1
BAB I PENDAHULUAN
1. Permasalahan. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional pada hakekatnya adalah rangkaian perubahan yang dilakukan secara menyeluruh terarah dan berencana dalam rangka mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan yaitu masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dan bathiniah. Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia baik materiil maupun spiritual, yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (rumah) yang layak.1 Oleh karena itu pembangunan nasional mesti mengacu pada konsep pembangunan yang utuh menyeluruh dan melibatkan peran aktif masyarakat. Tanpa peran aktif masyarakat, maka pembangunan nasional akan mengalami hambatan dan bahkan kegagalan. Pengalaman membangun pada masa yang lalu dan timbulnya krisis yang berkepanjangan dapat digunakan sebagai pelajaran bahwa disamping keberhasilan mencapai tujuan pembangunan, proses dan cara mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi tersebut tidak kalah pentingnya. Pembangunan pada bidang ekonomi merupakan penggerak utama pembangunan, namun pembangunan ekonomi ini harus 1
Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.1
2
disertai upaya saling memperkuat, terkait, serta terpadu dengan pembangunan bidang lainnya.2 Secara normative, untuk membangun perekonomian yang kuat, sehat dan berkeadilan, pembangunan ekonomi harus dilaksanakan berlandaskan aturan main yang jelas, etika dan moral yang baik, serta nilai-nilai yang menjungjung tinggi hak asasi manusia serta persamaan derajat, hak dan kewajiban warga negara setiap rakyat Indonesia. Apabila dikaji perjalanan pembangunan di Negara Indonesia, titik berat pembangunan adalah di bidang ekonomi, dengan maksud apabila pembangunan ekonomi berhasil, maka akan berakibat kepada bidang-bidang pembangunan lainnya. Oleh karena itu maka untuk menjamin adanya pembangunan ekonomi yang baik maka diperlukan adanya aturan hukum yang jelas, dan untuk mewujudkan hal tersebut maka sudah sepantasnya para ahli hukum diajak secara aktif integrative untuk merumuskan berbagai kebijakan di segala bidang pembangunan.3 Berkembangnya perekonomian dalam suatu negara sangat ditunjang oleh kemajuan yang dialami oleh suatu perusahaan yang ada di negara tersebut, oleh karena itu organisasi dalam sebuah perusahaan merupakan komponen yang sangat menunjang untuk tercapainya visi dan misi perusahaan dalam menghadapi dan mengantisipasi berbagai persaingan, baik ditingkat lokal maupun global.4
2
Johannes Ibrahim, Lindawati Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, Penerbit Refika Adi Tama, Bandung, hal.23 3 Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal.53 4 Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Penerbit Refika Adi Tama, bandung, hal.1
3
Berkembangnya berbagai perusahaan tersebut berdasarkan kepada konsep ekonomi yaitu mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran yang serendah-rendahnya. Sejak lama dunia usaha percaya bahwa satu-satunya tanggung jawab mereka adalah membuat keuntungan bagi pemodalnya, banyak anggota masyarakat ataupun pemerintah yang mendirikan perusahaan hanya mengejar target mencari keuntungan, dan mengabaikan aspek-aspek lain yang sebenarnya sangat vital bagi perusahaan terkadang diabaikan, misalnya hak-hak karyawan perusahaan, upah karyawan yang murah dijadikan alasan untuk mendirikan perusahaan, sumber daya alam yang melimpah diolah tanpa memperhatikan aspekaspek lingkungan hidup. Dengan mengabaikan berbagai aspek tersebut perusahaan bisa meraih keuntungan yang maksimal, artinya tanggung jawab ekonomi dari perusahaan dapat dikatakan berhasil. Untuk menjaga kesinambungan hidup perusahaan, perlu diterapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) yaitu seperangkat aturan yang dijadikan acuan manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan secara baik, benar, dan penuh integritas, serta membina hubungan dengan para stakeholders, guna mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, yang menekankan pada prinsip akuntabilitas (accountability), kemandirian (independency) transparansi (transparansy),
4
pertanggungjawaban (responsibility) dan kewajaran(fairness), karena dengan tercapainya GCG perusahaan dapat menciptakan lingkungan kondusif terhadap pertumbuhan usahanya yang efesien dan berkesinambungan.5 Sebenarnya tanggung jawab perusahaan tidak hanya berupa tanggung jawab ekonomi saja, akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab sosial (Corporate social responsibility/ CSR) yang berkaitan dengan segala aspek yang menunjang berhasilnya perusahaan tersebut. Tanggung jawab
sosial dunia usaha telah menjadi suatu
kebutuhan yang dirasakan bersama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha sendiri berdasarkan prinsip-prinsip saling menguntungkan (kemitraan). Tanggung jawab
sosial
perusahaan
memberikan
kesejahteraan
masyarakat,
meringankan
implikasi beban
positif
bagi
pembiayaan,
peningkatan pembangunan
pemerintah, memperkuat investasi dunia usaha, serta semakin kuatnya jaringan kemitraan, antara masyarakat , pemerintah, dengan dunia usaha.6 Konsep awal CSR secara akademisi diperkenalkan oleh Howard R. Bowen melalui karyanya yang berjudul “Social Responsibilities of the Businessmen” Bowen telah memberikan landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Bowen mengacu kepada kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan dan berbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai
5
Johannes Ibrahim, Op. Cit. hal.70 Isa Wahyudi, Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Penerbit In- Trans Publishing, hal. 15 6
5
nilai dalam suatu masyarakat7. Berkembangnya konsep awal CSR tidak terlepas dari pemikiran para pemimpin perusahaan yang pada zaman itu menjalankan usahanya dengan mengindahkan pada konsep Derma (charity) dan prinsip perwalian(stewardship principle). Kemudian periode awal tahun 1970-an mencatat babak penting perkembangan konsep CSR ketika para pimpinan perusahaan terkemuka di Amerika Serikat membentuk Committee for Economic Development (CED). Dalam salah satu pernyataan CED menyatakan bahwa kontrak sosial antara masyarakat dan pelaku usaha telah mengalami perubahan yang substansial dan penting. Pelaku bisnis dituntut untuk memikul tanggung jawab yang lebih luas kepada masyarakat dibandingkan waktuwaktu sebelumnya serta mengindahkan beragam nilai-nilai manusia. Perusahaan diminta untuk memberikan kontribusi lebih besar bagi kehidupan bangsa Amerika dan bukan sekedar memasok sejumlah barang dan jasa.8 Praktek perusahaan-perusahaan di Eropah dan Amerika Serikat (perusahaan transnasional) menunjukan bahwa norma-norma CSR dicantumkan dalam Code of conduct, dan merupakan satu tipe regulasi internal yang mampu diterapkan dan diberlakukan
pada
perusahaan
yang
globalised.
Konsep
CSR
atau
pertanggungjawaban sosial di negara-negara maju seperti Eropah dan Amerika Serikat diberlakukan dan bersifat sukarela
7
Ibid. hal.19 Ismail Solihin,2008, Corporate Social Responsibility, from Gharity to Sustainability, Penerbit Salemba Empat, Bandung, hal. 21 8
6
atau voluntary.9 Berlakunya secara voluntair CSR di negara-negara maju tentu saja menjadi wajar-wajar saja dan tidak terlalu istimewa, terutama jika praktek tersebut dikaitkan dengan berbagai difinisi tentang CSR yang dapat dijumpai dalam beberapa literatur. Word Bank mendifinisikan CSR sebagai “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both and good for business development” Wineberg dan Rudolph, Corporate Social Responsibility –What Every In House Counsel Should Know” mengatakan bahwa CSR adalah “The countribution that a company make in society trough its core business activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy” 10 Dari difinisi tersebut terdapat adanya konsep Corporate Philanthropy (CP) yaitu kedermawanan perusahaan dan komitmen perusahaan dalam memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, sehingga wajar jika praktek penerapan CSR di Negara-negara maju ditetapkan secara sukarela atau voluntary. Perkembangan CSR di manca negara saat ini sangat popular. Di beberapa negara CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah 9
Ibid. Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2009, A Hybrid Framework Suatu Alternative Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) Di Indonesia, Makalah Dalam DISEMINASI REKOMENDASI BAGI PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA, Kerjasama Komisi Hukum Nasional RI dengan FH UNUD BALI, Ina Sindhu Beach Sanur Bali, 16 November 2009, hal 3 10
7
perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan. Krisis finansial global yang melanda dan melumpuhkan sendi-sendi perekonomian global hampir keseluruh negara di dunia, mengakibatkan menurunnya laju globalisasi dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu sangat penting khususnya bagi kelangsungan pembangunan perekonomian Indonesia untuk mewujudkan suatu system perekonomian yang berpihak kepada rakyat. Untuk ini pemerintah telah melakukan penguatan pada dasar-dasar kebijakan, khususnya dalam bentuk peraturan di bidang ekonomi untuk menjaga keseimbangan dunia usaha agar para pelaku usaha dapat bersaing dengan sehat , dan adil tanpa menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi rakyat dan kerusakan lingkungan sekitarnya. CSR telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional dan nasional di Indonesia. Umumnya kepatuhan dalam pelaksanaan CSR dikaitkan dengan program Community
Development
(CD)
dan
dalam
kerangka
pembangunan
yang
berkelanjutan (sustainable development).11 Namun masih banyak perusahaan yang tidak mau menjalankan CSR, hal ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan tersebut hanya melihatnya sebagai pengeluaran (beban) biaya. CSR dianggap tidak akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Disisi lain investor juga ingin agar investasinya dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya memiliki citra yang baik di mata
11
Mardjono Reksodiputro, 2005, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum Dalam Kaitan Dengan HAM, Penerbit Refika Aditama, hal. 73
8
masyarakat umum. Oleh karena itu program CSR lebih tepat bila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan. Gerakan CSR yang berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi, demi memaksimalkan laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikatagorikan sebagai kejahatan korporasi.12 Secara yuridis pengaturan soal CSR secara eksplisit dalam hukum Indonesia dimulai ketika pemerintah memberlakukan UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang dalam Pasal 15 menyebut bahwa setiap Penanam Modal (perseorangan atau perusahaan, berbadan hukum ataupun bukan badan hukum) berkewajiban untuk: a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Kemudian perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 menjadi UndangUndang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, telah membawa perubahan penting bagi dunia usaha di Indonesia. Salah satu yang mendapat perhatian lebih dari kalangan pengusaha adalah Corporate Social Responsibility (CSR), karena CSR akhir-akhir ini telah menjadi salah satu faktor penilaian bagi investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. CSR menjadi salah satu kewajiban yang harus 12
Robert Khuana, 2009, Corporate Social Responsibility (CSR) Antara Tuntutan dan Kenyataan, Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan Hukum Di Indonesia, tanggal 16 November 2009, hal.2
9
dilaksanakan oleh sebuah perusahaan sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 74 UUPT No.40 Tahun 2007, yang menyatakan: (1). Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2). Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3). Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dari kedua undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa tampaknya konsep CSR di Indonesia dinamakan dengan istilah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan (TJSLP). Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat
sekitarnya. Atau
dalam pengertian kemampuan
perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Di Indonesia perkembangan CSR masih sangat dini, namun cukup pesat. Sebenarnya konsep CSR sudah tampak dalam budaya yang ada pada masyarakat, seperti budaya gotong royong yang merupakan nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia patut dipertahankan. Makna semangat gotong royong yang
10
menjiwai setiap warga masyarakat terlebih pada masyarakat industri/modern patut dicermati. Di Pulau Bali terdapat filosofis pola keserasian dan keseimbangan hubungan yang harmonis yang dikenal dengan nama “Tri Hita Karana” (Tiga hal untuk mencapai kesejahteraan hidup). Konsep Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal yang mengekspresikan pola-pola hubungan seimbang dan harmonis. Tampaknya konsep
CSR dapat berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana yang berintikan unsur-unsur nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (unsur Parahyangan), antara manusia dengan sesama (unsur Pawongan) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan). Keyakinan masyarakat adat Bali terhadap alam dan lingkungan dilandaskan pada suatu keyakinan bahwa manusia dan alam semesta diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dari unsur-unsur yang sama. Pandangan ini melihat kesamaan unsur pada manusia selaku „isi alam (mikrokosmos)‟ terdiri atas unsur-unsur Tri Hita Karana : jiwa (atma), tenaga (prana) dan badan wadah (anggasarira). Demikian pula pada alam selaku „wadah makrokosmos‟ terdiri atas unsur-unsur jiwa (parama atma), tenaga (prana : segenap himpunan tenaga alam) dan wujud fisik (angga-sarira). Pandangan kesamaan (kesetaraan) ini, manusia dengan isi alam lainnya atau lingkungan maupun manusia dengan alam, maka manusia mempunyai kewajiban untuk menghormati ataupun menjaga keharmonisan dengan landasan sikap dan perilaku „tat twam asi‟ dalam interaksinya. Kewajiban ini bagi masyarakat adat Bali lebih banyak diwujudkan dalam suatu perbuatan sebagai wujud
11
terima kasih.13 Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana (Pawongan
dan
Palemahan)
berkaitan
erat
dengan
kewajiban
perusahaan
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 74 UU No.40 Tahun 2007. Sumber inspirasi Tri Hita Karana berasal dari Pustaka Suci Agama Hindu yang dikenal dengan nama: Bhagawad Gita. Konsep CSR yang berkait erat dengan tanggungjawab sosial perusahaan yang dalam Tri Hita Karana bersentuhan dengan unsur pawongan, berfungsi sebagai subsistem sosial, sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam hak dan kewajiban. Kemudian konsep CSR yang bersentuhan dengan unsur palemahan, berfungsi sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan, baik terhadap kondisi lingkungan di dalam perusahaan maupun lingkungan di sekitarnya (di luar perusahaan).14 Perkembangan dunia usaha pada era global dewasa ini demikian pesatnya, sehingga semangat gotong royong itu tampaknya menjadi beban bagi pengusaha. Padahal CSR adalah komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk berprilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. Disisi lain anggota masyarakat merasakan bahwa konsep CSR yang diterapkan
13
Chidir Ali,1997, Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, Hal 219. 14 Wiryawan I Wayan, 2009, Makalah Tanggapan/komentar atas penyaji rekomendasi dari Mardjono Reksodiputro, tanggal 16 Nopember 2009, hal. 5
12
oleh perusahaan dianggap sebagai hak bagi masyarakat yang bersangkutan, sehingga masyarakat tersebut meminta kepada perusahaan seolah-olah sebagai suatu kewajiban bagi perusahaan dan disisi lain merupakan hak bagi masyarakat, sehingga terdapat adanya disharmoni antara perusahaan dengan masyarakat. Dalam menerapkan CSR perlu adanya konsep yang dapat memadukan adanya aspek-aspek yang terdapat pada CSR dan unsur-unsur yang terdapat pada Tri Hita Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh budaya gotong royong pada satu sisi, dan pada sisi lainnya Tri Hita Karana juga di dasari oleh semangat gotong royong yang mencerminkan adanya pola keseimbangan dan keharmonisan hubungan. Dengan demikian dalam konteks ini diharapkan adanya satu konsep sehingga dapat mengintegrasikan kedua konsep tersebut ke dalam suatu konsep yang disebut dengan “integrated balance harmony”. Dengan konsep ini diharapkan adanya keterkaitan dan keterpaduan dari kedua konsep tersebut, yaitu konsep CSR dengan konsep Tri Hita Karana, sehingga budaya gotong royang masih relepan diterapkan dalam dunia bisnis, terlebih dengan situasi yang terjadi di era global seperti zaman sekarang ini. Berdasarkan latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas maka disajikan satu karya tulis yang berupa tesis diberi judul: “ Pengembangan Tanggung Jawab Sosial Perseroan (Coorporate Social Responsibility) Dikaitkan Dengan Konsep Tri Hita Karana ( Studi Di Propinsi Bali ). 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang diajukan dalam penulisan ini adalah:
13
1. Bagaimanakah model CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan sehingga terjadi harmonisasi dengan konsep Tri Hita Karana yang terdapat di Bali? 2. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab sosial yang diterapkan oleh perusahaan dalam pengimplementasiannya di masyarakat? 1.3 Ruang Lingkup Masalah. Untuk menghindari pembahasan yang jauh menyimpang dari pokok permasalahan yang diajukan dalam penulisan tesis ini, maka dipandang perlu mengadakan pembatasan, sehingga dalam pembahasan selanjutnya bias terfokus pada pokok permasalahan yang diajukan sebelumnya. Dalam penulisan tesis ini ruang lingkup masalah yang ingin dikemukakan adalah sebatas pengaturan dan penerapan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 (UUPT) yaitu mengenai penerapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan (CSR) sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) yang menyatakan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Ketentuan tentang CSR tersebut dihubungkan dengan konsep Tri Hita Karana yang mendasari kehidupan masyarakat Adat Bali. Bagaimana penerapan CSR perusahaan di Bali, terutama dari segi model, serta bentuk yang diterapkan , sehingga terjadi keharmonisan antara konsep CSR dengan konsep Tri Hita Karana di masyarakat. 2.Tujuan Penelitian. 2.1 Tujuan Umum
14
Secara umum penelitian atas beberapa permasalahan yang telah dikemukakan diatas bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum atau untuk menambah khasanah pengetahuan dibidang Hukum Bisnis khususnya dalam bidang Hukum Organisasi Perusahaan yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang pada zaman sekarang di Indonesia perkembangannya sudah mulai mendapat perhatian dari perusahaan. 2.2 Tujuan Khusus. Sehubungan dengan tujuan umum itu, maka tujuan khusus yang ingin dicapai lebih lanjut adalah: 1. Untuk mengetahui model CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan yang ada
di Bali terhadap daerah sekitar perusahaan. 2. Untuk mengetahui bentuk Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sehingga terjadi
harmonisasi dengan konsep Tri Hita Karana, dan tercapai adanya Integrated Balance Harmony. 3. Manfaat Penelitian
Mengenai manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua pokok permasalahan diatas terdiri dari dua manfaat, yaitu: 3.1 Manfaat Teoritis. 1
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
pengetahuan
dan
pemahaman tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan yang berkembang di Bali khususnya terhadap beberapa perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, bagaimana model serta bentuk CSR dalam
15
penerapannya didalam masyarakat. 3.2 Manfaat Praktis. 1.
Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menimbulkan kesadaran hukum masyarakat khususnya terhadap para pengusaha untuk tetap memperhatikan lingkungan sekitarnya sehingga terdapat keharmonisan antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya, disamping itu penerapan CSR juga merupakan tuntutan dunia Internasional dalam era perdagangan bebas
2
Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan untuk lebih mengintensifkan penerapan Tanggung Jawab Sosial Perseoan terutama di daerah yang termasuk kategori daerah miskin.
4 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir. 4.1 Landasan Teoritis Penerimaan kalangan perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility laksana bola salju yang menggelinding semakin besar. Penerapan CSR di perusahaan menjadi semakin penting dengan munculnya konsep sustainable development yang dirumuskan oleh The Word Comission on Environment and Development , sehingga konsep CSR pun mengalami penyesuaian dan dikembangkan dalam bingkai sustainable development. Hal ini tercermin dari difinisi CSR yang diberikan oleh The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai:” business’s contribution to sustainable development and that corporate behavior must not only ensure returns to shareholders, wavegs to employess, and product and
16
service to consumers, but they respond to societal and environmental concerns and value” 15 Kotler dan Lee memberikan pengertian CSR sebagai berikut: “ corporate social responsibility is a commitment to improve community well being through discretionary business practices and contribution of corporate resources” Kotler dan Lee berpendapat bahwa CSR semata-mata merupakan komitmen perusahaan secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan bukan merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan perundangundangan seperti kewajiban membayar pajak atau kepatuhan perusahaan terhadap undang-undang ketenagakerjaan.16 CSR adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab social perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.17 Di Indonesia, secara formal dalam Tata Hukum Indonesia konsep CSR telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam Pasal 1 butir 3 menentukan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan dalam pembangunan ekonomi 15
Peter Van Den Bossche, 2008, The Law And Policy of the Word Trade Organization, Cambridge University Press, page 71 16 Ibid, hal. 5 17 Hendrik Budi Untung, 2008, Corporate Sosial Responsibility, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal.1
17
berkelalanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya. Dengan mencermati bunyi Pasal 74 UUPT dan konsep CSR di Negara-negara maju, maka dapat dilihat terjadi adanya perubahan konsep CSR dari “tanggung jawab sosial” (social responsibility) menjadi “kewajiban hukum” (legal obligation). Dengan demikian bukan merupakan sesuatu hal yang aneh jika dalam penerapannya di Indonesia konsep CSR berubah dari social responsibility menjadi legal obligation, karena dengan konsep tersebut lebih dapat mengakomodir tidak hanya kepentingan perusahaan, akan tetapi juga seluruh masyarakat yang ada disekitarnya.18 Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam modal mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan ataupun penanam modal dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang terkait. Dengan adanya ketentuan CSR sebagai sebuah kewajiban dapat merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral an-sich, tetapi diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan. Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau eksklusifitas dari lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tidak berkelebihan jika ke 18
Supasti Darmawan, I. Ketut, Op. Cit, hal. 5
18
depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Ketentuan Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 itulah yang akan diteliti pada tingkat implementasi (pelaksanaannya) di lapangan oleh para pelaku usaha khususnnya yang berbadan hukum Perseroan Terbatas. Seperti diketahui bahwa ilmu hukum dapat dikaji melalui studi “law in books dan studi law in action”, sebagaimana disimpulkan dari uraian Roman Tomasic berikut: the focues of the sociology of law however it is defined, need to be seen as the study of “the law in action” rather than the traditional lawyer’s concern with “the law in book”19 Dalam membahas permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan, maka akan digunakan beberapa teori-teori, yang pada hakekatnya adalah seperangkat konstruksi (konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antar variable, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu. Teori juga berarti serangkaian asumsi, konsep, difinisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.20 Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang paling sederhana suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang
19
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.197 20
Burhan Asshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19
19
telah diuji kebenarannya.21 Dalam penulisan ini digunakan beberapa teori yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diajukan. Teori Talcott Parsons tentang Hukum itu Mekanisme Integrasi, kemudian teori hukum keseimbangan (harmoni) yang diajukan oleh Roscoe Pound yang dilanjutkan dengan teori tentang law as a tool social engineering. Kemudian teori dari Von Savigny bahwa hukum itu Jiwa Rakyat (volkgeist). Menurut Roscou Pound hukum itu keseimbangan kepentingan, yang cendrung menghindari kontruksi-kontruksi teori yang terlalu abstrak. Hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya hukum itu harus didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Pada dasarnya kondisi awal struktur suatu masyarakat selalu berada dalam kondisi yang kurang imbang. Ada yang terlalu dominan, dan ada pula yang terpinggirkan. Untuk menciptakan dunia yang beradab perlu ditata ulang ketimpangan-ketimpangan
struktural
tersebut,
dengan
keseimbangan
yang
proporsional. Hukum dengan tipe yang abstrak tidak mampu untuk merubah keadaan paling-paling hanya mengukuhkan keadaan. Oleh karena itu perlu langkah progresif dalam memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering) Menyikapi kondisi yang ada, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak
21
hal.30
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
20
selamanya merupakan conditio sine qua non bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat, oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama adalah ”social engineering”. Dalam konsep Social engenering Pound mengharapkan pada para praktisi hukum (khususnya pengacara) hendaknya mampu untuk mencampur kekakuan hukum untuk menyesuaikan pada tujuannya. Dalam proses penafsirannya, seorang pengacara harus membuat penyesuaian-penyesuaian dalam hukum agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tujuan social engenering adalah untuk mengupayakan pengacara berfikir berdasarkan pada perubahan atau penyesuaian hukum. “A Lawyer should be able to mould the clay of law to duit the porpose in hand. In the process of interpretation, a lawyer has to make adjustments in the law to suit the need of the society. The purpose of social engineering is to enable the lawyer to think in terms of changing or moulding the law.22 Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang fungsional.23 Dalam doktrin ini di sebutkan bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial. Untuk itu sebaiknya diadakan rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam
22
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, Percetakan Turbo, hal. 198 Bernard L. Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publising, Yogyakarta, hal. 161 23
21
masyarakat yaitu kepentingan pribadi, masyarakat dan umum.24 Kebebasan seseorang merupakan kepentingan individu, tetapi juga kepentingan sosial karena masyarakat juga tertarik memberikan kebebasan bagi suatu individu. Pound ingin melihat setiap kepentingan dari sudut pandang sosial. Dalam kasus konflik, kita melihat pada konflik kepentingan dari sudut pandang individu, negara dan masyarakat. Karenanya Pound menyatakan harus dapat menyeimbangkan masyarakat. Personal liberty is an individual interest but it is also a social interest because society is also interested in giving liberty to the individual. In other woeds, Pound wants us to look at every interest from the point of view of the society. In case of conflict, we look at the conflicting interest from the pointof view of the individual, of the state and of the society. Thus, Pound says, we can balance them.25 Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool social engineering), sehingga hukum itu mengarahkan masyarakat kearah yang lebih maju. 26 Teori Talcott Parsons tentang Hukum itu Mekanisme Integrasi, yang menyatakan bahwa hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Di samping hukum terdapat sub sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub sistem tersebut adalah budaya, politik dan ekonomi. Setiap sub sistem ini memiliki logika, mekanisme dan tujuan yang berbeda. Sub sistem budaya cendrung konservatif dan serta merta mempertahankan pola-pola ideal, 24
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, hal.. 68. 25 Hari Chand, Op. Cit. hal. 198. 26 Darji Darmodiharjo, Sidarta, 2002, Pokok-Pokok Fiksafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.131.
22
Pada sisi lain sub sistem ekonomi sangat dinamis dan cenderung melahirkan terobosan-terobosan baru yang bisa saja “asing” dan “liar” dari ukuran pola-pola ideal budaya, sedangkan sub sistem politik senantiasa mencari berbagai cara untuk mencapai tujuan yang boleh jadi cara-cara yang dipakai tidak sesuai dengan pola budaya dan realitas sumberdaya materiil itu. Keadaan yang rentan benturan tersebut harus ditangani oleh hukum lewat fungsi pengintegrasiannya agar setiap sub sistem berjalan serasi dan sinergis demi lestarinya sistem. Parsons menempatkan hukum sebagai unsur utama integrasi sistem. Teori Von Savigny menyatakan Hukum itu Jiwa Rakyat (volkgeist). Menurut Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat, tetapi harus ditemukan. Kemudian dalam Teori Tiga Komponen Sistem Hukum yang diajukan oleh L.M. Friedman mengatakan bahwa bekerjanya system hukum itu merupakan suatu proses interaksi tiga komponen system hukum, yaitu berinteraksinya komponen struktural, substansial dan komponen kultural. Tujuan sistem dapat dicapai apabila ketiga komponen itu bekerja dengan serasi dan saling mendukung. Kelemahan pada salah satu komponen saja akan berakibat sistem hukum itu tidak berjalan dengan semestinya. Oleh Friedman komponen struktural itu dirumuskan sebagai kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum
23
itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum itu. Komponen substansial adalah merupakan segi out put, dari segi hukum yang dapat berupa norma-norma hukum baik berupa doktrin-doktrin, keputusan-keputusan sejauh norma itu dipakai baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. Komponen substansial tidak terikat pada bentuk formalitas tertentu, dalam arti dapat berbentuk undang-undang ataukah kebiasaan-kebiasaan yang belum terekplisitkan dalam bentuk yang formal, yang dipentingkan disini adalah apakah ia digunakan di dalam masyarakat. Komponen kultural adalah hal-hal yang menyangkut sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif maupun negatif. “The term legal cultural had been used to suggest the whole range ideas which exists in particular societies and varies from one society to another about law and its place in the social order.These ideas inform legal practices citizen’s attitudes to law and their willingness or unwillingness to litigate, anr the relative significance of law in informing wider currents of thought and behavior beyond the specifis practices and forms of discourse associated with legal institutions.” 27 Dengan dasar teori ketiga komponen sistem hukum dari L.W. Friedman ini akan dianalisis tentang bekerjanya sistem hukum UU No.40 Tahun 2007 khususnya Pasal 74. Dari segi struktural bagaimana berfungsinya Lembaga Pemerintah yang mengawasi pelaksanaan ketentuan Pasal 74 UUPT Tahun 2004. Begitu pula aspek substansial yang menyangkut peraturan hukum itu sendiri (UU PT khususnya Pasal
27
Friedman, Lawrence.M, 1969, The Legal System: A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, page. 37
24
74). Yang tidak kalah pentingnya juga dari aspek kultural mengenai perilaku masyarakat dengan konsep pemikiran yang dilandasi dengan konsep Tri Hita Karana dalam menerima hasil dari undang-undang tersebut, khususnya perilaku masyarakat terhadap keberadaan perusahaan yang bersangkutan, sehingga terjadi adanya pengembangan konsep CSR yang diberikan oleh perusahaan ke dalam konsep Tri Hita Karana , yang sama-sama menonjolkan unsur moral. Teori tanggung jawab sosial lahir karena tuntutan dari tanggung jawab itu sendiri. Tanggung jawab sosial berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hukum. Moral dalam tanggung jawab sosial lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap bathiniah, sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas”yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamerih. Sedangkan tanggung jawab hukum lebih menekankan pada kesesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersebut secara obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandangan moral, hukum, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak bisa dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang mendasarinya. Bila teori tanggung jawab sosial dikaitkan dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan
dan kegiatan
25
usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat, dan lingkungan dimana perusahaan tersebut melakukan aktivitas usahanya. Secara negatif hal ini bermakna bahwa perusahaan harus menjalankan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera 28. Stakeholder theory yang di motori oleh Kenneth Andrews berpandangan bahwa keberadaan perusahaan bukan semata-mata bertujuan untuk melayani kepentingan pemegang saham (shareholders) melainkan juga melayani kepentingan pihak-pihak lainnya (stakeholders) termasuk masyarakat di dalamnya. Dengan demikian cukup jelas bahwa masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan dan begitu juga sebaliknya, sehingga perlu adanya hubungan yang saling menguntungkan diantara kedua belah pihak.29 Istilah stakeholders saat ini sudah sangat populer dan telah digunakan oleh banyak pihak dalam hubungannya dengan berbagai konteks disiplin ilmu, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumber daya alam, sosiologi, hukum dan sebagainya. Lembaga-lembaga publik pun juga telah menggunakan secara luas istilah stakeholders ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi
28
Isa Wahyudi, Busyra, Op. Cit. hal.18 Coelho, Philip R.P, Mc. Clure, James E.& Spry, John A, 2003, The Social Responsibility of Corporate Management, A Classical Critique, Mid America Journal of Business, Vo. 18. No.1 Hal. 16 dalam Isa Wahyudi , Op. Cit. Hal.69 29
26
keputusannya. Secara sederhana stakeholders sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu, kepentingan dan atau rencana tertentu. Stakeholders mempunyai pengertian sebagai sebagian anggota komuniti, atau kelompok individu, masyarakat (tidak semua) yang berasal dari wilayah korporat tersebut berdiri, wilayah negara dan bisa juga negara lain (global) yang mempunyai pengaruh terhadap jalannya suatu korporat. Kelompok individu tersebut juga mempunyai suatu kepentingan antara satu dengan lainnya, atau dengan kata lain pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan mempengaruhi terhadap jalannya suatu korporat.30 Dalam dunia usaha yang global dan sangat kompetitif sekarang ini, banyak pihak yang dapat menjadi stakeholders perusahaan. Dari sudut pandang perusahaan ada beberapa orang atau sekelompok orang yang secara pasti dapat digolongkan sebagai stakeholders perusahaan, yaitu mereka yang memiliki legitimasi, kepentingan langsung, atau hak dalam kegiatan perusahaan.31 David Wheeler dan Maria Sillanpaa dalam bukunya “The Stakeholder Corporation: A Blueprint for Maximizing Stakeholder Value”, menggolongkan stakeholders dalam dua kategori yaitu: a. Stakeholders primer meliputi pemegang saham, investor, karyawan, pelanggan,
30
Arif Budimanta et. al.,2008, Corporate Social Responsibility: Alternatif bagi Pembangunan Indonesia, Jakarta: ICSD, hal. 27. 31 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, 2008, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, Jakarta, Penerbit Forum Sahabat, hal. 48.
