BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama di Indonesia, di samping sumber minyak bumi dan gas alam yang sangat penting peranannya bagi kelangsungan hidup bangsa Idonesia. Sejak tahun 1950, Indonesia telah memungut pajak atas lalu litas barang di dalam masyarakat, yaitu Pajak Peredaran (Barang) yang dalam tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan. Pajak ini dipertahankan sampai tahun 1985, untuk kemudian diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 1984. Pajak tersebut secara tidak langsung memberikan hasil yang berarti bagi kas negara.1 Namun bentuk pajak tersebut sudah agak ketinggalan dalam masyarakat dengan perkembangan teknologi dan perekonomian yang semakin maju. Seiring bergulirnya era reformasi, paling tidak mengakibatkan perubahan sosial ekonomi, dan ini berakibat pula pada perubahan perpajakan yang pernah dilakukan belum dapat menampung perkembangan dunia usaha. Dalam memenuhi kebutuhan inilah dilakukan penyempurnaan perundangundangan tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
1
Rochmat Soemitro, Pajak Pertambahan Nilai, Edisi Revisi, Bandung: PT. Eresco, 1990,
hlm. 1.
1
2
Undang-undang ini menitikberatkan pada peningkatan atas kepastian hukum, keadilan, legalitas dan kesederhanaan.2 Jika ditinjau dari elemen pembentukan harga, terdapat perbedaan pengertian harga berdasarkan pajak (PPN) dengan yang umum yang berlaku di pasar. Misalnya, dalam harga jual, berarti belum termasuk unsur pajak di dalamnya. Sedangkan di pasar, harga adalah keseluruhan elemen (termasuk pajak) yang menentukan harga jual suatu barang, yang siap untuk dijual. Besarnya sama dengan uang yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh barang tersebut. Namun demikian, persoalan penting yang selalu timbul dalam sistem perpajakan adalah keadilan distribusi beban pajak pada berbagai golongan pendapatan dalam masyarakat. Pada umumnya keadilan dalam sistem pajak selalu didasarkan pada tolok-ukur kemampuan seseorang untuk membayar pajak, atau dengan kata lain didasarkan pada tingkat pendapatan atau pengeluarannya. Idealnya, sistem pajak yang ada dapat menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin besar proporsi beban pajak yang harus ditanggungnya. Tidak sebaliknya, Peningkatakan pajak malah mengakibatkan beban rakyat bertambah. Seperti terlihat dari rencana penerimaan pajak tahun 2003. Salah satu sumber peningkatan penerimaan adalah rencana mencabut pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang strategis seperti listrik. Dampaknya dapat ditebak,
2
Dewan Redaksi Sinar Grafika, PPN (Pajak Pertambahan Nilai), Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. v.
3
pembengkakan tagihan rekening pada masyarakat. Ini melengkapi penderitaan atas kenaikan tarif secara berkala, dan jelas-jelas yang paling kena imbasnya adalah masyarakat miskin. Peluang itu terbuka, jika PPN ditinjau dari keadilan distribusi beban pajak. Pengenaan tarip pajak yang sama untuk setiap jenis komoditi menyebabkan golongan masyarakat berpendapatan rendah terkena proporsi beban pajak yang sama atau justru lebih tinggi dibandingkan dengan golongan masyarakat berpendapatan tinggi. Apabila hal ini terjadi berarti sistem pajak pertambahan nilai justru tidak mencerminkan keadilan. Persoalan lain yang timbul, pajak selalu menjadi pemusatan dan pengumpulan kekayaan di ibukota negara, provinsi, kabupaten dan kota. Pajak ditarik ke ibukota dahulu, sehingga selalu menyita waktu untuk segera disalurkan kepada pembangunan. Parahnya, dana yang seharusnya masuk kembali ke pos pembangunan selalu lebih kecil daripada kontribusi rakyat, belum persoalan lain seperti dikorupsi. Ditambah sistem perbankan yang masih berbasis riba, maka akumulasi pembayaran pajak menimbulkan peluang korupsi terselubung. Misal, memanfaatkan selisih suku bunga riil dengan asumsi suku bunga rata-rata di APBN/ APBD. Namun demikian, belum ada kebolehan atau tidaknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut Islam. Dalam Islam, hanya hal-hal tertentu saja yang dikenai pajak, itupun dengan asas keadailan dan kesadaran. Sekadar contoh, adanya syarat kerelaan hati para pembayar pajak. Jenis-jenis pnugutan yang dikenal Islam adalah; zakat, jizyah (pungutan bagi kafir dzimmi) atau kharaj (pungutan atas tanah pertanian) dan ‘usyur (cukai dan bea-bea).
