BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting dalam kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) menyatakan bahwa: Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UndangUndang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang HakHak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Pengakuan terhadap hak-hak anak telah dituangkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Anak (United Nations Convention on the Rights of the Child), atau disebut juga Konvensi Hak-hak Anak. Sebagai Negara peserta, Indonesia wajib untuk mengakui dan memenuhi hak-hak anak sebagaimana dirumuskan dalam konvensi tersebut1. Hak konstitusional anak
1
Negara Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak tersebut melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) tertanggal 25 Agustus 1990.
1
diatur dalam UUD 1945 yaitu dalam Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Mengenai siapa yang dimaksud sebagai anak, Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap hak konstitusional anak sebagaimana diamanatkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 harus diberikan kepada setiap anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan. Faktanya, masih ada hak-hak anak yang belum terlindungi secara sempurna. Misalnya dalam hal adanya anak yang lahir di luar perkawinan (dikenal pula dengan sebutan anak luar kawin), yang tentunya tidak dapat dikecualikan dari “anak” yang dimaksud dalam Konvensi Hak-hak Anak maupun UU Perlindungan Anak. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) menyatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Hubungan keperdataan hanya dengan ibunya dan keluarga ibunya berarti bahwa pemenuhan hak dan kewajiban anak luar kawin tersebut hanya dengan ibunya atau keluarga ibunya. Hal ini berarti pula bahwa laki-laki sebagai ayah biologis anak tersebut terbebas dari tanggung jawab hukum sebagai orang tua. Sebagai Negara peserta Konvensi Hak-hak Anak dan dengan berlakunya UU UU Perlindungan Anak, sudah seharusnya Pemerintah 2
merumuskan suatu peraturan yang dapat melindungi hak-hak anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut. Ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ini merupakan konsekuensi logis dari pengaturan mengenai persyaratan dan prosedur perkawinan yang sah sebagaimana ditentukan dalam UU Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Maksud dari pencatatan perkawinan ini adalah untuk membuktikan telah dilangsungkannya suatu perkawinan serta menjadi terang dan jelas kedudukan masing-masing pihak sebagai suami istri. Meskipun pencatatan perkawinan ini tidak menentukan keabsahan suatu perkawinan namun demi tertib administrasi dan kependudukan serta untuk menjamin kepastian hukum maka pencatatan perkawinan harus diadakan. Perkawinan yang tidak tercatat di mata hukum dianggap tidak terjadi, sehingga anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut dikategorikan sebagai anak luar kawin dan berpotensi dirugikan hak-haknya. Seorang anak tidak dapat memilih kondisi kelahirannya. Peristiwa kelahiran seorang anak diawali dengan kehamilan akibat hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, terlepas apakah mereka terikat perkawinan atau tidak. Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil jika hukum menetapkan bahwa anak yang dilahirkan dari hubungan (di luar perkawinan) tersebut hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya dan membebaskan laki-laki yang 3
menyebabkan kehamilan tersebut dari tanggung jawab sebagai seorang ayah, sekaligus meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut sebagai ayahnya. Kelahiran anak tersebut merupakan peristiwa yang membawa akibat timbulnya hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara timbal balik antara anak, ibu dan ayah. Hukum harus memberi perlindungan hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan. Jika tidak demikian, maka akan merugikan hakhak anak tersebut. Alasan-alasan tersebut di atas antara lain menjadi pertimbangan hukum bagi hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam memutus perkara permohonan judicial review (uji materiil) atas beberapa pasal dalam UU Perkawinan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 (selanjutnya dalam tesis ini disebut putusan MK). Putusan MK tersebut menyebutkan antara lain bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat 4
