BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan suatu negara yang dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai kekayaan alam dan keindahan panorama yang membuat seluruh dunia kagum akan negeri ini. Dengan karunia yang telah diberikan-Nya, Indonesia ditempatkan dalam posisi wilayah yang strategis, yakni berada pada posisi 77º Bujur Timur dan 140º Bujur Barat, serta 160º Lintang Utara dan 170º Lintang Selatan. Indonesia juga berada di antara dua benua, yakni Benua Asia dan Benua Australia, serta dua samudera, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang begitu besar yang menjadikan Indonesia kaya hasil dari sumber daya alam tersebut. Salah satu kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara Indonesia adalah sumber daya perairan dengan kekayaan yang berasal dari keanekaragaman hayati yang sudah dikenal hingga ke berbagai negara di dunia. Indonesia dikenal sebagai negara bahari yang terdiri dari kepulauan besar dengan keanekaragaman hayati terbesar yang menjadi kekayaan bagi Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan tercantum jelas di dalam Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan
1
2
yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Indonesia memiliki wilayah yang luas yakni 1,937 juta km² luas daratan dan 5,8 juta km² luas perairan. Indonesia adalah negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya merupakan perairan laut dan memiliki panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dengan lebih dari 17.504 pulau di dalamnya. Luas perairan Indonesia adalah 5,8 juta km² yang terdiri dari1: (1) Perairan laut teritorial 0,3 juta km²; (2) Perairan Nusantara 2,8 juta km²; (3) Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km². Wilayah Perairan Indonesia berdasarkan Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Perikanan dan Pasal 3 butir 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia merupakan laut teritorial Indonesia, yakni jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia, wilayah perairan kepulauan Indonesia dan wilayah perairan pedalaman Indonesia. Wilayah ZEEI dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Pasal 1 butir 21 Undang-Undang Perikanan merupakan jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya, dan air diatasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia. Bentang geografis Indonesia yang sangat luas ini diakui setelah diratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB yakni United Nations Convention on Law of the Sea 1
Marhaeni Ria Siombo, 2010, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 1.
3
(UNCLOS) di Jenewa pada tahun 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law Of The Sea (UNCLOS).2 Diratifikasinya United Nations Convention on the Law Of The Sea (UNCLOS), menjadikan wilayah laut di dalam negara kepulauan Indonesia merupakan wilayah yuridiksi negara dan Indonesia memiliki hak untuk pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan terhadap sumber daya laut yang ada. Hal ini juga menjadikan Indonesia kaya sumber daya hayati laut sehingga mendatangkan keuntungan bagi negara. Wilayah laut Indonesia luas dan kaya akan jenis-jenis maupun potensipotensi di bidang kelautan. Potensi sumber daya hayati laut Indonesia yang terbesar adalah perikanan. Potensi perikanan dari kegiatan penangkapan khususnya dari laut masih menjadi sumber produksi ikan utama di dunia, bahkan di Indonesia kontribusinya mencapai lebih dari 78%.3 Potensi perikanan di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun dan menghasilkan keuntungan yang besar bagi negara. Pada tahun 2014, produksi perikanan Indonesia mencapai 20,7 juta ton atau meningkat sebesar 6,72% dibandingkan tahun 20134, potensi sumber daya ikan tangkap di wilayah laut Indonesia mencapai 6,5 juta ton/tahun5 yang terdiri dari 4,6 juta ton di wilayah laut nusantara dan 1,9 juta ton di wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Jenis ikan yang menjadi sumber daya ikan tangkap di wilayah laut 2
Natabaya dkk, 1995, Penelitian Aspek-Aspek Hukum Pengelolaan Perikanan Di Perairan Nasional Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, BPHN Dep. Kehakiman, Jakarta, hlm. 1. 3 Supriadi dkk, 2011, Hukum Perikanan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 16. 4 Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014, Analisis Data Pokok Kelautan dan Perikanan 2014, Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, hlm. 24. 5 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2014, Rencana Strategis Direktorat Sumber Daya Ikan Ditjen Perikanan Tangkap 2010-2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, hlm. 34.
