BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan perbankan syariah yang dikenal sebagai perbankan Islam (Islamic Banking) semakin kokoh setelah mendapat legalitas seiring kelahiran UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS 2008). 1 UUPS 2008 telah memperkuat secara kelembagaan serta mengintrodusir berbagai produk usaha yang sesuai ketentuan hukum Islam, sekaligus memberi aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan antara nasabah dengan perbankan syariah. Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), bulan Oktober 2011, menampilkan Jaringan Kantor Perbankan Syariah (Islamic Banking Network) terdiri dari 11 Bank Umum Syariah (BUS) dengan 1365 jumlah kantor, 23 Unit Usaha Syariah (UUS) dengan 327 jumlah kantor, dan 154 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan 362 jumlah kantor. 2 Statistik ini memperlihatkan perkembangan perbankan syariah, sehingga secara kuantitas semakin banyak akad yang terbit atas produk usaha yang terjadi antara bank syariah dengan masyarakat pelaku bisnis. Meningkatnya hubungan hukum yang terjadi di lingkungan perbankan syariah sedikit banyak akan berpengaruh pula terhadap kemungkinan timbulnya sengketa antara perbankan syariah dengan nasabah sebagai pengguna jasa perbankan. 1
LNRI Tahun 2008 Nomor 94, TLNRI Nomor 4867, mulai berlaku tanggal 16 Juli 2008. Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics) – Juni 2012, http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Perbankan+Syariah/ di akses tanggal 24 Agustus 2012. 2
Universitas Sumatera Utara
Hukum telah menyediakan berbagai sarana bagi masyarakat yang terlibat sengketa untuk menyelesaikannya. Setidaknya dikenal dua jalur penyelesaian sengketa, yaitu melalui mekanisme peradilan dan mekanisme di luar peradilan. Kedua jalur ini dimungkinkan oleh UUPS 2008 untuk digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 UUPS 2008, sengketa di lingkungan perbankan syariah diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan agama atau dapat dilakukan melalui mekanisme lain di luar peradilan agama sesuai kesepakatan yang dicantumkan secara tegas di dalam akad dengan mengindahkan prinsip syariah. 3 Dengan demikian, selain secara litigasi melalui badan peradilan agama, penyelesaian sengketa perbankan syariah bisa juga dilakukan secara non-litigasi di luar peradilan dengan melakukan pilihan forum (choice of forum) yang ditetapkan dalam akad. 4
3
Pasal 55 UUPS 2008 menyebut: (1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. 4 Istilah akad dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘perjanjian’ dalam hukum positif Indonesia. Syamsul Anwar menyebut, akad sebagai ‘pertemuan ijab kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.’ Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 68. Sementara itu, Fathurrahman Djamil mengatakan, akad dalam pandangan Islam merupakan hubungan hukum yang mencakup semua objek akad dan tidak membedakan asal usul akad selama dibenarkan hukum Islam. Oleh karena itu, istilah akad dapat mencakup pengertian perikatan dan juga perjanjian. Namun, bila dicermati lebih mendalam, tampaknya akad merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian, karena akad menimbulkan hubungan hukum yang memberikan hak dan meletakkan kewajiban serta mengikat para pihak yang membuat perjanjian. Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 14. Dalam hukum perjanjian Indonesia sebagaimana disebut dalam Pasal 1233 KUH. Perdata diketahui, bahwa perikatan dapat dilahirkan karena persetujuan atau karena undangundang. Subekti menyatakan Istilah persetujuan adalah sama artinya dengan perjanjian, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Keduanya dibedakan dengan istilah kontrak yang mempunyai arti lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Subekti, Hukum
Universitas Sumatera Utara
Eksistensi penyelesaian sengketa di luar peradilan telah diakui dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS 1999). 5 Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang dikenal masyarakat pebisnis. UUAAPS 1999 menyebut, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak-pihak yang bersengketa. 6 Ketentuan ini menunjukkan, arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa di luar peradilan yang ditunjuk berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa. 7 Sesuai dengan ketentuan UUAAPS 1999, penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur yang disepakati dalam akad merupakan pilihan penyelesaian
Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2010), hlm. 1. Budiono Kusumohamidjojo merinci, ciri utama dari kontrak adalah merupakan perjanjian yang dirumuskan secara tertulis oleh para pihak lengkap dengan ketentuan dan syarat-syarat serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya kewajiban dan sekaligus hak secara timbal balik. Karena itu, kontrak dalam bahasa Indonesia sering disebut juga sebagai perjanjian. Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 7. Pasal 1313 KUH. Perdata merumuskan persetujuan atau perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian yang diberikan Pasal 1313 KUH. Perdata ini dipandang selain tidak lengkap, karena hanya menyebut perjanjian sepihak saja, juga rumusannya sangat luas, sebab dapat mencakup janji kawin yang termasuk lapangan hukum keluarga, dan juga mencakup perbuatan melawan hukum yang tidak memiliki unsur perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman, KUH. Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 89. Seharusnya rumusan Pasal 1313 KUH. Perdata diadakan perubahan dengan memantapkan perbuatan dimaksud adalah ‘perbuatan hukum’ dan menambah anak kalimat ‘atau saling mengikatkan dirinya’ untuk menunjukkan adanya perjanjian secara dua pihak. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 49. Dengan perbandingan yang dikemukakan, dalam konteks penulisan ini kata akad yang berasal dari bahasa Arab dipadankan dengan perjanjian dalam bahasa Indonesia. Pandangan ini diperkuat dengan mengkaitkannya pada rumusan Pasal 20 angka 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), ‘akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. 5 LNRI Tahun 1999 Nomor 138, TLNRI Nomor 3873, mulai berlaku tanggal 12 Agustus 1999. 6 Pasal 1 butir 1 UUAAPS 1999. 7 Susilawety, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Gramata Publishing, 2013), hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan di luar peradilan agama, diantaranya melalui badan arbitrase syariah. 8 Sebagai salah satu pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama, dipandang penting untuk mengetahui dan mengkaji prinsip yang mendasari pola operasional arbitrase syariah. Melalui kajian ini pelaku bisnis dan masyarakat perbankan syariah, dapat lebih memahami prinsip-prinsip yang mendasari cara kerja arbitrase syariah. 9 Studi terhadap prinsip arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah perlu dilakukan dengan didasarkan pada lima alasan pokok. Pertama, pengaturan atau positivisasi perbankan syariah yang memberi aturan mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah relatif baru, yakni sejak berlaku UUPS 2008. Secara normatif UUPS 2008 memperkenankan arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan agama melalui pilihan forum (choice 8
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 menyebut, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad dapat berupa upaya musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau lembaga arbitrase lain atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) ini telah dilakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU—X/2012, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meski Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 telah dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, namun tidak berarti arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa di luar peradilan agama turut kehilangan peran untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Arbitrase syariah tetap memiliki peran untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara non litigasi di luar peradilan agama, sebab norma utama yang terumus dalam Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 memungkinkan adanya pilihan forum (choice of forum) arbitrase syariah bilamana para pihak menyepakati dalam akad yang dibuat secara jelas dan tertulis. 9 Dalam penulisan ini istilah arbitrase syariah ditempatkan dalam makna yang sama dengan arbitrase berbasis syariah, sehingga kedua istilah ini terkadang dipertukarkan pemakaiannya. Penggunaan istilah ‘syariah’ menjadi tradisi di Indonesia untuk menggambarkan pemberlakuan hukum Islam atas suatu kegiatan atau institusi seperti perbankan syariah, dan arbitrase syariah. Pemakaian istilah arbitrase syariah, bukan arbitrase Islam adalah untuk menghindari penafsiran yang dikaitkan dengan upaya menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Dari perspektif Islam, istilah yang digunakan adalah tahkim yang semakna dengan arbitrase. Tahkim diterjemahkan dengan arbitrase bukan arbitrase syariah, karena sudah tentu tahkim dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Untuk sekedar membedakan dengan arbitrase non syariah yang telah dikenal dalam kehidupan perdagangan, maka disebutlah arbitrase syariah secara khusus untuk menyelesaikan sengketa perdagangan yang terjadi secara islami dengan nuansa syariah atau yang dilakukan berdasar perspektif hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
of forum), sehingga perlu di elaborasi prinsip-prinsip yang mendasari cara kerjanya dari perspektif hukum Islam. 10 Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UUP 1992) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UUP 1998), tidak terdapat pengaturan yang memuat ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perbankan. Kedua, arbitrase syariah menjadi pilar penting bagi bangunan perbankan syariah yang berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di luar mekanisme peradilan. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah lebih efisien dan sejalan dengan nilai-nilai keislaman yang menghargai prinsip persaudaraan untuk menjaga hubungan silaturrahim sehingga hubungan kerja antarpihak yang bersengketa tetap dapat berjalan harmonis. Ketiga, eksistensi arbitrase syariah memiliki prospek masa depan yang signifikan dengan melihat pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang pesat mengikuti perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat. Hal ini ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah di luar perbankan syariah seperti asuransi syariah (takaful), pegadaian syariah, pasar modal syariah, dan reksa dana syariah yang dalam transaksi masing-masing juga berpotensi timbul sengketa. Keempat, penggunaan arbitrase merupakan salah satu prinsip bisnis dalam Islam, termasuk perbankan syariah, yang relevan menyelesaikan sengketa untuk terwujud kemakmuran ekonomi dan keharmonisan sosial para pihak. Bila terjadi 10
Meskipun penggunaan arbitrase syariah sebagai pilihan forum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah relatif baru, yaitu sejak diundangkan UUPS 2008 tanggal 16 Juli 2008, namun keberadaannya di Indonesia telah mewujud tahun 1993 dengan terbentuknya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) sebagai hasil Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia tahun 1992.