4
Kharaj bisa juga dikatakan sebagai hasil bumi yang dikenakan pajak atas tanah yang dimiliki oleh non muslim.3 Zakat, jizyah, dan kharaj hanya berlaku untuk kalangan tertentu. Negara pun mengambilnya dengan cara yang baik, yakni mendoakan para pembayarnya, sebagaimana Firman Allah:
ﺧﺬ ﻣﻦ اﻣﻮاﻟﻬﻢ ﺻﺪﻗﺔ ﺗﻄﻬﺮهﻢ وﺗﺰآﻴﻬﻢ ﺑﻬﺎ وﺻﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ان ﺻﻠﻮﺗﻚ ﺳﻜﻦ (١٠٣ : )اﻟﺘﻮﺑﺔ. واﷲ ﺳﻤﻴﻊ ﻋﻠﻴﻢ,ﻟﻬﻢ Artinya
: ''Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Taubah: 103)4 Pada masa Nabi, pajak adalah cara terakhir untuk mengisi kas
negara. Hanya di saat kas negara hampir kosong, sementara kebutuhan (kewajiban) sangat mendesak dan tidak akan terpenuhi kalau hanya mengandalkan pos biasa seperti zakat yang dibayar per tahun, baru negara memungut pajak. Peristiwa ini terjadi pada saat Perang Tabuk menghadapi provokasi Imperium Romawi. Kemudian pada masa Umar bin Khattab, ketika melihat lembah subur daerah Irak yang dapat dikuasi umat Islam. Umar membiarkan rakyat mengggarapnya, dengan kewajiban kharaj (pajak) atas tanah yang ditanami, dan membayar jizyah. Kharaj dan jizyah itu dikumpulkan dan kemudian dimasukkan ke bait al-mal (kas negara).5 Atau ketika Khalifah Daulah Abbasiyah, pasca perang dengan pasukan Tartar.
3
Irfan Mahmud Ra’na, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Khatab, Yogyakarta: Pustaka Firdaus, 1992, hlm. 119. 4
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an, al-Qur`an dan Terjemahnya, Medinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, 1418 H., hlm. 297-298. 5
Harun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 548.
5
Ketika pemerintahan baru berkuasa, kemudian memungut pajak atas anjuran dari ulama, karena semua aset milik negara dan pejabat negara telah dijual. Dari sini, jelaslah bahwa dalam Islam meski memberi peluang pengenaan pajak bagi rakyat, tapi sifat, kriteria dan syaratnya sangat selektif. Maka berdasarkan deskripsi di atas, penulis tertarik melakukan penelitian terhadap Pajak Pertambahan Nilai dalam perspektif Islam. Secara spesifik pusat perhatiannya pada Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan deskripsi sekilas di atas, permasalahan yang menjadi perhatian untuk diteliti dan dicari jawabannya adalah: 1. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN)? 2. Bagaimana implikasi penerapan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah?
C. Tujuan Penelitian Dengan melihat pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan: 1. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
6
2. Untuk mengetahui implikasi penerapan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah.
D. Telaah Pustaka Dalam pembacaan penulis selama ini, telah banyak kajian-kajian yang mencoba membedah persoalan penerapan Pajak Pertambahan Nilai. Namun belum ada yang menggunakan perspektif Islam. Untuk memperjelas di mana posisi penelitian ini di hadapan tulisan-tulisan atau penelitian-penelitian yang telah ada, berikut ini penulis ilustrasikan tulisan-tulisan yang ada hubungannya dengan tema yang penulis angkat. Wirasman B. Ilyas dan Waluyo dalam bukunya, Perpajakan Indonesia, mencoba memberikan argumentasi; mengapa suatu barang dapat terkena pajak, begitu juga jasa. Dalam buku ini juga dibedakan jenis barang dan jasa yang dikennai pajak dan tidak. Di samping memaparkan objek pajak, tarif, dasar pengenaan pajak, cara menghitung PPN dan PPn Barang Mewah dan saat dan tempat pajak terutang.6 Kemudian, Rochmat Soemitro dalam bukunya, Pajak Pertambahan Nilai. Dalam buku ini diuraikan latar belakang pungutan Pajak Pertambahan Nilai. Soemitro juga mengidentifikasi masalah-masalah yang akan timbul
6
Wirawan B. Ilyas dan Waluyo, Perpajakan Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2000.