27
komunitas lokal, pemasok dan rekanan bisnis. Stakeholders primer memiliki kepentingan langsung dalam sebuah perusahaan dan sangat mempengaruhi sukses atau tidaknya perusahaan tersebut. Oleh karena itu, stakeholders primer ini sangat penting bagi perusahaan. b. Stakeholders sekunder meliputi pemerintah, institusi sipil, LSM, pers, pesaing usaha, asosiasi pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Stakeholders sekunder juga dapat menjadi sangat berpengaruh, terutama dalam hal yang menyangkut reputasi perusahaan dan dukungan masyarakat terhadap perusahaan, walaupun sebenarnya mereka tidak memiliki kepentingan langsung dalam kegiatan inti perusahaan. Teori Triple Bottom Line Teori triple bottom line untuk menganalisa konsep-konsep serta model yang melatarbelakangi perusahaan untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial (CSR). Teori ini dikemukakan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya ”Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan teori triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan
28
(planet).32 Perusahaan dalam kegiatan usahanya dengan mengharmonisasikan aspek ekonomi, lingkungan dan masyarakat akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri. 4.2 Kerangka Berpikir.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERSEROAN
(CSR) UU 40 Th. 2007
MENJAGA KELANGSUNGAN PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN RAKYAT MEJAGA KELESTARIAN LINGKUNGAN MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
TEORI– TEORI
KONSEP
TRI HITA KARANA
Penjelasan.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN TUHAN (PARAHYANGAN) HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA (PAWONGAN) HUBUNGAN MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN (PALEMAHAN)
TALCOTT PARSONS TEORI ROSCOU POUND VON SAVIGNY STAKE HOLDER THEORY TRIPLE BOTTEM THEORY L.M.FRIE DMAN
INTEGRATED BALANCE HARMONY
Penjelasan: Konsep CSR
pada intinya adalah menjaga kelangsungan pembangunan
perekonomian Indonesia untuk mewujudkan suatu sistem perekonomian yang berpihak kepada rakyat dan untuk menjaga keseimbangan dunia usaha agar pelaku usaha dapat bersaing dengan sehat, dan adil tanpa menimbulkan kerugian bagi rakyat 32
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit. hal. 33.
29
dan kerusakan lingkungan sekitarnya. CSR sejatinya mempunyai tujuan yang sangat penting di dalam menjaga pembangunan perekonomian berkelanjutan. Pada prinsipnya CSR adalah suatu upaya sungguh-sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Disamping itu penerapan CSR bertujuan agar perusahaan dapat memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pelaku usaha melalui berbagai badan usaha yang berbadan hukum Perseroan Terbatas, diharapkan bersama-sama dengan Pemerintah
mewujudkan
kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu ketentuan tentang CSR ini dituangkan dalam UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, khususnya dalam Pasal 1 butir 3 dan Pasal 74. Di Pulau Bali ada filosofi yang diikuti oleh masyarakat (Hindu) dalam menjalani kehidupannya agar bisa hidup selaras baik dengan Tuhan, sesama manusia, maupun alam lingkungannya, yang dikenal dengan konsep TRI Hita Karana. Dari segi terminologi Konsep Tri Hita Karana ini terdapat dalam Pustaka Suci agama Hindu yaitu dalam Bhagawadgita, sloka III.10 yang bunyi slokanya sebagai berikut: Sahayajnah prajah srishtva Puro vacha prajapatih Anena prasavishya dhvam Esha vo’stv ishta kamadhuk
30
artinya: Dahulu kala Prajapati mencipta manusia bersama bakti persembahannya dan berkata: dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi sapi perahanmu.33 Dari segi etimologi Tri Hita Karana berasal dari kata Tri yang berarti tiga, Hita artinya baik, senang, gembira, lestari, dan Karana berarti sebab-musabab, atau sumbernya sebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti tiga (3) buah unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan.34 Tampaknya konsep CSR itu dapat berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang terkandung di dalam Tri Hita Karana yang berintikan unsur-unsur nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (unsur Parahyangan), antara manusia dengan sesama (unsur Pawongan) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan). Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana (Pawongan dan Palemahan) menjadi fokus dalam kajian ini dengan tidak mengabaikan unsur pertamanya yakni Parahyangan. Kedua unsur tersebut berkait erat dengan apa yang menjadi kewajiban perusahaan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007. Filosofi Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal yang mengekspresikan pola-pola hubungan seimbang dan harmonis. Implementasi dari konsep Tri Hita Karana di Bali terdapat pada beberapa Peraturan Daerah Bali dipergunakan sebagai landasan filosofisnya, misalnya dalam Peraturan Daerah 33 34
hal. 6
Pudja.G, 1982, Bhagawadgita, Jakarta, Penerbit Maya Sari, hal.76 Suasthawa I. Made, I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Adat Bali, Penerbit Upada Sastra,
31
(Perda) No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali (RTRWP), Perda tentang Pariwisata Budaya Bali dan perda yang lainnya. Konsep CSR yang berkaitan erat dengan tanggungjawab sosial perusahaan yang dalam Tri Hita Karana bersentuhan dengan unsur pawongan, berfungsi sebagai subsistem sosial, sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam hak dan kewajiban. Konsep CSR yang bersentuhan dengan unsur palemahan, berfungsi sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan. Dalam pembahasan tesis ini akan dibahas bagaimana konsep yang harus diterapkan sehingga dapat memadukan adanya aspek-aspek yang terdapat pada CSR dan unsur-unsur yang terdapat pada Tri Hita Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh budaya gotong royong pada satu sisi, dan pada sisi yang lainnya Tri Hita Karana mencerminkan adanya pola keseimbangan dan keharmonisan hubungan. Dengan demikian dalam penulisan ini diusulkan untuk menerapkan satu konsep yang disebut dengan Konsep: “integrated balance harmony”
Dengan konsep ini diharapkan
adanya keterkaitan dan keterpaduan diantara kedua konsep tersebut, yaitu konsep CSR dengan konsep Tri Hita Karana. 5. Metode Penelitian Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologi dan sistematis. Metodologi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah sedangkan
32
sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk karya ilmiah.35 Penelitian hukum merupakan penomena yang relatif baru. Penelitian hukum menjadi penting sejak sejumlah jurusan bidang hukum semakin intensif dan bermunculan karier akademis yang baru telah menggantikan praktisi-praktisi yang awalnya berfikir tidak mungkin memasuki profesi tersebut. “Legal research is a relatively new phenomenon. It has become more important as the number of University Law Schools has inteased, and a new breed of career academic has replaced the preactitioners who previoualy taught those entering the profession”.36 Oleh karena itu dalam mengadakan penelitian terlebih dahulu harus dipahami tentang metode. Metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu permasalahan,oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu apa yang dicari.37 Agar dapat dipercaya kebenarannya suatu penelitian ilmiah harus disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 5.1 Jenis Penelitian Soetandyo Wignyosoebroto mengemukakan
ada lima konsep hukum,
sebagimana yang dikutip oleh Setiono, konsep hukum tersebut yaitu: 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan 35 36
Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 4 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing In Law , Law Book CO Pyrmon NSW,
Page.7 37
Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar Maju, hal. 1
33
berlaku universal. 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan tersistematis sebagai judge made law. 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. 5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka.38 Penelitian dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan mengikuti pendapat Soetandyo Wignyosoebroto tentang 5 (lima) konsep hukum yang berlaku pada saat ini dan sesuai dengan konsep hukum keempat yaitu hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. Ada dua jenis penelitian yang dikemukaan oleh Soerjono Soekanto,yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis.39 Penelitian mengenai Pengembangan Coorporate Social Responsibility Dalam Kaitan Dengan Konsep Tri Hita Karana ( Studi Di Propinsi Bali ) adalah penelitian hukum emperis dengan jenis yuridis sosiologis yang berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan) menggunakan data sekunder sebagai data awal untuk kemudian dilanjutkan dengan data lapangan. Ini berarti penelitian yuridis tetap 38
39
Soetandyo Wignyosoebroto dalam Setiono, 2001, Op. Cit. hal. 3
Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, h.al 147.
34
bertumpu premis normative dimana difinisi operasionalnya dapat diambil dari peraturan perundang-undangan, tetapi bukan mengkaji sistem norma yang ada dalam suatu peraturan, melainkan mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika norma tersebut bekerja di masyarakat (law in action).40 Dalam konsep emperis hukum adalah fakta yang dapat dikonstatasi atau diamati dan bebas nilai.41 5.2 Sifat Penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 5.3 Jenis dan Sumber Data. 5.3.1 Jenis Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder, dan data tersier. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian di lapangan, sedangkan
data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum, dan data yang bersumber pada bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku ilmiah dan tulisan-tulisan hukum.42. Bahan Hukum Tersier menurut Peter Mahmud Marzuki adalah berupa
40
Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Emperis, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Belajar, hal.47 41
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hal. 81. 42 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.202.
35
bahan non hukum, yang berupa literarur yang berasal dari non hukum, misalnya literatur dari ekonomi yang membahas tentang CSR.43 5.3.2 Sumber Data 1) Data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang pertama belum diolah dan diuraikan oleh orang lain.44 2) Data sekunder, adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan (library research). Data sekunder ini adalah data yang mempunyai kekuatan kedalam yang terdiri dari: a Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, yaitu: 1 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 3 UU No.07 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 4 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 5 Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 b Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu yang meliputi buku-buku literatur, artikel, makalah, yang berhubungan dengan tanggung jawab social perusahaan atau tanggung jawab lingkungan perusahaan. 43
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Kencana, hal. 143 Hilman Hadikusuma. H, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal.65 44
36
c Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia. 5.4 Teknik Pengumpulan Data. 5.4.1 Teknik Pengumpulan Data Sekunder. Dilakukan dengan cara studi kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 5.4.2 Teknik Pengumpulan Data Primer. Dilakukan dengan cara studi lapangan yaitu dengan cara mengadakan wawancara (interview) dengan para responden dan informan. Interview adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan meminta keterangan dan penjelasan-penjelasan sambil menilai jawaban-jawabannya. Didalam mendapatkan data yang diperlukan digunakan metode wawancara bebas terpimpin yang bersifat komprehensif (mendalam) dengan menggunakan alat tulis.
37
5.5 Lokasi Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel. 5.5.1 Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini adalah di beberapa kabupaten yang ada di Pulau Bali. Pemilihan lokasi penelitian ini di dasarkan atas pertimbangan bahwa Pulau Bali pada saat sekarang perkembangan perdagangan dan industrinya sangat pesat, yang salah satunya ditandai dengan semakin banyak tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, baik yang ada di Kota Denpasar atau yang ada di kabupaten-kabupaten. Di beberapa kota di Bali banyak ada perusahaan –perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas yang mulai beroperasi jauh sebelum lahirnya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Adapun lokasi penelitian sebagaimana dimaksud adalah di Kota Denpasar, di Kantor PT Federal International Finance yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto 18 B Denpasar, dan beberapa perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang ada di kabupaten di Bali. 5.5.2. Teknik Pengambilan Sampel. Pengambilan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian yang representative dari suatu populasi. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan karakter yang sama. Di dalam Encyclopedia of Educational Evaluation dijelaskan: Á population is a set (or collection) of all elements possessing one or more attributes of interest. Jadi polulasi adalah seluruh obyek, seluruh individu, seluruh gejala atau seluruh kejadian termasuk waktu, tempat, gejala-gejala, pola sikap, tingkah laku yang mempunyai cirri atau karakter yang sama dan merupakan
38
unit satuan yang diteliti.45 Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang ada di Bali, dengan sub polulasi adalah Perusahaan yang berbentuk PT yang telah melaksanakan CSR. Untuk dapat memilih sampel yang representative, maka diperlukan teknik sampling. Cara pengambilan sample dari populasi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Probabilitas sampling atau random sampling 2. Nonprobabilitas sampling atau nonrandom sampling. Dalam penelitian ini digunakan teknik non probability sampling atau nonrandom sampling dengan menggunakan jenis purposive sampling. Dalam hal ini berarti bahwa sampel dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi sebelumnya, yang bertindak sebagai informan kunci. Dari informasi kunci tersebut penelitian akan dilanjutkan kepada para responden, yaitu para pelaku usaha khususnya usaha yang berbadan hukum Perseroan Terbatas, yang telah dipilih sebelumnya dan dapat mewakili populasi. 5.6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data. Dari data yang berhasil dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis deskriftif kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya dengan mempertautkan antara data primer dengan data sekunder. Setelah itu, data tersebut disajikan secara deskriftif analisis dengan menguraikannya secara sistematis dan komprehensif, sehingga dapat menjawab permasalahan. 45
Inderson, 1975, dalam Bahder Johan Nasution, Op. Cit. Hal.145.
39
BAB II TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN PADA PERSEROAN TERBATAS DALAM PERSPEKTIF TRI HITA KARANA
2.1 Pengertian CSR dan Dasar Hukum Terminologi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bukanlah hal yang relative baru dalam dunia usaha, evolusi konsepnya sendiri sudah berlangsung pada beberapa dekade. Pada sisi lain istilah CSR sendiri juga mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan dunia usaha, politis dan pembangunan sosial serta hak asasi manusia (HAM). Selain itu terminologi CSR juga dipengaruhi oleh dampak globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, dan semua itu akan mencerminkan pemahaman terhadap pengertian CSR dalam kontek lokal.46 Corporate Social Responsibility dalam bahasa Indonesia dikenal dengan tanggungjawab sosial perusahaan sedangkan di Amerika, konsep ini seringkali disamakan dengan corporate citizenship. Pada intinya, keduanya dimaksudkan sebagai upaya perusahaan untuk meningkatkan kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan dalam kegiatan usaha dan juga pada cara perusahaan berinteraksi dengan stakeholder yang dilakukan secara sukarela. Selain itu, tanggungjawab sosial perusahaan diartikan pula sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, 46
Saidi, Zaim, 2002, Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta, Penerbit Piramida, hal. 97
40
keluarga karyawan dan masyarakat setempat (lokal) dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Mulai pada saat terminologi CSR diperkenalkan tahun 1920 sampai saat ini belum ada difinisi tunggal mengenai pengertian dari CSR. Berikut ini adalah definisidefinisi dari CSR yang antara lain: The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), yang merupakan lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 180 perusahaan multinasional yang berasal dari 35 negara memberikan definisi CSR sebagai "continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large". 47 Apabila diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti komitmen dunia usaha untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi,bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan. Definisi lain mengenai CSR juga dilontarkan oleh World Bank yang memandang CSR sebagai "the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with amployees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development". Kalau diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti komitmen dunia usaha untuk memberikan sumbangan guna menopang bekerjanya pembangunan ekonomi bersama 47
Isa Wahyudi, Op. Cit. hal. 29
41
karyawan dan perwakilan-perwakilan mereka dalam komunitas setempat dan masyarakat luas untuk meningkatkan taraf hidup, intinya CSR tersebut adalah baik bagi keduanya, untuk dunia usaha dan pembangunan. CSR forum juga memberikan definisi, "CSR mean open and transparent business practise that are based on ethical values and respect for employees, communities and environment". Apabila diterjemahkan secara bebas, CSR berarti keterbukaan dan transparan dalam pelaksanaan usahanya yang dilandasi oleh nilainilai etika dan penghargaan kepada karyawan-karyawan, masyarakat setempat, dan lingkungan hidup. Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri mengenai CSR. Yaitu dari European Union atau Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) sebagai lembaga perhimpunan Negara-negara di benua Eropa mengemukakan bahwa "CSR is a concept where by companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basic". Apabila diterjemahkan secara bebas, CSR adalah suatu konsep untuk integritas sosial perusahaan dan memperhatikan masalah lingkungan dalam operasional usahanya dan melakukan hubungan interaksi dengan stakeholders yang didasari kesukarelaan. Howard R Bowen melalui karyanya yang diberi judul “Social Responsibilities of the Bussinessmen”. Bowen merumuskan CSR sebagai berikut: ït refers to the obligations of businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or to
42
follow those lines of action which are desireable interms of the objectives and values of our society” 48 Yusuf Wibisono, CSR didifinisikan sebagai tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan49. Suhandari M. Putri, mendifinisikan CSR adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.50 UUPT juga mengatur ketentuan mengenai CSR. Pengertian CSR diatur di dalam Pasal 1 butir (3) UUPT, dalam hal ini CSR disebut sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) yang berarti komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Pelaksanaan CSR ini harus dimuat di dalam laporan tahunan perseroan yang disampaikan oleh direksi dan ditelaah oleh dewan komisaris yang mengharuskan
48
Bowen. R, dalam Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.16 Yusuf Wibisono,2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, Penerbit Salemba Empat, hal. 10 50 Suhandari M. Putri, 2007, Schema CSR, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal.25. 49
43
memuat laporan pelaksanaan tangung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 66 ayat (2) huruf c UUPT). Dalam hal ini, UUPT mewajibkan bagi setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Hal ini ditegaskan juga dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam hal ini, tanggung jawab sosial dan lingkungan menipakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran (Pasal 74 ayat (2) UUPT). Selanjutnya, dinyatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 74 ayat (3) UUPT). 51 Tanggungjawab sosial perusahaan terkait dengan nilai dan standar yang dilakukan berkenaan dengan beroperasinya sebuah perusahaan (corporate), maka CSR didefinisikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas. Dalam berbagai wacana Corporate Social Responsibility dapat diartikan secara luas dan universal seperti berikut: 1. World Business Council for Sustainable Development 51
Yusuf Wibisono,Op. Cit. hal.8
44
Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluargnya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. 2. International Finance Corporation Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.52 4. European Commission A concept whereby companies decide voluntarily to contribute to a better society and a cleaner environment. 53 Kalau diterjemahkan secara bebas artinya adalah sebagai berikut: Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan. 5. CSR Asia Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam 52
Arif Budimanta ,2008, Corporate Social Responsibility: Alternatif bagi Pembangunan Indonesia, Jakarta, Penerbit ICSD, Hal. 67 53
http://www.business.curtin.edu.au/files/GSB_Working_Paper_No._62_Corp_Social_Resp_A_defin ition_Thomas___Nowak.pdf, page. 17
45
kepentingan para stakeholders. 6. ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusankeputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan normanorma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (draft 3, 2007). Tanggungjawab sosial merupakan Pasal yang tidak dapat dipisahkan dari good corporate governance
karena pelaksanaan
Corporate Social Responsibility
merupakan Pasal dari salah satu prinsip yang berpengaruh dalam good corporate governance. Sampai dengan sekarang belum ada kata sepakat tentang definisi dari good corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik. Akan tetapi, pada umumnya GCG dipahami sebagai suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan, sedangkan dalam arti luas, GCG digunakan untuk mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders secara proporsional dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan sekaligus memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki
46
dengan segera.54 Dalam keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara No. Kep-23/MPM.PBUMN/2000, tanggal 31 Mei 2000, tentang pengembangan praktik Good Corporate Governance dalam perusahaan persero, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan GCG adalah prinsip perusahaan yang sehat dan diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan.55 Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu. Organization
for
Economic
Cooperation
and
Development
(OECD)
mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan diperusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya. Oleh karena itu, fokus utama di sini terkait dengan proses
54
Emrizon, Joni, 2007, Prinsip-prinsip Good Corporate Governnance, Yogyakarta, Genta Press, hal. 67 55 Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, 2007, Good Corporate Governance, Yogyakarta, Penerbit Total Media, hal. 54
47
pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness. Di Indonesia istilah GCG biasa diartikan sebagai tata kelola perusahaan yang baik. Dalam hal ini, GCG kemudian didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, dengan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa GCG merupakan: 1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya. 2) Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan. 3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.56 Prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG antara lain: 1) Transparency (keterbukaan informasi) Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang
56
hal.231
Hamud M. Balfas, 2006, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta, Penerbit PT Tatanusa,
48
cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholdersnya. 2) Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas
berarti
adanya
kejelasan
fungsi,
struktur,
sistem
dan
pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi. 3) Responsibility (Pertanggungjawaban) Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan
operasionalnya,
perusahaan
juga
mempunyai
peran
untuk
bertanggungjawab selain kepada shareholder juga kepada stakeholders lainnya. 4) Independency (kemandirian) Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. 5) Fairness (kesetaraan dan kewajaran) Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholders sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
49
berlaku.57 Prinsip yang berkaitan erat dengan CSR adalah Responsibilitas yang merupakan aspek pertanggungjawaban dari setiap kegiatan perusahaan untuk melaksanakan prinsip corporate social responsibility karena dalam berusaha, sebuah perusahaan tidak akan lepas dari masyarakat sekitar, ditekankan juga pada signifikasi filantrofik yang diberikan dunia usaha kepada kepentingan pihak-pihak eksternal dimana perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholder perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Diluar itu, lewat prinsip responsibility diharapkan membantu pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dari mekanisme pasar.58 Corporate Social Responsibility sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada single bottom line yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial saja) tetapi harus berpijak pada triple bottom lines, dimana bottom lines selain financial juga sosial dan lingkungan. Aspek ekonomi diungkapkan dengan Profit, asfek sosial diungkapkan dengan people, dan aspek lingkungan diungkapkan dengan Planet. Kondisi keuangan saja tak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Menurut Archie B. Carrol disebut dengan
57 58
Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, Op. Cit. hal.7 Arif Budimanta, Op. Cit. Hal. 25
50
piramida CSR. Kemudian teori ini pada tahun 1997 dipopulerkan oleh John Elkington melalui bukunya yang berjudul “ Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. 1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang. 2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat. 3. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hayati. Beberpa program CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana pengembangan pariwisata (ekoturisme). Triple “P”(Profit, People, Planet) merupakan tiga aspek yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Apabila
perusahaan
dalam
mengimplementasikannya,
hanya
menekankan hanya pada salah satu aspek saja, maka perusahaan akan dihadapkan pada berbagai macam resestensi baik yang bersifat internal maupun eksternal, sehingga perusahaan akan sulit bahkan tidak akan mampu beraktivitas secara berkelanjutan.59 Berdasarkan standar dari Bank Dunia maka CSR meliputi beberapa komponen 59
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama, Op. Cit. Hal. 34
51
utama yakni (1) perlindungan lingkungan (2) jaminan kerja (3) Hak Asasi Manusia (4) interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat (5) standar usaha (6) pasar (7) pengembangan ekonomi dan badan usaha (8) perlindungan kesehatan (9) kepemimpinan dan pendidikan (10) bantuan bencana kemanusiaan. Bagi perusahaan yang berupaya untuk membangun citra positif perusahaannya, maka kesepuluh komponen tersebut harus diupayakan pemenuhannya. Dampak dari pendirian perusahaan oleh pemilik modal yang tergabung dalam sebuah corporation salah satunya adalah muncul kesenjangan antara pihak perusahaan (corporate) dengan masyarakat setempat yang dapat mempengaruhi kestabilan negara, disisi lain pemerintah terkadang tidak bisa berbuat banyak dalam memenuhi semua tuntutan masyarakat yang merasa hak-hak atas daerahnya dilanggar termasuk hak asasi seperti terusiknya tempat tinggal dan berkurangnya mata pencarian anggota masyarakat disekitar perusahaan. Dalam meminimalisir akibat tersebut, peran dari program corporate social responsibility sangat besar. 60 Dengan dipenuhinya kewajiban-kewajiban ini maka perusahaan telah melakukan kegiatannya secara berkelanjutan dan tidak merugikan kepentingan para stakeholdernya. Perusahaan dalam mencari laba diperbolehkan, tetapi jangan pula mengabaikan hak-hak yang terkandung dan dimiliki oleh konsumen, investor dan masyarakat. Lebih dari itu ketika pembangunan perusahaan telah sesuai dengan kawasan peruntukannya, maka pengusaha perlu melaksanakan berbagai kewajiban untuk meminimalisir kerugian yang dialami konsumen, karyawan, investor, maupun 60
Khairandy, Ridwan& Malik Camelia,Op. Cit. Hal. 9
52
kerusakan kualitas lingkungan hidup antara lain : a. Kewajiban terhadap konsumen 1.
Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan produk yang aman.
2.
Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi tentang spesifikasi produk yang dijual perusahaan, antara lain dengan mencantumkan label yang benar.
3.
Konsumen memiliki hak untuk didengarkan, perusahaan dapat membuka kontak pelanggan melalui kotak pos atau nomor telepon.
4.
Konsumen memiliki hak untuk dapat dapat memilih barang yang mereka beli.
5.
Kolusi dalam penetapan harga yang merugikan konsumen tidak dilakukan.
6.
Kampanye iklan tidak dilakukan secara berlebihan.
7.
Kampanye iklan diikuti oleh produksi dan distribusi produk sesuai dengan pesan-pesan iklan.
8.
Kampanye iklan perlu memperhatikan faktor berikut ini: tidak menayangkan materi iklan yang menonjolkan anak-anak sedang merokok, mencantumkan kandungan kalori lemah kolesterol dalam makanan, komponen vitamin, dan unsur-unsur minuman kesehatan, menayangkan dengan gencar produk konsumsi yang tidak layak dan tidak halal untuk dikonsumsi, memberikan iming iming hadiah jika membeli produk dengan gencar, materi iklan dan film yang tidak baik untuk ditonton oleh anak-anak dan bersifat pornografi.
b. Kewajiban terhadap karyawan 1. Melakukan proses seleksi dan penempatan pegawai secara transparan dengan
53
mengajak para calon pegawai dari sekitar komunitas untuk berpartisipasi. 2. Memberikan posisi jabatan dan balas jasa gaji dan pengupahan, serta promosi jabatan tanpa memandang agama, gender, suku bangsa, senioritas dan asal negara. 3. Mematuhi peraturan dan UU ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. c. Kewajiban terhadap investor 1. Meniadakan berbagai potensi kecurangan yang mungkin timbul di perusahaan terhadap investor. 2. Menghindari praktek pembuatan laporan keuangan yang disemir dan tidak sesuai dengan standar pelaporan akuntansi yang berlaku. 3. Tidak melakukan perbuatan ilegal seperti mengeluarkan cek kosong dan proses pencucian uang (money laundry). 4. Tidak melakukan proses “insider trading” dalam menjual surat berharga perusahaan. 5. Mematuhi ketentuan tentang GAAP (Generally Accepted Accounting Practices), ketentuan pasar modal bagi para emiten dan pedoman GCG yang diberlakukan perusahaan. d. Kewajiban terhadap Masyarakat dan Lingkungan Hidup 1. Menjalankan program community social responsibility, khususnya yang berkaitan dengan pelestarian kualitas lingkungan hidup.