Universitas Sumatera Utara
perselisihan dalam praktik bisnis, Islam menganjurkan penyelesaian dengan cara arbitrase melalui arbiter yang bebas dan dapat dipercaya (In case of dispute, Islam encourages settlement through an independent and reliable arbitrator). 11 Perintah arbitrase (tahkim) sudah qath’i dalam Alquran, yaitu untuk menyelesaikan perselisihan, mendamaikan dengan musyawarah. 12 Tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah adalah mewujudkan perdamaian (sulh atau ishlah) guna mempertahankan hubungan silaturrahim antara para pihak yang bersengketa. Alasan ini berkaitan dengan sejarah tahkim yang telah lama dikenal dalam sejarah peradilan Islam. Kelima, pemahaman terhadap keberadaan arbitrase syariah relatif masih belum banyak diketahui, yang ditandai belum berperan secara optimal dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Fakta ini terlihat dari jumlah perkara yang terdaftar di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), yaitu dalam kurun waktu 1997-2009 hanya terdapat 17 perkara, dan baru memiliki 15 kantor perwakilan di daerah. 13 Implikasi yang diharapkan melalui kajian ini adalah agar masyarakat dapat lebih mengetahui keberadaan dan cara kerja arbitrase syariah,
11
Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, Islam & Business, (Malaysia: Pelanduk Publication, 2002), hlm. 95. 12 Muhamad Asro dan Muhamad Kholid, Fiqh Perbankan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 266. 13 Perkara di BASYARNAS umumnya semacam pembiayaan macet yang sebagian besar perkara diajukan oleh pihak bank syariah. Dari sisi pembentukan lembaga saat ini BASYARNAS telah terbentuk 15 (lima belas) kantor perwakilan di daerah, seperti Riau, Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Redaksi, “Syariah Perlu Perangkat Hukum Baru,” Republika, Selasa, 28 September 2010, hlm. 20. Data terakhir sampai bulan Agustus 2013 jumlah perkara yang diselesaikan melalui BASYARNAS berjumlah 20 (dua puluh) kasus. Data diperoleh dari percakapan dengan Ibu Euis Hasan, Sekretaris BASYARNAS Pusat, tanggal 4 September 2013.
Universitas Sumatera Utara
sehingga dapat meningkatkan peran optimal dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lain di masa depan. Penggunaan arbitrase dengan berbagai keistimewaannya untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, di bidang keperdataan (muamalah), merupakan pilihan yang tepat. 14 Arbitrase syariah menjadi sarana yang perlu dimanfaatkan oleh umat Islam Indonesia dalam mengikuti perkembangan dan aktivitas perbankan syariah. Dikatakan oleh Tahir Azhary, kehadiran arbitrase Islam di Indonesia merupakan suatu conditio sine qua non. 15 Arbitrase syariah pada perkembangan saat ini menjadi salah satu forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Perkembangan industri perbankan syariah menghendaki penguatan arbitrase syariah sebagai pilar penyanggah, dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap kemungkinan terjadi perselisihan dalam aktivitas perbankan syariah. Penguatan arbitrase syariah akan memperkuat sistem hukum perbankan syariah dalam konteks penyelesaian sengketa yang terjadi di lingkungan bank syariah. Berbagai
kegiatan
usaha
perbankan
syariah
baik
pada
instrumen
penghimpunan maupun penyaluran atau pendanaan dalam bentuk pembiayaan, tidak tertutup kemungkinan terjadi sengketa (dispute) antara bank dengan nasabah. Persengketaan dapat muncul karena tidak terpenuhi hak dan kewajiban atau timbul ketidakpuasan dalam pelaksanaan akad atau perjanjian. Kompleksitas akad dan beda 14
Achmad Djauhari, “Peran Arbitrase Dalam Sistem Ekonomi Syariah”, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2 Tahun 2007, (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan HAM RI), hlm. 186. Salah satu faktor keistimewaan arbitrase adalah putusannya yang bersifat final dan binding, yaitu tidak adanya upaya instansi hukum (banding, kasasi, maupun peninjauan kembali) sehingga secara ekonomis lebih efisien. 15 M. Thahir Azhary, “Islam, Hukum Islam Dan Eksistensi Arbitrase Islam Di Indonesia”, dalam Satria Effendi M. Zein, et.al. Arbitrase Islam Di Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994), hlm. 121.
