BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menjalankan kegiatan usaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara individu, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Sebagaimana tujuan dari kegiatan usaha tersebut, banyak orang ingin pula menjalankan berbagai jenis kegiatan usaha karena kebutuhan hidup harus selalu terpenuhi. Tumbuhnya berbagai macam jenis kegiatan usaha inilah yang sesungguhnya melahirkan persaingan usaha antara pelaku usaha, berupa persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan persaingan usaha yang tidak sehat (unfair competition)1. Persaingan usaha yang tidak sehat tentunya tidak diinginkan oleh masyarakat karena akan mengakibatkan hilangnya kesejahteraan serta keadilan secara ekonomi. Salah satu jenis persaingan usaha tidak sehat yang sering terjadi di Indonesia adalah kartel. Berbagai kasus kartel terjadi di Indonesia, seperti kasus kartel penetapan harga fuel surcharge oleh 9 maskapai penerbangan di Indonesia yaitu PT. Garuda Indonesia, PT. Sriwijaya Air, PT. Mandala Airlines, PT. Travel Express Aviation, 1
Hermansyah, 2009, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h. 4
1
2
PT. Lion Mentari Airlines, PT. Wings Abadi Airlines, PT. Metro Batavia, PT. Merpati Nusantara Airlines dan PT. Kartika Airlines yang telah diputus bersalah dengan Putusan KPPU No. 25/KPPU-I/2009. Kasus ini bermula ketika terjadi peningkatan harga avtur pada pertengahan tahun 2006, sehingga 9 maskapai penerbangan secara sepakat menetapkan harga fuel surcharge yang dibebankan kepada masing-masing penumpang angkutan udara sebesar Rp 20.000,- dengan kondisi harga avtur rata-rata Rp 5.600,-/liter sejak 1 Mei 2006. Dalam menilai kasus tersebut, KPPU beranggapan bahwa unsur penetapan harga dan adanya dugaan kartel telah terpenuhi dikarenakan harga yang ditetapkan kepada suatu barang dan/atau jasa dimana dalam hal ini ialah fuel surcharge harus dibayar oleh konsumen dengan kondisi bahwa harga yang ditetapkan sejalan dengan melambungnya harga avtur pada saat itu. Ketika terjadi penurunan harga avtur, fuel surcharge tidak mengalami penurunan, sehingga dalam hal ini KPPU menduga telah terjadi prakik kartel dengan melanggar ketentuan pasal 5 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No. 5/1999). Kasus kartel lainnya yang pernah terjadi ialah kartel SMS oleh 6 perusahaan telekomunikasi yang melanggar pasal 5 UU No. 5/1999. KPPU menemukan pelanggaran dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) interkoneksi antar operator. Salah satu klausul perjanjian memuat penetapan tarif SMS yang
3
mengakibatkan terjadinya kartel harga SMS off-net pada periode 2004-20082. Pada tahun 2013, praktik kartel tidak hanya terjadi dibidang jasa penerbangan dan telekomunikasi. Indikasi praktik kartel terjadi pada produsen daging sapi di sejumlah wilayah Indonesia dan sebanyak 32 terlapor yang merupakan pelaku usaha yang saling bersaing ini diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU No. 5/1999. Dalam pertemuan-pertemuan di asosiasi, pelaku usaha diduga melakukan pembicaraan mengenai harga jual sapi dan pembahasan harga melalui asosiasi merupakan perilaku yang saling mengikatkan diri satu sama lain yang merupakan bentuk perjanjian3. Bentuk perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha secara sendiri dan atau bersama-sama untuk melakukan tindakan mengatur pasokan sapi dengan cara membatasi penjualan sapi ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan alasan untuk menjaga keberlangsungan persediaan ini telah mengakibatkan peningkatan harga sapi yang berdampak pada peningkatan harga daging sapi4. Walaupun tidak diketahui berapa besar kerugian konsumen sebagai akibat adanya kartel, namun kecenderungan yang terjadi memperlihatkan, bahwa kelebihan harga karena kartel cukup besar. Hal ini karena harga dari kesepakatan perjanjian kartel merupakan harga yang lebih tinggi dari harga yang tercipta karena persaingan. Oleh 2
-------, Putusan Kartel Diperkuat MA, Ini Respon KPPU, URL http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56d905b202e6f/putusan-kartel-sms-diperkuat-ma--inirespon-kppu, diakses pada 18 April 2016 3 -------, Ini Hasil Investigasi Sementara Dugaan Kartel Sapi, URL http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55f7e08c52242/ini-hasil-investigasi-sementara-dugaankartel-daging-sapi, diakses pada 18 April 2016 4 Ibid
:
:
4