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Putusan MK tersebut menimbulkan apresiasi sekaligus kritik di kalangan masyarakat. Pandangan yang memberi apresiasi merujuk pada perspektif perlindungan Hak Asasi Manusia. Komnas Perempuan misalnya, menyambut positif putusan MK tersebut karena sejalan dengan konstitusi dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (UU Nomor 7 Tahun 1984)2. Demikian pula apresiasi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang menilai bahwa putusan MK tersebut akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak di luar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya3. Pandangan berupa kritik menilai bahwa jika dikaji dalam perspektif hukum agama (Islam), dikhawatirkan akan menimbulkan kegelisahan di kalangan umat Islam karena isi dari putusan tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Putusan tersebut juga dikhawatirkan akan memberikan pengakuan terhadap berbagai hubungan tidak sah dipandang dari sisi agama dan norma sosial. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa No 11 Tahun 2012 mengingatkan antara lain bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. MUI juga mengingatkan bahwa pemerintah
2
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f633ebb2ec36/pro-kontra-status-anak-luarkawin, diakses pada tanggal 9 Juni 2014 3
http://www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamah-konstitusi-tentang-statusanak-luar-kawin/, diakses pada tanggal 9 Juni 2014
5
wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran 4. Putusan MK tersebut juga dinilai akan menyulitkan tugas Notaris dalam membuat suatu keterangan waris, karena untuk membuat suatu keterangan waris diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua orangtuanya. Ada kekhawatiran dalam praktik di masyarakat, akan bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anak-anak luar kawin yang tidak atau belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian dari warisan tersebut5. Semangat perlindungan anak yang menjiwai Putusan MK tersebut seharusnya juga ditemukan dalam ketentuan-ketentuan hukum lain yang berkaitan dengan hak-hak anak, termasuk hukum adat. Penyelesaian masalah dalam masyarakat hukum adat (termasuk masalah anak luar kawin) biasanya mengedepankan rasa kekeluargaan dan musyawarah mufakat. Namun demikian, perlakuan terhadap anak luar kawin dalam masyarakat adat mungkin saja telah melanggar hak-hak tertentu dari anak tersebut. Dalam hal ini alangkah baiknya jika masyarakat hukum adat juga memahami hak-hak anak dalam konteks hukum nasional, terlebih lagi hal tersebut telah diatur dalam UUD 1945. Kehamilan di luar perkawinan dan kelahiran anak luar kawin (anak bebinjat) merupakan hal yang sangat dihindari dalam masyarakat hukum adat Bali, karena hal tersebut menyebabkan terganggunya keseimbangan atau kesucian wilayah
4
http://hukum.kompasiana.com/2012/05/25/pro-kontra-anak-luar-kawin-paska-putusan-mk459941.html., diakses pada tanggal 9 Juni 2014. 5
http://www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamah-konstitusi-tentang-statusanak-luar-kawin/, diakses pada tanggal 9 Juni 2014.
6
desa pakraman. Untuk menghindari hal tersebut, masyarakat menerapkan sanksi berupa kacuntakan/cuntaka kepada wanita yang hamil di luar perkawinan dan anak bebinjat yang dilahirkannya. Orang yang terkena sanksi kacuntakan/cuntaka dilarang untuk melakukan kegiatan yang bernilai suci, seperti memasuki tempattempat
suci
dan
bersembahyang
di
pura
kahyangan
desa.
Sanksi
kacuntakan/cuntaka bagi wanita yang hamil di luar perkawinan akan berlangsung sampai dilaksanakannya upacara perkawinan. Sanksi kacuntakan/cuntaka bagi anak bebinjat berlangsung sampai dilaksanakannya upacara pengangkatan anak (pamerasan) terhadap anak bebinjat tersebut. Masyarakat hukum adat Bali mengutamakan kesucian wilayah desa pakraman. Oleh karena itu, selalu diupayakan untuk segera menikahkan perempuan yang hamil di luar perkawinan. Jika anak bebinjat terlanjur lahir ke dunia, maka selalu diupayakan agar anak tersebut diangkat anak (diperas) oleh pihak keluarga maupun oleh orang lain. Persoalan mengenai hak-hak yang melekat pada anak bebinjat, terutama mengenai biaya hidup, diserahkan kepada pihak keluarga dari anak bebinjat tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 memberi jalan bagi pihak-pihak yang ingin menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan anak luar kawin. Meskipun demikian, putusan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan, antara lain mengenai: a. Kriteria anak luar kawin yang boleh memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya melalui pembuktian yang telah ditentukan.