4
Indonesia tersebut, terdiri dari ikan pelagis besar sebanyak 1,145 juta ton, ikan pelagis kecil sebanyak 3,645 juta ton, ikan demersal sebanyak 1,452 juta ton, udang penaeid sebanyak 0,098 juta ton, ikan karang konsumsi sebanyak 0,145 juta ton, lobster sebanyak 0,004 juta ton, dan cumi-cumi sebanyak 0,028 juta ton.6 Wilayah laut dan wilayah pesisir Indonesia juga memiliki berbagai kekayaan dan sumber daya hayati laut yang bervariasi, seperti ikan, terumbu karang, hutan mangrove, hingga minyak bumi dan bahan tambang lainnya. Sumber daya hayati laut khususnya di bidang perikanan merupakan sumber daya ekonomi yang strategis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Bidang kelautan dan perikanan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi penting karena kapasitas suplai yang sangat besar. Pertumbuhan sektor perikanan Indonesia yang terus berkembang dari tahun ke tahun memiliki sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi yang berasal dari ekspor produk perikanan Indonesia yang mencapai US$ 244,6 juta.7 Dengan kekayaan alam yang demikian besar jumlahnya, maka diperlukan pembangunan di bidang perikanan secara terarah dan terpadu. Indonesia yang memiliki sumber daya ikan yang melimpah harus dikelola secara baik agar tidak menimbulkan permasalahan terutama yang berkaitan dengan keberlangsungan dari ekosistem sumber daya ikan. Sumber daya ikan yang dieksploitasi secara berlebihan (over exploitation) melebihi jumlah tangkapan yang diperkenankan (maximum sustainable yield) ataupun tidak dapat dieksploitasi sama sekali, akan menimbulkan dampak biologis
6
Ibid. Indonesia Investments Tim, “Pertumbuhan Sektor Perikanan Indonesia Melampaui Pertumbuhan Ekonomi”, http://www.indonesia-investments.com/id/berita/berita-hari-ini/pertumbuhan-sektorperikanan-indonesia-melampaui-pertumbuhan-ekonomi/item6324, diakses tanggal 20 Maret 2016. 7
5
bagi eksistensi sumber daya ikan tersebut.8 Oleh karena itu, kebijakan pemerintahan diperlukan guna menjadikan laut dan kekayaan alamnya sebagai aset yang membawa keuntungan bagi perekonomian negara hingga waktu yang lama dikarenakan sumber daya alam yang berada di wilayah daratan semakin menipis. Hal ini sesuai dengan landasan pembentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, yakni dengan melihat bahwa perairan Indonesia mengandung sumber daya ikan yang potensial merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanahkan kepada Bangsa Indonesia untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, juga melihat bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional berdasarkan wawasan nusantara diperlukan peraturan hukum terkait perikanan untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan dalam sektor perikanan, serta melihat bahwa kebutuhan masyarakat terkait sektor perikanan adalah perihal pelaku usaha perikanan yang salah satu didalamnya ialah nelayan yang membutuhkan keadilan dan peningkatan taraf hidup, sehingga peralatan perikanan yang digunakan tidak merusak ekosistem laut. Tindakan pengelolaan sumber daya hayati laut di bidang perikanan yang begitu melimpah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan
8
Natabaya dkk, Op.Cit, hlm. 2.