karenanya tidak mengherankan bahwa kerugian akibat kartel dapat mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Ketiga kasus diatas menunjukan bahwa unsur perjanjian merupakan unsur terpenting dalam pembuktian kasus kartel. Perjanjian yang di bentuk oleh para pelaku usaha/organisasi yang terdiri atas pelaku usaha ini dapat dibentuk dalam perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Pada praktiknya, perjanjian yang memuat klausul-klausul antara pelaku usaha untuk melakukan praktik kartel ini dibentuk secara tidak tertulis, dengan tujuan agar kolusi para pelaku usaha yang tergabung dalam suatu organisasi/asosiasi ini tidak serta merta diketahui, sehingga menyebabkan sulitnya pembuktian kasus kartel oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU). Ketiadaan wewenang KPPU untuk melakukan penggeledahan dan menyita surat-surat atau dokumen perusahaan juga menjadi salah satu penyebab sulitnya pembuktian5, oleh karena itu penggunaan bukti tidak langsung/circumstantial evidence tidak dapat dihindari. Circumstantial evidence terdiri atas bukti ekonomi dan bukti komunikasi ini hanya digunakan pada pemeriksaan di tingkat KPPU, sedangkan lembaga peradilan seperti Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, tidak menggunakan alat bukti tersebut6.
5
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia : Dalam Teori dan Praktik serta Penerapan Hukumnya, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta h. 607 6 I Made Sarjana, 2014, Prinsip Pembuktian Dalam Hukum Acara Persaingan Usaha, Zifatama Publisher, Sidorajo, h. 150
5
Pembuktian dengan menghadirkan alat-alat bukti dalam persidangan merupakan tahap terpenting, agar dicapai suatu putusan yang objektif. Alat-alat bukti yang digunakan dalam pembuktian kasus persaingan usaha di Indonesia telah diatur dalam pasal 42 UU No. 5/1999 jo. Pasal 72 ayat (1) Peraturan KPPU No. 1/2010, namun circumstantial evidence tidak tercantum secara eksplisit dalam rumusan pasal tersebut. Dalam ketentuan lainnya seperti peraturan KPPU No. 4/2010 yang dibentuk KPPU sebagai pedoman untuk penanganan kasus kartel, hanya menerangkan bahwa circumstantial evidence/bukti tidak langsung ini dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk membuktikan kasus kartel. Belum terdapat ketentuan undang-undang maupun peraturan KPPU yang menerangkan secara jelas kedudukan circumstantial evidence dalam kasus kartel ini sebagai suatu alat bukti. Selain itu, circumstantial evidence menghadirkan bukti non hukum/bukti dari bidang ilmu lain juga menyebabkan banyak pihak mempertanyakan apakah circumstantial evidence ini sebagai alat bukti yang sah atau tidak digunakan guna pembuktian kasus kartel di Indonesia. Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk membahas dan memilih
usulan
penelitian
dengan
judul
―KEDUDUKAN
HUKUM
CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN KASUS KARTEL DI INDONESIA (ANALISA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999)‖
6
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka penulis akan mengemukakan beberapa pokok permasalahan yaitu sebagai berikut: 1.2.1
Bagaimana pengaturan circumstantial evidence dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel di Indonesia?
1.2.2
Bagaimana
kedudukan
hukum
circumstantial
evidence
dalam
pembuktian kasus kartel di Indonesia? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaturan dari circumstantial evidence dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel di Indonesia 2. Untuk mengetahui kedudukan hukum dari circumstantial evidence dalam pembuktian kasus kartel di Indonesia 1.4 Orisinalitas Penelitian Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian ini, penulis menampilkan dua judul karya tulis dengan pembahasan yang hampir mirip dengan penelitian penulis. Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa di wajibkan untuk mampu
7
menunjukkan
orisinalitas
dari
penelitian
yang
sedang
ditulis
dengan
menampilkan beberapa judul penelitian yang terdahulu sebagai pembanding. No 1
Judul Penelitian
Penulis
TINJAUAN MENGENAI INDIRECT INGRID EVIDENCE
(BUKTI
LANGSUNG)
SEBAGAI
GRATSYA
TIDAK ZEGA ALAT
BUKTI DALAM KASUS DUGAAN FAKULTAS KARTEL
FUEL
MASKAPAI
HUKUM
SURCHARGE PROGRAM
PENERBANGAN
INDONESIA
PASCA
DI SARJANA UNIVERSITAS INDONESIA 2012
2
BUKTI (INDIRECT
TIDAK
LANGSUNG RIRIS MUNADIYA
EVIDENCE)
PENANGANAN PERSAINGAN USAHA
DALAM JURNAL PERSAINGAN KASUS USAHA
:
KOMISI
PENGAWAS PERSAINGAN
USAHA
EDISI 5 TAHUN 2011 Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis terjamin orisinalitasnya.