7
b. Pembuktian adanya hubungan darah yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum, pembuktian yang oleh sebagian besar orang diterjemahkan sebagai bukti tes DNA. c. Prosedur untuk mendapatkan bukti tes DNA dan bagaimana kedudukan bukti tes DNA tersebut dalam hukum pembuktian menurut KUH Perdata. d. Tindak lanjut dari hubungan darah yang telah dibuktikan agar anak yang bersangkutan memperoleh hak-hak keperdataannya secara hukum. e. Pelaksanaan putusan MK tersebut secara proporsional agar tidak mengabaikan hukum agama dan hukum adat yang berlaku. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada tanggal 17 Februari 2012. Sampai saat ini putusan tersebut belum banyak diketahui atau dipahami oleh masyarakat luas. Untuk tercapainya tujuan dari putusan tersebut, perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat luas dengan menekankan pada penjelasan bahwa putusan MK tersebut semata-mata dimaksudkan untuk perlindungan hak anak. Selain itu perlu dibuat peraturan pelaksanaan terkait dengan putusan tersebut, konsolidasi dengan instansi terkait seperti pengadilan dan catatan sipil, serta sosialisasi dari peraturan pelaksanaan putusan tersebut kepada masyarakat luas. Langkah-langkah tersebut di atas juga memerlukan peran serta elemen masyarakat seperti tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, dan aparat pemerintahan di desa.
8
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pemahaman masyarakat mengenai anak luar kawin menurut hukum waris adat Bali pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Peneliti membatasi penelitian pada hukum waris adat Bali dengan alasan bahwa meskipun Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat segenap Warga Negara Indonesia, termasuk masyarakat hukum adat Bali, namun dalam pelaksanaannya membutuhkan penyesuaian dengan tetap memperhatikan keberadaan masyarakat hukum adat maupun ketentuan-ketentuan agama yang berlaku. Pandangan masyarakat di Bali ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan dalam menyusun kerangka tentang unsur-unsur yang mendukung pelaksanaan, sekaligus hal-hal yang menjadi penghambat pencapaian tujuan putusan MK tersebut.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, peneliti merumuskan beberapa masalah yaitu: a. Bagaimanakah pandangan tokoh masyarakat Kabupaten Gianyar mengenai anak luar kawin (anak bebinjat) dan hak mewaris atas harta warisan ayah biologisnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010? b. Bagaimanakah pandangan Hakim dan Notaris mengenai pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?
9
B. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, penulis menemukan beberapa penelitian yang terkait dengan kedudukan anak luar kawin. Penelitian-penelitian tersebut pada intinya menelaah tentang kedudukan hukum anak luar kawin khususnya dalam bidang hukum waris, dilihat dari ketentuan KUH Perdata dan UU Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Waris Adat. Beberapa penelitian yang terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PU-VIII/2010 antara lain: 1. Penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin Dengan Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010” oleh Ansi Widya dalam Skripsi Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Tahun 20126. Penelitian bertujuan untuk mengetahui: (a) Anak luar kawin yang dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010; dan (b) Akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap anak luar kawin dalam hal alimentasi, perwalian dan kewarisan. Penelitian ini menyimpulkan antara lain bahwa anak luar kawin yang dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 adalah anak luar kawin hasil perkawinan siri, oleh karena itu sesuai dengan konteks agama Islam, mempunyai hubungan nasab dengan 6
Widya, A., 2012, Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin Dengan Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
10