54
2. Memperhitungkan dampak lintas sektor dalam proses produksi dengan memanfaatkan bahan baku alam secara berkelanjutan. 3. Menerapkan prinsip SIDEC, Sustainabilitas, Interdependence, Diversitas, Equity, Cohesion dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan alam. 4. Mengembangkan pola hidup “kekitaan” ketimbang “keakuan” (Emil Salim). 5. Menghasilkan proses produksi dengan mengoptimalkan upaya renewable resources, daur ulang non-renewable resources, mengupayakan zero-waste clean technology; dan pemanfaatan tataruang dan proses produksi dengan sedikit limbah dan polusi.61 Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah membentuk departemen khusus tersendiri yang bertugas menjalankan konsep CSR sehingga upaya ini dapat dilakukan dengan fokus dan terarah, dan last but not least adanya prioritas di bidang kesehatan juga merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan, sehingga CSR tidak hanya sebatas konsep untuk mendapatkan kesan baik atau citra positif semata melainkan benar-benar merupakan realisasi dari niat baik perusahaan sebagai parner dari masyarakat 2.2 Sejarah CSR Perkembangan dunia dewasa ini menyebabkan masyarakat hidup bagai dalam
dimensi ruang yang tak bersekat. Berbagai bidang kehidupan dipengaruhi oleh proses yang secara langsung telah membentuk tatanan baru dalam lingkup pergaulan dunia dimana negara maju cenderung mendominasi diantara negara berkembang dan negara 61
Emrizon, Joni, Op. Cit. Hal. 76-78
55
miskin yang lazim dikenal sebagai globalisasi. Globalisasi tidak hanya mencakup bidang eksternal seperti perdagangan tetapi juga merambah bidang-bidang privat negara yang bersangkutan seperti regulasi dan kebijakan yang mana kadang berkesan “abu-abu” karena tidak berkonsep dari masyarakat itu sendiri. Indonesia sebagaimana negara berkembang cenderung meratifikasi kebijakan global yang berembrio dari negara maju seperti berbagai produk peraturan di bidang ekonomi yang terkesan ”dipaksakan” pembuatan dan pemberlakuannya demi memenuhi prasyarat untuk ”boleh” berpartisispasi dalam perkembangan ekonomi dunia. Ekonomi secara signifikan berkembang seiring dengan globalisasi mengarah pada perubahan citra dalam dunia usaha dan industri. Berawal dari Earth Summit di Rio de Jeneirio Brazilia tahun 1992 dan program ekonomi berkelanjutan di Yohannesburg tahun 2002, hubungan perusahaan dengan obyek diluar industri mulai mengalami pergeseran, dimulai dengan Corporate Relation yang berkembang menjadi Community Development dan Corporate Social Responsibility. Kegiatan atau program Corporate Social Responsibility merupakan suatu bentuk solidaritas sosial perusahaan bagi masyarakat, sekaligus bermanfaat dalam membentuk citra perusahaan melalui publikasi yang tepat akan sangat membantu membangun menggalang kerjasama antara masyarakat dengan perusahaan.62 Misi untuk mencapai profitabilitas dan kesinambungan pertumbuhan dapat ditempatkan sejalan dengan tanggung jawab sosial perusahaan sehingga ada 62
Isa Wahyudi, Op. Cit. Hal. 87
56
keselarasan antara kebutuhan masyarakat dan perusahaan untuk tumbuh bersama. Konsep seperti ini lebih dikenal sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility. Konsep CSR memberikan wajah baru bentuk kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dengan alasan bahwasanya kegiatan produksi langsung maupun tidak membawa dampak for better or worse bagi kondisi lingkungan dan sosial ekonomi disekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders (komponen yang terkait dengan internal perusahaan) yakni para pemegang saham melainkan pula stakeholders, yaitu semua pihak diluar pada pemegang saham yang terkait dan berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat disekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan.63 Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto yang menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produsen produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya. Pemberlakuan CSR notabene memperkuat posisi perusahaan di sebuah kawasan, melalui jalinan kerjasama antara stakeholder yang difasilitasi oleh 63
Arif Budimanta , Op. Cit. hal. 27.
57
perusahaan melalui penyusunan berbagai program pengembangan masyarakat sekitar, atau dalam pengertian, kemampuan perusahaan beradaptasi dengan lingkungan, komunitas dan stakeholder yang terkait dengan perusahaan, baik lokal, nasional maupun global, karena pengembangan corporate social responsibility kedepan mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainability development). Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970 an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom
Line
in
21st
Century
Business
(1998),
karya
John
Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental, protection, dan social equity, yang digagas oleh the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR dalam fokus 3P, merupakan singkatan dari profit, planet dan people dimana perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi (profit) belaka melainkan memiliki pula kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).64 Pada saat industri berkembang setelah terjadinya revolusi industri, kebanyakan perusahaan masih memfokuskan tujuan perusahaan hanya sekedar untuk mencari keuntungan belaka. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat kemudian menuntut perusahaan untuk bertanggungjawab sosial. Hal ini dikarenakan selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat di sekitarnya, kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif, 64
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama, Op. Cit. Hal. 35
58
misalnya eksploitasi sumber daya alam dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi perusahaan. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR yang paling primitif, dalam hal ini adalah kedermawanan yang bersifat karitatif. Gema CSR semakin terasa pada tahun 1950-an. Hal ini dikarenakan persoalanpersoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula tidak mendapat perhatian, mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Dengan diterbitkannya buku yang bertajuk "social responsibilities of the businessman" karya Howard R Bowen tahun 1953 yang merupakan litertur awal, maka menjadikan tahun tersebut sebagai tonggak sejarah modern CSR. Di samping itu, pada dekade ini juga diramaikan oleh buku legendaris yang berjudul "silent spring" yang ditulis oleh Rachel Carson, seorang ibu rumah tangga biasa yang mengingatkan kepada masyarakat dunia akan bahaya yang mematikan dari pestisida terhadap lingkungan dan kehidupan. Melalui buku Rachel Carson ingin menyadarkan bahwa tingkah laku perusahaan mesti dicermati sebelum berdampak pada kehancuran.65 Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah "the limits to Growth" yang merupakan hasil pemikiran para cendekiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Dalam hal ini, buku ini ingin mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita pijak mempunyai keterbatasan daya dukung. Oleh karena itu, eksploitasi alam mesti dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Pada dasawarsa ini, kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan philantropy dan community development serta pada masa ini terjadi 65
Ismail Solohin , Op. Cit. Hal. 75
59
perpindahan penekanan dari fasilitas dan dukungan pada sektor-sektor produktif ke arah sektor-sektor sosial. Pada era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep philantropisnya ke arah community development. Intinya kegiatan kedermawanan yang sebelumnya kental dengan kedermawanan ala Robin Hood makin berkembang kearah pemberdayaan masyarakat, misalnya pengembangan kerja sama, memberikan keterampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti plasma, dan sebagainya. Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan seperti integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society. Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak awal tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun berbeda secara gramatikal, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Tuntutan sosial yang muncul sejak abad ke 19 ini, berkembang hingga kini melalui beberapa tahapan seperti berikut: 1. Entrepeneurial Era a) Dunia bisnis pada abad ke 19 ditandai dengan bangkitnya semangat kewirausahaan
60
yang berfilosofi pada mekanisme pasar bebas (dipelopori oleh Rockefeller, Morgan dan Vanderbilt). b) Banyak terjadi pelanggaran hak-hak pekerja dan cara berbisnis yang baik sebagai aplikasi dari filosofi pasar bebas. c) Beberapa negara mulai membuat peraturan (Undang-Undang) untuk membatasi praktek kecurangan dalam bisnis. 2. The Great Depression a) Tahun 1930 banyak pihak menduga kegagalan pasar didorong oleh faktor ketamakan perusahaan dalam mengejar keuntungan/laba. b) Mulai timbul kesadaran akan perlunya suatu Undang-Undang yang mengatur perlindungan terhadap pekerja, konsumen, dan masyarakat. 3. The Era of Social Activism a) Dimulai tahun 1960-1970 dimana kalangan bisnis dicurigai berkolaborasi dengan pemerintah dengan memanfaatkan berbagai kesempatan bisnis untuk merugikan masyarakat. Sebagai contoh adalah produksi rokok. b) Masyarakat menuntut adanya UU tentang pembatasan merokok dan UU tentang perlindungan lingkungan. 4. Contemporary Social Consciousness a) Sejak tahun 1990 mulai berkembang kesadaran dari berbagai pihak bahwa dunia bisnis perlu memberikan perhatian pada aspek sosial, yang didorong oleh perkembangan globalisasi dan kerusakan lingkungan.
61
b) Mulai diperkenalkannya konsep CSR dan berbagai peraturan tentang lingkungan hidup kepada khalayak. Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi (Earth Summit). KTT yang diadakan di Rio de Jenairo Brazil ini menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan. Terobosan besar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui konsep "3P" (Profit, people, and planet) yang dituangkan dalam bukunya "Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business" yang dirilis pada tahun 1997. la berpendapat bahwa jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni bukan cuma profit yang diburu. Namun, juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people), dan ikut aktif dalam menjaga lingkungan (planet). Selanjutnya, gaung CSR kian bergema setelah diselenggarakannya World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan. Sejak saat inilah, definisi CSR mulai berkembang.66 2.3 Prinsip-Prinsip CSR Salah seorang pakar tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yaitu Alyson Warhurst dari University Of Bath Inggris, pada tahun 1998 menjelaskan ada 16 (enam belas) prinsip tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Adapun prinsip-prinsip itu
66
Ismail Solihin,2009, Corporate Social Responsibility: From Charity to Sustainability, Jakarta, Salemba Empat, Hal. 124
62
adalah sebagai berikut:67 1. Prioritas korporat. Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi korporat dan penentu utama pembangunan berkelanjutan, dengan begitu korporat bisa membuat kebijakan, program, dan praktek dalam menjalankan operasi bisnisnya dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial. 2. Manajemen terpadu. Mengintegrasikan kebijakan, program dan praktek ke dalam setiap kegiatan bisnis sebagai satu unsur manajemen dalam semua fungsi manajemen. 3. Proses perbaikan. Secara bersinambungan memperbaiki kebijakan, program dan kinerja sosial korporat, berdasar temuan riset mutakhir dan memahami kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut secara internasional. 4. Pendidikan karyawan. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta memotivasi karyawan. 5. Pengkajian. Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi pabrik. 6. Produk dan jasa. Mengembangkan produk dan jasa yang tak berdampak negatif secara sosial. 7. Informasi publik. Memberi informasi dan (bila diperlukan) mendidik pelanggan, distributor, dan publik tentang penggunaan yang aman,
67
Yusuf Wibisono, Op. Cit., hlm. 39-41.
63
transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, dan begitu pula dengan jasa. 8. Fasilitas dan operasi. Mengembangkan, merancang dan mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial. 9. Penelitian. Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku, produk, proses, emisi dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif. 10. Prinsip pencegahan. Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan produk atau jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir, untuk mencegah dampak sosial yang bersifat negatif. 11. Kontraktor dan pemasok. Mendorong penggunaan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial korporat yaang dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok, disamping itu bila diperlukan mensyaratkan perbaikan dalam praktik bisnis yang dilakukan kontraktor dan pemasok. 12. Siaga menghadapi darurat. Menyusun dan merumuskan rencana mennghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya bekerja sama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas lokal. Sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul. 13. Transfer best practice. Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri dan sektor publik.
64
14. Memberi sumbangan. Sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial. 15. Keterbukaan. Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja dan publik, mengantisipasi dan memberi respons terhadap potencial hazard, dan dampak operasi, produk, limbah atau jasa. 16. Pencapaian dan pelaporan. Mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan audit sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi tersebut pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja dan publik. Pada sisi lain, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada saat pertemuan para menteri anggota OECD di Prancis tahun 2000 juga menyepakati pedoman bagi perusahaan multinasional. Pedoman tersebut berisikan kebijakan umum yang meliputi: 1. Memberi kontribusi untuk kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan berdasarkan
pandangan
untuk
mencapai
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable development). 2. Menghormati hak-hak asasi manusia yang dipengaruhi oleh kegiatan yang dijalankan perusahaan tersebut, sejalan dengan kewajiban dan komitmen pemerintah di negara tempat perusahaan beroperasi.
65
3. Mendorong pembangunan kapasitas lokal melalui kerja sama yang erat dengan
komunitas
lokal.
Termasuk
kepentingan
bisnis.
Selain
mengembangkan kegiatan perusahaan di pasar dalam dan luar negeri sejalan dengan kebutuhan praktek perdagangan. 4. Mendorong pembentukan human capital, khususnya melalui penciptaan kesempatan kerja dan memfasilitasi pelatihan bagi karyawan. 5. Menahan diri untuk tidak mencari atau pembebasan di luar yang dibenarkan secara hukum yang terkait dengan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja, perburuhan, perpajakan, insentif finansial dan isu-isu lainnya. 6. Mendorong
dan
memegang
teguh
prinsip-prinsip
Good
Corporate
Governance (GCG) serta mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek tata kelola perusahaan yang baik. 7. Mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek sistem manajemen yang mengatur diri sendiri (self-regulation) secara efektif guna menumbuh kembangkan relasi saling percaya diantara perüsahaan dan masyarakat setempat di mana perusahaan beroperasi. 8. Mendorong kesadaran pekerja yang sejalan dengan kebijakan perusahaan melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan-kebijakan itu pada pekerja termasuk melalui program-program pelatihan. 9. Menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tebang pilih (discrimination) dan indisipliner.
66
10. Mengembangkan mitra bisnis, termasuk para pemasok dan sub-kontraktor, untuk menerapkan aturan perusahaan yang sejalan dengan pedoman tersebut. 11. Bersikap abstain terhadap semua keterlibatan yang tak sepatutnya dalam kegiatan-kegiatan politik lokal. Pada era global ini, prinsip-prinsip tersebut seharusnya juga menjadi prinsipprinsip yang harus dipatuhi oleh semua perusahaan (perseroan terbatas) dalam mengimplentasikan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). 68 2.4 CSR Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007) Di beberapa Negara kegiatan CSR sudah lazim dilakukan oleh suatu perusahaan, hal ini bukan karena diatur oleh pemerintah, melainkan untuk menjaga hubungan baik dengan stakeholders. Berbeda dengan di Indonesia dalam sistem perekonomiannya menganut ekonomi berasaskan kekeluargaan dan berdasarkan demokrasi ekonomi, serta pelaksanaan pengaturan CSR sebenarnya tidak terlepas dari makna Pancasila itu sendiri yang merupakan landasan filosofi. Dalam konstitusi , prinsip CSR ini berkaitan dengan maksud dan tujuan bangsa dan bernegara sebagaimana yang termaktub dalam preambul UUD 1945 yang menegaskan bahwa ”...........Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,......”. Selain dalam pembukaan UUD 1945 juga terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan 68
Ismail Solihin, Op. Cit. Hal. 75
67
(4) yang berbunyi : (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Oleh karena itu sifat CSR yang ada di Indonesia yang pada mulanya bersifat sukarela menjadi wajib bagi perusahaan-perusahaan untuk menjalankan program CSR. Dan tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak melaksanakan prinsip CSR dalam aktivitas usahanya. Sehinga agar kewajiban ini bersifat imperatif maka harus disertai dengan adanya regulasi sehingga pada tanggal 20 Juli 2007 DPR mengetuk palu tanda disetujuinya RUUPT menjadi UUPT maka muncullah UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang memasukkan klausul CSR dalam Pasal 74 UU PT, meskipun sebelumnya telah dimasukkan dalam Undang-Undang Penanaman Modal.69 Ketentuan mengenai CSR dalam UUPT di atur pada pasal 74 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2). Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 69
Habib Adjie, Op. Cit. hal. 97.
68
(3). Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.70 Dengan dicantumkannya CSR dalam UU PT yang baru ini, ada beberapa pendapat yang tidak setuju tentang pengaturan CSR dalam UUPT tersebut, dengan berbagai alasan, antara lain: 1. CSR adalah kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary) bukan bersifat kewajiban (mandatory). Jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan member beban baru kepada dunia usaha, karena menggerus keuangan suatu perusahaan. 2. CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah 3. diterapkan dalam perundang-undangan formal, seperti ketertiban usaha, pajam atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. 4. CSR di Negara Negara Eropa yang secara institusional jauh lebih matang dari Indonesia, proses regulasi yang menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. Bahkan European Union sebagai kumpulan Negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR telah menyatakan sikapnya bahwa CSR bukan sesuatu yang akan diatur. 5. Lingkup dan pengertian CSR yang dimaksud dalam Pasal 74 UUPT berbeda dengan pengertian CSR dalam pustaka maupun difinisi resmi, baik yang dikeluarkan oleh Word Bank maupun International Organization for 70
15
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Penerbit Nada Umbara, hal.
69
Standardization (ISO) 26000 Guidance on Social Responsibility . 6. Pasal 74 telah mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak.71 Dari berbagai argumentasi yang menolak CSR sebagai suatu kewajiban hanya melihat CSR pada tataran kewajibannya saja. Para pelaku usaha tidak mengindahkan dasar filosofisnya dan dampak dari pembangunan yang berlangsung selama ini. Jika dilihat dari law making process-nya, konsep mengenai CSR dalam UUPT yang baru disahkan ini tidak terlepas dari aksi dan tuntutan masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada saat sekarang dapat dirasakan semakin deras dinamika sosial masyarakat, serta semakin turun peran pemerintah dan semakin vitalnya peran swasta dalam pembangunan. Fakta menunjukkan semakin berkurangnya tanggung jawab dari perusahaan baik nasional maupun multinasional yang beroperasi di Indonesia dalam mengelola lingkungan. Fakta yang lain menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasionalnya tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat disekitarnya, seperti kasus buyat atau yang paling terbaru adalah lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, telah membuka mata para pebisnis dan pejabat pemerintah tentang pentingnya CSR. Selama seminar nasional tentang CSR yang dilaksanakan oleh IBL tahun 2006 para peserta memastikan jika CSR akan meningkat, tingkat kepentingan pada bisnis dalam kurun 71
Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.185
70
waktu 5 tahun berikutnya, juga terdapat indikasi kuat bahwa investasi pada CSR dengan kegiatan yang berkaitan telah meningkat pada tahun 2006. Furthermore, the incidents such as the Buyat case (Newmont Minahasa), the Papua case (Freeport) or most recently the Sidoarjo “hot-mud” case (Lapindo Brantas) opened the eyes of business leaders and the general public about the importance of CSR. During the course of a national conference on CSR hosted by IBL in 2006, the participants confirmed that CSR would become increasingly important to business over the next five years. There is also strong indication that investment into CSR related activities has increased in 2006. Theare a of business ethics and corporate governance is likely to see an increase72 Atas dasar argumentasi tersebut, CSR yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) diubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Untuk itu, CSR harus dimaknai sebagai instrument untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20042009, CSR diatur dalam sistem perundang-undangan di bidang hukum perusahaan. Hal ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan tujuan pembangunan perekonomian yang berlandaskan pada prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Atas pertimbangan tersebut, maka UUPT merumuskan CSR sebagai bagian dari kewajiban perusahaan dalam melakukan aktivitas kegiatannya di Indonesia. Kemudian dalam penjelasan UUPT ditegaskan bahwa ketentuan mengenai CSR ini
72
http://www.aseanfoundation.org/seminar/gcsg/papers/Yanti%20Koestoer%20%20Paper%2 02007.pdf, page. 3
71
dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perusahaan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT 2007, menegaskan bahwa perseroan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab social dan lingkungan. Substansi pasal ini menegaskan dan kewajiban hanya kepada perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan dalam bidang usaha sumber daya alam saja berkewajiban untuk mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan.73 Substansi pasal 74 ayat (1) UU No.40 Tahun 2007 sangat sempit, yaitu hanya perseroan yang bergerak dalam bidang usaha (mengolah) sumber daya alam yang berkewajiban untuk mempunyai tanggungjawab sosial dan lingkungan. Seharusnya kewajiban tanggungjawab sosial dan lingkungan, bukan hanya untuk perseroan dalam bidang usaha sumber daya alam saja, tetapi juga untuk semua perseroan, dan sempit dalam pengertian tanggungjawab sosial yang dikaitkan dengan lingkungan saja. Tanggungjawab sosial mempunyai makna atau pengertian yang luas tidak hanya terhadap lingkungan saja, tetapi juga berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat di sekitarnya, apakah kehadiran sebuah perseroan di suatu tempat dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat, misalnya dapat menaikkan taraf hidup masyarakat di sekitarnya atau malah menghancurkannya. Dalam ayat (2) UUPT, bahwa tanggungjawab sosial merupakan kewajiban 73
Habib Adjie, Op. Cit. hal. 72.
72
perseroan yang wajib dianggarkan dalam anggaran (keuangan) perseroan. Dengan kewajiban seperti ini, tanggungjawab sosial bagi setiap perusahaan wajib menghitung dengan cermat setiap pengeluaran perseroan sehingga keuntungan yang diperoleh merupakan keuntungan bersih (netto) yang tidak perlu dikurangi kewajiban lainnya. Ketentuan dalam Pasal 74 ayat (2) UUPT ini perlu penyebaran lebih lanjut, terutama berkaitan dengan makna “kewajiban perseroan yang dianggarkan” dan “diperhitungkan sebagai biaya Perseroan”. Berdasarkan ketentuan ini, setiap Perseroan harus merancang kegiatan CSR sejak awal suatu perusahaan beroperasi. Secara teoritis aturan ini sudah pasti memberatkan perusahaan, karena sejak awal perusahaan sudah mengeluarkan biaya untuk kegiatan CSR, padahal belum diketahui apakah perusahaan itu akan “profit” atau “lost out” dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Oleh karena itu harus jelas makna kewajiban perseroan yang dianggarkan tersebut. Apakah dianggarkan sejak perusahaan beroperasi atau setelah beberapa waktu perusahaan itu beroperasi. Ketentuan mengenai dana yang dianggarkan untuk kegiatan CSR ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 63 UUPT yang menegaskan: a. Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang akan datang. b. Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran tahunan Perseroan untuk tahun buku yang akan datang. CSR merupakan bagian dari rencana tahunan yang dianggarkan dari biaya perusahaan, maka dengan sendirinya CSR tersebut akan menjadi bagian dari laporan
73
tahunan suatu perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) poin c UUPT. Berkaitan dengan hal tersebut maka sudah barang tentu kegiatan CSR yang dianggarkan mempunyai implikasi tertentu, baik dari segi pendapatan Negara maupun kelembagaan. Implikasi tersebut antara lain berkaitan dengan: a. Biaya CSR merupakan bagian dari pengeluaran suatu perusahaan dan tidak merupakan bagian dari persentase keuntungan. Oleh karena itu pemerintah harus memberikan kompensasi tertentu kepada perusahaan, kompensasi ini dapat diberikan dalam bentuk insentif dalam bidang perpajakan, apakah dalam bentuk pajak penghasilan, atau pajak pertambahan nilai, atau yang lain. b. Apabila pemerintah tidak memberikan insentif dalam bentuk tertentu, maka dengan penerapan CSR ini yang timbul adalah penambahan biaya produksi (cost product). Tingginya cost product, maka yang menanggung adalah konsumen, sehingga konsumen dalam membeli produk barang tertentu yang di bayar bukanlah biaya riil, tetapi berdasarkan harga cost produc. Maka biaya yang dikeluarkan produsen untuk CSR justru dibebani kepada konsumen. Kalau hal ini terjadi maka hilanglah makna esensial CSR itu, sehingga CSR hanyalah sebagai slogan bagi perusahaan untuk strategi bisnisnya. c. CSR sebagai kegiatan yang dianggarkan dan bagian dari biaya perusahaan. Persoalan yang timbul adalah bagaimana jika perusahaan yang bersangkutan mengalami kerugian? Apakah perusahaan tersebut tetap melaksanakan kegiatan CSR-nya pada tahun yang bersangkutan atau menunda sampai perusahaan tersebut memperoleh keuntungan. Kemudian bagaimana terhadap kewajiban pajak yang
74
harus dibayar oleh perusahaan tersebut?, apakah perusahaan tersebut tetap mendapat insentif? Kalau regulasinya tidak jelas insentif yang diberikan justru akan jadi alasan bagi perusahaan nakal untuk menghindari dari kewajiban membayar pajak. d. Apabila CSR telah menjadi bagian dari rencana kerja dan laporan tahunan suatu perusahaan, maka harus ada lembaga yang pasti yang berhak melakukan pengawasan dan atau sertifikasi
74
2.5 Pengertian Konsep Tri Hita Karana. Manusia dipahami sebagai mahluk individual, mahluk sosial, mahluk religius dan mahluk simbolik. Dalam keberadaannya sebagai mahluk yang serba dimensional itu, manusia menunjukkan hubungan tergantung secara mikrokosmos dan makrokosmos. Manusia menempatkan dirinya sesuai dengan system nilai yang ada dan berlaku dalam hubungannya dengan Tuhan, hubungannya dengan sesamanya, dan hubungannya dengan lingkungan alamnya. Ketergantungan yang melekat di dalam diri manusia tidak bersifat statis, karena di dalam dirinya pula melekat sifat-sifat dinamis yang diekpresikan ke dalam perilaku berkarya (konsep rwa-bhineda). Keterpaduan dua sisi inilah melahirkan adanya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan yang tampak sebagai keteraturan gerak menuju kehidupan yang sejahtera. Manusia sebagai mahluk relegius mengakui adanya yang esa, yang gaib, yang maha sempurna yang mengatur kehidupan alam 74
Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit Harvarindo,hal. 89
75
semesta (bhuwana agung). Dalam dimensi ini manusia menyadari akan keterbatasan waktu dan ruang gerak, sehingga berusaha menempatkan dirinya dalam hubungannya dengan yang maha sempurna. Untuk kelestarian hubungannya dengan yang maha sempurna itu, maka manusia berusaha menciptakan berbagai perangkat spiritual keagamaan berdasarkan kepercayaan dan ketulusannya (sradha dan bhakti) kepada kekuatan alam semesta. Bukan saja keterikatannya dengan dunia spiritual yang abstrak (Niskala), tetapi manusia berupaya bagaimana hidup dalam keteraturan pada kehidupan nyata (skala). Manusia hidup bermasyarakat, bersosial dengan yang lainnya, dalam upaya menemukan dirinya dan mengisi kebutuhan dirinya secara sendiri dan bersama-sama. Kebersamaan ini tidak saja dalam hubungan pribadi ataupun dalam kontak sosial (mikrokosmos) juga dalam ikatannya dengan kehidupan makrokosmos. Dalam upaya untuk memenuhi kepentingan hidupnya manusia beradaptasi dan mengolah lingkungannya baik fisik maupun non fisik. Dalam dimensi ini manusia berusaha menciptakan keseimbangan dan keharmonisan, karena alam lingkungannya disadari memberi makna bagi kehidupannya. Dalam upaya untuk mencapai kesejahteraan hidup (makrokosmos/skala dan niskala), maka kondisi yang hendaknya diciptakan oleh setiap individu terciptanya keseimbangan yang harmonis, serasi dan selaras antara kehidupan niskala (transenden yang abstrak) dengan kehidupan skala (imanen yang nyata). Keberpihakan kepada satu dari kedua sisi tersebut (skala dan niskala) akan menunjukkan ketidakseimbangan sehingga akan melahirkan pribadi yang tidak
76
harmonis. Sebaliknya melalui sarana yadnya (upacara/upakara) kedua sisi tersebut akan dipadukan secara seimbang sehingga dapat melahirkan pribadi yang laras, dan di dalam kondisi itu tujuan hidup akan dapat tercapai. Pandangan seperti itu bagi manusia atau masyarakat Bali (Hindu) dikongkritisisr sebagai suatu Bhawa mahurip (alam yang hidup) yang digerakkan oleh kekuatan rokh (jiwa), sehingga hubungan yang diciptakan tidak bersifat sepihak, tetapi ketergantungan satu sama lain dipertahankan secara utuh. Sifat hubungan seperti itu terkonsepsualisasikan dalam “Tri Hita Karana”. Konsep yang telah melembaga demikian kuat di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali, selalu menghendaki tetap terjaganya keseimbangan dan keharmonisan antara tiga faktor yakni buana alit (diri sendiri), buana agung (alam semesta), Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Konsep pemikiran tersebut telah menjadi nilai budaya, sehingga keyakinan tersebut telah demikian membudaya dengan kuat ke dalam tatanan kehidupan masyarakat adat di Bali.75 Secara etimologi Tri Hita Karana mengandung pengertian tri berarti tiga, hita berarti kemakmuran dan karana berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti tiga penyebab atau tiga unsur yang dapat melahirkan kemakmuran atau kesejahteraan yaitu Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan, yang mana ketiga unsur itu mempunyai makna dan fungsi saling terkait yang melahirkan substansi
75
Legawa I. Made, dkk, 2002, Pengkajian Tri Hita Karana Sebagai Dasar Pembangunan Daerah Bali, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Bali Dengan Universutas Mahasaraswati Denpasar, hal. 6
77
masyarakat Bali (Hindu) yang hidup dalam pola interaksi simbolik. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Parhyangan yang berasal dari kata Hyang yaitu Tuhan. Parhyangan atau kahyangan berarti Ketuhanan atau Hyang Widhi. Sang Hyang Widhi adalah suatu kekuatan Maha Pencipta(Prima Causa), sumber dari pada segala yang ada di alam semesta ini (Phurusah Parikirtitah). Beliaulah kekuatan yang sangat esa, yang satu yang tiada duanya, sebagai awal atau asal dan akhir dari kehidupan, karena itu oleh masyarakat Bali (Hindu) Parhyangan diwujudkan dalam berbagai Kahyangan (bangunan suci) untuk menyembah Tuhan. Bangunan suci (kahyangan) dipersepsikan sebagai tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Bhatarabhatari ataupun Hyang leluhur untuk memberikan kehidupan dan kesejahteraan serta sebagai obyektivasi kolektif bagi masyarakat Bali (Hindu). 2. Pawongan, berasal dari kata wong yang berarti orang, sehingga aspek pawongan dimaksudkan hubungan manusia dengan manusia di dalam kehidupan bersama, dimana organisasi atau kelembagaan baik kedinasan maupun adat, organisasi komunitas dan keluarga sebagai wadah interaksinya. Dalam hubungan ini dipahami sebagai tindakan yang berdasarkan atas hubungan sosial yang diikat oleh nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Nilai sosial kemasyarakatan dalam masyarakat Bali (Hindu) terkonsepsikan dengan ajaran Trikaya Parisuda yaitu bertindak (kayika), berkata (wacika) dan berfikir (manacika) yang baik dari setiap individu dalam ikatan bersama.
