mampu menerima latihan yang diperlukan bagi pekerjaannya dan keadaan sakit tertentu; b. Alasan-alasan yang berhubungan dengan tingkah laku buruh, misalnya tidak memenuhi kewajibannya, tidak dapat dipercaya, melanggar disiplin, acuh tak acuh, dsb; c. Alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan, misalnya tidak adanya pesanan atau bahan baku, menurunnya hasil produksi, dsb. PHK yang dilakukan pengusaha dianggap tidak layak bilamana: * Ibid, hal. 121
72
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
a. tidak menyebutkan alasannya; b. alasan yang dicari-cari atau palsu; c. bertentangan dengan ketentuan dalam Undangundang atau kebiasaan. Untuk itu sanksi atas PHK yang tidak layak adalah: a. PHK tersebut adalah batal dan pekerja yang bersangkutan harus ditempatkan kembali pada kedudukannya semula; b. Pembayaran ganti rugi kepada pekerja. (dalam hal ini pekerja berhak memilih antara penempatan kembali atau mendapatkan ganti rugi). (manulang,2001:122) V. Ketentuan mengenai PHK Undang-undang yang pertama kali mengatur mengenai PHK setelah Indonesia merdeka adalah Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (mencabut Undang-undang Darurat No 16/1951) yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Maksud undang-undang ini sebenarnya merupakan cetusan
dari krida keempat hukum ketenagakerjaan, yaitu membebaskan tenaga kerja Indonesia dari ketakutan kehilangan pekerjaannya secara semena-mena5. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Undangundang No. 12 Tahun 1964 ini adalah: a) Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi PHK adalah bahwa sedapat mungkin PHK harus dicegah dengan segala daya upaya, bahkan dalam beberapa hal dilarang. b) Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan 5
PANCA KRIDA HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA: (1) membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan; (2) membebaskan penduduk Indonesiad ari rodi atau kerja paksa; (3) membebaskan tenaga kerja Indonesia dari punale sanksi; (4) membebaskan tenaga kerja dari ketakutan kehilangan pekerjaan secara semena-mena; (5) memberikan kedudukan hukum yang seimbang-bukan sama-kepada tenaga kerja, disamping juga memberikan kedudukan ekonomis yang layak. (Sumber: Soepomo, Pengantar Hk. Perburuhan, hal. 25)
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
73
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
c)
d)
e)
f)
74
antara pihak-pihak yang berselisih seringkali lebih dapat oleh yang bersangkutan daripada penyelesaian yang dipaksakan oleh pemerintah maka dalam system Undangundang ini menempuh jalan perundingan merupakan suatu kewajiban. Bila jalan perundingan tidak berhasil, barulah pemerintah tampil ke muka dan campur tangan dalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh pengusaha. Bentuk campur tangan ini adalah pengawasan preventif yaitu tiap-tiap pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari instansi pemerintahan. Pengawasan preventif tersebut diserahkan kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Dalam Undang-undang ini diadakan ketentuan-ketentuan yang bersifat formil, tentang cara memohon izin, meminta banding terhadap penolakan permohonan izin seterusnya. Bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-
besaran sebagai akibat dari tindakan pemerintah maka pemerintah akan berusaha untuk meringankan beban pekerja dan akan diupayakan penyaluran mereka pada perusahaan / tempat kerja yang lain, g) Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena akibat modernisasi, otomatisasi, efisiensi yang disetujui oleh pemerintah mendapat perhatian pemerintah sepenuhnya dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran tenaga kerja tersbut ke perusahaan / proyek lain. Pemberlakuan Undangundang No. 12Tahun 1964 ini menghapuskan ketentuanketentuan sebelumnya mengenai PHK yang terdapat dalam Regeling Ontslagrecht voor Bepaalde niet Eutopese Arbeiders (peraturanperaturan pemutusan hubungan kerja bagi tenaga kerja buka Eropa) dan ketentuan-ketentuan mengenai hubungan kerja di dalam KUHPerdata (pasal 1601 sampai dengan pasal 1603 lama dan pasal 1601
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
Sandi R dan Linda P: Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
Sekarang ini, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-03/MEN/1996 tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku lagi melalui pengundangan Keputusan Menteri Tenaga Kerja republik Indonesia No. KEP-150/ MEN/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan, dilanjutkan dengan pengundangan Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. KRP171/MEN/2000 tentang Perbaikan Penulisan pada Pasal 1 angka 12 dan Pasal 18 ayat (1) Huruf G, H, dan I Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. KEP-150/MEN/2000.