Universitas Sumatera Utara
pendapat antara bank syariah dengan nasabah dalam memahami dan menginterpretasi akad, serta berselisih dalam pelaksanaan prestasi bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran perjanjian (breach of contract). Pelanggaran terhadap akad merupakan bentuk potensial terjadinya sengketa di lingkungan perbankan syariah. Dalam konteks ini, aktivitas perbankan syariah memerlukan peran yuridis di dalamnya terutama ketika terjadi konflik agar dapat diselesaikan secara adil. Penyelesaian sengketa diharapkan tidak merusak hubungan bisnis yang tengah berjalan, sehingga kelangsungan usaha para pihak tetap berlangsung secara produktif. Karena itu, aspek penyelesaian sengketa dalam transaksi keuangan pada perbankan syariah menjadi sangat penting, 16 terutama mekanisme yang mampu menyelesaikan secara efektif dan efisien dengan tetap menjaga hubungan silaturrahim, serta jauh dari publikasi yang dapat memengaruhi reputasi bisnis para pihak yang bersengketa. Forum penyelesaian sengketa yang memiliki karakteristik semacam itu tidak lain ada pada arbitrase. 17 Secara konstitusional, penegakan hukum dan keadilan atas suatu sengketa, termasuk sengketa yang terjadi di lingkungan perbankan syariah, hanya dapat dilakukan oleh badan peradilan yang berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung. 18 Penyelesaian sengketa perbankan syariah
16
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 109. 17 Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hlm. 4 18 Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setelah perubahan atau amandemen keempat, Pasal 24 telah mengalami perubahan. Pasal 24 ayat (2) menyebut, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilam militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2003), hlm. 52.
Universitas Sumatera Utara
di luar badan peradilan negara, 19 yakni melalui arbitrase syariah, dimungkinkan bila ditunjuk para pihak melalui kesepakatan yang dituangkan dalam akad. Arbitrase syariah mendapat tempat dalam UUPS 2008 sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama. Pengakuan terhadap keberadaan penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui arbitrase syariah terlihat dari banyak Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang menetapkan agar penyelesaian sengketa dilakukan melalui badan arbitrase syariah, bila gagal mencapai kesepakatan melalui musyawarah. 20 Regulasi Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dan kemudian diubah dengan PBI Nomor 10/16/PBI/2008, menentukan penyelesaian sengketa antara bank syariah dengan nasabah dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah bila kesepakatan melalui musyawarah dan mediasi termasuk mediasi perbankan tidak dapat dilakukan. Ketentuan ini disebut dalam Pasal 4 yang mengatur, sebagai berikut: (1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam akad antara Bank dengan nasabah, atau jika terjadi 19
Sesuai ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (LNRI Tahun 2006 No. 22, TLNRI No. 4611) dalam kaitan ini yang dimaksud peradilan negara dimaksud adalah pengadilan agama. Pasal 49 dan Penjelasannya menetapkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang menyelesaikan perkara dibidang ekonomi syariah, yang meliputi: a. bank syariah; b. lembaga keuangan mikro syariah; c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksa dana syariah; f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah. 20 Diantaranya Fatwa No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa No. 05/DSNMUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham, Fatwa No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’, Fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), Fatwa No. 08/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah. M. Ichwan Sam dkk, (Penyunting), Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, (Diterbitkan atas Kerjasama Dewan Syari’ah Nasional MUI – Bank Indonesia, 2006).
Universitas Sumatera Utara
sengketa antara Bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah. (2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan antara lain melalui mediasi termasuk mediasi perbankan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Arbitrase syariah bisa digunakan sebagai salah satu pilihan mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah. Terminologi arbitrase yang dikenal pada masa modern saat ini sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out court system), dalam perspektif hukum Islam sepadan dengan tahkim. Penunjukan tahkim didasarkan pada kesepakatan dua pihak yang
menunjuk hakam (arbiter) untuk memberi keputusan hukum guna
menyelesaikan persengkataan yang terjadi antara kedua pihak bersengketa berdasarkan petunjuk hukum syarak. 21 Legalitas tahkim (arbitrase) diakui dalam Alquran, Hadis maupun Ijmak ulama. 22 Pengakuan terhadap arbitrase dalam hukum Islam terlihat dalam Alquran, seperti
mengenai penyelesaian perselisihan antara
suami-isteri melalui hakam (arbiter) sebagai juru damai (Q.S. An-Nisa’ [4]: 35 dan 128). 23 Dari sumber inilah arbitrase kemudian ditetapkan sebagai forum penyelesaian sengketa dalam tradisi hukum Islam. Bila di telaah lebih seksama, arbitrase dalam hukum Islam prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan persengketaan secara 21
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 8, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm.