6
dilakukan berdasarkan asas manfaat9, keadilan10, kebersamaan11, kemitraan12, kemandirian13,
pemerataan14,
keterpaduan15,
keterbukaan16,
efisiensi17,
kelestarian18 dan pembangunan yang berkelanjutan19. Asas-asas ini menjadi dasar dalam melakukan pengelolaan perikanan yang baik guna peningkatan ekonomi bangsa. Meskipun demikian, ditemukan penyimpangan terhadap asas-asas yang terdapat dalam perundang-undangan ini berupa tindak pidana di bidang perikanan yang disebabkan oleh pemenuhan kepentingan ekonomi. Tindak pidana di bidang perikanan menjadi masalah yang serius dalam pengelolaan sumber daya perikanan tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi seluruh dunia. Tindak pidana di bidang perikanan yang dalam dunia internasional dikenal dengan istilah Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing), menjadi masalah dan ancaman serius dalam bidang lingkungan maupun
9
Asas manfaat adalah asas yang menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 10 Asas keadilan adalah pengelolaan perikanan harus mampu memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara prporsional bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. 11 Asas kebersamaan adalah pengelolaan perikanan mampu melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar tercapai kesejahteraan masyarakat perikanan. 12 Asas kemitraan adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan pendekatan kekuatan jejaring pelaku usaha dan sumber daya yang mempertimbangkan aspek kesetaraan dalam berusaha secara proporsional. 13 Asas kemandirian adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan mengoptimalkan potensi perikanan yang ada. 14 Asas pemerataan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara seimbang dan merata, dengan memperhatikan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil. 15 Asas keterpaduan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara terpadu dari hulu sampai hilir dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas. 16 Asas keterbukaan adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan ketersediaan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. 17 Asas efisiensi adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan tepat, cermat, dan berdaya guna untuk memperoleh hasil yang maksimal. 18 Asas kelestarian adalah pengelolaan perikanan dilakukan seoptimal mungkin dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian sumber daya ikan. 19 Asas pembangunan yang berkelanjutan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang.
7
ekonomi karena telah mengambil 20% dari hasil tangkapan global dan lebih dari 30% hasil tangkapan daerah-daerah tertentu.20 Pada tahun 1993, Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO) memprakarsai terbentuknya FAO Compliance Agreement yang merupakan upaya untuk mencegah tindakan penangkapan ikan secara ilegal, hasil penangkapan ikan yang tidak dilaporkan dan penangkapan ikan yang tidak sesuai atau yang belum diatur dalam perundang-undangan di setiap negara bersangkutan (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing). FAO juga telah menetapkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) pada tahun 1995 yang bertujuan memberikan solusi terkait masalah-masalah pada sumber daya alam perikanan. FAO selanjutnya mengeluarkan beberapa panduan mengenai konsep manajemen perikanan berkelanjutan, seperti International Plan of Action for Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IPOA-IUU 2001) yang telah disahkan pada tanggal 23 Juni 2001 sebagai bentuk pelaksanaan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Tindak pidana di bidang perikanan di Indonesia pengaturannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI) pada tahun 2014 mencatat bahwa terdapat 56 kasus tindak pidana di bidang perikanan21 yang terdiri dari 10 kasus
20
Johanna Polsenberg, “US and EU team up to combat illegal fishing”, Frontiers in Ecology and the Environment Journal, Vol. 9, No. 8, pp. 428-428, 2011, diambil dari http://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/pdf/23034484.pdf diakses tanggal 26 Juli 2016. 21 Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan, 2014, Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2014, Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, hlm. 183.
8
tanpa ijin, 9 kasus tanpa izin dan alat tangkap terlarang, 4 kasus dokumen tidak lengkap, 6 kasus alat tangkap terlarang, 4 kasus fishing ground, 4 kasus bahan peledak/bom atau setrum, 8 kasus penangkapan ikan secara group dalam satu kesatuan armada, 3 kasus pengangkatan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) tanpa izin, 1 kasus illegal transhipment ke negara lain, 7 kasus melakukan perdagangan ikan/ekspor ikan dilindungi atau ukuran ikan yang dilarang undang-undang. Tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah perairan Indonesia telah sangat merugikan negara secara ekonomi. Berdasarkan data dari FAO bahwa kerugian Indonesia akibat tindak pidana di bidang perikanan seperti kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing) diperkirakan mencapai Rp. 30 triliun per tahun.22 Sejalan dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengemukakan bahwa kondisi perikanan di dunia tidak jauh berbeda dengan kondisi perikanan di Indonesia. Tingkat kerugian Indonesia di bidang perikanan sekitar 25% dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton/tahun dan setiap tahun diperkirakan Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp. 101.040 triliun per tahun.23 Salah satu provinsi di NKRI yang mempunyai potensi besar di sektor kelautan dan perikanan adalah Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi Sulawesi Utara secara geografis terletak pada posisi 0º 30’ - 5º 35’ Lintang Utara, 123º 30’ - 127º 00’ Bujur Timur, berbatasan dengan Negara Filipina (utara), Teluk Tomini 22
Dina Sunyowati, Dampak Kegiatan IUU-Fishing Di Indonesia, Materi Seminar Nasional “Peran dan Upaya Penegak Hukum dan Pemangku Kepentingan Dalam Penanganan dan Pemberantasan IUU Fishing Di Wilayah Perbatasan Indonesia” di Universitas Airlangga Surabaya tanggal 22 September 2014. 23 Ibid.