sampai dengan pasal 1603w), sepanjang bertentangan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1964 ini. Undang-undang tersebut diatas selanjutnya dengan sebuah Instruksi Menteri Tenaga Kerja No. 2/Instruksi/ 1967 mengenai Larangan Pemberhentian Tenaga Kerja Secara Massal oleh perusahaan-perusahaan Negara tanpa Konsultasi dengan Departemen Tenga Kerja, sebuah Surat Edaran Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. Ed-l/DP/1978 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan / Pemutusan Hubungan Kerja Buruh di PT (Persero) Pemerintah, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-03/MEN/1996 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dn Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta yang menyatakan tidak berlakunya peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/ 1986.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas
VI. PHK oleh pengusaha terhadap pekerja perorangan dan pekerja massal A. a.
Pengertian umum Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha menerima upah {Pasal 1 angka 4 Kepnaker 150/ 2000).
Harapan, Vol. II, No. I, Mi 2002
75
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
b.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitian Pusat (Pasall Angka 4 Kepmenaker No. 150/2000). c. Selanjutnya pemutusan hubungan kerja secara besarbesaran (massal) adalah pemutusan hubungan kerja terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja atau lebih pada satu perusahaan dalam satu bulan atau terjadi rentetan pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besarbesaran {Pasal 1 Angka 5 Kepmenaker No. 150/2000). d. Panitia Daerah adalah Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) huruf f Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Pasal 1 Angka 11 Kepmenaker No. 150/ 2000), sedangkan e. Panitia Pusat adalah Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat sebagaimana dimaksud 76
dalam pasal 1 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Penetapan PERTAMA , Kepmenaker 171/2000). B. PHK terhadap pekerja perorangan dan terhadap pekerja massal Pada dasarnya, PHK di Perusahaan tidak bisa dilakukan jika tidak mendapatkan ijin dari panitia Daerah atau Panitia Pusat. Ijin PHK wajib diperoleh dari Panitia Daerah dalam hal PHK tersebut dilakukan terhadap pekerja perorangan; dan izin dari Panitia Pusat untuk PHK secara besarbesaran atau massal (Pasal 2 ayat (1) Kepmenaker No. 150/2000). Contoh Kasus: Perusahaan "X" mem-PHK 15 orang karyawannya yang terbukti bersekongkol melakukan tindak pidana pencurian. Apakah dalam hal ini perusahaan "X" dianggap telah melakukan PHK massal sehingga ybs wajib memperoleh izin PHK dari Panitia Pusat? Jawab: PHK terhadap ke-15 buruh tersebut tidak bisa dikategorikan
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
sebagai PHK massal, karena PHK massal adalah PHK terhadap sejumlah buruh (lebih dari 10 orang dalam waktu satu bulan yang menunjukkan itikad pengusaha untuk melakukan PHK massal) berdasarkan alasan ekonomis, seperti pengurangan jumlah pekerja (retrenchment) atau penghematan (lay-off)6. Sedangkan dalam PHK yang terjadi dalam kasus diatas adalah PHK berdasarkan alasan menjadi tanggung jawab pekerja. Pemutusan demikian lebih tepat disebut dengan istilah PHK besarbesaran dan tidak menimbulkan kewajiban bagi pengusaha untuk telebih dulu meminta ijin Panitia Pusat, melainkan menggunakan prosedur PHK terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat (pencurian).
Panitia Pusat. Kelima syarat tersebut adalah (Pasal 2 ayat (2) Kepmenaker 150/2000):
C. Pengecualian terhadap kewajiban permohonan ijin PHK.
d.
a.
b.
c.
e.