78
Sebagai ilustrasi dari terapan konsep Tri Hita Karana dapat dipahami dari perilaku masyarakat yang terorganisir ke dalam sistem Desa Adat/Desa Pekraman, dan Subak. Kedua organisasi sosial ini sangat kental dengan nilai-nilai adat, budaya dan agama Hindu. Keterikatan anggota subak dalam kegiatan di sawah ataupun dalam hubungannya dengan pelaksanaan upacara ritual di subak tampak sangat kental. Kehidupan seperti itu telah mewarnai kehidupan sehari-hari dari krama subak di Bali. Mekanisme interaksi antara anggota subak telah diatur dalam ikatan organisasi yang tampaknya sangat sederhana, tetapi mempunyai nilai sangat fungsional. Pola prilaku anggota masyarakat subak atau desa pakraman telah diatur, disepakati, dan dilaksanakan bersama dengan semangat selunglung sebayantaka (sehidup semati), saling asah, asuh, lan asih. Setiap tindakan krama subak atau banjar tentu berkonskuensi adanya ganjaran ataupun sanksi yang telah diatur dan dituangkan dalam awig-awig (aturan pokok), dan pararem (aturan pelaksanaan) subak atau banjar. Aspek pawongan mempunyai makna lebih luas dari suatu hubungan yang komunal, karena dalam organisasi subak atau banjar adat tata hubungan diatur pula dalam struktur organisasi yang jelas. Organisasi subak mempunyai struktur yang cukup sederhana tetapi fungsional untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan aktivitas sosial relegius. Fungsionalnya suatu organisasi dapat dilihat dari terintegrasinya dengan baik berbagai unsure, fungsi dan peranan yang ada dalam struktur organisasi tersebut.
79
3. Palemahan yang berasal dari kata lemah yang berarti tanah. Palemahan berarti bhuwana atau alam. Dalam hal ini palemahan dimaksudkan suatu wilayah pemuliman atau lingkungan tempat tinggal. Masyarakat Desa Pekraman dan subak memahami atas dasar sradha yaitu sikap percaya (kadangkala pemahaman tanpa pengetahuan keilmuan ataupun kealaman mereka percaya dan melaksanakan, karena didasari oleh sifat gugontuwon yaitu percaya karena diakui memang sudah begitu adanya), hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Krama desa sebagai kelompok manusiayang bermasyarakat memerlukan bhuwana atau palemahan sebagai alam tempatnya berpijak, karena disadari manusia tidak bias hidup tanpa alam dan dari alam.76 Dalam kaitan hal tersebut diatas maka konsep waktu diinsyafi dan memacu manusia untuk berbuat bagaimana hidup dan menghidupi alam ini. Waktu dikonsepsikan ke dalam tiga dimensi yaitu masa lampau (atita), masa sekarang (nagata) dan masa akan dating (wartamana), yang berarti adanya proses keseimbangan dari masa lalu ke masa akan datang di dasarkan atas keadaan masa sekarang. Dari tatanan nilai inimasyarakat desa adat atau pakraman dan juga subak dihadapkan kepada konsekuensi pemikiran dalam perspektif ke depan. Dikaitkan dengan upaya pelestarian tampak masyarakat desa adat atau pekraman dan subak mengusahakan menciptakan kesejahteraan hidup bukan hanya untuk sesaat, tetapi kesejahteraan dapat diwariskan kepada pewarisnya.
76
Raka, I Gusti Putu, dkk, 1992, Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Denpasar MPLA Dati I Bali, hal. 89
80
Manusia
wajib
melakukan
bhuta
hita
atau
mensejahterakan
alam
lingkungannya. Dalam Lontar Purana Bali diungkapkan untuk menjaga kelestarian alam lingkungan, hendaknya berpegang pada Sad Kerti yaitu Samudra Kerti, Wana Kerti, dan Danu Kerti yang artinya kita wajib membangun kelestarian samudra, hutan dan danau atau sumber-sumber air. Upaya umtuk memelihara keberlangsungan alam lingkungan dilakukan melalui perbuatan nyata di samping pelaksanaan yadnya baik pelaksanaan Rerahinan Tumpek (Tumpek Uduh, atau pengatag) maupun kegiatan upacara yadnya lainnya seperti mecaru dalam Bhuta Yadnya yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dirinya melaksanakan upaya pelestarian kesejahteraan alam.
81
BAB III PENGEMBANGAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN DALAM KONSEP TRI HITA KARANA DI BALI.
3.1 Konsep Tanggung Jawab Sosial Dalam Relevansinya Dengan Konsep Tri Hita Karana. 3.1.1 Konsep Tri Hita Karana. Tatanan
nilai
budaya
yang
mendasari
kehidupan
masyarakat
Bali
terkonseptualisasikan ke dalam Tri Hita Karana bukan lagi menjadi milik seseorang sebagai penggagas atau pemilik ide, tetapi telah menjadi suatu bagian dari kehidupan masyarakat Bali, sehingga telah menjadi identitas kolektif bagi masyarakat Bali. Pengakuan masyarakat Bali (Hindu) sebagai pendukung dan pengagum Tri Hita Karana telah memberi acuan dalam setiap tindakan masyarakat Bali, sehingga oleh mereka dirasakan hidup dalam tatanan Tri Hita Karana telah memberi harapan lebih dinamis untuk mencapai tujuan hidupnya. Tri Hita Karana sebagai nilai budaya yang berakar pada ajaran suci Agama Hindu, mempunyai kesamaan secara kualitas dengan pandangan Kluckholn bahwa semua sistem nilai budaya mengandung unsur yang berkaitan dengan masalah: a. Mengenai hakekat dari hidup manusia. b. Mengenai hakekat dari karya manusia c. Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu
82
d. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya e. Hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.77 Konsepsi Tri Hita Karana bukan saja dimaknakan untuk memahami persoalan tata ruang, tetapi lebih dari itu menyangkut prilaku masyarakat Bali yang dapat dikaji dari sifat hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungan alamnya. Intensitas hubungan dari tiga unsur tersebut dapat melahirkan keadaan yang bercirikan keseimbangan, keberlanjutan, keteladanan, dan toleransi, sehingga dapat memberi manfaat dalam usaha untuk menjaga keutuhan dan kelestarian Bali di masa depan. a. Nilai Keseimbangan. Upaya untuk menjaga adanya keseimbangan lahir bathin ataupun keseimbangan hidup individual dan sosial, merupakan kewajiban yang patut disikapi dan disiasati dengan bijaksana, sehingga dengan bijaksana dapat memberikan porsi yang seimbang, yang berarti sikap untuk menjadikan diri lebih dominan atau berkuasa dapat dijauhkan. Dalam hal ini aspek pengetahuan, dan afektif memberi kontribusi yang sangat efektif. Pemikiran semacam itu dalam kehidupan serba berbeda sangat penting, sehingga dengan demikian tidak akan terjadi benturan-benturan yang mengarah untuk meniadakan pihak-pihak tertentu. Makna keseimbangan dalam konteks budaya Bali dapat dipahami dari beberapa konsep, yaitu: 1. Konsep Skala-Niskala
77
Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit PT Gramedia, hal. 67
83
Dalam konsep dualisme melahirkan pemikiran masyarakat Bali memahami bahwa kehidupan manusia dihadapkan kepada kekuatan skala-niskala. Kesadaran skala yang bersifat nyata (immanent-horizontal) dan kesadaran niskala yang abstrak dan ideal (transeden-vertikal) menjadikan dirinya selalu dalam keadaan terbagi ataupun memilih. Untuk menjaga keseimbangan tersebut dilakukan dengan pelaksanaan yadnya (korban suci). Melalui yadnya keseimbangan niskala dan skala dapat dipertahankan secara serasi dan selaras. 2. Konsep Tri Kona Keseimbangan dapat pula kepada konsep Tri Kona yaitu pemahaman mengenai ajaran “lahir”, “hidup”, dan “mati”. Putaran keabadian ini tetap mengikuti perjalanan mahluk di dunia ini. Konsep Tri Kona inipun oleh masyarakat Bali (Hindu) dilaksanakan dengan pelaksanaan yadnya. 3. Ajaran Tri Kaya Parisudha Ajaran Tri Kaya Parisudha mengajarkan kepada manusia dapat selalu menserasikan apa yang difikirkan, dapat diucapkan dan dilaksanakan dengan seimbang akan memberikan bobot terhadap kualitas subyeknya. 4. Ajaran Kiwa-Tengen. Sesuai dengan paham dualism, maka konsep ajaran kiwe-tengen memberi makna keseimbangan yang harus menjadi pertimbangan di dalam melaksanakan sesuatu kegiatan. Kiwa (arah kiri) dan tengen (arah kanan), dapat dimaknai sebagai kekuatan yang memiliki sifat berbeda (lanang-istri/laki perempuan, hitam putih) yang harus dihayati, dilaksanakan dengan keseimbangan, dan keserasian. Untuk
84
keseimbangan inipun dilakukan melalui yadnya yaitu pengorbanan yang tulus iklas, tanpa memihak kepada salah satu bagian tersebut. b. Nilai Keberlanjutan. Proses
pembangunan
mengandung
makna
adanya
pewarisan
hasil
pembangunan kepada generasi penerusnya. Untuk itu diperlukan adanya usaha-usaha nyata untuk proses pewarisan tersebut berlangsung pada setiap generasi. Sebab pada hakekatnya pembangunan bukan untuk dinikmati oleh generasi pelaksana dari pembangunan ini, tetapi bagaimana proses pembangunan dan hasil-hasilnya dapat dilaksanakan dan dinikmati oleh generasi penerusnya. Demikian pula bagaimana proses penyadaran tentang pembangunan berkelanjutan dapat diwariskan kepada generasi penerus. Pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai prilaku positif untuk mempertahankan dan meningkatkan kelestarian hidup dengan upaya peningkatan kesadaran mengenai hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan. Sehingga dengan upaya itu diharapkan kesejahteraan akan berlangsung kekal abadi. Makna keberlanjutan sebagaimana terkonsep dari ajaran Tri Hita Karana, dapat dipahami sebagai berikut: 1. Pendalaman terhadap tatwa (ajaran/filsafat). Upaya pewarisan nilai akan sangat terkait dengan usaha yang dilakukan oleh pendukung nilai tersebut untuk memahami, menginternalisasi, dan selanjutnya mengaktualisasikan dalam kehidupannya. Usaha pemahaman itu akan lebih intensif jika didasarkan kepada sumber-sumber yang jelas dan diajungkan bagi pendukung sistem nilai itu.
85
Dalam konteks ini tentunya berbagai nilai budaya yang menjadi sumber aspirasi dan pedoman tingkah laku masyarakat Bali sebagai pendukung nilai budaya Bali, akan dapat bertahan atau terwariskan secara berkelanjutan apabila diperoleh berdasarkan atas tatwa dari ajaran Wedha yang diagungkan oleh masyarakat Bali (Hindu). Tatwa diartikan sebagai filsafat atau makna (kesuksman). 78 2. Sawinih. Sawinih dimaknai sebagai iuran wajib dalam bentuk natura (hasil bumi) yang dilakukan oleh anggota subak atau petani untuk jaminan sosial sederhana kepada pemangku atau pengurus pura.79 Dalam perkembangannya sawinih tidak semata untuk prajuru pura, tetapi diberikan kepada anak-anak anggota subak atau petani(terutama dikaitkan dengan anak atau orang tua asuh). Perilaku yajnya berupa sawinih dilakukan sebagai pengungkapan tasa syukur atas karunia Tuhan . Sawinih berasal dari kata winih, binih, benih berarti bibit. Dalam konteks modern dimaknai sebagai generasi, pelanjutan atau pewarisan, jarena dikaitkan dengan usaha untuk menjamin kelangsungan dari kehidupan pewaris subak atau petani. 3. Tri Semaya Kala Pengkajian nilai budaya Bali memiliki perspektif ke depan, karena perilaku masyarakat Bali selalu dikaitkan dengan hukum karma, yang berkonsekuensi akan adanya punarbawa, kehidupan setelah mengalami kematian. Kesadaran dan
78
Purwita, Ida Bagus Putu, 1995, Butir-Butir Mutiara Pembinaan Desa Adat Di Bali, Denpasar, MPLA Dati I Bali, hal. 35 79 Kaler, I. Gusti Ketut, 1994, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali, Denpasar, Penerbit Kayu Mas Agung, hal. 77
86
keyakinan itu melahirkan kesadaran masyarakat Bali (Hindu)
memiliki dimensi
waktu yang dikonsepsikan ke dalam kehidupan masa lalu (attita), menuju kehidupan masa akan datang (anagata), berdasarkan kepada kehidupan di masa kini (wartamana). c. Nilai Toleransi Ajaran yang maha mulia tentang toleransi menurut Hindu yaitu “tat wam asi”yang dimaknai dengan Äku adalah engkau dan engkau adalah aku”memberikan penyadaran betapa besarnya keeratan antara manusia dalam memaknai hidup ini. Nilai toleransi dapat dipahami dari konsep-konsep yaitu: 1. Desa Kala Patra, Desa Mawacara ataupun adat mawacara. Desa Kala Patra, Desa Mawacara dan adat mawacara mengisyaratkan pengakuan adanya keragaman yang ada dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat Bali. Desa, kala dan adat bersifat amat dinamis, fleksibel, dan otonomi sesuai ruang dan waktu, sehingga kepadanya mendapat keleluasaan dalam bertindak dan mengambil keputusan. 80 Dalam kehidupan masyarakat yang amat kompleks dan frekuensi untuk melakukan interaksi relative tinggi memerlukan sikap untuk saling memahami, menghargai, dan menghormati keunikan masing-nasing. Dalam hal ini amat diperlukannya toleransi. 2. Salunglung Sabayan Taka, dan Asah, Asuh lan Asih. Salunglung Sabayan Taka, dan Asah, Asuh lan Asih , merupakan nilai budaya 80
Mirsha, I Gusti Ngurah, 1994,Wrhaspati Tatwa, Penerbit Upada Sastra, hal. 55
87
Bali yang hidup dan memberi kehidupan pada masyarakat Bali untuk penuh kohesi yang bersifat guyub. Bentuk nyata dari nilai ini tampak pada masyarakat Bali dalam melaksanakan yajnya (korban suci/ upacara) Gotong royong, ketulusan hati, kepasrahan, tingkeb wakul, kerik tingkih, memberi nuansa dalam melaksanakan yajnya yang dibungkus oleh jiwa salunglung sebayan taka dan asah, asuh lan asih tersebut. Dalam perspektif perubahan zaman, maka nilai ini patut tetap diabadikan dalam perilaku masyarakat Bali, dimulai dari bagaimana secara pisik Bali dijaga untuk selalu mengandung nilai ini. Bangunan yang tinggi dengan tembok pagar penyekat tanpa kompromi, menjauhkan masyarakat Bali dari jiwa suka duka yang melekat dan membantu dalam pribadi masyarakat Bali. Hal ini tidak saja untuk melestarikan nilai budaya tat wam asi semata, tetapi juga keberlanjutan atau kelestarian Bali di era perubahan yang serba dimensional. d. Nilai Keteladanan. Keteladanan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah ada nilai yang dipergunakan atau dilihat sebagai sumber asuhan (contoh) dalam mengembangkan sikap, cara berfikir, bertingkah laku, dan atau tindakan-tindakan yang bersifat normatif, etis, sehingga masih tetap menunjukkan perilaku dalam kerangka sistem nilai budaya Bali. Hal ini dapat dipahami dari beberapa konsep yang bernuansakan nilai keteladanan untuk diterjemahkan ke dalam perilaku ataupun yang pisik, antara lain: 1. Prinsip Luwan Teben. Luwan atau hulu dan teben atau hilir memberi petunjuk akan posisi yang serba
88
memiliki struktur etika yang dapat dijadikan pedoman dalam menempatkan sesuatu yang dibedakan atas pemaknaan sacral dan profane, bersih atau suci dan kotor (sebel). Dengan demikian ada nilai yang tinggi atau utama dan ada yang dipahami sebagai sesuatu yang bernilai rendah atau di bawah. Dalam konteks makrokosnos dan mikrokosmos dikenal pembagian yang serba terbagi tiga. Secara makrokosmos Tri Loka terdiri dari; bhur, bhwah, shwah, dan dalam kajian mikrokosmos dikenal adanya Tri Angga yaitu kepala, badan, dan kaki. Kedua tataran itu menunjukkan adanya tingkatan nilai yaitu nista (rendah), madya (sedang), dan utama (tinggi). Tri Angga pada manusia dan Tri Loka pada alam raya nyata menampakkan diri secara fisik tersusun vertikal dari bawah ke atas.81 2. Loka Pala Sraya. Ketekadanan dapat juga diungkapkan dari term Loka Pala Sraya yang mengandung arti layanan kepada masyarakat. Loka berarti alam, dunia, tempat, dan Pala berarti mengatur, menuntun, membimbing, membina, serta Sraya berarti membantu, melayani, mengabdi. Secara spesifik diartikan sebagai pelayanan kepada umat di bidang keagamaan atau spiritual. Dalam perspektif lebih luas dapat diartikan pelayanan oleh petugas pemerintah, atau yang bertugas melayani masyarakat. Seorang yang sudah melaksanakan loka pala sraya ini tidak dapat lepas dari kewajibannya, bahkan tidak sekedar melaksanakan swadarma, tetapi telah mengandung wewenang yang bernilai hukum. Tidak seorangpun dapat menggantikan wewenangnya, sebagaimana tampak dalam 81
Kaler, Op. Cit. Hal.
89
kehidupan beragama, tidak seorangpun yang berani menggantikan pendeta yang sedang melaksanakan loka pala sraya dalam memberikan tirta pamuput (air suci dalam menyelesaikan upacara) kepada seseorang yang sedang melaksanakan korban suci (yajnya). 3.1.2 Konsep Tanggung Jawab Sosial Perseroan. Perkembangan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat dunia saling berkait, selain saling bersaing, juga saling membutuhkan nasib satu sama lain. Saling keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan main yang berlaku.Aturan main yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah aturan main yang berkembang dalam sistem GATT/WTO. Setelah Indonesia meratifikasi persetujuan Internasional di bidang perdagangan dalam organisasi internasional yang dinamakan Word Trade Organization (WTO) tersebut, maka Indonesia harus mematuhi segala ketentuan yang berlaku bagi semua Negara anggota WTO dengan segala konsekuensinya.82 Pengaruh globalisasi ekonomi di bidang hukum tampak sekali pada kontrakkontrak bisnis internasional, karena negara-negara maju membawa transaksi baru ke negara berkembang, sehingga mitra mereka di negara berkembang harus menerima model-model kontrak bisnis internasional tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena sebelumnya mereka tidak mengenal model tersebut, atau dapat juga dikarenakan posisi tawar (bargaining position) yang lemah.
82
Syarip Hidayat, 2008, Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Internasional Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 11
90
Undang-undang Perseroan Terbatas di berbagai negara, baik di negara Civil Law maupun Common Law berisikan substansi yang sama. Hal ini terjadi karena dana yang mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat dengan waktu dan batasbatas Negara. Sejalan dengan ini maka muncullah tuntutan untuk melaksanakan prinsip-prinsip “Good Corporate Governance/GCG” dengan baik serta proporsional, yaitu keterbukaan (tranparancy), akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, Kesetaraan dan Kewajaran (fairness), terutama di dalam praktek dan kegiatan usaha serta perekonomian dunia. Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact (GC) maka konsep CSR sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan GCG.83 Di Indonesia perubahan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menjadi UU No.40 Tahun 2007, telah membawa perubahan penting bagi dunia usaha di Indonesi. Salah satu yang mendapat perhatian lebih dari kalangan pengusaha adalah tentang CSR tersebut, karena akhir-akhir ini CSR telah menjadi salah satu faktor penilaian bagi investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. CSR menjadi salah satu kewajiban yang harus dilaksankana oleh perusahaan sesuai dengan ketentuan Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT. Dengan dimuatnya CSR di dalam UUPT No. 40 Tahun 2007 diharapkan dapat mendorong perseroan bukan saja untuk peduli pada daerah sekitar, tetapi juga bertanggung jawab atas kemajuan masyarakat sekitarnya. Konsep CSR telah dikenal sejak tahun 1970, yang secara umum diartikan
83
Mardjono Reksodiputro, 2007, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum Dalam Kaitan Dengan HAM, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 1
91
sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stake holder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen
dunia
usaha
untuk
berkontribusi
dalam
pembangunan
secara
berkelanjutan. Konsep CSR ini sebenarnya muncul sebagai akibat dari gelombang besar globalisasi perdagangan internasional dan gerakan politik demokrasi yang ukuran-ukuran prinsip pelaksanaannya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia tetapi belum mampu dijalankan secara teratur oleh pejabat negara dan pemerintah Indonesia. Apabila dilihat dari sejarah perkembangan CSR maka konsep CSR dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Konsep CSR periode 1920-1959. Konsep CSR adalah kesadaran moral dan keikhlasan untuk membantu masyarakat melalui kegiatan derma dan kecintaan kepada sesama oleh pelaku usaha. Konsep yang melandasi CSR pada periode ini adalah CSR merupakan suatu tanggung jawab moral dari pelaku usaha melalui kegiatan kedermawanan dan kecintaan manusia kepada sesamanya. 2. Konsep CSR periode 1960-1969. Konsep CSR adalah harga diri pengusaha itu sendiri berupa tanggung jawab atas terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat. Konsep CSR dalam periode ini adalah CSR yang sebelumnya merupakan kewajiban moral yang bersifat kedermawanan berkembang menjadi suatu tolok ukur harga diri dari pengusahanya dengan mewujudkan nilai-nilai masyarakat.
92
3. Konsep CSR periode 1970-1979. Konsep CSR adalah tanggung jawab dunia usaha dalam peningkatan sektor lingkungan sosial di masyarakat dalam berbagai aspek. Konsep CSR di periode ini adalah CSR yang sebelumnya mewujudkan nilai-nilai masyarakat berkembang ke peningkatan sektor lingkungan hidup dan aspek-aspek lainnya yaitu ekonomi, etika, hukum dan perusahaan yang bijaksana. 4. Konsep CSR periode 1980-1989. Konsep CSR adalah proses menambah value perusahaan adalah tergantung pada stakeholders operasional perusahaan. Konsep CSR dalam periode ini mulai berkembangnya teori stakeholders (para pemangku kepentingan) dalam melakukan CSR untuk meningkatkan nilai perusahaan. 5. Konsep CSR periode 1990-1999. Konsep CSR adalah peningkatan ekonomi dan komunitas dalam masyarakat secara keberlanjutan melalui harmonisasi dari lingkungan, ekonomi dan masyarakat. Konsep CSR dalam periode ini berkembang ke konsep keberlanjutan dalam pelaksanaan CSR yang didasari aspek ekonomi, lingkungan, dan masyarakat. 6.
Konsep CSR periode 2000-saat ini. Konsep
CSR
adalah
perhatian
terhadap
nilai-nilai
masyarakat
secara
berkelanjutan. Perkembangan berikutnya Konsep CSR adalah pembangunan berkelanjutan dari segala aspek oleh para pemangku kepentingan. Konsep CSR adalah strategi bisnis untuk pembangunan berkelanjutan. Konsep CSR adalah
93
pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan lingkungan dan kualitas hidup. Perkembangan pemikiran terus terjadi terhadap konsep tersebut sehingga perkembangan berikutnya konsep CSR adalah keberlanjutan aktivitas sosial perusahaan kepada pemangku kepentingan. Konsep CSR adalah kejelasan sistem dari tindakan perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan. Konsep CSR adalah kepedulian secara sukarela kepada para pemangku kepentingan. Konsep CSR adalah tanggung jawab perusahaan ke segala aspek dan para pemangku kepentingan Konsep CSR dalam periode 2000 sampai saat ini adalah CSR selain dilandasi oleh teori stakeholders juga dilandasi oleh konsep pembangunan berkelanjutan melalui pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan lingkungan dan kualitas hidup. Dari pemaparan perkembangan konsep CSR dari waktu ke waktu dapatlah ditarik benang merahnya yaitu pada awalnya CSR itu dilandasi atas konsep kedermawanan yang kemudian berkembang menjadi suatu harga diri dari pengusahanya, kemudian dilandasi teori triple bottom line yaitu CSR berkembang tidak hanya pada peningkatan sektor lingkungan hidup saja, tetapi juga ke berbagai aspek ekonomi dan masyarakat. CSR kemudian berkembang didasari oleh teori stakeholders dimana perusahaan berhubungan baik dengan stakeholders perusahaan sehingga meningkatkan nilai perusahaan. Saat ini konsep CSR yang selain dilandasi teori stakeholders juga dilandasi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dimana CSR itu dilakukan secara berkelanjutan untuk pengembangan masyarakat yang merupakan salah satu stakeholder perusahaan.
94
Perkembangan CSR telah membuat suatu perusahaan yang pada awalnya bertujuan mencari keuntungan semata kini harus memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat khususnya di wilayah perusahaan itu beroperasi. Pada prinsipnya seorang direksi perusahaan tidak hanya bertugas semata-mata untuk menjalankan bisnis perusahaan sehari-hari, membuat laporan keuangan, mengikuti seluruh aturan hukum yang berlaku, tetapi juga mengharapkan agar direksi dapat memenuhi kehendak masyarakat di lingkungannya, dan memenuhi kepentingan seluruh pemegang kepentingan bukan saja pemegang saham. 84 Dalam rangka mempraktekan kaidah-kaidah pengelolaan perusahaan yang baik, perusahaan-perusahaan dianjurkan untuk membuat suatu Corporate Code of Conduct (CCC) yang pada dasarnya memuat nilai-nilai etika bisnis, sebagai basis menuju praktik CSR Conduct harus singkat dan jelas, tetapi cukup rinci guna memberikan arahan perihal pelaku etika bisnis. Contohnya perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas (fairness), penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu (transparancy) serta fungsi dan kewenangan RUPS, Komisaris dan Direksi (accountability). Dalam prinsip responsibility atau tanggung jawab, perusahaan harus menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders, yang lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. 85 3.2 Standarisasi Pelaksanaan CSR Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani untuk 84
Hendra Setiawan Boen, 2008, Bianglala Business Judment Rule, Jakarta, Penerbit Tatanusa, hal. 87. 85 Hendrik Budi Untung, Op. Cit, hal. 24.
95
berinspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya. Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan CSR. Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat tempatnya berusaha. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan
96
prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.86 Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut. Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi
di
Rio
pada
1992
menegaskan
konsep sustainibility
development
(pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaanperusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata. Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan 86
Hendra Setiawan Boen, Op. Cit. hal. 75
97
dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan/manfaat. Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat
sekitarnya. Atau
dalam pengertian kemampuan
perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya
98
pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan. Prinsip
keberlanjutan
mengedepankan
pertumbuhan,
khususnya
bagi
masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masingmasing stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholder diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di emban secara bersama. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila,
99
perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya. Pada
bulan
September
2004,
ISO
(International
Organization
for
Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang membidangi lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi. Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu Rio Earth Summit on the Environmenta tahun 1992 dan World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan. Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan Standar Corporate Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO mengenai pembentukan Strategic Advisory Group on Social Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan preconference dan conference bagi negara-negara berkembang, selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NWIP diedarkan kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana 29
100
negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000 diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta maupun publik. ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan ISO 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara: 1.
mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya
2.
menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatankegiatan yang efektif; dan
3.
Memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional. Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang
menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup 7 isu pokok yaitu: 1.
Pengembangan Masyarakat
101
2.
Konsumen
3.
Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4.
Lingkungan
5.
Ketenagakerjaan
6.
Hak asasi manusia
7.
Organizational Governance (governance organisasi)
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang: 1.
Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
2.
Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;
3.
Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
4.
Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa. Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya seperti aspek lingkungan, maka perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosial. Misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan pegawai dengan menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan
102
gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh. Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi: 1. Kepatuhan kepada hukum 2. Menghormati instrumen/badan-badan internasional 3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya 4. Akuntabilitas 5. Transparansi 6. Perilaku yang beretika 7. Melakukan tindakan pencegahan 8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia Ada empat agenda pokok yang menjadi program kerja tim itu hingga tahun 2008, diantaranya adalah menyiapkan draf kerja tim hingga tahun 2006, penyusunan draf ISO 26000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO 26000 pada bulan September 2008 dan seluruh tugas tersebut rampung pada tahun 2009. Pada pertemuan tim yang ketiga tanggal 15-19 Mei 2006 yang dihadiri 320 orang dari 55 negara dan 26 organisasi internasional itu, telah disepakati bahwa ISO 26000 ini hanya memuat panduan (guidelines) saja dan bukan pemenuhan terhadap persyaratan karena ISO 26000 ini memang tidak dirancang sebagai standar sistem
103
manajemen dan tidak digunakan sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO-ISO lainnya. Adanya
ketidakseragaman
dalam
penerapan
CSR
diberbagai
negara
menimbulkan adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu sendiri di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam penerapan CSR di manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai panduan (guideline) atau dijadikan rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku umum, sekaligus menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia. 3.3 Manfaat CSR Bagi Perusahaan. Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan yang meningkat. Memang saat ini belum tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan sehingga banyak kalangan dunia usaha yang bersikap skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi usaha, karena mereka memandang bahwa CSR hanya merupakan komponen biaya yang mengurangi keuntungan. Praktek CSR akan berdampak positif jika dipandang
104
sebagai investasi jangka panjang. Karena dengan melakukan praktek CSR yang berkelanjutan, perusahaan akan mendapat tempat di hati dan ijin operasional dari masyarakat,
bahkan
mampu
memberikan
kontribusi
bagi
pembangunan
berkelanjutan. CSR kini semakin meroket dan marak diselenggarakan di berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip Good Corporate Governance telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis. Di Indonesia, CSR sekarang dinyatakan lebih tegas lagi dalam UU PT No. 40 Tahun 2007. Pendapat Milton Friedman yang menyatakan bahwa tujuan utama korporasi adalah memperoleh profit semata semakin ditinggalkan. Sebaliknya konsep triple bottom line (profit, planet, people) yang digagas oleh John Elkington semakin masuk ke mainstream etika bisnis.87 CSR sudah diyakini sebagai suatu kewajiban bagi perusahaan, maka dengan sendirinya perusahaan telah melaksanakan “investasi sosial”. Sebagai investasi sosial tentu saja perusahaan akan memperoleh keuntungan dalam bentuk manfaat yang diperoleh. Karena CSR bersifat investasi sosial sudah barang tentu manfaat tersebut tidak seketika, tetapi baru dipetik dikemudian hari. Gurvey Kavei, pakar manajemen dari Universitas Manchester, Inggris menegaskan bahwa setiap perusahaan yang mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya akan mendapatkan 5 (lima) manfaat utama sebagai berikut:
87
Suharto, Edi, 2007, Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan/Corporate Sosial Responsibility), Bandung, Penernit Refika Aditama, hal. 73
105
a.
Meningkatkan profitabilitas dan kinerja finansial yang lebih kokoh, misalnya lewat efesiensi lingkungan.
b.
Meningkatkan akuntabilitas, assessement dan komunitas investasi.
c.
Mendorong komitmen karyawan, karena mereka diperhatikan dan dihargai.
d.
Menurunkan kerentanan gejolak dengan komunitas dan Mempertinggi reputasi dan corporate branding.88 A.B. Susanto mengemukakan dari sisi perusahaan terdapat 6 (enam) manfaat
yang dapat diperoleh dari aktifitas CSR, yaitu: a. Mengurangi resiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan yang melaksanakan CSR secara konsisten akan mendapat dukungan luas dari komunitas yang merasakan manfaat dari aktivitas yang dijalankannya. CSR akan mengangkat citra perusahaan, yang dalam rentang waktu yang panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan. b. CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan oleh suatu krisis. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan produsen consumer goads yang beberapa waktu yang lalu dilanda isu adanya kandungan bahan berbahaya dalam produknya. Namun karena perusahaan tersebut dianggap konsisten menjalankan CSR nya maka masyarakat menyikapinya dengan tenang sehingga relative tidak mempengaruhi aktivitas dan kinerjanya. 88
. Ibid. hal. 85
106
c. Keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebanggan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan perusahaan. d.CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat
hubungan
antara
perusahaan
dengan
para
stakeholdersnya.
Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak yang berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka raih. e. Meningkatkan penjualan. Konsumen akan lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang secara konsisten menjalankan CSR nya sehingga memiliki reputasi yang baik. f.Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya.89 Menurut Y Wibisono perusahaan mendapat beberapa keuntungan karena menerapkan CSR yaitu: a. Untuk mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image
89
Susanto. AB, 2009, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan Strategic Management Dalam CSR Jakarta, Erlangga Group, hal. 98.
107
perusahaan. Perbuatan destruktif pasti akan menurunkan reputasi perusahaan. Begitupun sebaliknya, kontribusi positif pasti juga akan mendongkrak reputasi dan image positif perusahaan. Inilah yang menjadi modal non finansial utama perusahaan bagi stakeholders-nya yang menjadi nilai tambah bagi perusahaan untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan. b. Layak mendapatkan izin untuk beroperasi (social license to operate) Masyarakat sekitar perusahaan merupakan kornunitas utama perusahaan. Ketika mereka mendapatkan benefit dan keberadaan perusahaan, maka pasti dengan sendirinya mereka ikut merasa memiliki perusahaan. Sehingga imbalan yang diberikan ke perusahaan paling tidak adalah keleluasaan perusahaan untuk menjalankan roda bisnisnya di wilayah tersebut. Jadi program CSR diharapkan menjadi bagian dan asuransi sosial (social insurance) yang akan menghasilkan harmoni dan persepsi positif dan masyarakat terhadap eksistensi perusahaan.
c. Mereduksi resiko bisnis perusahaan Mengelola resiko di tengah kompleksnya permasalahan perusahaan merupakan hal yang esensial untuk suksesnya usaha. Perusahaan mesti menyadari bahwa kegagalan untuk memenuhi ekspektasi stakeholders pasti akan menjadi bom waktu yang dapat memicu resiko yang tidak diharapkan. Misalnya disharmoni dengan stakeholders hingga pernbatalan atau penghentian operasi, yang ujungnya akan merusak dan menurunkan reputasi bahkan kinerja perusahaan. Bila hal itu terjadi, maka disamping rnenanggung opportunity loss, perusahaan juga mesti mengeluarkan biaya yang mungkin justru berlipat besarnya
108
dibanding biaya untuk mengimplementasikan CSR. Karena itu, menempuh langkah antisipatif dan preventif melalui penerapan CSR merupakan upaya investatif yang dapat menurunkan resiko bisnis perusahaan. d. Melebarkan akses ke sumber daya. Track record yang baik dalam pengelolaan CSR merupakan keunggulan bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu untuk memuluskan jalan menuju sumber daya yang diperlukan perusahaan. e. Membentangkan akses menuju market Investasi yang di tanamkan untuk program CSR ini dapat menjadi tiket bagi perusahaan menuju peluang pasar yang terbuka lebar. Termasuk didalamnya akan memupuk loyalitas konsumen dan menembus pangsa pasar baru. Sudah banyak bukti akan resistensi konsumen terhadap produk-produk yang tidak comply pada aturan dan tidak tanggap terhadap isu sosial dan lingkungan. f. Memperbaiki hubungan dengan stakehokders Implementasi program CSR tentunya akan menambah frekwensi komunikasi dengan stakeholders. Nuansa seperti itu dapat membentangkan karpet merah bagi terbentuknya trust kepada perusahaan. g. Memperbaiki hubungan dengan regulator Perusahaan yang menerapkan program CSR pada dasarnya merupakan upaya untuk meringankan beban pemerintah sebagai regulator. Sebab pemerintahlah yang menjadi penanggungjawab utama untuk mensejahterakan masyarakat dan
109
melestarikan lingkungan. Tanpa bantuan dan perusahaan, umumnya terlalu berat bagi pemerintah untuk menanggung beban tersebut h. Mereduksi biaya. Banyak contoh yang dapat menggambarkan keuntungan perusahaan yang didapat dan penghematan biaya yang merupakan buah dan implementasi dan penerapan program tanggung jawab sosialnya. Hal yang mudah dipahami adalah upaya untuk mereduksi limbah melalui proses daur ulang (recycle) kedalam siklus produksi. Disamping mereduksi biaya, proses ini tentu juga mereduksi buangan ke luar sehingga menjadi lebih aman. i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. Kesejahteraan yang diberikan para pelaku CSR umumnya sudah jauh melebihi standar normatif kewajiban yang dibebankan kepada perusahaan. Oleh karenanya wajar bila karyawan menjadi terpacu untuk meningkatkan kinerjanya. Disamping itu reputasi perusahaan yang baik dimata stakeholders juga merupakan vitamin tersendiri bagi karyawan untuk meningkatkan motivasi dalam berkarya. j. Peluang mendapatkan penghargaan. Banyak reward ditawarkan bagi penggiat CSR. Sehingga kesempatan untuk mendapatkan penghargaan mempunyai peluang yang cukup tinggi. Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan selain mempunyai manfaat kepada perusahaan juga bermanfaat bagi masyarakat. Manfaat yang diterima masyarakat dari
110
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari manfaat jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, sebagai berikut: 90 Dalam jangka pendek, aktivitas CSR yang bertujuan memperkuat kerekatan sosial memberi manfaat kepada masyarakat dalam beberapa bentuk, tergantung dari bentuk aktivitas itu sendiri. Untuk aktivitas CSR yang memang dirancang untuk secara langsung mengurangi kesenjangan sosial atau meningkatkan kerekatan sosial, dampak langsung yang tercipta adalah meningkatkan interaksi antar kelompokkelompok masyarakat yang biasanya mungkin jarang berinteraksi. Manfaat jangka pendek lain yang biasanya terbangun dari aktivitas CSR adalah tersedianya layananlayanan sosial/publik yang selama ini sulit diperoleh kelompok masyarakat tertentu. Dalam jangka menengah, manfaat yang tercipta adalah meningkatnya kemampuan atau kapasitas masyarakat untuk bekerja sama. Hal ini dapat terbangun dari aktivitas-aktivitas CSR yang mengharuskan terjadinya kerja sama antar anggota masyarakat. Manfaat jangka menengah lainnya adalah terciptanya jejaring yang dibutuhkan oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk mengembangkan aktivitas ekonominya maupun untuk meningkatkan kondisi kehidupannya. Dalam jangka panjang, aktivitas CSR tertentu dapat memberi manfaat berupa meningkatnya modal sosial dan kerekatan sosial pada masyarakat. Misalnya, interaksi antar kelompok yang tercipta dengan katalis aktivitas CSR dapat meningkatkan rasa keakraban, kekompakan, saling percaya, dan saling mendukung antar kelompok-
90
Mulya Amri dan Wicaksono Sarosa, 2008, CSR untuk Penguatan Kohesi Sosial,Jakarta, Indonesia Business Links, hal. 94-96.
111
kelompok masyarakat selain itu, kesenjangan antar kelompok juga dapat berkurang sehingga tumbuhlah suasana yang lebih bermoral, beretika, saling menghargai, berbagi, dan berkompetensi secara sehat. Semua ini akan memberi kontribusi pada meningkatnya kualitas hidup masyarakat yang aman, damai dan sejahtera. Tiga lembaga internasional independen, yaitu Environics International (Kanada), Conference Board (AS), dan Prince of Wales Business Leader Forum (Inggris) melakukan survey tentang hubungan antara CSR dan citra perusahaan. Survey dilakukan terhadap 25 ribu konsumen di 23 negara yang dituangkan dalam The Millenium Poll on CSR . Hasil survey menunjukkan mayoritas responden (60 %) menyatakan bahwa CSR seperti etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, merupakan unsur utama mereka dalam menilai baik atau tidaknya suatu perusahaan. Sedangkan faktor fundamental bisnis seperti kinerja keuangan, ukuran perusahaan, strategi perusahaan atau manajemen, hanya dipilih oleh 30 % responden. Sebanyak 40 % responden bahkan mengancam akan “menghukum” perusahaan yang tidak melakukan CSR. Separo responden berjanji tidak akan mau membeli produk perusahaan yang mengabaikan CSR. Lebih jauh mereka akan merekomendasikan hal ini kepada konsumen lain. Jika dikelompokkan, ada 4 (empat) manfaat CSR terhadap perusahaan, yaitu: 1. Brand differentiation. Dalam persaingan yang kian kompetitif, CSR bisa memberikan citra perusahaan yang khas, baik dan etis di mata public yang pada gilirannya menciptakan customer loyalty.
112
2. Human resources. Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat wawancara calon karyawan yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya soal CSR dan etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam bekerja. 3. License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong pemerintah dan publik memberi ”ijin” atau ”restu” bisnis. Karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas. 4. Risk management. Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun budaya ”doing the right thing” berguna bagi perusahaan dalam mengelola resikoresiko bisnis. Ada kecenderungan perkembangan CSR kini bergeser dari underestimate ke overestimate. Jika pada masa lalu pandangan terhadap CSR lebih banyak dipengaruhi Milton Friedman yang cenderung ”memusuhi” CSR. Kini, pandangan terhadap CSR lebih positif, bahkan terkadang overestimate. Seakan-akan CSR adalah panacea yang bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Padahal, manfaat CSR terhadap perusahaan tidaklah ”taken for granted” dan otomatis.
113
Tokoh yang kritis terhadap CSR adalah David Vogel, penyandang Solomon Lee Professor of Business Ethics pada Haas School of Business dan Professor of Political Science di University of California Berkeley. Menurutnya, perkembangan literatur CSR memiliki kelemahan yang seragam, yakni “tidak menimbang dengan hati-hati apa yang dapat dan tidak dapat dicapai oleh dan melalui CSR” 91. Berdasarkan hasil studinya, Vogel menemukan bahwa “tesis” yang menyatakan bahwa CSR akan meningkatkan keuntungan perusahaan merupakan keyakinan yang kurang didukung data empiris. Investasi dalam CSR mirip belanja iklan, yang belum tentu mendongkrak keuntungan perusahaan.92 Namun, ini tidak berarti bahwa melakukan CSR sama sekali tidak memberikan keuntungan. Bukti-bukti empiris yang ada menyaksikan bahwa pada kondisi-kondisi tertentu CSR berperan melejitkan keuntungan perusahaan. CSR bukanlah strategi generik. CSR mungkin cocok pada kondisi tertentu, tetapi tidak pada kondisi lainnya. Karenanya, menurut Vogel, argumen mengenai hubungan positif antara kinerja sosial dengan kinerja finansial perusahaan harus dilihat secara lebih kontekstual.93 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dibeberapa perusahaan yang ada di Bali ditemukan bahwa perusahaan melakukan CSR manfaatnya sangat dirasakan oleh perusahaan yang bersangkutan. Berdasarkan pengakuan dari pimpinan
91
Jalal, 2006, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Bandung, hal. 75 92
CSR2008/
[email protected]. Hal. 8
93
Jalal, Op. Cit. hal. 85
Penerbit Rekayasa Sains,
114
perusahaan PT Bali Timur Mandiri yang beralamat di Jalan Pahlawan No. 12 Bangli, Bapak Oka Pradipta mengatakan bahwa manfaat yang diperoleh dengan pelaksanaan CSR tersebut yang paling utama adalah stabilitas dalam bidang pendapatan perusahaan dapat terjaga. Walaupun pada saat sekarang di Bangli telah banyak tumbuh perusahaan yang berkecimpung dalam penjualan sepeda motor, tetapi PT Bali Timur Mandiri, tidak terpengaruh pendapatannya akibat banyaknya perusahaan dengan jenis usaha yang sama, di daerah Bangli. Keberlangsungan perusahaan yang dirasakan dalam tahap aman, karena dukungan masyarakat sekitar masih dirasakan untuk kemajuan perusahaan tersebut. Kemudian manfaat yang kedua yang diperoleh adalah dukungan masyarakat atas keberadaan perusahaan di masyarakat Bangli, sehingga dirasakan sampai saat ini PT Bali Timur Mandiri tetap eksis di masyarakat. (Wawancara dengan Direktur PT Bali Timur Mandiri tanggal 2 Februari 2011). Demikian juga yang dilakukan oleh PT Sumber Alam Semesta yang beralamat di Jalan Sudamala , Desa Sedit Bebalang Bangli. Perusahaan ini mulai beroperasi sejak tahun 2005 telah peduli terhadap lingkungan di sekitar perusahaan tersebut baik terhadap manusia, alam lingkungan dan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun istilah CSR baru dipopulerkan dengan berlakunya UU PT yang baru yaitu UU No. 40 Tahun 2007, namun perusahaan tersebut sudah dapat dikatagorikan melaksanakan CSR sejak tahun 2005. Menurut Bapak Ketut Suyasa, yang menjabat sebagai Kepala Produksi mengatakan bahwa manfaat yang paling dirasakan melaksanakan CSR adalah dapat meningkatkan produksi dan pendapatan perusahaan. Dengan pelaksanaan CSR ini
115
masyarakat mengenal produk dari perusahaan, apalagi dalam penyerahan CSR dilakukan pada saat upacara keagamaan yang dilakukan di daerah dimana perusahaan berdomisili, maka CSR tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat. Disamping itu manfaat pelaksanaan CSR yang lain adalah eksistensi dari perusahaan di masyarakat menjadi lebih mapan, karena mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya.( Wawancara dengan Bapak Ketut Suyasa tanggal 5 Februasri 2011) Menurut Bapak Alit Putrawan yang menjabat sebagai Inventary General Support Section Head Di PT Federal Internasional Finance (FIF) yang beralamat kantor di Jalan Gatot Subroto No. 18 Denpasar mengatakan bahwa FIF telah melaksanakan CSR sejak tahun 2005 jauh sebelum lahirnya UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT yang menggantikan UU No. 1 Tahun 1995. Hal tersebut tidak terlepas dari keberadaan PT Astra Internasional sebagai Holding Company dari FIF yang telah merasakan manfaat melaksanakan CSR terutama terhadap eksistensi perusahaan tersebut di mata internasional. Oleh karena itu PT FIF cabang Denpasar telah melaksanakan CSR sejak tahun 2005. Manfaat yang diperoleh dengan melaksanakan CSR adalah kelangsungan bisnis perusahaan bisa lebih terjamin, disamping itu dengan pelaksanaan CSR perhatian pemerintah lebih fokus terhadap kegiatan perusahaan , hal ini terbukti dengan adanya penghargaan Pemerintah Kota Denpasar
terhadap pelaksanaan CSR oleh FIF
tersebut.(Wawancara dengan Bapak Alit Putrawan, tanggal 18 Februari 2011). Beberapa perusahaan yang diwawancarai pada intinya mengatakan bahwa banyak manfaat yang diperoleh dengan menerapkan CSR di perusahaan, seperti
116
menjaga stabilitas pendapatan perusahaan, dukungan masyarakat atas keberadaan perusahaan di masyarakat (eksistensi perusahaan di masyarakat). Kenyataan yang ditemukan di lapangan sangat sesuai dengan Teori Stakeholder. Menurut Teori stakeholder bahwa yang menjadi latar belakang dari suatu perusahaan untuk menerapakan CSR sebagai salah satu strategi bisnisnya. teori tersebut lebih mendasari perusahaan melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial terhadap masyarakat dimana perusahaan itu menjalankan kegiatannya. Dimana hal tersebut diatur dalam Undang-undang maupun Guideline/Standar yang mengharuskan perusahaan untuk membuat laporan keuangan yang memenuhi Triple Bottom Line sebagai pertanggung jawaban terhadap lingkungan dan sosial masyarakat. Pada dasarnya pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan bertujuan untuk memperlihatkan kepada masyarakat aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Dilihat dari satu sisi, tujuan ini memiliki maksud yang baik. Namun penjelasan teori atas pengungkapan sosial ini menunjukkan bahwa terdapat banyak motivasi yang bertitik tolak dari kepentingan manajer ataupun perusahaan. Bahwa tujuan akhir dari adanya pengungkapan sosial perusahaan adalah tidak lain untuk menunjang tujuan utama perusahaan dalam usaha mendapatkan profit maksimum. Selanjutnya akan kembali pada peningkatan kesejahteraan pemilik. Perusahaan melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial sebagai upaya untuk memenuhi harapan atau permintaan stakeholders. Namun demikian perusahaan tetap melakukan identifikasi atas stakeholders tersebut dalam artian stakeholders yang
117
mana yang memiliki pengaruh lebih besar serta yang paling mungkin mengganggu kelangsungan hidup perusahaan jika harapannya tidak terpenuhi, maka pengungkapan akan dilakukan berdasarkan harapan stakeholders tersebut. Dalam hal ini keamanan perusahaan yang pada akhirnya juga berujung pada kepentingan pemilik perusahaan merupakan motivasi utama manajer melakukan pengungkapan tanggungjawab sosiallingkungan. 3.4 Model Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perseroan (CSR) Dalam Kaitannya Dengan Konsep Tri Hita Karana Di Bali. Kegiatan usaha tidak hanya sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan keuntungan semata, melainkan juga melaksanakan tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan. Menggantungkan perusahaan hanya semata-mata pada kesehatan finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan. Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi terkait lainnya, termasuk dimensi sosial dan lingkungan. Menghadapi perkembangan tersebut, perusahaan mulai memperhatikan dengan serius pengaruh dimensi sosial, dan lingkungan pada setiap aktivitas bisnisnya, karena aspek-aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan. Mereka juga meyakini bahwa program tanggung jawab sosial merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan, artinya tanggung jawab sosial bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center) melainkan sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang.
118
Tanggung jawab sosial adalah kewajiban perusahaan untuk merumuskan kebijakan, mengambil keputusan, dan melaksanakan tindakan yanng memberikan manfaat kepada masyarakat.94 Untuk melindungi perusahaan dari berbagai risiko tuntutan hukum, kehilangan partner bisnis maupun risiko terhadap citra perusahaan (brand risk) tidak cukup hanya taat kepada peraturan perundang-undangan. Tekanan secara nasional dan internasional sedang dan terus akan berlanjut untuk mempengaruhi perilaku bisnis korporasi. Tekanan ini datang antara lain dari para pemegang saham, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), partner bisnis (terutama dari negara yang komunitas bisnisnya peka terhadap CSR) dan advokat yang memperjuangkan kepentingan publik (public inter- est lawyers). Untuk menghindari tekanan yang bersifat glonal tersebut, maka perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan masyarakat disekitarnya, dengan melaksanakan CSR tersebut. CSR merupakan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan 95 Secara implementatif, perkembangan CSR di Indonesia masih membutuhkan banyak perhatian bagi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat luas dan perusahaan. Di antara ribuan perusahaan yang ada, diindikasikan belum semua 94
Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit Harvarindo, hal. 1. 95 Hendrik Budi Untung , Op. Cit. hal. 1
119
perusahaan benar-benar menerapkan konsep CSR dalam kegiatan perusahaannya. CSR masih merupakan bagian lain dari manejemen perusahaan, sehingga keberadaannya dianggap tidak memberikan kontribusi positif terhadap kelangsungan perusahaan. Padahal sesuai dengan UU yang ada, keberadaan CSR melekat secara inherent dengan manajemen perusahaan, sehingga bidang kegiatan dalam CSR pun masih dalam kontrol manejemen perusahaan. Lebih jauh lagi dalam lingkungan bisnis perusahaan, masyarakat di sekitar perusahaan pada dasarnya merupakan fihak yang perlu mendapatkan apresiasi. Apresiasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan hidup mereka melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh kegiatan CSR perusahaan. Hal ini karena perusahaan dan masyarakat pada dasarnya merupakan kesatuan elemen yang dapat menjaga keberlangsungan perusahaan itu sendiri.
96
Hal tersebut tentunya sangat jauh dari harapan dan tujuan ideal dari peranan CSR perusahaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut Kim praktek CSR perusahaan dapat diidentifikaskan dalam berbagai tujuan, yakni hukum, ekonomi, moral, dan filantropi. Namun demikian, tujuan tersebut masih dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi aktual di masyarakat terkait dengan tekanan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Salah satu tujuan CSR yang sangat urgen khususnya di negara sedang berkembang adalah peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Oleh karena itu penerapan CSR di Indonesia pada dasarnya dapat diarahkan pada penguatan
96
Dwi Kartini, 2008, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Malang: In-Tans Publishing, hal. 6.
120
ekonomi rakyat yang berbasis usaha kecil dan menengah serta peningkatan kualitas SDM masyarakat melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Di Daerah Bali dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya pakta bahwa kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan mengarah kepada hal tersebut di atas, seperti yang dilakukan oleh PT. Federal Internasional Finance (PT.FIF) cabang Denpasar merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang pembiayaan roda dua, khususnya pembiayaan sepeda motor Honda, pembiayaan sepeda motor bekas dan pembiayaan elektronik (Spektra). Sejak didirikan pada tahun 1989, kini PT. FIF telah mampu membuktikan diri sebagai perusahaan pembiayaan terbesar dan terbaik di Indonesia terbukti dengan diraihnya berbagai penghargaan dari dunia usaha. Sadar akan tugas dan tanggung jawab sosial seperti yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang, PT. FIF cabang Denpasar secara kontinyu dan terprogram telah menerapkan konsep CSR dalam implementasi manajemen usahanya yang pada saat sekarang menjadi suatu nama program bagi PT Astra Internasional Tbk. Sebagai induk perusahaan. Program tersebut dibuat suatu system yang diberi nama Astra Friendly Company (AFC). Secara garis besar, strategi pelaksanaan CSR PT. FIF mencakup beberapa wilayah yang ada di sekitar perusahaan. Cakupan wilayah ini dibagi ke dalam 3 ring (zona), yakni ring I meliputi daerah-daerah di sekitar perusahaan, ring II meliputi daerah-daerah di luar ring I, dan ring III meliputi daerahdaerah di luar ring I dan ring II. Strategi pengembangan berdasarkan wilayah ini juga ditunjang oleh berbagai jenis kegiatan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan
121
masing-masing daerah, seperti layanan publik di bidang kesehatan,kebudayaan dan pendidikan. Namun demikian disadari bahwa dinamika perkembangan lingkungan perusahaan berjalan sedemikan cepat, sehingga membutuhkan berbagai inovasi dan kreasi kegiatan CSR yang mampu dirasakan secara optimal oleh masyarakat. Dinamika lingkungan perusahaan tersebut seperti adanya tuntutan otonomi daerah, sehingga harapan/cita-cita kesejahteraan masyarakat menjadi semakin tinggi. Padahal kemampuan pemerintah daerah masih dibatasi oleh keterbatasan anggaran daerah untuk pembangunan secara menyeluruh. Di sinilah peran CSR perusahaan, khususnya PT. FIF, untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial di luar kegiatan pokok perusahaan, agar kepentingan masyarakat luas dapat terpenuhi semaksimal mungkin, sehingga kesejahteraan hidup mereka dapat mengalami kenaikan. Salah satu elemen penting dalam kesejahteraan hidup tersebut adalah adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan. Dalam hal ini peran manajemen sangat penting dalam upaya untuk memformulasikan berbagai program dan kegiatan dalam CSR PT. FIF, sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara perusahaan dan masyarakat luas. Pada akhirnya berbagai program kegiatan dalam kegiatan CSR PT. FIF diharapkan dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Model atau pola CSR yang dilakukan oleh PT FIF adalah dilakukan secara langsung oleh perusahaan, yaitu dengan membentuk departemen khusus yang menangani masalah CSR tersebut. Di PT FIF struktur manajemen dibawah Branch Manager, ada bagian yang disebut dengan PIC ESR. Kemudian dibawahnya terdapat
122
bagian Inspektur, Strategi, Process, Sumber Daya Manusia dan Produk. CSR berada di bagian PIC ESR yang dikomandoi oleh
I Made Alit Putrawan. CSR termasuk
dalam ESR (Environment and Social Responsibility), yang dibagi dalam 3 bagian, yaitu Astra Friendly Company (AFC) yang fokus dalam bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup. Astra Green Company meliputi aspek lingkungan, kesehatan dan keselamatan Kerja (LK3) disamping itu juga membidangi masalah kesejahteraan karyawan, limbah, penghematan sumber daya alam dalam hal ini adalah pemakaian listrik dan kertas. Strategi implementasi program ini dilakukan dengan cara bersinergi secara eksternal dan internal dengan Ikatan Karyawan PIF (ikaFIF), Koperasi FIF (kopFIF), Astra Internasional dan anak perusahaan Astra Group, Organisasi/Yayasan/Institusi Sosial, Customer, dan supplier. Program yang ketiga adalah Sistem Manajemen Keamanan (Security Corporate Responsibility) membuat standar pengelolaan security dilingkungan perusahaan dalam rangka mencapai sustainable business dengan semangat good corporate governance. Pengelolaan security ditujukan untuk memberikan rasa aman dan menjadi fungsi yang tak terpisahkan dalam kegiatan operasional bisnis seperti bidang lainnya, yakni meraih profitabilitas dan mereduksi resiko bisnis. Demikian juga terhadap penelitian yang dilakukan di Kabupaten Bangli yang dilakukan di PT Sumber Alam Semesta yang usahanya bergerak dalam bidang air minum dalam kemasan, dan penelitian yang dilakukan di PT Bali Timur Mandiri yang bergerak dalam bidang perdagangan sepeda motor, model yang diterapkan pada
123
kedua perusahaan tersebut adalah Perusahaan melaksanakan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara (wawancara dengan Ketut Suyasa Kepala Produksi PT Sumber Alam Semesta tanggal 2 Februari 2011) Untuk menjalankan tugas ini, perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, untuk terjun langsung kepada masyarakat. Ada sedikit perbedaan dengan yang diterapkan di PT Bali Timur Mandiri, yaitu beberapa perusahaan bergabung dalam sebuah konsorsium untuk secara bersamasama menjalankan CSR. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pihak konsorsium yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya akan secara proaktif mencari kerja sama dari berbagai kalangan dan kemudian mengembangkan program yang telah disepakati. Untuk acara yang besar maka model CSR yang diterapkan oleh PT ini adalah bergabung dengan seluruh perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama yaitu yang menjual sepeda motor yang ada di seluruh Bali, dan bantuan yang diberikan ditujukan pada permasalahan yang lebih besar, misalnya dalam membantu korban Gunung Merapi, Jawa Tengah, bencana Wasior di Irian Jaya. Bisa juga bergabung dengan Finance untuk memberikan bantuan kepada masyarakat, sesuai dengan situasi dan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan.(wawancara dengan Oka Pradipta PIC PT Bali Timur Mandiri, tanggal 2 Februari 2011).