9
(selatan), Provinsi Gorontalo (barat) dan Laut Maluku (timur) serta berada di bibir Pasifik yang secara langsung berhadapan dengan negara-negara Asia Timur dan menjadi lintasan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, memiliki panjang garis pantai 1.837 km dengan luas daratannya sebesar 2.200 km² dan luas perairan laut sebesar 314.982 km² yang mempunyai tingkat produktivitas perikanan sebesar 8,84 ton per kilometer persegi per tahun atau 264.000 ton/tahun.24 Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari 11 kabupaten dan 2 kota yang berbatasan dengan perairan, yaitu Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kota Bitung, dan Kota Manado. Provinsi Sulawesi Utara memiliki prospek yang luar biasa di sektor perikanan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor unggulan di Provinsi Sulawesi Utara menjadi penggerak utama terhadap berbagai program pembangunan lainnya. Sumber daya kelautan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Utara mencapai 230.879,7 ton dengan kontribusi terbesar diperoleh dari Kota Bitung yang mencapai 147.069,7 ton, diikuti oleh Kabupaten Minahasa Utara yang mencapai 17.511,3 ton dan kabupaten/kota lainnya yang masih di bawah 10.000 ton, terdiri dari kelompok ikan pelagis, kelompok ikan demersal, dan kelompok 24
Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan, 2013, Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara Untuk Mendukung Industrialisasi KP, Pusat Data, Statistik dan Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, hlm. 9-11.
10
non ikan (crustacea dan mollusca) dengan jumlah produksi kelompok ikan pelagis di Sulawesi Utara sebesar 192.601,5 ton, jumlah produksi kelompok ikan demersal sebesar 3.790,9 ton, dan jumlah produksi untuk kelompok non ikan sebesar 1.142,7 ton.25 Perairan Sulawesi Utara yang menjadi wilayah laut Indonesia terletak di daerah katulistiwa dan beriklim tropis, menjadikan laut Indonesia kaya akan jenis-jenis maupun potensi sumber daya perikanan dengan jumlah sekitar 6000 jenis ikan didalamnya.26 Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara, dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang ada, Provinsi Sulawesi Utara memiliki kapal penangkap ikan yang didominasi oleh kapal motor yang mencapai 82% atau sekitar 22.837 unit dengan jumlah terbesar berada di Kota Bitung, yakni sebanyak 13.772 unit, sedangkan motor tempel dan perahu tanpa motor masing-masing hampir mencapai 26,66% atau sekitar 11.438 unit dan 20,12% atau sekitar 8.634 unit dari total kapal di perairan Provinsi Sulawesi Utara.27 Perkembangan pengelolaan perikanan di Provinsi Sulawesi Utara juga dipengaruhi oleh sumber daya manusia seperti nelayan yang memegang peranan penting dalam kegiatan perikanan. Jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara mencapai 93.845 orang.28 Berdasarkan data-data di atas, Provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang cukup besar. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang cukup besar 25
Ibid, hlm. 29, 32. Marhaeni Ria Siombo, Op.Cit, hlm. 3. 27 Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan ”Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara Untuk Mendukung Industrialisasi KP”, Op.Cit, hlm. 57. 28 Ibid, hlm. 68. 26
11
tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat dari rendahnya perhatian dan pengawasan terhadap potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang ada sehingga mengakibatkan maraknya tindak pidana di bidang perikanan. Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara tahun 2014 mencatat bahwa terdapat 4 (empat) kasus tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah hukum Provinsi Sulawesi Utara, kasus tindak pidana tersebut berupa tidak lengkapnya dokumen kapal, pengangkutan ikan campuran, penangkapan ikan melebihi jumlah yang diizinkan, serta penangkapan ikan tanpa izin.29 Tindak pidana di bidang perikanan tersebut tidak hanya dilakukan oleh kapal asing tetapi juga oleh kapal dalam negeri. Tindak pidana di bidang perikanan pada dasarnya berkaitan dengan kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. Tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Utara dari tahun ke tahun telah memberikan dampak kerugian ekonomi bagi Provinsi Sulawesi Utara yang oleh pemerintah dijadikan sektor unggulan dalam melaksanakan program pembangunan. Potensi sumber daya perikanan Provinsi Sulawesi Utara yang begitu besar, letak geografis yang strategis, ditambah lagi pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan yang belum optimal menjadikan wilayah perairan Sulawesi Utara rawan terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Tindak pidana di bidang perikanan di Provinsi Sulawesi Utara ini memerlukan penanggulangan yang serius, sehingga Negara 29
Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan “Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2014”, Op.Cit, hlm. 187.