374. 22
Validitas yang menjadi dasar keabsahan tahkim atau arbitrase dalam hukum Islam diuraikan lebih lanjut pada Bab II disertasi ini. 23 Uraian lebih lanjut terhadap keberadaan tahkim yang dipadankan dengan arbitrase dapat dilihat pada Bab II disertasi ini.
Universitas Sumatera Utara
damai. Penyelesaian secara damai terhadap setiap perselisihan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Arbitrase syariah memegang peranan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah untuk memecahkan masalah secara kerjasama dengan mewujudkan perdamaian melalui pihak ketiga yang netral dalam memberi keputusan. Perdamaian (sulh) menjadi pola penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah (tahkim). Penggunaan sulh yang dilakukan di luar pengadilan, didasarkan pada kesepakatan para pihak untuk tidak menempuh jalur ajudikasi dalam menyelesaikan sengketa mereka. 24 Pola ini sangat fleksibel dan menjadi sarana mewujudkan silaturrahim dan kemaslahatan manusia secara menyeluruh. Sulh tidak dilakukan bila mendatangkan kerusakan dan kemudaratan bagi manusia. 25 Konsep perdamaian merupakan doktrin utama hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa. Perintah untuk mendamaikan dua orang yang bersengketa dinukilkan dalam Q.S AlHujurat (49): 10 yang dikaitkan dengan hubungan persaudaraan di antara orang-orang mukmin. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmad.” Penyelesaian sengketa dalam hukum Islam adalah untuk menjaga hubungan silaturrahim antara mereka yang bersengketa agar tetap terjalin dengan baik. Dalam makna yang sama, filosofi penyelesaian sengketa dalam perspektif syariah tidak
24
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 206. 25 Ibid., 165.
Universitas Sumatera Utara
boleh memutuskan hubungan silaturrahim di antara para pihak yang berselisih. 26 Selain itu, penyelesaian sengketa dari perspektif syariah sangat menjunjung tinggi keadilan dan kepastian tanpa mengabaikan prinsip-prinsip ketuhanan (ilahiyah), kemanusiaan
(insaniah),
keseimbangan
(al-wustha’),
kerjasama
(ta’awun),
persaudaraan (ukhuwah), dan kemaslahatan (maslahah), yakni mengupayakan kebajikan maksimal dan mengeliminasi segala bentuk kemudharatan. 27 Prinsip yang melekat dalam mekanisme penyelesaian sengketa secara syariah perlu di elaborasi untuk memahami karakteristik dan cara kerja arbitrase syariah. Melalui pembahasan ini diharap ditemukan pemahaman guna lebih mengetahui prinsip penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang sesuai syariat Islam. Arbitrase syariah merupakan forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang dilakukan melalui arbiter (hakam) berdasarkan prinsip syariah yang bersumber pada Alquran dan Sunnah. Term arbitrase syariah menunjuk mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang dilakukan berdasar syariat Islam untuk membedakan dengan arbitrase non syariah. Arbitrase syariah merupakan arbitrase khusus untuk menyelesaikan sengketa di bidang muamalah berdasar ketentuan hukum Islam. Karena dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, forum arbitrase yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah disebut arbitrase syariah.