pekerja dalam masa percobaan, dimana lamanya masa percobaan kerja tersebut maksimum 3 (tiga) bulan dan hanya boleh diadakan untuk satu kali masa percobaan kerja (Pasal 5 ayat (2) Kepmenaker 150/ 2000); pekerja mengajukan permintaan mengundurkan diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa mengajukan syarat; pekerja telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama; atau berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu; pekerja meninggal dunia
Terhadap ketentuan pasal 2 ay at (1) tersebut diatas, diberikan 5 (lima) macam keadaan sebagai syarat bagi pengusaha untuk dapat melakukan PHK tanpa ijin, baik dari Panitia Daerah maupun dari 6
Soepomo, Ibid., hal.182.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
77
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
VII. PHK oleh Pengusaha PHK oleh pengusaha dapat dilakukan dalam hal: a. Pekerja tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari berturut-turut, dengan syarat: i. pekerja ybs tidak memberikan keterangan tertulis dengan bukti yang sah; dan ii. pengusaha telah melakukan pemanggilan tertulis 2 (dua) kali.(Pasal 15 ayat (1) Kepmenaker 150/2000) b. Pekerja yang bersangkutan melakukan kesalahan berat. Dalam hal ini: i. pengusaha wajib mengajukan permohonan izin PHK: Jika pengusaha melakukan skorsing sebelum izin PHK tersebut keluar, maka pengusaha wajib membayar upah paling sedikit 75% dari upah yang diterima pekerja (Pasal 16 ayat (1) Kepmenaker 150/2000), untuk jangka waktu maksimum 6 bulan {ayat (3) dan (4)). Syarat-syarat skorsing (Pasal 16 ayat (2)): • dilakukan secara tertulis; • disampaikan kepada pekerja dengan alasan yang jelas; • ada kesempatan bagi pekerja untuk membela diri. Bila pengusaha tidak melakukan skorsing maka pengusaha tetap wajib memenuhi segala kewajibannya dan membayar upah kerja selama proses sebesar 100% (Pasal 17 ayat (1) dan (2) Kepmenaker 150/2000) Dalam hal pengusaha dan pekerja tidak dapat memenuhi segala kewajibannya namun bukan karena dilarang bekerja oleh pengusaha wajib membayar upah pekerja selama dalam proses sebesar 75% (Pasal 17 ayat (4) Kepmenaker 150/2000). ii. pekerja tidak berhak atas pesangon tetapi berhak atas uang penghargaan masa kerja dan ganti rugi (Pasal 18 ayat (4)) Kepmenaker 150/2000)). iii. jika pengusaha belum mengajukan permohonan izin PHK maka yang bersangkutan tetap wajib membayar 100% upah. c. Pekerja yang melakukan kesalahan yang tidak termasuk kesalahan berat bisa di masa kerja dan ganti kerugian (Pasal 18 ayat (5)). 78
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
Dalam hal pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib {Pasal 19 Kepmenaker 150/2000): i. Bilamana pengaduan dilakukan oleh pengusaha: Selama izin PHK belum diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat maka pengusaha wajib membayar: • Upah; minimum 75% • Berlaku paling lama 6 bulan sejak hari pertama pekerja ditahan ii. Bila pengaduan oleh pihak lain selain pertama pekerja ditahan. permohonan izin PHK dapat dilakukan setelah pekerja ditahan paling sedikit selama 60 hari takwim; pengusaha wajib memberikan bantuan (bukan upah) kepada keluarga yang menjadi tanggungan pekerja, dengan ketentuan: • 1 orang tanggungan: 25% dari upah pekerja; • 2 orang tanggungan: 35% dari upah; • 3 orang tanggungan: 45% dari upah; • 4 orang tanggungan: 50% dari upah. Bantuan diberikan selama maksimal 6 bulan sejak hari pertama pekerja ditahan. VIII. Kriteria kesalahan berat yang menjadi dasar pemberian ijin PHK Izin PHK dapat diberikan karena pekerja melakukan kesalahan berat sebagai berikut (Pasal 18 ayat (1) Kepmenaker 150/2000): a. penipuan, pencurian dan penggelapan barang / uang milik pengusaha atau milik teman sekerja atau milik teman pengusaha; atau b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehin-
gga merugikan pengu-saha atau kepentingan Negara; atau mabok, minum - minuman keras yang memabokkan, madat, memakai obat bius atau menyalahgunakan obatobatan terlarang tau obat obatan perangsang lainnya yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, ditempat kerja, dan ditempattempat yang ditetapkan perusahaan; atau d. melakukan perbuatan asusila atau melakukan perjudian di tempat bekerja; atau
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. I, Juli 2002
79