8
1.5 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain: 1.5.1 Tujuan Umum 1. Untuk menganalisis mengenai kedudukan hukum circumstantial evidence
dalam
pembuktian
kasus
kartel
di
Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 1.5.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pengaturan circumstantial evidence dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel di Indonesia 2. Untuk mengetahui kedudukan hukum circumstantial evidence dalam pembuktian kasus kartel di Indonesia 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis 1.
Secara
teoritis,
penelitian
ini
diharapkan
memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum bisnis khususnya pemahaman teoritis mengenai kedudukan hukum circumstantial evidence dalam pembuktian kasus kartel di Indonesia
9
1.6.2 Manfaat Praktis 1.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi praktisi hukum
2.
Dapat memberikan kontribusi bagi lembaga penegak hukum terkhusus bagi KPPU yang memiliki kewenangan penuh dalam penanganan kasus-kasus persaingan usaha seperti kartel yang ada di Indonesia dengan tetap memperhatikan perkembangan dari hukum yang ada dalam masyarakat.
1.7 Landasan Teoritis 1.7.1 Teori Kepastian Hukum Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis7. Keteraturan yang terjadi dalam masyarakat berkaitan dengan kepastian yang tertera dalam hukum. Sudikno Mertokusumo memberikan definisi kepastian hukum yang merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik, yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan putusan harus dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan8.
7
M. Sulaeman Jajuli, 2015, Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Islam—Ed.1, Cet. 1, Deepublish, Yogyakarta, h. 51 8 Sudikno Mertokusumo, 2011, Kapita Selekta Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, h.160, dalam Ibid, h. 53
10
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keberadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana kekacauan sosial9. Berkaitan dengan penelitian ini, penulis menganggap bahwa circumstantial evidence atau bukti tidak langsung berupa bukti ekonomi dan bukti komunikasi dalam hukum persaingan usaha merupakan hal yang sangat penting dalam pembuktian kasus kartel, namun circumstantial evidence belum memiliki kedudukan hukum yang jelas, apakah dapat dikatakan sebagai alat bukti atau tidak, serta berkedudukan sebagai apakah circumctantial evidence ini dalam pembuktian kasus kartel. 1.7.2 9
Teori Welfare State
M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta, h. 76
11
Lahirnya konsep Welfare ini tidak lain dikarenakan munculnya pemikiran
ekonomi
Keynesian
yang
menekankan
keterlibatan aktif
pemerintah dalam perekonomian suatu Negara. Konsep welfare state menggambarkan suatu negara mengambil tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan
masyarakatnya,
seperti
penyediaan
asuransi
kesehatan,
tunjangan hari tua, sakses pelayanan kesehatan, serta dibidang perekonomian. Terdapat pula definisi welfare state lainnya seperti ―The welfare state often refers to an ideal model of provision, where the state accepts responsibility for the provision of comprehensive and universal welfare for its citizens”10 (Negara kesejahteraan sering mengacu pada model penyediaan, dimana negara menerima tanggung jawab untuk penyediaan kesejahteraan yang komprehensif dan universal bagi warganya (terjemahan bebas)). Pemerintah dalam hal ini memiliki berbagai cara dengan tujuan untuk menjamin kesejahteraan untuk menghadapi kemungkinan yang akan dihadapi dengan adanya masyarakat yang cenderung modernitas serta berperilaku individual. Welfarestate sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, pembuktian kasus kartel yang menggunakan 10
Paul Spicker, Social Policy : Theory And Practice, URL : http://www.spicker.uk/socialpolicy/socpol.htm, diakses pada 2 Desember 2015
12
bukti tidak langsung/circumstantial evidence semata-mata ingin mengetahui apakah praktik kartel yang dilakukan pelaku usaha berimplikasi pada kesejahteraan ekonomi dalam masyarakat. Sehingga penggunaan bukti ini dapat membantu perealisasian dari tujuan dibentuknya UU No. 5/1999, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembuktian yang dilakukan dengan menggunakan analisa non hukum sebagai konsekuensi dari penanganan kasus persaingan usaha yang berkenaan ilmu ekonomi11, sehingga penerapannya berpengaruh positif terhadap persaingan usaha dan mendukung kegiatan ekonomi negara. 1.8 Metode Penelitian 1.8.1
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dalam praktik hukum12. Penelitian hukum normatif terdiri dari beberapa norma yaitu norma kabur, norma kosong dan norma konflik dan didalam penelitian ini, penulis mengkaji mengenai kedudukan circumstantial evidence dalam pembuktian kasus kartel
11
I Made Sarjana, op.cit., h.177 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, h. 13 12
13