12
Indonesia pada umumnya dan Provinsi Sulawesi Utara pada khususnya tidak lagi mengalami kerugian yang cukup besar khususnya di sektor perikanan. Upaya atau kebijakan penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence) dan kebijakan atau upaya-upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare)30, sehingga dapat dilihat bahwa tujuan utamanya ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kriminal ini dapat dilakukan dengan menggunakan sarana penal atau sarana hukum pidana dan sarana non penal atau sarana di luar hukum pidana. Penanggulangan terhadap tindak pidana di bidang perikanan ini, pada hakekatnya tidak bisa dilepaskan dari konsep penanggulangan tindak pidana pada umumnya yang dikenal dengan kebijakan kriminal (criminal policy). Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Perikanan Di Provinsi Sulawesi Utara”.
B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka penulis perlu untuk merumuskan masalah dalam penulisan tesis ini. Masalah yang dibahas dalam penulisan tesis ini, yakni:
30
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 73.
13
1. Bagaimanakah upaya Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Bitung dan Kepolisian Perairan POLDA Sulawesi Utara dalam menanggulangi tindak pidana di bidang perikanan di Provinsi Sulawesi Utara ? 2. Bagaimanakah putusan pengadilan terhadap tindak pidana di bidang perikanan di Pengadilan Perikanan Bitung ? 3. Bagaimanakah seharusnya kebijakan penanggulangan terhadap tindak pidana di bidang perikanan di masa mendatang ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan di atas sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan upaya Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Bitung dan Kepolisian Perairan POLDA Sulawesi Utara dalam menanggulangi tindak pidana di bidang perikanan di Provinsi Sulawesi Utara. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis putusan pengadilan terhadap tindak pidana di bidang perikanan di Pengadilan Perikanan Bitung. 3. Untuk mengkaji dan menganalisis prospek kebijakan penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan di masa mendatang.