26
H.M. Hasballah Thaib, ”Kata Pengantar” dalam Iman Jauhari, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2009)., hlm. ii. Filosofi tahkim dalam Islam agar tidak terputusnya hubungan silaturrahim antara mereka yang bersengketa ini pula yang membedakan dengan filosofi arbitrase non syariah yang lebih didasarkan pada efisiensi dalam penyelesaian sengketa. 27 H.M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia (Perspektif Sosioyuridis), (Jakarta: eLSAS, 2006), hlm. vii.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip syariah menjadi ruh yang senantiasa menyemangati dan memiliki kedudukan fundamental dalam pelaksanaan arbitrase berbasis syariah. Prinsip syariah yang melekat pada arbitrase syariah, pada dasarnya sebangun dengan yang berlaku pada aktivitas perbankan syariah. Kegiatan keduanya senantiasa harus dilandasi dan diikat oleh prinsip syariah yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah. 28 Dengan paradigma ini, Tuhan menjadi sumber nilai dan tujuan akhir. Berbagai aspek ekonomi syariah, termasuk aktivitas penyelesaian sengketa di bidang perbankan syariah, mendasarkan sistemnya kepada Tuhan. Selain itu, ekonomi syariah yang berbasis pada agama adalah sistem yang memiliki akhlak, bersifat manusiawi, dan moderat. 29 Penunjukan forum arbitrase syariah untuk menyelesaikan perkara perbankan syariah bukan berarti tidak merespon keberadaan lembaga peradilan agama, sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa perekonomian syariah. Apalagi dimaksudkan untuk mereduksi kewenangan mutlak peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa di bidang perbankan syariah. 30 Keberadaan arbitrase syariah sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa perbankan syariah, tidak ditafsirkan sebagai pernyataan tentang tidak pentingnya arti pengadilan dalam penataan sosial. 31 Studi ini tidak dimaksudkan mempertentangkan keberadaan arbitrase syariah dengan lembaga peradilan agama. Kajian berada pada posisi bahwa ruang peradilan bukan 28
Muhammad Alim, Pengantar Ilmu Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm.73. Ibid., hlm. 72. 30 Ada pandangan yang melihat, bahwa pengakuan dan penunjukan badan arbitrase syariah melalui Fatwa DSN-MUI itu belum merespons peradilan agama sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mutlak di bidang ekonomi syariah. Padahal lembaga arbitrase syariah masih sangat terbatas kantor cabangnya di Indonesia. Lihat H. Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 51. 31 Marc Galanter, “Keadilan Di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat Serta Hukum Rakyat,” dalam T.O. Ihromi , peny. Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm.101. 29
Universitas Sumatera Utara
satu-satunya institusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Di sampingnya masih terdapat forum arbitrase syariah yang juga diakui memiliki otoritas dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Keberadaan arbitrase syariah ditempatkan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa bagi bank syariah dan nasabah guna menegakkan keadilan di luar pengadilan negara. Arbitrase syariah merupakan salah satu jalur yang dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam aktivitas perbankan syariah berdasar pilihan para pihak melalui akad. 32 Menempatkan arbitrase syariah sebagai paradigma penyelesaian sengketa di luar peradilan, 33 tidak berarti pengadilan dan arbitrase menjadi dua entitas yang saling meniadakan, melainkan saling mengisi di dalam sebuah relasi mutualisme sistem hukum. 34 Prinsipnya tidak ada konflik yang berarti antara pengadilan yang 32
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa, terutama di bidang perdata selain bisa diselesaikan melalui peradilan, juga terbuka kemungkinan diselesaikan melalui forum penyelesaian sengketa lainnya. dan salah satu di antaranya adalah cara penyelesaian sengketa yang dikenal dengan sebutan arbitrase, dalam kajian ini difokuskan pada arbitrase berbasis syariah. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 2009 No. 157, TLNRI No. 5076) menyebutkan, “upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.” 33 Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (pardigm) pertama kali dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution. Kuhn melihat, ilmu pengetahuan pada saat tertentu di dominasi oleh paradigma tertentu, yaitu suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Lihat George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 4. Bernard Arief Sidharta mengatakan, paradigma adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkannya fakta atau gejala di interpretasi dan dipahami. Lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 91. Dengan demikian, paradigma menjadi landasan atau keyakinan mendasar yang menjadi pemandu dalam membahas dan menginterpretasi isu hukum. Paradigma membantu merumuskan apa yang seharusnya dipelajari, isu apa yang seharusnya dikemukakan untuk dijawab aturan apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Pengertian paradigma lainnya dikemukakan oleh M. Solly Lubis yang mengatakan paradigma sebagai parameter atau rujukan, acuan yang dipergunakan untuk berpikir atau bertindak lebih lanjut. Lihat M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 15. 34 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi Di Indonesia, (Surakarta: LPP UNS dan UNS Press, 2007), hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