124
Model yang diterapkan oleh PT Jabato Tour & Travel melaksanakan secara langsung kepada masyarakat dana CSR tersebut (wawancara dengan Bapak Roby Napitupulu Acc Manager & General Affair PT Jabato tanggal 2 Maret 2011). Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Badung, di PT Asuna dan PT 18 Jaya pada intinya Model yang diterapkan adalah sama, yaitu memberikan dana CSR kepada masyarakat secara langsung tanpa melalui perantara badan atau perusahaan lain (wawancara dengan I. Wayan Rajendra Direktur PT Asuna, dan AA Kt Trisna Guna, Manager PT 18 Jaya) Di Daerah Gianyar penelitian dilakukan di PT BPR Suadana pada intinya model yang diterapkan di perusahaan tersebut adalah sama dengan perusahaan di daerah lain, yaitu melaksanakan CSR secara langsung kepada masyarakat. Sebenarnya aturan untuk memberikan timbal balik perusahaan kepada stakeholder sudah diterapkan oleh kebanyakan perusahaan yang ada di Bali sebelum UU No. 40 Tahun 2007 muncul. Hal tersebut sudah merupakan suatu bentuk moralitas yang terbentuk dalam hukum di masyarakat bahwa bila suatu perusahaan arogan kepada stakeholder disekitarnya maka otomatis stakeholder tersebut akan tidak menjamin keamanan dan keberlangsungan hidup perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan di empat kabupaten yang ada di Bali, pada umumnya semua responden menyatakan telah melaksanakan prinsip CSR dari sejak mereka berdiri, walaupun istilah CSR belum mereka pahami sampai saat ini setelah empat tahun dirubahnya UU No. 1 Tahun 1995, hal ini membuktikan bahwa
125
kesadaran hukum para pengusaha akan penerapan CSR terhadap masyarakat disekitar perusahaan sangat tinggi. Di dalam ilmu hukum, kadang kala dibedakan antara kesadaran hukum dengan perasaan hukum. Perasaan hukum sering diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul dari masyarakat dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Bila demikian kesadaran hukum menekankan pada nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Kesadaran hukum juga sering dihubungkan dengan konsep kebudayaan hukum (legal culture). Apabila ajaran ajaran tentang kesadaran hukum dibandingkan dengan kebudayaan hukum maka konsepsi kebudayaan hukum lebih luas ruang lingkupnya. Hal ini disebabkan karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan, maka hukum tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan cara berpikir dari masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Di bawah term “volkgeist” Savigny mengkontruksi teori tentang hukum, yaitu hukum itu jiwa rakyat. Menurut Savigny terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist oleh karena itu hukum yang tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri merupakan hukum yang sejati, dan hukum yang sejati adalah hukum yang tidak di
126
muat tetapi ditemukan di dalam masyarakat. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu. Bila hukum dianggap sebagai konkretisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, maka suatu keadaan yang dicita citakan adalah adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut. Konsekuensinya adalah perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Dari uraian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa apabila indikator -indikator kesadaran hukum dipenuhi maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu pula sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukumnya rendah maka derajat ketaatan terhadap hukum juga rendah.97 Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu: 1. Pengetahuan hukum 2. Pemahaman hukum 3. Sikap hukum 4. Pola perilaku hukum Ad.1 Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang
97
Otje Salman, 2008, Teori Hukum, Penerbit Reflika Aditama, hal. 50-51
127
dilarang ataupun perilaku yang dibolehkan oleh hukum. Pengetahuan hukum erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut diundangkan. Ad.2 Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum, tertulis maupun tidak tertulis serta manfaatnya bagi pihakpihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Ad.3 Sikap hukum (legal attitude) adalah: …a dispotition to accept some legal norm or precept because it deserve respect as valid piece of law…” Dengan demikian sikap hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Ad. 4 Pola perilaku hukum adalah merupakan hal utama dalam kesadaran hukum karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.98 Pada umumnya kesadaran hukum dihubungkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Dengan kata lain, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat.99 Dengan kata lain kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum 98
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, JakartaPenerbit Rajawali, hal. 180 99 Otje Salman, Op. Cit, hal. 51
128
tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Adanya hubungan antara kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terlihat dalam pernyataan berikut ini: “A strong legal consciousness is some times considered the cause of adherence to law (sometimes it is just another word for that) while a weak legal consciousness is considered the cause of crime and evi” Apabila hal ini dikaitkan dengan indikator kesadaran hukum maka termasuk pada indikator yang keempat. Apabila tujuan hukum tercapai yaitu apabila warga masyarakat berprilaku sesuai dengan yang diharapkan atau yang dikehendaki oleh hukum maka hal ini dinamakan hukum tersebut efektif. Soerjono Soekanto menyatakan ada empat faktor seseorang berprilaku tertentu, yaitu: 1. Memperhitungkan untung rugi 2. Menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa 3. Sesuai dengan hati nuraninya, dan 4. Ada tekanan-tekanan tertentu.100 Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu: a.
Berlaku secara yuridis
100
Sooerjono Soekanto, 1985, Efektiviras Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung, Penerbit Remaja Karya, hal. 19
129
b.
Berlaku secara sosiologis
c.
Berlaku secara filosofis. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum berfungsi dalam masyarakat,
yaitu
a. kaidah hukum/peraturan itu sendiri, b. petugas/penegak hukum, c. sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum dan d. kesadaran masyarakat. Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum dapat berfungsi dengan baik, maka
setiap kaidah hukum harus memenuhi 3 unsur yaitu kaidah hukum berlaku secara yuridis dalam arti kaidah tersebut dalam pembentukannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi, atau dibentuk atas dasar yang telah ditetapkan. Kemudian kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut berlakunya dapat dipaksakan di masyarakat, atau kaidah tersebut berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Penegak hukum atau orang yang bertugas menegakkan hukum, dalam melaksanakan tugas-tugas menegakkan hukum petugas harus mempunyai suatu pedoman, diantaranya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Sarana/fasilitas amat penting untuk mengefektifkan hukum. Yang diutamakan dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai factor pendukung. Contoh perlunya adanya kertas, computer dalam melakukan penyidikan bagi seorang polisi.
130
Warga masyarakat adalah merupakan salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan. Yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang kerap disebut derajat kepatuhan,. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.101 Lawerence M. Fridman melihat hukum sebagai proses mengemukakan ada 3 komponen yang berpengaruh terhadap bekerjanya sistem hukum (legal system) yaitu: 1. Substansi hukum (Legal Substance): aturan hukum itu sendiri yang berupa undang-undang, doktrin, statuta yang dipakai untuk memerintah dan diperintah. 2. Struktur hukum (Legal Structur) yaitu institusi atau lembaga itu sendiri termasuk segala tipe,bentuk jumlah tak terkecuali dalam setiap negara. 3. Budaya Hukum (Legal Cultural) : adalah nilai-nilai, sikap dan tingkah laku yang merupakan budaya masyarakat itu sendiri termasuk budaya hukum Idealnya suatu produk hukum mengakomodir sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedman agar dalam penerapannya tidak bermasalah baik dari substansi, struktur dan budaya hukumnya sesuai dengan pola hidup dari masyarakat, sehingga hukum tersebut akan efektif. Efektivitas hukum sangat dipengaruhi oleh budaya hukum masyarakat, karena respon terhadap hukum dibatasi oleh faktor budaya.102
101
Zainuddin Ali. H, 2008, Sosiologi Hukum, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 62. 102 Lawrence Friedman, Op. Cit. hal. 98
131
Konsep CSR yang dikembangkan di Indonesia berasal dari budaya hukum masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bali pada khususnya, yaitu budaya gotong royong. Nilai gotong royong yang merupakan nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia patut dipertahankan. Makna semangat gotong royong yang menjiwai setiap warga masyarakat terlebih pada masyarakat industri/modern patut dicermati, karena perkembangan dunia usaha pada era global sangat pesat. Konsep CSR pada prinsipnya adalah suatu upaya sungguh-sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negativ dan memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Mengacu pada filosofis pola keserasian dan keseimbangan hubungan yang harmonis yang dikenal dengna “ Tri Hita Karana” tampaknya konsep CSR dapat berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang terkandung di dalam Tri Hita Karana yang berintikan unsur nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), antara manusia dengan sesamanya (unsur Pawongan) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan). Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana (Pawongan dan Palemahan) berkaitan erat dengan apa yang menjadi kewajiban perusahaan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007. Konsep CSR yang berkait erat dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dalam Tri Hita Karana bersentuhan dengan unsur pawongan, berfungsi sebagai sub sistem sosial, sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam hak dan kewajiban. Konsep CSR
132
yang bersentuhan dengan unsur Palemahan, berfungsi sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan. Komitmen perusahaan dikembangkan dalam rencana aksi (action plan) yang kemudian dilaksanakan secara nyata, baik terhadap kondisi lingkungan di dalam perusahaan maupun lingkungan di sekitar perusahaan. Dari penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa pengembangan CSR oleh perusahaan yang ada di Bali bukan hanya terhadap dua hal sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007, melainkan dalam pelaksanaan CSR di perusahaan unsur Parhyangan sangat menonjol diterapkan di masyarakat. Dari paparan tersebut diatas maka dipandang perlu adanya suatu konsep yang dapat memadukan adanya aspek-aspek yang terdapat pada CSR dan unsur-unsur yang terdapat pada Tri Hita Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh budaya gotong royong pada satu sisi, dan pada sisi lainnya Tri Hita Karana mencerminkan adanya pola keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungan. Untuk pengembangan CSR ke dalam Konsep Tri Hita Karana maka diperlukan adanya suatu konsep yang dapat mengintegrasikan kedua konsep tersebut ke dalam satu konsep sehingga terjadi adanya keharmonisan antara konsep CSR yang secara teori muncul di negara barat, yang pada saat sekarang telah diadopsi ke dalam UU Perseroan Terbatas (UU No.40 Tahun 2007) dan konsep Tri Hita Karana yang merupakan pola pikir dan pola hidup
masyarakat Hindu Bali. Konsep
yang
dimaksud adalah konsep “integrated balance harmony” yang didasari oleh teori
133
Harmoni yang diajukan oleh Roscou Pound yang kemudian melahirkan teori “ law as a tool of social engineering” Hukum adalah suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim. Pound mengemukakan idenya tentang hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat dimana hukum tidak pasif tetapi harus mampu digunakan untuk mengubah suatu keadaan dan kondisi tertentu kearah yang dituju sesuai dengan kemauan masyarakat. Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Tujuan utama dalam social engeneering adalah mengarahkan kehidupan sosial kearah yang lebih maju. Hukum tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya melegitimasi atas kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan. Dengan konsep ini diharapkan adanya suatu keterkaitan dan keterpaduan dari dua konsep antara konsep Tri Hita Karana dengan konsep CSR, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya gotong royong sangat relevan untuk diterapkan oleh perusahaan pada dunia usaha, karena sesuai dengan budaya hukum masyarakat Indonesia. Konsep Tri Hita Karana yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali perlu adanya legitimasi dari pemerintah. Implementasi dari pendapat Roscou Pound dalam kehidupan di Indonesia pada umumnya terhadap
134
konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dalam UU No. 40 Tahun 2007, khususnya Pasal 74, yang menekankan perlunya perusahaan untuk ikut peduli terhadap kehidupan sosial, serta peduli terhadap lingkungan. Kemudian di Bali implementasi dari konsep Tri Hita Karana terdapat pada beberapa Peraturan Daerah Bali dipergunakan sebagai landasan Filosofisnya, misalnya dalam Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, Perda tentang Pariwisata Budaya Bali, dan Perda tentang Persyaratan Arsitektur dan Bangunan Gedung. Apabila dikaji dari substansi hukumnya mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Sebenarnya ketentuan CSR sudah diatur secara jelas dalam UU No. 40 Tahun 2007, tetapi sampai saat ini peraturan pelaksanaannya (PP) belum ada, sehingga sampai saat ini belum ada acuan yang pasti bagi perusahaan dalam melaksanakan CSR. Struktur hukum mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut, misalnya mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibannya. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa semua perusahaan yang ada di Bali khususnya perusahaan yang tidak mempunyai hubungan keluar negeri tidak mempunyai lembaga yang khusus menangani tentang CSR kecuali di PT FIF, PT Asuna Bali yang Presdirnya orang Jepang juga tidak mempunyai lembaga khusus yang menangani tentang CSR. Kemudian dalam kenyataannya di masyarakat berdasarkan penelitian yang dilakukan
135
di empat kabupaten, masih banyak para direktur yang tidak memahami istilah CSR tersebut, tetapi yang menarik disini adalah dalam kegiatan bisnisnya perusahaan perusahaan tersebut telah melaksanakan CSR dengan baik karena sesuai dengan budaya masyarakat, bahkan jauh sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007. Bertolak dari principle of effectiveness dari Hans Kelsen, realita hukum artinya orang seharusnya bertingkahlaku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum atau dengan kata lain realita hukum adalah hukum dalam tindakan. Keharusan dan kewajiban mentaati hukum, karena telah ditentukan demikian (yuridis formal), bukan karena nilai yang terkandung dalam materi hukum itu sendiri.103 Menurut Eugen Erlich, hukum positif hanya akan efektif jika selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat (living law). Erlich membandingkan living law dengan hukum untuk keputusan, makna adalah hukum yang diterapkan dalam keputusan perselisihan oleh pengacara dan pengadilan. Erlich berharap bahwa dalam keputusan pengadilan hendaknya menggabungkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Earlich contrasted this living law with “law for decision”meaning thereby the law applied in the decision of disputes by lawyers and court.He was willingto concedethat law for decision might coincide in content with living law, but he expected that even this would be unusual and sometimes undesirable.104 Tujuan pokok teori-teori yang dikemukakannya adalah meneliti latar belakang aturanaturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturan-aturan tersebut merupakan norma sosial aktual yang mengatur semua aspek kemasyarakatan yang olehnya
103 104
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit. Hal. 135 Geoffrey Sawer, 1980, Law In Society, Butterworth & Co (Publishers) Ltd, page 175
136
disebut sebagai hukum yang hidup (living law). Yang dimaksudkannya dengan hukum yang hidup adalah hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai hukum yang diterapkan oleh Negara.105 Ehrlich juga mengemukakan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Hukum tidak mungkin akan efektif oleh karena ketertiban terletak pada pengakuan sosial terhadap hukum dan bukan pada penerapannya secara resmi oleh Negara. Bagi Ehrlich tertib sosial didasarkan fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum.
106
Kalau mengacu kepada pendapat Eugen Ehrlich, dalam kaitannya dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 khususnya Pasal 74 yang mengatur tentang CSR, menurut pendapat penulis UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT dapat dinyatakan efektif, karena ada pengakuan sosial terhadap hukum, norma-norma hukum berasal dari kenyataan sosial, dan kenyataan ini melahirkan hukum, yang menyangkut hidup bermasyarakat, hidup sosial. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang CSR dalam UU PT dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (living law) di masyarakat, khususnya masyarakat Bali karena ketentuan tersebut dari segi historisnya memang merupakan konsep asli dari masyarakat adat Bali, atau merupakan sesuatu yang eksistensial dari sejarah hidup masyarakat Bali. Ketentuan CSR yang didasari oleh semangat gotong royong merupakan hukum yang diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Menurut Ehrlich
105 106
Otje Salman, Op. Cit. hal. 38 Bernard L. Tanya, Op. Cit. Hal. 141
137
hukum yang hidup itu dinamakan dengan Rechtsnormen (norma-norma hukum). CSR adalah
merupakan cerminan dari pola hidup masyarakat khususnya
masyarakat adat di Bali. Di Bali dalam kehidupan masyarakat adatnya tidak ada perbuatan tanpa persembahan, baik persembahan kepada Tuhan, kepada sesama, maupun kepada lingkungan. Pada dasarnya konsep CSR sudah dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di Bali, sejak sebelum dituangkan ke dalam undangundang hanya saja dalam bentuk dan penamaan yang berbeda, karena CSR yang tidak jauh berbeda dengan budaya gotong royong yang merupakan norma sosial yang ada di Bali. Dalam pelaksanaan CSR oleh perusahaan tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bentuk sumbangan yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat, kalau ada upacara di pura sumbangan yang utama dalam bentuk dana punia, yang kalau dikaji dari konsep CSR hal ini tidak termasuk ke dalamnya, tetapi tidak bisa terlepas dari pola pikir masyarakat hukum adat Bali yang bersifat religiomagis. Konsep CSR dalam hubungannya dengan masyarakat sangat berkaitan erat dengan konsep pawongan dalam Tri Hita Karana, yaitu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, yang dalam CSR dimaksudkan menjaga keharmonisan antara pengusaha dengan masyarakat sekitar, sehingga kalau sudah tercapai keharmonisan masyarakat dengan perusahaan maka kelangsungan perusahaan bisa terjaga dan keuntungan bias tercapai. Konsep lingkungan dalam CSR sangat berhubungan dengan unsur palemahan dalam Tri Hita karana, yaitu menjaga alam tetap lestari, sehingga bisa berguna bagi anak cucu dikemudian hari.
138
CSR adalah “hukum sosial”. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif, lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh kewibawaan Negara. Ia tidak tergantung pada kompetensi penguasa dalam Negara, khususnya dari segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok sosial tergantung dari anggota-anggota kelompok itu. Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang CSR dalam UU No. 40 Tahun 2007 berlaku secara efektif di masyarakat dan dalam implemetasi CSR dapat berjalan secara harmonis dengan konsep Tri Hita Karana yang terdapat di Bali, hal tersebut bisa dilihat dalam realisasi CSR tidak terlepas dari tiga konsep Tri Hita Karana, yaitu parahyangan, pawongan, dan palemahan.
139
BAB IV BENTUK TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN YANG DITERAPKAN OLEH PERUSAHAAN DI BALI
4.1 Konsep Tanggung Jawab Dalam Makna Responcibility dan Liability. Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tema yang hangat dibicarakan pada saat sekarang di berbagai forum. Pada saat mendengar atau membaca kata CSR maka yang timbul dalam pemikiran adalah suatu tanggung jawab perusahaan yang bersifat kesukarelaan (voluntary) dan tidak ada sanksi yang bersifat memaksa bagi para pihak yang tidak melaksanakannya. Bahkan dengan adanya kata “sosial” maka persepsi orang terhadap CSR justru terfokus pada aktivitas sosial, seperti kedermawanan (philanthropy), kemurahan hati (charity), bantuan terhadap bencana alam, dan kegiatan sosial lainnya. Dengan kata lain CSR tidak lebih dari “moralty” saja.107 Sebenarnya dasar dari suatu tanggung jawab pada awal-awal penerapan hukum di dunia ini adalah bentuk perbuatan pidana (delik) dan wanprestasi kontrak. Jika ada tanggung jawab tanpa kesalahan hal tersebut tergolong ke dalam kuasi kontrak. Apa yang dikenal dengan perbuatan melawan hukum (perdata) dalam pengertiannya pada
107
Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.3
140
saat sekarang dahulunya masih belum dikenal.108 Berbicara tentang tanggung jawab yang berkaitan dengan perusahaan, maka paling tidak ada 2 (dua) pemaknaan tanggung jawab itu sendiri, yaitu tanggung jawab dalam makna responcibility atau tanggung jawab moral atau etis, dan yang kedua adalah tanggung jawab dalam makna liability atau tanggung jawab yuridis atau hukum. 4.1.1 Konsep Tanggungjawab Dalam Makna Responcibility. Burhanuddin Salam dalam bukunya yang berjudul “Etika Sosial” dinyatakan bahwa tanggung jawab itu adalah: “responcibilityis having the caracter of a free moral agent; capable of determining one’s acts; capable deterred by consideration of sanction or consequences”109 Dari pengertian tersebut dapat dicatat dua hal penting, yaitu: 1. Harus ada kesanggupan untuk menetapkan sesuatu perbuatan. 2. Harus ada kesanggupan untuk memikul resiko dari sesuatu perbuatan. Kalau dimaknai kata “having the character” tampaknya ada semacam tuntutan berupa “suatu keharusan atau kewajiban” yang didalamnya sekaligus mengandung makna pertanggungan moral atau karakter. Karakter disini merupakan sesuatu yang mencerminkan nilai dari suatu perbuatan. Selanjutnya konsekuensi dari perbuatan dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan yang hanya terdapat 2 (dua) alternative penilaian yaitu tahu bertanggung jawab atau tidak tahu bertanggung jawab. 108
Munir Fuady, 2005, Perbandingan Hukum Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, hal.73 Salam, Baharuddin, 1997, Etika Moral, Asas Moral Dalam Kehidupan Sosial Manusia, Jakarta, Renika Cipta, hal.28 109
141
Sedangkan makna tanggung jawab itu sendiri dalam filsafat hidup dijadikan sebagai salah satu kriteria kepribadian (personality) seseorang (perusahaan).110 Bila kata tanggung jawab di lihat dari segi filosofinya, maka terdapat 3 (tiga) unsur yang harus dipahami, yaitu: 1. Kesadaran (ewareness) Berarti tahu, kenal, mengerti, dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Dengan kata lain bahwa seseorang (perusahaan) baru dapat dimintai pertanggungjawabannya bila yang bersangkutan sadar tentang apa yang dilakukannya. 2. Kecintaan atau kesukaan (affiction). Berarti suka, menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban. Rasa cinta timbul atas dasar kesadaran, apabila tidak ada kesadaran bererti rasa kecintaan tidak akan muncul. Jadi cinta muncul atas dasar kesadaran, atas kesadaran inilah lahirnya rasa tanggung jawab. 3. Keberanian (bravery). Merupakan suatu rasa yang didorong keikhlasan, tidak ragu-ragu dan tidak takut dengan segala rintangan. Suatu keberanian mesti disertai dengan perhitungan, pertimbangan, dan kewaspadaan atas segala kemungkinan. Dengan demikian keberanian itu timbul atas dasar tanggung jawab. Pinto menegaskan bahwa responcibility ditujukan bagi adanya indikator penentu atas lahirnya suatu tanggung jawab, yakni suatu standar yang telah 110
Salam, Baharuddin, 1997, Ibid. hal.28
142
ditentukan terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati.111 Pada prinsipnya tanggung jawab dalam arti responcibility lebih menekankan pada suatu perbuatan yang harus atau wajib dilakukan secara sadar dan siap untuk menanggung segala resiko dan atau konsekuensi apapun dari perbuatan yang didasarkan atas moral tersebut. Dengan kata lain responcibility merupakan tanggung jawab yang hanya disertai sanksi moral. Sehingga tidak salah apabila pemahaman sebagian pelaku usaha dan atau perusahaan tergadap CSR hanya sebatas tanggung jawab moral yang mereka ujudkan dalam bentuk philanthropy maupun charity. 4.1.2 Tanggung Jawab Dalam Makna Liability. Berbicara tentang tanggung jawab dalam makna liability, berarti berbicara tentang tanggung jawab dalam konteks hukum, dan biasanya diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab keperdataan. Menurut Pinto, liability menunjuk
kepada
akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar tersebut, sedangkan bentuk tanggung jawabnya diwujudkan dalam bentuk ganti rugi dan pemulihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau kerugian.112 Dalam hukum keperdataan prinsip-prinsip tanggung jawab dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Adanya Unsur Kesalahan (Liability based on fault). Sejarah lahirnya prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan pada mulanya 111
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung, Alumni. hal.105 112 Dwi Kartini , Op. Cit. hal.105
143
dikenal dalam budaya Babylonia kuno. Kemudian dikembangkan pada masa Romawi dalam doktrin “culpa” dalam “ lex Aquila” dimana setiap kerugian baik sengaja maupun tidak sengaja harus selalu diberikan santunan. Kemudian prinsip ini menjadi hukum Romawi modern sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1382 Code Civil Prancis yang berbunyi “any act whatever done by a man which cause damage to anather obliges him by whose faultthe damage was cause to repair it” Kemudian Belanda sebagai Negara jajahan Prancis mengadopsi pasal tersebut, yang dituangkan dalam Pasal 1401 BW. Sedangkan di Indonesia diberlakukan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan adalah atas dasar asas konkordansi. Ketentuan tanggung jawab atas kesalahan ini dituangkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerudian tersebut”113 Sesungguhnya ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tidak merumuskan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) tetapi hanya mengemukakan unsur unsur yang harus dipenuhi agar sesuatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: a. Adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat. b. Perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya. c. Adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat kesalahan tersebut. 113
Munir Fuady, Op. Cit. hal. 79
144
1.
Makna perbuatan melawan hukum disini, bukan hanya dalam arti positif tapi juga meliputi negative, yaitu meliputi tidak berbuat sesuatu yang seharusnya menurut hukum orang harus berbuat. Sedangkan makna kesalahan disini adalah dalam pengertian umum, yaitu baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian. Dalam penerapan Pasal 1365 KUH Perdata ini adanya keharusan dimana si penggugat membuktikan adanya kerugian tersebut, sebagai akibat dari perbuatan si tergugat.
2.
Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga (Presumption of Liability). Menurut prinsip presumption of liability, tergugat (perusahaan) dianggap bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul, tetapi tergugat dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, apabila ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah (absence of fault), tetapi dengan menekankan pada pembalikan beban pembuktian (shifting of the burden of proof) kepada pihak tergugat. Apabila prinsip ini ditarik pada tanggung jawab perusahaan, jika ada
masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu perusahaan, baik sebagai akibat aktifitas perusahaan ataupun karena keberadaannya. Dalam hal ini masyarakat bisa langsung menggugat perusahaan dan pihak perusahaanlah nantinya yang dibebankan untuk membuktikan bahwa kerugian yang dialami masyarakat bukanlah karena kesalahan pihak perusahaan yang dimaksud.114 2. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Liability atau Strict Liability). 114
Ibid. hal. 187
145
Yang dimaksud dengan tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak. Dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukannya itu, dia tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekuranghati-hatian, atau ketidakpatutan.115 Pada prinsipnya, lahirnya tanggung jawab mutlak tidak terlepas dari doktrin onrechtmatige daad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perd. yang mengedepankan adanya unsur kesalahan (fauld). Dalam arti kata harus ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Pada fakta emperis, tidak semua unsur fault dapat dibuktikan, bahkan ada yang tidak dapat dibuktikan sama sekali. Untuk dapat mengatasi keterbatasan fault based liability tersebut, maka dikembangkanlah asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability).116 Perkembangan teori tentang strict liability dalam hukum timbul dan tenggelam. Semula dalam masyarakat yang premitif hanya dikenal tanggung jawab mutlak, tanpa melihat ada tidaknya unsur kesalahan. Inilah model strict liability dalam bentuknya yang premitif. Selanjutnya berkembang pemikiran dalam hukum dimana setiap tindakan yang dengan sengaja merugikan orang lain merupakan tindakan yang tercela dalam masyarakat beradab dan merupakan tindakan anti sosial sehingga perbuatan 115 116
Hal.301
Munir Fuady, Op. Cit. Hal.96 Sentosa, Mas Achmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, Jakarta,: ICEL.