14
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus dan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, maka diharapkan penelitian dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Kegunaan Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan ilmu pengetahuan hukum khususnya yang berkaitan dengan kajian hukum di bidang perikanan, serta menjadi langkah awal bagi pengembangan penelitian selanjutnya terkait peraturan perundang-undangan hukum pidana di bidang perikanan. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi: a) Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia khususnya Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Bitung dan Dinas Kelautan dan Perikanan di Provinsi Sulawesi Utara dalam menunjang pembaharuan serta perbaikan terkait pengelolaan sumber kekayaan hayati laut; b) Aparat kepolisian diharapkan dapat menjadi masukan dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah laut Indonesia khususnya di perairan Sulawesi Utara; dan c) Masyarakat diharapkan dapat memberikan pemahaman akan pentingnya kesadaran hukum dalam melakukan penangkapan ikan dan melaksanakan
15
usaha perikanan di wilayah laut Indonesia demi keberlangsungan ekosistem laut. Dukungan dan kerjasama dari pihak-pihak terkait, baik KKP melalui PSDKP Bitung, aparat kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya maupun seluruh kelompok masyarakat sangat diperlukan, sehingga hasil dari sumber kekayaan hayati laut yang begitu besar dapat dinikmati dan menjadi sumber pendapatan negara guna kesejahteraan rakyat Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis di Perpustakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta maupun melalui media elektronik terhadap penulisan yang pernah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan substansi penelitian ini, penulis belum menemukan penelitian yang sama atau identik dengan penelitian yang dilakukan dan dibahas oleh penulis. Adapun beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Tesis di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pencurian Ikan Di Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara” yang ditulis oleh Akbar Fitrian Eleuwarin pada tahun 201231. Dalam penelitian ini terdapat 3 rumusan masalah, yaitu:
31
Akbar Fitrian Eleuwarin, 2012, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pencurian Ikan Di Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara”, Tesis, Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
16
a. Bagaimanakah penegakan hukum dan penerapan sanksi terhadap pelaku pencurian ikan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara ? b. Apa saja kendala dalam melakukan penegakan hukum di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara ? c. Bagaimana peran serta masyarakat untuk mencegah pelaku pencurian ikan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara ? Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa penegakan hukum dan penerapan sanksi terhadap pelaku pencurian ikan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan menjatuhi sanksi pidana penjara dan denda. Berbagai kendala yang berupa fasilitas yang belum memadai, kurangnya koordinasi antar instansi, juga tidak adanya aturan yang jelas terkait pelaksanaan penahanan kapal. Kurangnya peran masyarakat untuk mencegah pelaku pencurian ikan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Akbar Fitrian Eleuwarin dengan yang dilakukan oleh penulis, terdapat pada sudut pandang dan obyek penelitian yang diteliti. Sudut pandang dari Akbar Fitrian Eleuwarin hanya menyorot pada penegakan hukum kasus pencurian ikan dan kendala dalam penegakan hukum tersebut, sedangkan penelitian dari penulis menyorot pada upaya penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan dan kebijakan terkait penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan. Perbedaan lainnya terdapat pada obyek penelitian, dimana obyek penelitian dari Akbar Fitrian Eleuwarin berada di wilayah hukum Kabupaten Maluku Tenggara, sedangkan
17
obyek penelitian dari penulis berada di wilayah hukum Provinsi Sulawesi Utara. 2. Tesis di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Perikanan” yang ditulis oleh Amalia Diamantina pada tahun 200132. Dalam penelitian ini terdapat 3 rumusan masalah, yaitu: a. Bagaimana pelaksanaan penerapan hukum pidana di bidang perikanan? b. Bagaimana peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dinas Perikanan dalam penerapan hukum pidana di bidang perikanan ? c. Kebijakan apa yang mungkin dapat diterapkan dalam mengatasi hambatan-hambatan yang muncul dalam penerapan hukum pidana di bidang perikanan ? Kesimpulan dari penelitian ini, penerapan hukum pidana di bidang perikanan masih cenderung tidak konsisten dalam mekanisme maupun di lapangan. Fungsi yang melekat pada peran PPNS belum berjalan sebagaimana mestinya. Kebijakan yang dapat diterapkan antara lain kebijakan di bidang perundang-perundangan berupa sinkronisasi peraturan perundangundangan, kebijakan di bidang kelembagaan berupa pembinaan hubungan kerja antar lembaga terkait, kebijakan bagi pembinaan aparat penegak hukum serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Perbedaan penulisan yang dilakukan oleh Amalia Diamantina dengan yang dilakukan oleh penulis, terdapat pada peraturan perundang-undangan 32
Amalia Diamantina, 2001, “Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Perikanan”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
18
yang digunakan. Peraturan tentang tindak pidana di bidang perikanan yang digunakan oleh Amalia Diamantina masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, dimana undang-undang tersebut sudah tidak berlaku lagi, sehingga penulisan yang dilakukan oleh penulis sudah mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penelitian dari Amalia Diamantina hanya menyorot pada peran PPNS Dinas Perikanan, sedangkan penelitian dari penulis membahas peran Dinas Perikanan dan aparat kepolisian dalam penerapan hukum pidana di idang perikanan. Perbedaan juga terdapat pada obyek penelitian, dimana obyek penelitian Amalia Diamantina berada di Jawa Tengah, sedangkan obyek penelitian penulis berada di Sulawesi Utara. 3. Tesis di Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan judul “Strategi Penanganan Illegal, Unreported And Unregulated (IUU) Fishing Di Laut Arafura” yang ditulis oleh Maimuna Renhoran pada tahun 201233. Dalam penelitian ini terdapat 3 rumusan masalah, yaitu: a. Bagaimana pengaturan Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia tentang IUU Fishing ?