sifatnya publik dengan arbitrase yang berwatak privat. Lembaga peradilan yang mempunyai kekuatan memaksa, agar para pihak mematuhi perjanjian arbitrase dan putusannya. Hanya perlu ditetapkan secara jelas wilayah masing-masing agar tidak terjadi kesimpangsiuran antara pengadilan dan arbitrase. 35 Dengan demikian, upaya penguatan arbitrase syariah tidak dimaksudkan untuk meniadakan kewenangan dan peran lembaga peradilan agama di bidang perbankan syariah. 36 Baik peradilan agama maupun arbitrase syariah diakui sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, sesuai mekanisme dan kewenangan masing-masing. Keberadaan arbitrase berbasis syariah sudah menjadi realitas yang diakui sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama. Pembicaraan mengenai pengembangan dan penguatan arbitrase selama ini dilakukan karena adanya krisis yang dialami lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa. Pengadilan dianggap tidak profesional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis, tidak independen, bahkan para hakim telah kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya. 37 Akibatnya pelaku bisnis mencari alternatif yang mampu menyelesaikan sengketa secara efektif dan efisien, 38 dilaksanakan secara profesional, dapat dipercaya (confidence), tidak begitu formal dan lebih fleksibel, putusannya
35
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001),
hlm. 6. 36
Eksistensi peradilan dalam menyelesaikan sengketa tidak mungkin direduksi oleh arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Kedudukan peradilan telah ditetapkan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, yang diakui dan diperkokoh secara konstitusional melalui amandemen ketiga. Yang di cantumkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit. 37 Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 2. 38 Adi Sulistiyono, Op. Cit., hlm. 14; Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT. Telaga Ilmu Indonesia, 2009), hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
bersifat final dan mengikat, serta terjaga kerahasiaan proses berperkara. 39 Karakter penyelesaian sengketa ini dimiliki arbitrase sebagai institusi penyelesaian sengketa di luar peradilan. Selain itu, mekanisme arbitrase lebih informal, sehingga terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai (amicable). 40
Penyelesaian
melalui
arbitrase
bersifat
kooperatif
dan
non
konfrontatif, 41 yang dilandasi prinsip musyawarah dengan menghindari konfrontasi yang dapat mengganggu hubungan produktif para pihak. Kelebihan dan sifat dasar yang melekat pada forum arbitrase ini tentu saja menjadi landasan bagi arbitrase syariah yang beraktivitas sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Selain itu, adanya mafia peradilan dengan modus jual beli hukum menempatkan arbitrase sebagai pilihan para pihak yang bersengketa untuk mencari keadilan, sekaligus untuk mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung atau lembaga peradilan di bawahnya. 42 Pengembangan dan penguatan arbitrase berbasis syariah perlu dilakukan guna membangun
kepercayaan
masyarakat
untuk
menggunakan
forum
arbitrase
menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pilihan ini merupakan bagian dari
39
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 12-15. Priyatna Abdurrasyid, “Pengusaha Indonesia Perlu meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 21, Oktober-Nopember 2002, hlm. 8. 41 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Suatu Pengantar, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2011), hlm. 1; Anita D. A. Kolopaking, ”Asas Itikad Baik Sebagai Tiang Dalam Pelaksanaan Persidangan Arbitrase” dalam Idris, Rachmawati dan Imam Mulyana, eds, Penemuan Hukum Nasional Dan Internasional, (Jakarta: Fikahati Aneska bekerjasama dengan Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum UNPAD, 2012), hlm. 42. 42 Frans H. Winarta, “Penyelesaian Sengketa di Arbitrase Salah Satu Cara Untuk Menghindari Mafia Peradilan”, Law Review, Volume X, No. 1 – Juli 2010, hlm. 137. 40
Universitas Sumatera Utara
penyaluran kebebasan para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan (konsensus), 43 untuk menentukan lembaga penyelesaian sengketa yang mereka anggap lebih tepat dan efisien. Forum arbitrase terbentuk
melalui kebebasan para pihak yang
bersengketa dengan menciptakan dan menyepakati sendiri hukum dan prosedur yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa mereka. Dikatakan Priyatna Abdurrasyid, arbitrase merupakan hukum prosedur dan hukum para pihak (law of procedure dan law of the parties). 44 Untuk dapat disandingkan dengan mekanisme penyelesaian sengketa lain bagi masyarakat dalam mendapatkan keadilan (access to justice), dan untuk mengetahui aktualisasi penyelesaian sengketa perbankan syariah, perlu diketahui cara kerja dengan mengadakan pengkajian untuk mengetahui serta mendalami prinsip-prinsip arbitrase syariah. Pengkajian ini sekaligus akan memperkuat validitas arbitrase syariah, sehingga tidak ada keraguan terhadap keberadaannya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah terutama di bidang perbankan syariah. Belum banyak pengkajian berakibat pada kurangnya referensi dan informasi bagi masyarakat pelaku bisnis maupun perbankan akan eksistensi dan prinsip yang terkandung dalam arbitrase syariah. Keadaan ini bisa menjadi faktor berpengaruh bagi pemahaman dan kepedulian masyarakat, sehingga forum penyelesaian sengketa