ayah yang terikat perkawinan secara siri dengan ibu yang melahirkan anak tersebut. Dengan kata lain, anak luar kawin tersebut berkedudukan seperti anak sah bagi ayahnya, sehingga timbul hak dan kewajiban alimentasi di antara keduanya serta berlaku pula ketentuan mengenai perwalian terhadap anak tersebut. Anak luar kawin tersebut akan menjadi ahli waris apabila sang ayah meninggal dunia menurut ketentuan hukum waris Islam. Secara umum, penelitian ini merupakan tinjauan secara yuridis terhadap isi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PU-VIII/2010. 2. Penelitian yang berjudul “Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Terhadap Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PU-VIII/2010”, oleh Lydia Amelia dalam Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tahun 20137. Penelitian bertujuan untuk mengetahui: (a) peran notaris dalam pembuatan akta waris terhadap anak luar kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PU-VIII/2010 dan (b) pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PU-VIII/2010. Penelitian ini menyimpulkan antara lain bahwa notaris berperan dalam pembuatan akta yang menyatakan bahwa anak luar kawin tersebut adalah ahli waris dari laki-laki yang mempunyai hubungan biologis dengannya dan menghitung besaran harta warisan yang diperoleh oleh anak luar kawin tersebut. Besaran pembagian
7
Amelia, L., 2013, Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Terhadap Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
11
harta warisan tersebut adalah sama dengan bagian untuk anak sah. Penelitian ini bersifat normatif, tanpa mengadakan sebuah penelitian di lapangan. 3. Penelitian yang berjudul “Tinjauan Hukum Dampak Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan Terhadap Akta Pengakuan Anak dan Surat Keterangan Hak Waris Yang Dibuat Oleh Notaris”, oleh Meyrin dalam Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tahun 20128. Penelitian bertujuan untuk mengetahui: (a) latar belakang yang mendasari Mahkamah Konstitusi dalam menerbitkan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan (b) dampak berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap akta pengakuan anak dan surat keterangan hak waris yang dibuat oleh notaris. Penelitian menyimpulkan antara lain bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dinilai telah membatasi hak-hak konstitusional para pemohon yang dijamin UUD 1945, oleh karena itu Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal tersebut adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara konstitusional bersyarat. Setelah berlakunya Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, lembaga pengakuan anak sebagaimana diatur dalam KUH Perdata masih berlaku karena pada hakekatnya akta pengakuan anak dibuat atas dasar kehendak sukarela dari laki-laki yang mengakuinya tersebut. Dalam pembuatan surat
8
Meyrin, 2012, Tinjauan Hukum Dampak Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan Terhadap Akta Pengakuan Anak dan Surat Keterangan Hak Waris Yang Dibuat Oleh Notaris, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
12
keterangan hak waris, notaris menggunakan dasar berupa penetapan pengadilan yang memutuskan adanya hubungan keperdataan seorang anak dengan ayahnya. Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Tipologi yang digunakan dalam penelitian adalah problem-finding (untuk menemukan masalah), yang dilanjutkan dengan problem-identification (identifikasi masalah) serta problem-solution (mencari jawaban atas masalah-masalah yang ditemukan. Penelitian ini mengangkat permasalahan yang berbeda dengan ketiga penelitian tersebut di atas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kabupaten Gianyar mengenai anak luar kawin (anak bebinjat) menurut hukum waris adat Bali pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Peneliti berpendapat bahwa melalui pandangan masyarakat terkait hal tersebut, pemerintah sebagai penentu kebijakan dapat merumuskan langkah-langkah pendekatan dalam rangka sosialisasi peraturan pelaksanaan putusan MK tersebut. Penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui pandangan praktisi hukum yang terkait, seperti Notaris dan Hakim, mengenai pelaksanaan putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
C. Manfaat Penelitian Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberi manfaat bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum keluarga dan hukum waris adat. Khusus untuk masyarakat hukum adat Bali, peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi pihak-pihak yang 13
berwenang dalam
merumuskan kebijakan-kebijakn yang terkait
dengan
perlindungan hak-hak anak luar kawin (anak bebinjat). Peneliti juga berharap agar penelitian ini bermanfaat bagi kalangan praktisi hukum dalam rangka melaksanakan isi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, yaitu: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pandangan tokoh masyarakat Kabupaten Gianyar mengenai anak luar kawin (anak bebinjat) dan hak mewaris atas harta warisan ayah biologisnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis pandangan Hakim dan Notaris mengenai pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
14