di Indonesia dengan menganalisis UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu mengenai pengaturan circumstantial evidence dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pembuktian kasus kartel serta kedudukannya dalam pembuktian kasus kartel. 1.8.2
Jenis Pendekatan Penelitian ini ingin melihat pengaturan circumstantial evidence dalam
peraturan perundang-undangan serta kedudukannya dalam pembuktian kasus kartel, sehingga metode pendekatan yang relevan dipergunakan dalam penelitian penelitian ini adalah pendekatan perundang undangan (statutory approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual analisis (analytical conceptual approach). 1. Pendekatan Perundang undangan Dalam metode pendekatan perundang–undangan
peneliti
perlu
memahami hierarki, dan asas–asas dalam peraturan perundang – undangan. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang– undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan. Dari pengertian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statue berupa legislasi dan
14
regulasi13. Jadi demikian pendekatan perundang – undangan adalah pendekatan dengan menggunakan produk legislasi dan regulasi. Produk yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu keputusan yang diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkret dan khusus, misalnya keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan bupati, dan keputusan suatu badan tertentu, tidak dapat digunakan dalam pendekatan perundang – undangan14. Pendekatan ini digunakan in case terhadap UU No. 5/1999 dan penulis bukan saja melihat pada bentuk peraturan, melainkan menelaah pula dasar ontologis atau alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut sehingga dalam penggunaan pendekatan ini, penulis dapat menggali sumber bahan penelitian yang lebih terperinci. 2. Pendekatan Kasus Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan–alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta – fakta materiel15. Fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang
13
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenada Media Group, Jakarta,
h. 137 14 15
Ibid Ibid., h. 158
15
menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya 16 yang merupakan dasar dari dibangunnya suatu argumentasi hukum. Pemahaman mengenai ratio decidendi ini menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif17. Sehingga ketika dilakukan penelitian terhadap suatu kasus hukum, yang harus diteliti oleh peneliti bukan diktum putusan pengadilan, melainkan alasan-alasan hukum yang digunakan hakim sehingga sampai pada putusan pengadilan tersebut yang termuat dalam bagian menimbang pada putusan perkara. 3. Pendekatan Konseptual Analisis Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum terdapat hukum atau tidak ada aturan hukum yang mengatur untuk masalah yang sedang dihadapi. Seperti contohnya seorang peneliti dalam topik penelitiannya akan meneliti tentang makna kepentingan umum dalam Perpres No. 35 Tahun 2005. Apabila peneliti mengacu kepada peraturan itu, ia tidak akan menemukan pengertian yang ia cari, hanya saja yang ia temukan ialah makna bersifat umum yang tentunya tidak tepat untuk membangun argumentasi hukum. Sehingga, ia harus membangun suatu
16 17
Ibid Ibid
16
konsep untuk dijadikan acuan di dalam penelitiannya18. Dari apa yang dikemukakan, sebenarnya dalam melakukan pendekatan konseptual, peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Walaupun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat ditemukan di dalam undang-undang. Hanya saja, dalam mengidentifikasi prinsip tersebut, peneliti terlebih dahulu memahami konsep tersebut melalui pandangan dan doktrin yang ada19. 1.8.3
Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari : 1. Sumber bahan hukum primer20 Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Bahan hukum ini merupakan bahan yang bersifat autoritatif, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas yang terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undangundang dan putusan-putusan hakim21.
18
Ibid., h. 177 Ibid., h.178 20 Lihat Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, h. 76 21 Peter Mahmud Marzuki, op.cit., h. 181 19
17
2. Sumber bahan hukum sekunder Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumendokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku, jurnaljurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan22. 3. Sumber bahan hukum tersier Sumber bahan hukum tertier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Ensiklopedi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Online) dan kamus hukum. 1.8.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian penelitian ini.
22
Ibid
18
1.8.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat
digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi. 1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum. 2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya. 3. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. 4. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum, semakin banyak argumentasi
yang dibangun, semakin menunjukkan kedalaman
penalaran hukum23.
23
Ibid., h. 77