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
e. meyerang, mengintimidasi atau menipu pengusaha atau teman sekerja dan memperdagangkan barang terlarang baik dalam lingkungan perusahaan maupun diluar lingkungan perusahaan; atau f. menganiaya, mengancam secara fisik atau mental, menghina secara kasar pengusaha atau keluarga pengusaha atau teman sekerja; atau g. membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau kesusilaan serta peraturan perundangundangan yang berlaku; atau h. dengan ceroboh atau sengaja merusak, merugikan atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik pengusaha; atau i. dengan ceroboh atau aengaja merusak , merugikan atau membiarkan dri atau teman sekerjanya dalam keadaan berbahaya; atau j . membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan atau mencemarkan nama baik pengusaha dan atau keluarga pengusaha yang seharusnya 80
Law Review, Fakultas Hukum
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; dan k. hal-hal lain yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama. Contoh Kasus: Amir Hamzah telah selama 6 tahun di PT. Delta Raya, dengan upah terakhir sebesar Rp. 4.000.000,- per bulan. Amir Hamzah melakukan pencurian barang hasil produksi (tinta printer) dan hal ini diketahui oleh pengusaha, sehingga pengusaha berdasarkan berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Chief Security dan Manager HRD setempat mengajukan izin PHK kepada P$D. Sebelum izin PHK tersebut keluar, pengusaha telah melakukan skorsing terhitung sejak peristiwa pencurian tersebut. Pertanyaan: Berapakah jumlah uang yang diterima Amir Hamzah dari PT. Delta Raya pada saat izin PHK dari P4D keluar 4 bulan kemudian? (Asumsikan bahwa istirahat tahunan Amir Hamzah telah terpakai, perusahaan tidak mempunyai kebijakan istirahat panjang dan bahwa yang Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
bersangkutan diterima kerja di tempat perusahaan sekarang beroperasi serta tiadanya penetapan ganti kerugian lain oleh P4D). Jawab: Jumlah uang yang diterima Amir Hamzah 4 bulan setelah dirinya terkena skorsing: 1. gaji bulanan untuk bulan takwim terakhir yang belum dibayarkan sampai dengan yang bersangkutan dikenakan skorsing; ditambah dengan 2. upah selama skorsing yaitu 75% x (Rp. 4.000.000,- x 4 bulan) = Rp. 12.000.000,ditambah 3. uang pesangon yaitu sebesar Rp. 0,4. uang penghargaan masa kerja, yaitu sebesar Rp. 4.000.000,- x 3 = Rp. 12.000.000,5. Uang ganti kerugian, yaitu sebesar 15% x Rp. 12.000.000,= Rp. 18.000.000,Dengan demikian, uang yang diterima Amir Hamzah terhitung sejak keluarnya izin PHK oleh P4D adalah Rp. 22.800.000,ditambah gaji untuk bulan takwim terakhir yang belum Law Review, Fakultas Hukum Universitas
diterimanya (misalnya untuk 10 hari kerja maka gaji ini adalah Rp. 2.000.000,-) XI.Langkah penyelesaian PHK a. Pengusaha dengan segala daya upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK dengan cara melakukan pembinaan terhadap pekerja yang bersangkutan atau dengan memperbaiki kondisi perusahaan (Pasal 6 Kepmenaker 150/2000). b. Pembinaan kepada pekerja dapat dilakukan dengan cara memberikan peringatan, baik lisan maupun tertulis kepada yang bersangkutan (Pasal7ayat(l)). c. Peringatan tertulis dilakukan 3 (tiga) kali yang masingmasing mempunyai masa berlaku selama 6 bulan kecuali ditentukan lain (Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3)). d. Keabsahaan surat peri ngatan tersebut di atas didasarkan pada ketentuan yang berlaku dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama (KKB) (Pasal 7 ayat (4)). Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
81
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
e. Pengusaha dapat langsung memberikan peringatan terakhir (ke-3) dalam hal (Pasal 8 Kepmenaker 150/ 2000): i. Setelah 3 kali berturutturut pekerja tetap menolak mentaati perintah atau penugasan yang layak sebagaimana yang tercan-tum dalam perjanjian kerja atau perarturan perusahaan atau KKB; ii. Telah dengan sengaja atau lalai mengakibatkan dirinya dalam keadaan tidak dapat melakukan pekerjaan yang diberikan kepadanya; iii. Tidak cakap melakukan pekerjaan, walaupun sudah dicoba di bidang tugas yang ada; iv. Melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau KKB yang dapat dikenakan peringatan terakhir. f.