146
tersebut merupakan tindakan melawan hukum, yang dalam Hukum Romawi disebut dengan istilah “dolus”117 Perkembangan selanjutnya adalah berkembangnya doktrin strict liability dalam bentuk yang modern. Perkembangan ini diawali oleh tanggung jawab mutlak dari benda-benda yang mempunyai sifat yang dapat keluar dari teritori pemiliknya, seperti tanggung jawab mutlak pemilik waduk air, penyulut api, pemilik ternak, pemelihara binatang buas, bahkan terakhir juga pembuat/pengguna reaktor nuklir.118 Strict liability merupakan bentuk pertanggung jawaban perdata yang tidak memerlukan pembuktian unsur fault, sebagai unsur utama dalam pertanggung jawaban perdata dalam hal terjadinya fault based (perbuatan melawan hukum). Dengan demikian beban pembuktian penggugat menjadi ringan karena tidak dibebani pembuktian adanya unsur fault. Namun demikian penggugat tetap dibebani untuk membuktikan kerugian (injured party) yang dialaminya sebagai akibat dari aktivitas pihak si tergugat.Hal ini diistilahkan dengan pembuktian kausalitas (causal link). Perkembangan tanggung jawab mutlak, selain dalam bentuk strict liability juga dikenal terminologi absolute liability.119 Menurut Bin Cheng, ada perbedaan makna antara Strict liability dengan Absolute liability. Dalam Strict liability tuntutan atas perbuatan yang menyebabkan kerugian itu harus dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. Dengan kata lain,
117
Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, hal.70 118 Munir Fuady, Op. Cit. hal.97 119 Sentosa, Mas Achmad, Op. Cit. Hal.303
147
dalam strict liability harus ada causa link antara orang (perusahaan) yang benar-benar bertanggung jawab dengan kerugian tersebut. Selain itu dalam Strict liability semua hal yang biasanya dapat membebaskan tanggung jawab (usual defence) tetap diakui, kecuali terhadap hal-hal yang mengarah pada pernyataan tidak bersalah (absence of faulty), karena unsur kesalahan tidak diperlukan lagi.120 Absolute liability adalah tanggung jawab akan timbul kapan saja tanpa mempermasalahkan oleh siapa dan bagaimana terjadinya kerugian tersebut. Dalam Absolute liability tidak diperlukan adanya kausalitas, dan hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab sepanjang dinyatakan secara tegas. Beberapa contoh konvensi yang dapat membebaskan tanggung gawab, yaitu: a. Konvensi Roma 1952 (Damage Caused by Foreign Air Craft to Third Parties on the Surface). b. Konvensi Brussels 1962 (The Liability of Operators of Nuclear Ships). c. Konvensi Wina 1963 (Civil Kiability for Nuclear Damage). d. Konvensi Montreal 1966 (Interim Agreement).121 Dalam perkembangan selanjutnya muncul konsep-konsep strict liability dalam bidang yang lain yang bercampur dengan perkembangan doktrin pembuktian terbalik (shifted burden of proof), seperti dalam bidang lingkungan hidup, product liability, penyebab bahaya terhadap kesehatan dan keamanan sebagaimana seperti yang
120
Cheng, Bin, 1981, A Reply to Charges of Having Inter Alia Misure the Term Absolut Liability in Relation to the 1996 Inter-Carrier Agreement in My for an Integreted System of Aviation Liability, Annals of Air and Space law, Hal.3, Dalam Khairandy Ridwan, Op. Cit. Hal.191. 121 Khairandy, Ridwan, Op. Cit. Hal. 297
148
terdapat dalam the Pure Food and Drug Acts di Amerika Serikat.122 Khusus terhadap gugatan keperdataan yang berkaitan dengan hukum lingkungan, ada beberapa konsep tanggung jawab lainnya yang bisa dijadikan sebagai acuan yaitu sebagai berikut: a. Market Share Liability. Konsep ini dimaksudkan untuk mengantisipasi persoalan dimana penggugat menderita kerugian akibat pencemaran dari sejumlah industri. Di dalam konsep ini penggugat diharuskan menghadirkan sejumlah industri sebagai pihak yang diduga sebagai kontributor substansial (substantial share) zat-zat pencemar. Beban pembuktian dalam konsep ini berpindah pada tergugat untuk membuktikan bahwa tergugat tidak melepaskan zat-zat pencemar seperti yang dituduhkan penggugat. b. Risk Contribution. Tujuan pengembangan konsep ini tidak jauh berbeda dengan maksud dan tujuan dari konsep Market Share Liability, yaitu mengatasi permasalahan, dimana penggugat mengalami kerugian yang disebabkan pencemaran, tetapi tidak dapat diidentifikasi secara pasti penyebab kerugian tersebut.Penggugat hanya berhasil mengidentifikasi zat-zat pencemar serta kadar yang dikonsumsi penggugat. Dalam hal ini penggugat dapat mengajukan gugatan pada satu industry/produsen dari bahan kimia zat berbahaya tersebut. Kemudian tergugat bertanggung jawab memasukkan pihak ketiga lainnya yang dianggap sebagai kontributor terhadap timbulnya kerugian terhadap penggugat. 123 122
Munir Fuady, Op. Cit. Hal.99
149
c. Concert of Action Konsep ini muncul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kemungkinan terlibatnya pihak-pihak lain yang membantu dan bekerja sama dengan pencemar, sehingga perbuatan pencemarandapat dilaksanakan dengan sempurna. Melalui konsep ini pihak konsultan yang memberikan advis untuk tidak mengoperasikan alat pembuangan limbah dapat dituntut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penggugat. Berdasarkan konsep ini, pemerintah dapat juga dituntut sebagai pihak yang memberikan persetujuan atas kerugian yang dialami penggugat. d. Alternative Liability. Timbulnya Alternative liability didasarkan atas pertimbangan bahwa sangat tidak adil apabila tergugat mesti dibebaskan hanya karena penggugat tidak dapat membuktikan secara pasti satu dari sekian banyak pihak yang bertanggung jawab atas perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain. e. Enterprise Liability. Konsep ini merupakan perluasan pengertian dari konsep Market Share Liability. Konsep ini diterapkan pada situasi dimana penggugat tidak dapat secara spesifik menunjuk pelaku pencemaran dari sekian banyak perusahaan-perusahaan yang potensial menjadi penyebab, ternyata telah memenuhi standar dan petunjuk yang telah ditetapkan. Dalam konsep ini penggugat dibolehkan melibatkan seluruh perusahaan yang dianggap potensial menyebabkan kerugian penggugat, serta pihakpihak yang terlibat dalam pemberian Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan 123
Siahaan,N.H.T, 2009, Hukum Lingkungan, Jakarta, Penerbit Pancuran Alam, Hal. 331
150
Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) serta perizinan. 124 4.2 Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Implementasi
Corporate
Social
Responsibility. Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat. Kepedulian kepada masyarakat sekitar komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibatnya
terhadap
seluruh
pemangku
kepentingan(stakeholder)
perusahaan,
termasuk lingkungan hidup. Jadi CSR juga dilihat dalam lingkup stakeholders atau 124
Ibid. hal. 337
151
lingkungan dimana perusahaan tersebut berada. Selama ini CSR sering dihitung berdasarkan besarnya uang yang telah dikeluarkan. Sebenarnya bukan hanya dilihat dari segi keuangan saja tetapi ada nilai intangible yang sangat penting, artinya ada sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang. Nilai intangible artinya sampai sejauh mana perusahaan aktif dan proaktif terhadap lingkungan. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal. Kepentingan internal menyangkut transparansi sehingga ada yang namanya Good Corporate Governance. Dikalangan publik diukur dengan keterbukaan informasi. CSR internal menyangkut lingkungan tempat perusahaan, yang meliputi polusi, limbah, maupun partisipasi lainnya. Stakeholders diluar dapat dikatagorikan ada masyarakat, pemasok, pelanggan, konsumen, maupun pemerintah. Tujuan CSR bukan untuk memanja masyarakat, karena akan terjadi pembodohan masyarakat Tujuan CSR adalah untuk pemberdayaan masyarakat, bukan memperdayai masyarakat. Pemberdayaan bertujuan mengkreasikan masyarakat mandiri. Kata “sosial” pada CSR sering diinterpretasikan dengan kedermawanan. Program CSR jauh lebih besar dari kedermawanan yang biasanya lebih karena bencana alam. CSR terkait dengan sustainability dan acceptability, artinya diterima dan berkelanjutan untuk bekerja di suatu tempat, dan pihak pengusaha menginginkan usahanya berkelanjutan dalam jangka panjang.
152
Menurut Princes of Wales Foundation ada lima faktor penting yang dapat mempengaruhi implementasi CSR, yaitu: a. Human capital atau pemberdayaan manusia. b. Environments yang berbicara tentang lingkungan. c. Good Corporate Governance. d. Social
Cohesion,
artinya
dalam
melaksanakan
CSR
jangan
sampai
menimbulkan kecemburuan sosial e. Economic strength atau memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di bidang ekonomi. 125 4.3 Bentuk Tanggung Jawab Sosial Perseroan yang Diterapkan
oleh
Perusahaan yang Berbentuk PT Di Bali. Dalam perkembangan di era globalisasi dan persaingan bebas saat ini, perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisisensi berkeadilan, berkelanjutan, berawawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, pada akhirnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Bahwa salah satu pilar pembangunan perekonomian di Indonesia yang dapat diharapkan untuk membantu terwujudnya kesejahteraan rakyat tersebut adalah perusahaan. Dalam Pasal 1 huruf b, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib
125
Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Masyarakat:Studi Kasus Empat Perusahaan, Jakarta, Penerbit YAPPIKA, IDSS. Hal.27
153
Daftar Perusahaan yang dimaksud dengan perusahaan yaitu: ”Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba”. Molengraaf, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan. 126 Dalam Black‟s Law Dictionary, dinyatakan bahwa Perusahaan (Corporation) adalah: “An Entity (usu a business) having authority under law to act as a single person distinct from the shareholders who own it and having Rights to issue stock and exist indefinitely…………….” 127 (“Sebuah entitas (dalam bisnis) yang memiliki kewenangan berdasarkan hukum sebagai orang perorangan dari pemegang saham yang memiliki hak mengedarkan saham tanpa batas waktu …………………”) Keberadaan perusahaan sangat berperan dalam memajukan suatu masyarakat, daerah dan negara. Sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya suatu perusahaan di suatu daerah, maka akan dapat menyerap tenaga kerja. Dalam menjalankan usahanya suatu perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban secara ekonomis saja tetapi mempunyai kewajiban yang bersifat etis. Adanya suatu etika bisnis yang merupakan tuntunan perilaku bagi dunia usaha untuk bisa
126
Abdul Rasyid Saliman, et al., 2005, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Jakarta, Penerbit Kencana, hal. 82. 127 Bryan A Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Publicing C.O, Page 341
154
membedakan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Dalam pemenuhan etika dalam berbinis memang tidak hanya profit yang menjadi tujuan utama, akan tetapi pemberdayaan masyarakat sekitar juga harus menjadi tujuan utama bagi perusahaan. Dikarenakan hal itu merupakan salah satu perwujudan dari Good Corporate oleh perusahaan terhadap Stakeholder. Kemudian jika merujuk dalam dokumen Global Compact PBB tahun 1999, dalam
poin
kedelapan
dinyatakan
mengambil
inisiatif
mempromosikan
tanggungjawab lingkungan yang lebih besar. Kemudian agar perusahaan memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk memajukan, menghormati dan melindungi HAM sebagaimana diakui dalam hukum internasional maupun hukum nasional termasuk hak dan kepentingan dari indigenous people dan kelompok rentan lain telah diserukan oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum : Ny.E/CN.4/Sub.2/2003/12/ Rev.2 tahun 2003. Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan yaitu melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) . CSR pada 1990-an, menjadi suatu gagasan yang menyita banyak kalangan, dari masyarakat akademik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sampai para pelaku bisnis. Tidak mengherankan jika laporan tahunan beberapa perusahaan multinasional yang telah melakukan praktek CSR keberhasilan meraih keuntungan tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya alat ukur keberhasilan dalam mengembangkan eksistensi perusahaan. Di kalangan sebagian dunia usaha, sudah tumbuh pengakuan bahwa keberhasilan ekonomi dan finansiil mereka berkaitan erat dengan konsidi sosial dan
155
lingkungan dimana perusahaan mereka beroperasi. Untuk mewujudkan tanggung jawab semacam itu, dunia usaha diharapkan memperhatikan dengan sungguhsungguh CSR dalam aktivitas usahanya. Kotler dan Lee dalam bukunya “Corporate Social Responsthility: Doing The Most Good For Your Cornpany and Your Cause”, mengidentifikasikan 6 (enam) pilihan program bagi perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan inisiatif dan aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah masalah sosial sekaligus juga sebagai wujud komitmen dan CSR, yaitu: 128 1. Cause promotion adalah kegiatan yang dilakukan dalam bentuk memberikan kontribusi berupa dana dan penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran akan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. 2. Cause related marketing adalah bentuk kontribusi perusahaan dengan menyisihkan beberapa persen dan pendapatan yang diperoleh perusahaan sebagai donasi bagi permasalahan sosial tertentu, untuk periode tertentu atau produk tertentu. 3. Corporate social marketing adalah upaya untuk membantu mengembangkan dan sekaligus juga mengimplementasikannya dalam bentuk kampanye dengan fokus mengubah perilaku tertentu yang mempunyal pengaruh negatif. 4. Corporate philantrophy adalah inisiatif dari perusahaan dengan memberikan kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, baik dalam bentuk donasi ataupun sumbangan tunai.
128
Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Op. cit., hlm. 56.
156
5. Community voluntering adalah bentuk kegiatan yang dilakukan langsung oleh perusahaan dalam memberikan bantuan dan mendorong karyawan serta mitra bisnisnya untuk secara sukarela terlibat dan membantu masyarakat setempat. 6. Socially responsible business practices adalah inisiatif perusahaan untuk mengadopsi dan melakukan praktek bisnis tertentu serta investasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sebuah komunitas dan melindungi lingkungan. Menurut Pearlie Koh dan Victor Yeo menetapkan 4 (empat) kategori social responsibility yang menjadi sasaran perusahaan-perusahaan di Singapura, yaitu: 129 a. Pekerjaaan yang bersifat amal (charitable works); b. Kesejahteraan karyawan; c. Perlindungan lingkungan; d. Masalah moral. Di Indonesia, istilah CSR semakin popular digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan corporate social activity atau aktifitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual, aksinya mendekati konsep CSR yang mempresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian”perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dibeberapa perusahaan yang ada di Bali menunjukkan banyak para Direktur dari perusahaan yang berbentuk PT yang belum memahami tentang istilah CSR tersebut. tetapi
129
perusahaan tersebut telah
Cornelius Simanjutak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm. 99.
157
melaksanakan secara aktif CSR tersebut, seperti PT Bali Timur Mandiri yang beralamat di Jalan Pahlawan No. 12 Bangli. Perusahaan yang berbentuk PT ini didirikan tahun 1996, yang bergerak dalam penjualan sepeda motor, dalam kenyataannya telah berperan aktif melaksanakan CSR dengan peduli terhadap lingkungan sekitar perusahaan, yaitu dengan membantu masyarakat sekitar perusahaan tersebut dengan memberikan bantuan kepada masyarakat berupa Dana Punia (amal) ke tempat suci (pura) apabila ada upacara keagamaan yang ada di lingkungan perusahaan tersebut. Melihat aktifitas yang dilakukan oleh PT Bali Timur Mandiri dapat dikatakan bahwa bentuk CSR yang diterapkan di perusahaan tersebut adalah dalam bentuk Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai “”kegiatan amal perusahaan”. Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi dukungan finansial dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan menunjang kegiatan bisnis perusahaan, karena perusahaan melalui investasi sosial akan dapat menuai citra yang positif (corporate image), seperti memberikan sumbangan pada upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di pura di sekitar perusahaan tersebut dalam bentuk dana punia, bantuan berupa Pesawat Televisi kepada masyarakat, baju kaos, kemudian sumbangan juga disampaikan ke sekolah Menengah Atas (SMA) apabila
SMA
tersebut mengadakan pertandingan antar sekolah yang ada di Bangli. Jadi perusahaan ini telah peduli terhadap lingkungan masyarakatnya, walaupun pimpinan perusahaan tersebut masih merasa asing terhadap istilah CSR, namun dalam kenyataannya
158
semenjak perusahaan tersebut didirikan pada tahun 1996 telah peduli terhadap lingkungannya. Disamping melaksanakan CSR keluar perusahaan, PT Bali Timur Mandiri juga melaksanakan CSR ke dalam perusahaan itu sendiri, yaitu dengan mengadakan penataan tempat kerja, sehingga karyawan lebih betah dalam melaksanakan kerja, sehingga profit yang diterima perusahaan bisa lebih banyak, disamping itu juga diperhatikan kesejahteraan karyawan dan keluarganya. Dana CSR dalam perusahaan ini terlepas dari dana promosi untuk perusahaan yang bersangkutan. Dana CSR nya diambil dari keuntungan yang diterima oleh perusahaan tersebut, sehingga besar kecilnya dana tersebut sangat tergantung dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut, sehingga tidak ada prosentase tertentu dalam pelaksanaan CSR tersebut, tetapi pelaksanaan CSR di PT Bali Timur Mandiri berkelanjutan sampai sekarang. (Wawancara dengan Bapak Oka Pradipta, PIC PT Bali Timur Mandiri tanggal 2 Februari 2011). Masih dalam daerah yang sama, penelitian juga dilakukan di PT Sumber Alam Semesta yang bergerak dalam produksi dan penjualan Air Minum dengan Merek Shita. Bentuk CSR yang diterapkan adalah dengan memberikan bantuan materiil ke Pura (tempat suci agama Hindu) yang berupa produk dari perusahaan, yaitu berupa air minum dalam bentuk box, disamping itu juga dalam bentuk dana (uang). Bantuan juga diberikan kepada Yayasan Guru Kula, yayasan ini memelihara anak-anak yang kurang mampu atau anak-anak yang terlantar. (Wawancara dengan Doddy Wirayoga, Konsultan PT Sumber Alam Semesta, tanggal 2 Februari 2011)
159
CSR juga diberikan kepada masyarakat disekitar perusahaan, yaitu memberikan air secara cuma-cuma kepada anggota masyarakat disekitar perusahaan atau air gratis setiap hari untuk keperluan konsumsi. CSR juga rutin diberikan kepada Banjar Bebalang, Banjar Petak, dan Banjar Kubu yang ada disekitar perusahaan. Prosentase CSR yang diberikan kepada masyarakat adalah sebesar 3,5 % dari keuntungan yang diterima oleh perusahaan tersebut.(Wawancara dengan Bapak Ketut Suyasa, Kepala Produksi PT Sumber Alam Semesta tanggal 2 Februari 2011). Kalau melihat pendapat Kotler dan Lee maka PT Sumber Alam Semesta dalam pelaksanaan CSR mengambil bentuk Cause related marketing yaitu bentuk kontribusi perusahaan dengan menyisihkan beberapa persen dari pendapatan yang diperoleh perusahaan sebagai donasi bagi permasalahan sosial tertentu, untuk periode tertentu atau produk tertentu. Di samping itu bentuk CSR yang diterapkan adalah merupakan Kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Kemitraan ini diwujudkan secara umum dalam program community development untuk membantu peningkatan kesejahteraan umum masyarakat setempat dalam kurun waktu yang cukup panjang, yaitu dengan memberikan sumbangan air minum secara berkelanjutan setiap hari kepada masyarakat di lingkungan perusahaan. Melalui program ini, diharapkan masyarakat akan menerima manfaat keberadaan perusahaan yang digunakan untuk menopang kemandiriannya bahkan setelah perusahaan berhenti beroperasi.
160
Di Kota Denpasar penelitian dilakukan di PT Federal Internasional Finance (PT FIF). Dari beberapa responden perusahaan yang diwawancarai, baru PT FIF Cabang Denpasar yang sudah membentuk bagian khusus di dalam manajemen perusahaannya untuk menangani masalah CSR. PT FIF Cabang Denpasar merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pembiayaan roda dua khususnya sepeda motor Honda, pembiayaan sepeda motor bekas dan pembiayaan elektronik (spektra). Pelaksanaan CSR di PT FIF Cabang Denpasar diharapkan akan terjadi keseimbangan antara ekspektasi bisnis, ekonomi, dan sosial. Dengan pelaksanaan hal tersebut maka PT FIF akan mampu bersaing dan sustainable bisnis akan tercapai. Di PT FIF penerapan CSR sangat sistematis karena masalah CSR telah diatur oleh departemen tersendiri. PT FIF telah melaksanakan CSR sejak tahun 2005 jadi sebelum diatur dalam UU PT 40 Tahun 2007, dan yang berlaku di Indonesia pada saat itu, adalah UU No. 1 Tahun 1995 Bentuk CSR yang diterapkan di PT FIF adalah Pengelolaan lingkungan kerja secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan lingkungan yang aman dan nyaman, sistem kompensasi yang layak dan perhatian terhadap kesejahteraan karyawan dan keluarganya. Sebagai salah satu anak perusahaan Astra, FIF Cabang Denpasar sangat menyadari bahwa karyawan merupakan salah satu asset yang sangat berharga bagi perusahaan. Oleh karenanya pengeloaan SDM menjadi perhatian utama perusahaan baik dari segi Knowledge & Skill sehingga apa yang menjadi visi dan misi perusahaan dapat tercapai. Dengan terciptanya sikap saling toleransi dan menjaga kebersamaan
161
antar karyawan sangat diharapkan menjadi motor perusahaan dalam meraih performance maksimal untuk mendapatkan profit yang lebih tinggi. Program yang dilakukan untuk memenuhi harapan stakeholder antara lain meningkatkan kepedulian sosial karyawan dan keluarganya dengan kegiatan donor darah, memotifasi semangat belajar anak-anak karyawan dengan bea siswa anak karyawan, berkaitan dengan keselamatan kerja karyawan meliputi pelatihan Argonomi, Safety Ridding, Safety Lifting, pelatihan pemadam kebakaran dan evakuasi keadaan darudat. Kemudian untuk meningkatkan kerohanian karyawan dan keluarganya dilakukan doa bersama ke pura dan buka puasa bersama. Dalam bidang kesehatan secara rutin dilakukan karyawan melalui olah raga, dan selalu aktif dalam POR ASTRA, peningkatan pengetahuan karyawan dilakukan dengan training dan ilearning dan kegiatan Reward dan punishment juga sebagai bagian dari peningkatan disiplin karyawan. Bentuk CSR yang lain dari PT FIF adalah Penanganan kelestarian lingkungan perusahaan sendiri, termasuk melakukan penghematan penggunaan listrik, air, kertas, dan yang lainnya, sampai penanganan limbah akibat kegiatan perusahaan, agar tidak mencemari lingkungan sekitar kantor, pabrik dan atau lahan. Penentuan supplier FIF Denpasar dilakukan melalui proses tender, dimana pada saat tender juga dilakukan review dan inspeksi langsung ke lokasi supplier, untuk memastikan apakah supplier telah menerapkan LK3 dalam proses produksinya. Dalam kaitan dengan Customer, PT FIF Cabang Denpasar selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik, terutama pada hari pelanggan, dengan memberikan
162
bingkisan pada beberapa konsumen yang beruntung, dan oleh karena konsumen PT FIF adalah pengguna sepeda motor, maka kegiatan CSR diarahkan untuk memberikan penyuluhan akan pentingnya keselamatan dalam bersepeda motor dengan melakukan pembuatan SIM keliling. Terhadap masyarakat disekitar perusahaan, PT FIF Cabang Denpasar dalam upaya untuk memenuhi harapan stakeholder masyarakat sekitar perusahaan, melakukan beberapa hal antara lain: 1. Donasi yang dilakukan di Ring 1 sampai dengan ring 3, yang meliputi: a. Pemberian bea siswa kepada sekolah –sekolah yang ada di sekitar perusahaan, serta sumbangan Perpustakaan binaan PT FIF. b. Support PT FIF dalam bidang kesehatan (pos yandu dan puskesmas). c. Support dalam lomba menyanyi untuk anak sekolah dasar se kota Denpasar d. Support untuk kegiatan anak-anak autis se Bali. 2. Donasi dalam kegiatan Aspek Pendekatan Budaya di ring 1 sampai 2, meliputi: a. Melatih anak-anak karyawan belajar menari b. Pentas budaya karyawan FIF Dps pada perayaan HUT FIF se Bali c. Support penyelenggaraan lomba. d. Menyumbang tempat sampah kepada Kepala Taman Budaya Art Centre Denpasar dan Kepala Pesta Kesenian Bali (PKB) dan support kaos berlogo FIF untuk pedagang di area PKB 3. Income Generated Activity (IGA) di ring 1, meliputi pembinaan dan pengembangan usaha masyarakat di sekitar perusahaan yaitu dengan membantu
163
memberikan bantuan mesin Photo copy, dan pada saat sekarang telah mengalami perkembangan dengan membuka out let di Jalan Setiabudi dan pada saat ini telah memiliki 4 mesin photo Copy. Bentuk CSR yang lain dari FIF adalah partisipasi terhadap lingkungan, yaitu dengan menjaga lingkungan yang bersih dan sehat, karena hal ini sudah menjadi komitmen seluruh karyawan FIF Denpasar. PT FIF secara konsisten melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kebersihan lingkungan naik di kantor maupun di luar kantor, melalui lomba kebersihan dan kerapian di meja kerja masing-masing karyawan sampai sampai kerja bakti di sekitar lingkungan kantor, bahkan sampai tempat-tempat umum, misalnya di Pura Jagatnatha, dan Wihara Budha, sambil menyumbang tempat sampah. Kegiatan konservasi lingkungan juga aktif dilakukan mengingat PT FIF sebagai perusahaan yang bergerak dibidang pembiayaan sepeda motor, dimana sepeda motor Honda di bilang ramah lingkungan dan hemat BBM, namun disadari sehemat apapun hal tersebut tetap mencemari lingkungan hidup, oleh karena itu PT FIF Denpasar tetap melakukan penghijauan sebagai salah satu tanggung jawab terhadap lingkungan yang lestari. PT FIF berpasrtisipasi dalam konservasi Lingkungan Hidup dan Penghijauan di Pulau Serangan pada hari Lingkungan Hidup, yang juga merupakan program dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar. PT Jabato Tour & Travel yang bergerak dalam bidang pariwisata yang khusus menangani wisatawan Jepang, Pada intinya juga menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan. Wawancara yang dilakukan dengan Bapak Roby Napitupulu Acc
164
Manager & General Affair PT Jabato mengatakan bahwa PT jabato secara rutin memberikan sumbangan kepada Banjar yang ada di lingkungan kantor PT Jabato, baik dalam hubungannya dengan upacara keagamaan, atau kegiatan yang dilakukan oleh para pemuda dalam upaya untuk meningkatkan kreatifitas pemudanya, misalnya kegiatan oleah raga, atau dalam rangka ulang tahun sekehe teruna teruni. Jadi bentuknya berupa Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai ”kegiatan amal perusahaan”. Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi dukungan finansial dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan menunjang kegiatan bisnis perusahaan, karena perusahaan melalui investasi sosial akan dapat menuai citra yang positif (corporate image) Di samping itu PT Jabato juga menerapkan bentuk CSR yang lain, yaitu berupa Pengelolaan lingkungan kerja secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan lingkungan yang aman dan nyaman, misalnya dengan pemasangan AC disetiap ruangan, sehingga karyawan merasa nyaman dalam melaksanakan tugasnya sehari hari. Disamping itu juga menerapkan sistem kompensasi yang layak dan perhatian terhadap kesejahteraan karyawan dan keluarganya. Di Kabupaten Badung penelitian dilakukan di PT Asuna Bali yang beralamat di Jalan BY Pas I. Gusti Ngurah Rai Nusa Dua. Perusahaan ini bergerak dalam bidang property yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing yang berbentuk Perseroan Terbatas,. Perusahaan ini dimotori oleh warga negara Jepang yang bernama
165
Norihiro Hayakawa sebagai Presiden Direktur, dan I Wayan Rajendra sebagai Direktur. Perusahaan ini berdiri pada tahun 2004 dan mulai melaksanakan CSR sejak tahun 2005, sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007. PT Asuna Bali secara rutin memberikan bantuan langsung kepada Yayasan Darus yang beralamat di daerah Nusa Dua, kemudian bantuan juga diberikan kepada Panti Asuhan Harapan Anak (Hope Children Home), kemudian juga memberikan bantuan kepada Panti Asuhan Darma Jati, berupa makanan, pakaian, gula, beras. Kemudian dana CSR juga diberikan kepada Panti Asuhan Tat Twam Asi. Bantuan ini secara rutin diberikan setiap 3 bulan sekali, bahkan Presdir mempunyai rencana untuk memberikan dana CSR nya kepada panti asuhan tersebut setiap bulan tergantung pada keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan tersebut. Presdir dari PT Asuna sangat tertarik terhadap CSR tersebut karena dalam usahanya tersebut sangat berkaitan sekali dengan alam lingkungan dan masyarakat disekitar perusahaan tersebut, yaitu dalam pembangunan property. Di samping itu PT Asuna marketnya lebih banyak berorientasi kepada orang asing, sehingga penerapan CSR sangat dirasakan sekali manfaatnya terhadap keberlangsungan perusahaan, baik terhadap masyarakat lokal maupun masyarakat mancanegara. Orang asing akan tertarik apabila perusahaan yang bersangkutan melaksanakan CSR, karena hal tersebut dikatakan sebagai daya tarik baik untuk mendapatkan tambahan modal ataupun pemasaran produk PT Asuna Bali tersebut. Oleh karena itu PT Asuna sangat konsen dalam memberikan dana CSR kepada masyarakat. Jadi
166
bentuk CSR yang diterapkan disini lebih mengarah kepada tindakan amal perusahaan terhadap lingkungan. (Wawancara dengan Norihiro Hayakawa Presdir PT Asuna Bali tanggal 22 Februari 2011). Bentuk CSR yang lain adalah berupa sumbangan dana kepada klub sepakbola yang ada di daerah sekitar perusahaan, kemudian juga sumbangan kepada masyarakat sekitar perusahaan, yaitu masyarakat di Mumbul, Nusa Dua. Sumbangan rutin setiap tahun dapat berupa sumbangan kepada pemuda dalam menyambut perayaan Hari Raya Nyepi yaitu sumbangan untuk membuat Ogoh- ogoh. Jadi kalau memakai pendapat dari Kotler dan Lee sebenarnya PT Asuna telah melaksanakan Corporate philantrophy yaitu inisiatif dari perusahaan dengan memberikan kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, baik dalam bentuk donasi ataupun sumbangan tunai. Menurut Direktur PT Asuna menyatakan merasakan manfaat dari pemberian dana tersebut kepada masyarakat, salah satu manfaat yang dirasakan adalah dukungan masyarakat akan keberlangsungan perusahaan tersebut sangat besar, sehingga perusahaan merasa nyaman dalam melaksanakan aktifitasnya setiap hari. Di samping itu kedalam perusahaan khususnya terhadap karyawan, PT Asuna Bali melaksanakan CSR intern berupa penataan lingkungan kerja, sehingga para karyawan merasa nyaman dalam melaksanakan tugas sehari hari, melakukan penghematan listrik, misalnya pemakaian AC dalam waktu tertentu, penghematan penggunaan kertas, serta peningkatan servis terhadap karyawan untuk waktu-waktu tertentu, misalnya melakukan persembahyang bersama ke pura yang ada di Bali terutama yang beragama Hindu, pemberian bonus pada waktu ulang tahun sebanyak
167
Rp.500.000 kepada setiap orang pegawai, perayaan Natal dan Tahun Baru. (Wawancara dengan Bapak I Wayan Rajendra, tanggal 22 Februari 2011) Di Kabupaten Badung penelitian juga dilakukan di PT 18 Jaya yang beralamat di Jalan Sun Set Road No. 18 Kuta Badung. Perseroan Terbatas ini didirikan pada tahun 2003 dan bergerak dalam bidang Property, khususnya dalam penjualan Vila dan juga perumahan. Wawancara yang dilakukan dengan Manajer PT 18 Jaya pada tanggal 25 Februari 2011 pada intinya Direktur PT 18 Jaya belum begitu akrab dengan istilah CSR, tetapi di sisi lain PT ini sudah secara rutin melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaannya kepada masyarakat sekitar perusahaan, ataupun masyarakat disekitar proyek yang sedang dibangun. CSR yang diberikan kepada masyarakat dapat berupa uang atau dana, atau dapat juga beruapa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat, misalnya sumbangan seperangkat computer kepada sekolah yang ada di sekitar proyek perusahaan. Dana CSR juga dalam bentuk yang lain yaitu memberikan sumbangan kepada pura(tempat suci) dalam bentuk dana punia yang dilakukan secara rutin, baik terhadap pura yang ada di sekitar perusahaan, maupun pura yang ada di kabupaten yang lain, misalnya di Pura Batur Sari yang ada di Kabupaten Tabanan. Di samping sumbangan diberikan ke pura-pura yang berupa dana punia yang berhubungan dengan Ketuhanan, dana CSR juga disalurkan untuk kepentingan kemanusiaan, misalnya memberikan sumbangan kepada panti asuhan yang ada di Denpasar atau di Kabupaten Badung, kemudian memberikan sumbangan hari raya kepada masyarakat sekitar, dan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar
168
perusahaan, maka PT 18 Jaya mengajak anggota masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemasaran Vila atau perumahan yang menjadi proyek perusahaan, apabila ada anggota masyarakat yang mampu untuk menjual Vila atau rumah yang dibikin oleh PT 18 Jaya maka diberikan prosentase dari penjualan vila tersebut, dan hal ini dilakukan secara berkelanjutan dimana PT 18 Jaya membangun Vila atau perumahan. Kemudian dalam merekrut karyawan PT 18 Jaya berusaha untuk mengangkat warga dari sekitar proyek yang sedang ditangani, misalnya sebagai Satuan Pengaman (Satpam) Vila atau perumahan yang dikembangkan. Dalam hubungan dengan lingkungan PT 18 Jaya melakukan penataan lingkungan di sekitar Vila atau perumahan, kemudian membantu masyarakat apabila ada bencana baik yang ada di Bali atau di luar Bali, misalnya memberikan bantuan terhadap korban Gunung Merapi, dan untuk menjaga keamanan khususnya di pedesaan, PT 18 Jaya memberikan bantuan sebuah Mobil Kijang kepada Desa Pakraman Pecatu Ungasan untuk menjaga keamanan desa (jaga baya). (Wawancara dengan A.A Ketut Trisna Guna, Manager PT 18 Jaya, tanggal 28 Februari 2011). PT 18 Jaya memisahkan antara dana promosi dengan dana CSR, dan tidak ada standar tertentu untuk memberikan dana CSR kepada masyarakat, sangat tergantung terhadap keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan, tetapi penyaluran dana CSR tersebut dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan Presdir PT 18 Jaya sangat memegang konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan baik di perusahaan maupun dalam kehidupan pribadinya, dimana hubungan manusia dengan Tuhan, dengan manusia dan dengan lingkungan harus dilakukan secara seimbang, sehingga dalam
169
memberikan dana CSR kepada masyarakat selalu diperhatikan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam lingkungan, sehingga terjadi keseimbangan kehidupan, apabila telah tercapai keseimbangan tersebut, maka keberlangsungan kehidupan perusahaan bias dicapai. (Wawancara dengan A.A Ketut Trisna Guna, Manager PT 18 Jaya, tanggal 28 Februari 2011). Di samping memberikan dana CSR ke masyarakat (CSR extern) PT 18 Jaya juga melakukan CSR intern, yang hampir sama dengan dengan perusahaan yang ada di kabupaten yang lain sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan sebelumnya, misalnya melakukan penataan terhadap penggunaan listrik, yang sebelumnya listrik menyala 24 jam di kantor, sekarang dikurangi tergantung pada keperluan dari perusahaan. Di Daerah Gianyar penelitian di lakukan di PT BPR Suadana yang beralamat di Desa Pakraman Celuk Sukawati Gianyar. PT BPR Suadana didirikan pada tahun 1996, tepatnya pada tanggal 10 Juni 1996. Pada intinya Direktur Utama (Dirut) PT BPR Suadana masih asing terhadap istilah tanggung jawab sosial perusahaan yang diatur dalam UU PT No. 40 Tahun 2007. Setelah diberikan penjelasan lebih lanjut tentang keberadaan UU No. 40 Tahun 2007 serta pemahaman tentang CSR, ternyata PT BPR Suadana sudah sejak dari pendiriannya melaksanakan CSR kepada masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari pola hidup dan pola pikir dari masyarakat adat yang ada di Bali.