33
Maimuna Renhoran, 2012, “Strategi Penanganan Illegal, Unreported And Unregulated (IUU) Fishing Di Laut Arafura”, Tesis, Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
19
b. Bagaimana
praktek
IUU
Fishing
di
Laut
Arafura
dan
penanggulangannya? c. Strategi apa yang perlu diambil dalam upaya penanggulangan IUUFishing di Laut Arafura oleh pemerintah Provinsi Papua ? Kesimpulan penanganan kegiatan IUU Fishing dalam ketentuan hukum nasional Indonesia yaitu UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan dalam hukum internasional yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, International Plan of Action (IPOA), Code of Conduct for Responsile Fisheries (CCRF), Rencana Aksi Daerah (RPOA). Upaya penanggulan IUU Fishing di Laut Arafura melalui sumber daya manusia, sarana dan prasarana pengawasan, pelaksanaan kordinasi, penelitian dan pengembangan, penegakan hukum di bidang perikanan, serta kerjasama dengan berbagai pihak terkait. Strategi yang diambil dalam upaya penanggulangan IUU Fishing di Laut Arafura oleh pemerintah Provinsi Papua ialah dengan mengoptimalkan peran PPNS Perikanan melalui pembentukan pengadilan khusus perikanan, pengadaan kapal pengawas perikanan, membangun prasarana penunjang berupa pelabuhan perikanan, penataan koordinasi antar lembaga terkait, menambah jumlah personil PPNS perikanan, serta meningkatkan jumlah alokasi dana untuk kegiatan pengawasan. Perbedaan penulisan yang dilakukan oleh Maimuna Renhoran dengan yang dilakukan oleh penulis, terdapat pada sudut pandang dan obyek penelitian yang diteliti. Sudut pandang penelitian dari Maimuna Renhoran
20
lebih menyoroti tentang strategi penanganan kegiatan IUU Fishing, sedangkan sudut pandang penelitian dari penulis lebih menitikberatkan pada kebijakan kriminal tindak pidana di bidang perikanan, yakni upaya penanggulangan berupa upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana di bidang perikanan. Perbedaan lainnya juga terdapat pada obyek penelitian, dimana obyek penelitian dari Maimuna Renhoran berada di Laut Arafura yang menjadi wilayah hukum Provinsi Papua, sedangkan obyek penelitian penulis di wilayah hukum Provinsi Sulawesi Utara. 4. Penulisan Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan judul “Penanggulangan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan Di Wilayah Hukum Kabupaten Bantul” yang ditulis oleh Fikri Iqbal pada tahun 201234. Dalam penelitian ini terdapat 2 rumusan masalah, yaitu: a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten Bantul ? b. Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana di bidang perikanan di wilayah hukum Kabupaten Bantul ? Kesimpulan penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan di wilayah hukum Kabupaten Bantul masih kurang maksimal dengan kendala berupa tidak adanya produk hukum yang mengatur tindak pidana di bidang perikanan yang dikeluarkan oleh Kabupaten Bantul, adanya sifat pembinaan dalam pengakan hukum tindak pidana di bidang perikanan, kurangnya sumber daya manusia yang mengerti tentang tindak pidana di bidang 34
Fikri Iqbal, 2012, “Penanggulangan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan Di Wilayah Hukum Kabupaten Bantul”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
21