82
Setelah mendapatkan surat peringatan terakhir pekerja masih tetap melakukan pelanggaran, maka pengusaha
dapat mengajukan izin PHK kepada Panitia Daerah ataupun kepada Panitia Pusat (Pasal 0 Kepmenaker 150/ 2000). Namun demikian, proses PHK tersebut tetap harus dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagi berikut {Pasal 10): i. Perundingan secara musyawarah antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja mengenai PHK yang bersangkutan, yang bilamana dapat dicapai, dibuat persetujuan bersama secara tertulis serta ditandatangani oleh para pihak (Pasal 10 ayat (5))\ ii. Perundingan dilakukan sebanyak-banyaknya 3 kali dalam 30 hari takwim, dimana tiaptiap perundingan dibuat risalah yang ditandatangani oleh pengusaha dan pekerja (serikat pekerja) dan mencakup: nama dan alamat pekerja; nama dan alamat serikat pekerja atau organisasi pekerja
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
lainnya yang terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja; nama dan alamat pengusaha atau mewakili; tanggal dan tempat perundingan; pokok masalah atau alasan PHK; pendirian para pihak; kesimpulan perundingan; dan tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan. iii.
Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan penyelesaian, maka sebelum pengajuan izin PHK oleh pengusaha kepada Panitia Pusat atau Panitia Daerah, masingmasing pengusaha atau pekerja (serikat pekerja) mengajukan permintaan untuk diperantai oleh Pegawai Perantara (Pasal 10 ayat (8) Kepmenaker 150/2000), yaitu pegawai Kementrian Perburuhan (sekarang Departemen
Tenaga Kerja) yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk memberikan pemerantaran dalam perselisihan perburuhan {Pasal 1 ayat (1) huruf e UU No. 22 Tahun 1957). Pegawai Perantara wajib (Pasal 11 Kepmenaker 150/2000): (a) menerima setiap permintaan pemerataan; (b) mengadakan pemerantaraan dalam waktu paling lama 7 hari sejak diterimanya permohonan; (c) mengupayakan diadakan perundingan bilamana hal tersebut belum dilakukan oleh para pihak; (d) mengupayakan penyelesaian melalui perundingan secara musyawarah untuk mufakat. (e) Membuat anjuran secara tertulis yang memuat saran akhir penyelesaian, dalam hal pemerataan yang dilakukannya tidak mencapai kesepakatan penyelesaian {Pasal 12 ayat (1) Kepmenaker 150/2000); (f) Mengupayakan tanggapan oleh para pihak dalam waktu
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002
83
Sandi R dan Linda P : Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
7 hari sejak diterimanya anjuran tersebut;
dan Kedua, PT. Pradnya Paramita (Edisi Revisi). Jakarta.
(g) Membuat laporan pemerataan secara lengkap dalam hal salah satu pihak atau para pihak menolak anjurannya (Pasal 12 ayat (3) Kepmenaker 150/ 2000);
Manulang, Sendjun H. 2001. "Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia", PT. Rineka Cipta, (Cet. III). Jakarta
(h) Meminta bantuan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kantor Departemen Tenaga Kerja untuk menetapkan dan menghitung hak pekerja yang bersifat normative (misalnya upah lembur dan tunjangan kecelakaan kerja) (Pasal 12 ayat (5) Kepmenaker 150/ 2000); (i) Menyelesaikan pemerataan dalam waktu paling lama 30 hari sejak diterimanya permintaan pemerataan (Pasal 12 ayat (6)).
Soepomo, Prof. Imam, S.H. 2001. "Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja", Djambatan (Cet. IX-Edisi Revisi). Jakarta. 1999. "Pengantar Hukum Perburuhan", Djambatan (Cet. XII-Edisi Revisi). Jakarta. Wibowo, Drs. M. Benoe Satriyo. 2002. "Himpunan Peratuan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan", ANDI. Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA Djumadi, S.H. 2002. "Hukum Perburuhan: Perjanjian Kerja", Rajawali Press. Jakarta. Kansil, Prof. Dr. C.S.T., S.H. 2001. "Kitab Undang-undang Ketenagakerjaan", Buku Kesatu 84
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No. 1, Juli 2002