170
Menurut Dirut PT BPR Suadana menyatakan alau sampai menolak untuk memberikan sumbangan kepada anggota masyarakat, apabila ada anggota masyarakat yang datang ke kantor untuk meminta sumbangan baik untuk kepentingan agama (berupa dana punia) atau untuk kepentingan kemanusiaan, misalnya sumbangan untuk pelaksanaan lomba, yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun oleh pemuda Banjar Abasan Singapadu Gianyar. Sumbangan yang lain diberikan untuk keperluan pelaksanaan Kejuaraan Volly “Merpati Cup” yang diselenggarakan oleh Pemuda di Desa Singapadu. Dana CSR yang bersifat tetap dilakukan oleh PT Bank Suadana adalah memberikan bantuan dana pendidikan 5% dari keuntungan perusahaan kepada anakanak karyawan PT BPR Suadana, hal ini dilakukan untuk menggali potensi yang dimiliki oleh anak anak karyawan, sehingga anak-anak bisa berlomba untuk mendapatkan dana tersebut. PT BPR Suadana tidak memiliki bagian khusus yang menangani tentang CSR, walaupun demikian jauh sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 PT BPR Suadana sudah peduli terhadap masyarakat dan lingkungan, yang dikenal pada saat sekarang dengan sebutan CSR. Dana CSR di PT BPR Suadana tidak terpisah dengan dana promosi, jadi dilaksanakan secara bersama-sama tanpa melihat situasi perusahaan, sepanjang perusahaan masih bisa eksis, maka sumbangan tetap dilaksanakan, hal ini menandakan kesadaran hukum PT BPR Suadana cukup tinggi kepeduliannya terhadap masyarakat dan lingkungan. Dari penelitian yang telah dilakukan tersebut diketahui bahwa perusahaan
171
dalam melaksanakan usahanya tidak hanya berorientasi kepada keuntungan sematamata, tetapi juga peduli terhadap masyarakat , dan alam lingkungan yang ada disekitar perusahaan, sehingga pendapat Milton Friedmen yang menyatakan bahwa tujuan utama perusahaan adalah semata-mata mencari keuntungan (profit) bukan merupakan budaya masyarakat Bali, dan semua responden dalam melaksanakan CSR tersebut sesuai dengan teori yang diajukan oleh John Elkington pada tahun 1997 teori triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan
kelangsungan
hidupnya,
maka
perusahaan
tersebut
harus
memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).130 Perusahaan dalam kegiatan usahanya dengan mengharmonisasikan aspek ekonomi, lingkungan dan masyarakat akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri. Dalam teori ini dapat dijabarkan tiga unsur yang ada didalamnya yaitu: 1. Profit (Keuntungan) Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi fokus utama dari setiap kegiatan usaha. Tak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar keuntungan atau meningkatkan harga saham setinggi-tingginya baik secara langsung ataupun tidak langsung. Inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang paling utama terhadap pemegang saham. 130
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit. hal. 33.
172
Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efesiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan yang kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin. 2. People (Masyarakat) Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting perusahaan, karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan, maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesarbesarnya kepada masyarakat. Selain itu juga perlu disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar, karenanya pula perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Memang tak bisa dipungkiri adanya anggapan bahwa tanggung jawab sosial bukanlah aktivitas utama pelaku bisnis. Fokus utama bisnis adalah mendongkrak laba. Namun diyakini, penganut aliran pemikiran ini kian sedikit karena tidak masuk akal dan tidak sesuai kenyataan. Dampak yang diakibatkan bisnis kepada masyarakat,
173
juga perlu diantisipasi dan diperhitungkan. 131 Pemikiran yang hanya memfokuskan perusahaan pada peningkatan laba untuk masa sekarang tidak relevan lagi, karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara keberlanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi terkait lainnya termasuk dimensi sosial. Menghadapi tren tersebut, saatnya perusahaan melihat serius pengaruh dimensi sosial, dari setiap aktivitas bisnisnya, karena aspek tersebut bukanlah suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan. 3. Planet (Lingkungan) Unsur ketiga yang perlu diperhatikan juga adalah planet atau lingkungan. Jika perusahaan ingin eksis dan akseptabel maka harus disertakan pula tanggung jawab kepada lingkungan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Hubungan manusia dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat, dimana jika manusia merawat lingkungan maka lingkungan pun akan memberikan manfaat kepada manusia. 131
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit., hal. 34.
174
Berpijak dari teori Triple Bottom Line (3BL) yang kemudian oleh John Elkington diumpamakan menjadi triple P (3P) yakni profit, people dan planet. Ketiga komponen itu saling terkait satu sama lainnya. Apabila salah satu komponen ditinggalkan, maka akan menimbulkan berbagai dampak sosial, ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu, setiap perusahaan harus mengubah paradigmanya menjadi corporate image. Sehingga akan berdampak pada jaminan kelangsungan dan keberlanjutan aktivitas usaha suatu perusahaan. Teori Triple Bottom Line (3BL) yang dipopulerkan dengan istilah 3 P, nampaknya sangat relevan sekali apabila dikaitkan dengan konsep Tri Hita Karana yang terdapat di Bali, khususnya P yang kedua yaitu people (masyarakat) berkaitan erat dengan unsur pawongan dalam Tri Hita Karana, dan P yang ketiga adalah planet (lingkungan) sangat berkaitan erat dengan unsur Palemahan. Dari hasil Penelitian yang dilakukan ternyata pengembangan CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di Bali semua mengkaitkan dengan konsep Tri Hita Karana tersebut. Bentuk CSR yang dilakukan oleh perusahaan di Bali pada umumnya dilakukan secara langsung oleh perusahaan yang bersangkutan, kemudian dalam melaksanakan CSR tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu untuk unsur Parahyangan dilakukan dengan melakukan dana punia ke pura pura (persembahan berupa uang ke tempat suci umat Hindu), kemudian unsur Pawongan dilaksanakan dengan memberikan bantuan atau berupa sumbangan ke masyarakat, baik untuk kepentingan kelembagaan, maupun untuk kegiatan yang bersifat sosial, dan unsur Palemahan dilakukan dengan melakukan penanaman pohon atau penataan lingkungan
175
yang ada di sekitar perusahaan tersebut. Konsep CSR yang pada awalnya muncul di negara barat pada intinya hanya menekankan pada dua hal pokok, yaitu peduli terhadap masyarakat sekitar dan terhadap lingkungan. Penelitian yang dilakukan di Bali menunjukkan adanya perbedaan implementasi CSR, dimana perusahaan dalam melaksanakan CSR bukan hanya berorientasi pada masyarakat dan lingkungan (People dan Planet ) tetapi ada satu hal yang tidak ditekankan di negara barat adalah masalah ketuhanan, yang kalau di Bali mendapat perhatian yang paling utama. Kalau mengkaji kepada Pasal 74 ayat (1) UU PT, CSR yang diikuti berorientasi pada konsep CSR yang terdapat di negara barat. Sedangkan disisi lain konsep kehidupan yang ada di Bali mengarah kepada tiga hal, yaitu ketuhanan, manusia dan lingkungan. Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk masa yang akan datang bagaimana konsep ketuhanan yang ada di Bali bisa masuk dalam salah satu unsur dari CSR yang berlaku di Indonesia, sehingga dalam pelaksanaan CSR tersebut sangat harmonis dengan konsep Tri Hita Karana yang ada di Bali. Disinilah pentingnya peran hukum sebagai mekanisme integrasi, seperti yang diajukan oleh Talcot Parson. Indonesia yang dikenal sebagai Negara religius di dunia, hendaknya mempunyai satu konsep tersendiri yaitu konsep CSR Indonesia, dengan memasukkan unsur agama ke dalam konsep CSR, sehingga dalam memberlakukan UU PT tersebut sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia dan masyarakat adat Bali pada khususnya. Sarana untuk mengintegrasikan kepentingan tersebut adalah hukum.
176
Parson menempatkan hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Disamping hukum terdapat sub-sistem yang lain yang mempunyai logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sistem yang dimaksud adalah budaya, politik, dan ekonomi. Budaya berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh karena itu mesti dipertahankan. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of the game) dan fungsi utama sub system ini adalah mengkordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main. Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Sedangkan ekonomi menunjuk pada sumber daya materiil yang dibutuhkan menopang hidup sistem. Posisi hukum begitu sentral disini. Hukum harus mampu menjinakkan susb-sub sistem yang lain agar bisa berjalan sinergis tanpa saling berbenturan. Setiap sub sistem mempunyai logika, mekanisme dan tujuan yang berbeda. Disatu sisi sub sistem budaya cendrung konservatif serta mempertahankan pola-pola ideal yang terdapat di masyarakat. Masyarakat terkadang kurang memahami makna dari penerapan CSR, dan sering menimbulkan benturan dalam masyarakat. Contoh masyarakat minta sumbangan yang cukup besar kepada perusahaan dengan suatu anggapan bahwa itu hak dari masyarakat untuk mendapat sumbangan itu, dan perusahaan wajib untuk membayarnya. Pada sisi lain, sub sistem ekonomi sangat dinamis dan cenderung melahirkan terobosan-terobosan baru yang bisa saja “asing” dan “liar” dari ukuran pola-pola ideal budaya. Dari sisi ekonomi tujuan perusahaan yang utama adalah mencari keuntungan
177
yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya, dan hal itu merupakan prinsip yang bersifat universal di dunia. Tetapi dalam hubungan masyarakat adat di Bali prinsip tersebut tidak berlaku secara utuh demikian juga perkembangan pola pikir yang terjadi pada saat sekarang sudah menggeser pemikiran tersebut dengan lahirnya konsep CSR ini. Perusahaan mau memperhatikan masyarakat, lingkungan sekitar perusahaan untuk ikut memberikan kontribusi dari keuntungan yang diperoleh perusahaan. Sedangkan sub sistem politik senantiasa mencari berbagai cara untuk mencapai tujuan yang boleh jadi cara-cara yang dipakai tidak sesuai dengan pola budaya dan realitas sumberdaya materiil itu. Keadaan yang rentan benturan tersebut harus ditangani oleh hukum lewat fungsi pengintegrasiannya agar setiap sub sistem berjalan serasi dan sinergis demi lestarinya sistem. Perusahaan mau peduli terhadap masyarakat sekitar perusahaan tersebut, kemudian masyarakat ikut menjaga keberlangsungan perusahaan tersebut, sehingga terjadi adanya keharmonisan antara perusahaan dengan masyarakat. Oleh karena itu Parsons menempatkan hukum sebagai unsur utama integrasi sistem. Hidup matinya sebuah masyarakat ditentukan oleh berfungsi tidaknya tiap subsistem sesuai tugas masing-masing. Untuk menjamin itu, hukumlah yang ditugaskan menata keserasian dan gerak sinergis dari tiga susb-sistem yang lain itu.
178
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat diajukan simpulan sebagai berikut:
1. Model atau pola CSR yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di Bali pada umumnya adalah CSR dilaksanakan secara langsung oleh perusahaan. Perusahaan
melaksanakan
program
CSR
secara
langsung
dengan
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara dengan tetap berorientasi pada tiga hal yaitu parahyangan, pawongan dan palemahan. 2. Bentuk CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan yang berbentuk PT yang ada di Bali adalah sebagai berikut: a. Pengelolaan lingkungan kerja secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan lingkungan yang aman dan nyaman(unsur palemahan), sistem kompensasi yang layak dan perhatian terhadap kesejahteraan karyawan dan keluarganya (unsur pawongan) b. Kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Kemitraan ini diwujudkan secara umum dalam program community
179
development untuk membantu peningkatan kesejahteraan umum masyarakat setempat dalam kurun waktu yang cukup panjang
dan hal ini merpakan
realisasi dari unsur pawongan. c. Penanganan kelestarian lingkungan perusahaan sendiri, termasuk melakukan penghematan penggunaan listrik, air, kertas, dan yang lainnya, sampai penanganan limbah akibat kegiatan perusahaan, agar tidak mencemari lingkungan sekitar kantor, pabrik dan atau lahan (unsur palemahan) d.
Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai ” kegiatan amal perusahaan” yang pada dasarnya diarahkan pada tiga hal, yaitu dana punia ke parahyangan, amal sesama manusia (masyarakat) dan pada lingkungan alam (unsure palemahan). Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi dukungan finansial dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan menunjang kegiatan bisnis perusahaan, karena perusahaan melalui investasi sosial akan dapat menuai citra yang positif (corporate image).
5.2 Saran. 1. Perlu diadakan sosialisasi lebih intensif tentang berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 khususnya tentang pemahaman CSR, karena masih banyak para pengusaha yang belum mengetahui tentang tanggung jawab sosial perseroan, tetapi mereka sudah melaksanakan prinsip CSR yang sesuai dengan pola hidup masyrakat adat di Bali.
180
2. Untuk lebih mengefektifkan berlakunya UU PT khususnya ketentuan tentang CSR, Pemerintah agar segera menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang tanggung jawab sosial perseroan (CSR) agar setiap dan semua pengusaha mempunyai kepastian hukum di dalam melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan harmonis berdasarkan konsep ”Tri Hita Karana” untuk menciptakan iklim bisnis yang sehat. 3. Disarankan kepada para pengusaha untuk membentuk departemen khusus tersendiri yang bertugas menjalankan CSR sehingga upaya ini dapat dilakukan dengan fokus dan terarah dan bantuan yang diberikan tersebut benar-benar bermanfaat bagi masyarakat disekitar perusahaan.
181
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Abdul Rasyid Saliman, et al., 2005, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Jakarta, Penerbit Kencana. Adi Sulistiyono, 2008, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, Dan Paradigma Moral, Penerbit Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press), Surakarta. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit Harvarindo.
Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Adiministrasi Negara, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung. Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Mandar Maju. Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y.Hage, 2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publising, Yogyakarta
Burhan Asshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Bryan A Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Publicing C.O, Chidir Ali,1997, Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita. Cornelius Simanjutak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.
182
Darji Darmodiharjo, Sidarta, 2002, Pokok-Pokok Fiksafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita. Dwi Kartini, 2008, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Malang: In-Tans Publishing.
Emrizon, Joni, 2007, Prinsip-prinsip Good Corporate Governnance, Yogyakarta, Genta Press Friedman, Lawrence.M, 1969, The Legal System: A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation
Geoffrey Sawer, 1980, Law In Society, Butterworth & Co (Publishers) Ltd Gunawan Widjaja, 2008, Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Penerbit Forum Sahabat Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Bandung, Penerbit Mandar Maju. Hamud M. Balfas, 2006, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta, Penerbit PT Tatanusa. Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, Percetakan Turbo Hendra Setiawan Boen,2008, Bianglala Business Judment Rule, Jakarta, Tatanusa. Hendrik Budi Untung, 2008, Corporate Sosial Responsibility, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Hilman Hadikusuma. H, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung. Isa Wahyudi, Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Penerbit Im Trans Publishing. Ismail Solihin, 2008, Corporate Social Responsibility From Gharity to Sustainability, Bandung, Salemba Empat.
183
Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung. Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Penerbit Refika Adi Tama, Bandung. Johannes Ibrahim, Lindawati Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, Bandung, Penerbit Refika Adi Tama. Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung, Alumni. Kaler, I. Gusti Ketut, 1994, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali, Denpasar, Penerbit Kayu Mas Agung. Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, 2007, Good Corporate Governance, Yogyakarta, Penerbit Total Media. Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit PT Gramedia Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta. Mardjono Reksodiputro, 2005, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum Dalam Kaitan Dengan HAM, Penerbit Refika Aditama. Mirsha, I Gusti Ngurah, 1994,Wrhaspati Tatwa, Penerbit Upada Sastra. Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Emperis, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Belajar. Mulya Amri dan Wicaksono Sarosa, 2008, CSR untuk Penguatan Kohesi Sosial,Jakarta, Indonesia Business Links Munir Fuady, 2005, Perbandingan Hukum Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti. Otje Salman, 2008, Teori Hukum, Penerbit Reflika Aditama Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Kencana.
184
Peter Van Den Bossche, 2008, The Law And Policy of the Word Trade Organization, Cambridge University Press Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, PT Bina Ikmu , Surabaya. Purwita, Ida Bagus Putu, 1995, Butir-Butir Mutiara Pembinaan Desa Adat Di Bali, Denpasar, MPLA Dati I Bali Raka, I Gusti Putu, cs, 1992, Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Denpasar MPLA Dati I Bali Saidi, Zaim, 2002, Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta, Penerbit Piramida. Salam, Baharuddin, 1997, Etika Moral, Asas Moral Dalam Kehidupan Sosial Manusia, Jakarta, Renika Cipta Sentosa, Mas Achmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, Jakarta,: ICEL. Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar Maju Siahaan,N.H.T, 2009, Hukum Lingkungan, Jakarta, Penerbit Pancuran Alam. Suhandari M. Putri, 2007, Schema CSR, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika. Suharto, Edi, 2007, Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan/Corporate Sosial Responsibility), Bandung, Penerbit Reflika Aditama.
Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Masyarakat:Studi Kasus Empat Perusahaan, Jakarta, Penerbit YAPPIKA, IDSS Susanto. AB, 2009, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan Strategic Management Dalam CSR Jakarta, Erlangga Group.
Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, JakartaPenerbit Rajawali
185
------------------------, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta. ------------------------, 1985, Efektiviras Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung, Penerbit Remaja Karya, -------------------------, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Sri Rejeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Penerbit Mandar Maju, Bandung. Syarip Hidayat, 2008, Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Internasional Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika. Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing In Law , Law Book CO Pyrmon NSW. Yusuf Wibisono,2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, Penerbit Salemba Empat. Zainuddin Ali,2008, Sosiologi Hukum, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.
II. Peraturan Perundang- undangan. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029
Makalah. Legawa I. Made, dkk, 2002, Pengkajian Tri Hita Karana Sebagai Dasar Pembangunan Daerah Bali, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Bali Dengan Universutas Mahasaraswati Denpasar
186
Robert Khuana, 2009, Corporate Social Responsibility (CSR) Antara Tuntutan dan Kenyataan, Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan Hukum Di Indonesia, tanggal 16 November 2009. Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2009, A Hybrid Framework Suatu Alternative Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) Di Indonesia, Makalah Dalam DISEMINASI REKOMENDASI BAGI PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA, Kerjasama Komisi Hukum Nasional RI dengan FH UNUD BALI, Ina Sindhu Beach Sanur Bali, 16 November 2009.
Suryatin Lijaya, 2009, CSR (Corporate Social Responsibility) Dalam Peraturan Perundang-undangan , Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan Hukum Di Indonesia, tanggal 16 November 2009. Wiryawan I Wayan, 2009, Makalah Tanggapan/komentar atas penyaji rekomendasi dari Mardjono Reksodiputro, tanggal 16 Nopember 2009
Internet Gail Thomas, 2006, Corporate Social Responsibility, A http://www.business.curtin.edu.au/files/GSB_Working_Paper_No._62_
Difinision.
Yanti Triwadiantini Koester, 2007, Corporate Social Responsibility in Indonesia, http://www. asean foundation .org/seminar/paper.
187
DAFTAR RESPONDEN
1. N a m a
: I Ketut Suyasa
Umur
: 46 Tahun
Jabatan
: Kepala Produksi
Perusahaan : PT Sumber Alam Semesta Bangli. Alamat 2. N a m a
: Jalan LC Aya Bangli. : Dody Wirayoga
Umur
: 27 Tahun
Jabatan
: Konsultan
Perusahaan : PT Sumber Alam Semesta Bangli. Alamat 3. N a m a
: Jalan Kartini Klungkung. : Oka Pradipta
Umur
: 49 Tahun
Pekerjaan
: Swasta
Jabatan
: Direktur PT Bali Timur Mandiri Bangli.
Alamat
: Jalan Gunung Agung Gang II/26 Denpasar.
4. N a m a
: Ani Fanawatie
Umur
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Swasta
Jabatan
: Branch Manager PT Federal International Finance
188
Alamat 5. N a m a
: Jalan Gatot Subroto No. 18 D Denpasar. : I Made Alit Putrawan
Umur
: 43 Tahun
Pekerjaan
: Swasta
Jabatan
: Inventory General Support Section Head PT Federal International Finance
Alamat 6. N a m a
: Jalan Gatot Subroto No. 18 D Denpasar. : Roby Nugroho
Umur
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Swasta
Jabatan
: Branch Manager PT Jabato Tour & Travel
Alamat
: Jalan Irawadi Perum Grahalia II No.3 Denpasar.
7. N a m a
: Wayan Rajindra
Umur
: 40 Tahun
Pekerjaan
: Swasta
Jabatan
: Direktur PT Asuna International
Alamat
: Jalan Raya Pemogan Gang Dewi Sri No.9 Denpasar
8. N a m a
: I. Ketut Sandi. SH.MM
Umur
: 58 Tahun
Pekerjaan
: Pegawai Negeri
Jabatan
: Direktur Utama PT BPR Suadana Gianyar
Alamat
: Jalan Raya Celuk Sukawati Gianyar
189
9. N a m a
: A.A Ketut Trisna Guna.
Umur
: 35 Tahun
Pekerjaan
: Swasta
Jabatan
: Manager PT 18 Jaya Kuta Badung
Alamat
: Jalan Sun Set Road No.18 Kuta Badung
190