perikanan, tidak adanya PPNS Perikanan, tidak ada pos keamanan laut terpadu, anggaran dana terbatas, sarana dan prasarana tidak memadai, serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat wilayah pesisir Kabupaten Bantul. Upaya-upaya pencegahan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah hukum Kabupaten Bantul yang telah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Bantul, Pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Lanal) Yogyakarta, dan Direktorat Polisi Air (DIT POLAIR) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih belum mencapai target program upaya pencegahan dikarenakan adanya kendala berupa kurangnya sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan secara mendalam tentang tindak pidana di bidang perikanan, anggaran dana yang kurang memadai, kurangnya pendidikan dan pelatihan mengenai tindak pidana di bidang perikanan, kurangnya sarana dan prasarana yang memadai, juga tingkat kesadaran hukum yang rendah dalam masyarakat wilayah pesisir Kabupaten Bantul. Perbedaan penulisan yang dilakukan oleh Fikri Iqbal dengan yang dilakukan oleh penulis, terdapat pada sudut pandang dan obyek penelitian yang diteliti. Sudut pandang penelitian dari Fikri Iqbal dalam penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan lebih menyoroti peran dari DKP, Lanal dan Polair, sedangkan penelitian dari penulis menambahkan peran dari masyarakat dalam hal ini kelompok nelayan dalam upaya penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan. Penelitian dari Fikri Iqbal juga hanya menyorot pada upaya-upaya pencegahan tindak pidana di bidang perikanan, sedangkan penelitian dari penulis menyorot pada upaya penanggulangan
22
dalam hal ini pencegahan dan penindakan tindak pidana di bidang perikanan serta kebijakan penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan dimasa mendatang. Perbedaan lainnya terdapat pada obyek penelitian, dimana obyek penelitian dari Fikri Iqbal berada di wilayah hukum Kabupaten Bantul, sedangkan obyek penelitian dari penulis berada di wilayah hukum Provinsi Sulawesi Utara. 5. Penulisan Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar dengan judul “Tinjauan Kriminologi Terhadap Kejahatan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing) Oleh Nelayan” yang ditulis oleh Nurul Putriyana Yusuf pada tahun 201535. Dalam penelitian ini terdapat 2 rumusan masalah, yaitu: a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) di Kabupaten Kepulauan Selayar ? b. Bagaimana upaya Polair Polres Selayar dalam meminimalisir tindak pidana penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Selayar ? Kesimpulan dari penelitian ini, terjadinya tindak pidana penangkapan ikan (illegal fishing) di Kabupaten Kepulauan Selayar dikarenakan faktor ekonomi nelayan yang rendah, faktor pengetahuan nelayan yang minim akan dampak illegal fishing, serta faktor pengawasan dari kepolisian yang tidak menjangkau seluruh wilayah perairan. Upaya penanggulangan tindak pidana
35
Nurul Putriyana Yusuf, 2015, “Tinjauan Kriminologi Terhadap Kejahatan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing) Oleh Nelayan”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
23
penangkapan ikan (illegal fishing) di Kabupaten Kepulauan Selayar terdiri atas upaya preventif berupa mengadakan patroli rutin, kerjasama dengan instansi terkait, mengadakan penyuluhan hukum, dan upaya represif berupa melakukan penangkapan, pemeriksaan, serta penerapan sanksi terhadap pelaku illegal fishing. Perbedaan penulisan yang dilakukan oleh Nurul Putriyana Yusuf dengan yang dilakukan oleh penulis, terdapat pada sudut pandang dan obyek penelitian yang diteliti. Sudut pandang penelitian dari Nurul Putriyana Yusuf hanya menyorot pada faktor penyebab terjadinya penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) dan upaya meminimalisir tindak pidana penangkapan ikan oleh Polair, sedangkan penelitian dari penulis menyorot pada upaya penanggulangan oleh PSDKP Bitung, kepolisian perairan dan masyarakat kelompok nelayan serta kebijakan penanggulangan terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Perbedaan lainnya terdapat pada obyek penelitian, dimana obyek penelitian dari Nurul Putiyana Yusuf berada di wilayah hukum Kabupaten Selayar, sedangkan obyek penelitian dari penulis berada di wilayah hukum Provinsi Sulawesi Utara.