7
dengan diberlakukannya Pajak Pertamabahan Nilai baik bagi pengusaha maupun oleh konsumen/pembeli.7 Kemudian Masdar F. Mas’udi dalam bukunya Agama Keadilan; Risalah Zakat dan Pajak dalam Islam, mengajak bagaimana menghayati bahwa pajak bukanlah sebagai piutang negara, melainkan sebagai amanat Tuhan (bagi cita keadilan dan kemaslahatan semesta) atas pundak negara. Itulah pajak yang di dalamnya ada ruh zakat. Mas’udi meruntut sejarah sejak dipisahkannya zakat dari pajak, maka sekularisme de facto dalam kehidupan sosial umat Islam praktis terjadi.8 Dari deskripsi di atas, maka penelitian ini akan melihat lebih spesifik pandangan hukum Islam terhadap Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan Atas Barang Mewah. Tanpa a priori penulis berkesimpulan selama ini belum ada kajian yang secara utuh (terpadu) membedah persoalan yang akan penulis angkat.
E. Metode Penelitian Dalam penulisan ini penulis lebih menitikberatkan metode kualitatif pada analisa yuridis sosiologis. Maka proses penyimpulan data lebih
7
Rochmat Soemitro, loc.cit.
8
Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan; Risalah Zakat dan Pajak dalam Islam, Jakarta: P3M, 1993.
8
ditekankan pada kajian dan studi literatur. Adapun kerangka metodologisnya mengikuti langkah-langkah: 1. Metode Pengumpulan Data Dalam metode ini data-data tertentu sebagai langkah awal dan lanjutan dalam penyusunan skripsi yang merupakan studi pustaka. (library research), di mana hal ini dilakukan dengan cara pengumpulan data pada beberapa buku, seperti Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai, sebagai data primer. Adapun sebagai data sekundernya dengan menggunakan beberapa buku seperti; Agama Keadilan: Pajak dalam Islam, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khatab, Kitab alKharaj, Bidayah al-Mujtahid. Di samping itu juga menggunakan jurnal perpajakan, makalah-makalah serta tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan masalah yang diangkat. 2.
Metode Analisa Data Sebagai kelanjutan dari pengumpulan data adalah penyusunan dan penganalisaan data tersebut untuk menjawab permasalahan yang ada. Metode yang penulis gunakan adalah: a.
Metode deskriptif Metode ini menggambarkan keadaan atau status fenomena untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan keadaan suatu obyek.9 Dalam hal ini Undang-undang No. 18 tahun 2000 tentang
9
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Peress, Cet. II, 1985, hlm. 63.
9
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dipaparkan dengan apa adanya. Kemudian dianalisa untuk memperhatikan sisi-sisi data yang memang memerlukan analisa lebih lanjut. b. METODE DEDUKTIF YAITU
SUATU CARA ATAU JALAN YANG DIPAKAI UNTUK
MENDAPATKAN PENGETAHUAN ILMIAH DENGAN BERTITIK TOLAK DARI PENGAMATAN ATAS HAL-HAL ATAU MASALAH YANG BERSIFAT UMUM, KEMUDIAN MENARIK KESIMPULAN YANG BERSIFAT KHUSUS.
10
HAL
INI
DILAKUKAN KARENA KAJIAN INI BERTOLAK PADA DISKURSUS NORMA HUKUM.
TUANGAN
INI DIELABORASIKAN PADA BAB
MENGETAHUI KETENTUAN PAJAK DALAM
ISLAM
II
YAITU UNTUK
DAN PADA BAB
III,
YAITU TENTANG PPN DAN PPN BM.
c. Metode induktif Yaitu suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.11 Metode ini penulis gunakan terutama dalam bab IV, yaitu untuk menganalisis PPN dalam perspektif hukum Islam.
10
SUDARTO, METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT, JAKARTA: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 1997, HLM. 58. 11
Ibid., hlm. 57.
10
F. Sistematika Penulisan Dalam rencana penulisan ini, akan disusun dalam lima bab. Hal ini dimaksudkan agar mampu memberikan gambaran yang utuh dan terpadu mengenai masalah yang akan diteliti yaitu tinjauan hukum Islam terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian yang sekaligus berfungsi sebagai argumentasi. Selain itu dikemukakan juga mengenai kajian pustaka yang dengan cara ini akan diketahui di mana posisi penelitian ini di hadapan karya-karya terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi ketentuan tentang pajak (kharaj) dalam Islam yang meliputi pengertian dan dasar hukum kharaj, sistem pelaksanaan kharaj, peranan dan tujuan adanya kharaj, sekilas tetang zakat dan ketentuan pelaksanaannya. Bab ketiga akan memaparkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang memuat; pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan sejarahnya, dasar hukumnya, mekanisme pemungutan, sifat, tipe dan prinsip pemungutan dan objek pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah. Bab keempat merupakan analisis yang akan memaparkan tinjauan hukum Islam terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kemudian implikasi
11
penerapan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta PPN sebagai kebijakan fiskal. Bab kelima adalah penutup. Hasil pembahasan dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam bagian kesimpulan yang merupakan penegasan jawaban pokok problematika yang diangkat dan asumsi-asumsi yang pernah diutarakan sebelumnya.