43
Kesepakatan merupakan merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian, yang oleh Eggens dikatakan sebagai tuntutan kesusilaan (zadelijk eis). Dalam kesepakatan ini diletakkan kepercayaan pada perkataan seseorang. Dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan ini, seseorang tersebut ditingkatkan martabatnya sebagai manusia setinggi-tingginya. Kalau seseorang ingin dihargai sebagai manusia, maka harus dapat dipegang perkataannya. Lihat R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 5. 44 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase ....Op. Cit., hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
melalui arbitrase syariah belum berkembang secara optimal. 45 Menurut Adi Sulistiyono, ada 7 (tujuh) faktor penghambat perkembangan penggunaan arbitrase, yaitu: 46 1) ketentuan hukum yang mengatur masalah arbitrase di Indonesia belum banyak diketahui dan dipahami pelaku bisnis; 2) belum adanya budaya arbitration minded di kalangan pengusaha Indonesia; 3) banyak di antara mereka yang belum berani membawa sengketa yang dialaminya keluar dari jalur peradilan. .....; 4) profesionalitas dan kredibilitas arbiter, baik itu selaku pribadi maupun dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia belum banyak diketahui oleh pelaku bisnis.....; 5) belum banyak konsultan hukum Indonesia yang mau memperkenalkan/mengarahkan kliennya untuk bersengketa melalui arbitrase: 6) tidak mudah membawa dan menyadarkan pihak-pihak yang bersengketa agar menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dengan itikad baik. ....; 7) kurangnya pemahaman hakim-hakim tentang arbitrase, sehingga seringkali sengketa yang berdasarkan “klausul arbitrase” seharusnya diselesaikan melalui arbitrase, namun Pengadilan Negeri tetap saja manangani sengketa tersebut. Walaupun pada akhirnya kesalahan tersebut dikoreksi oleh Mahkamah Agung, namun kasus itu sudah terlanjur memakan waktu bertahun-tahun. Perkembangan yang belum optimal, dan sengketa yang diselesaikan masih sedikit, tidak berarti arbitrase syariah gagal dalam melaksanakan perannya, sebab bisa karena tidak ada sengketa yang terjadi atau sengketa dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak secara musyawarah. 47 Begitu juga karena jaringan yang masih sedikit mengakibatkan masyarakat belum mengetahui akan kedudukan arbitrase syariah 45
Masyarakat pebisnis di Indonesia dipandang belum familiar dengan forum arbitrase, karena pada umumnya sengketa bisnis yang terjadi cenderung untuk diselesaikan melalui pengadilan. Forum arbitrase banyak dipilih orang asing untuk menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, karena itu pencantuman klausul arbitrase hampir terdapat dalam setiap kontrak bisnis internasional. Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 6; 46 Adi Sulistiyono Op. Cit., hlm. 142. Meskipun belum pernah dilakukan kajian mendalam, keadaan yang dikemukakan dalam literatur terhadap arbitrase non syariah tersebut juga disinyalemen terjadi bagi arbitrase syariah, paling tidak keadaan ini tercermin dari sengketa yang terdaftar di BASYARNAS sebanyak 17 (tujuh belas) perkara dalam kurun waktu 1997-2009. Tidak tertutup kemungkinan sedikitnya sengketa yang diselesaikan oleh BASYARNAS, karena tidak ada perselisihan yang terjadi di lingkungan perbankan syariah atau dapat diselesaikan secara internal melalui musyawarah. 47 Erman Rajagukguk, “Keputusan Pengadilan Mengenai Beberapa Masalah Arbitrase”, dalam Arbitrase Islam Di Indonesia, hlm. 90.
Universitas Sumatera Utara
dalam lingkungan mereka. Kondisi yang demikian sejatinya bukan menjadi faktor penghalang untuk mengadakan pengkajian dan pengembangan arbitrase berbasis syariah. Kekurangan-kekurangan itu menjadi faktor motivasi untuk melakukan pengkajian, sehingga penelitian terhadap substansi dan prinsip arbitrase syariah menjadi keniscayaan yang perlu dilakukan. Melalui penelitian ini akan dapat dipahami substansi dan prinsip arbitrase syariah yang bermanfaat bagi penyusunan perangkat regulasi yang mendukung operasionalisasinya. Penelitian dilakukan untuk menggali prinsip yang mendasari pola kegiatan arbitrase syariah dan menyesuaikannya dengan kondisi dan karakteristik bangsa Indonesia. Belum dipahami dan ditegakkan prinsip dan norma hukum arbitrase syariah secara komprehensif dapat menjadi penyebab munculnya berbagai persoalan dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah. Prinsip syariah yang menjadi dasar aktivitas arbitrase dalam hukum Islam masih memerlukan perumusan dan pengkajian untuk menentukan kesesuaian dengan kehidupan bangsa Indonesia, karena itu perlu terus dilakukan upaya aktualisasi secara rasionalobjektif. 48 Di Indonesia, pola pengembangan arbitrase berbasis syariah, mengikuti pola legislasi yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Karena itu, selain tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, arbitrase syariah juga senantiasa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengembangan arbitrase syariah di Indonesia, dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah selain tetap berada dalam koridor syariah, juga senantiasa mengindahkan peraturan perundang48
H.M. Arifin Hamid, Op. Cit., hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
undangan yang menjadi payung yuridis keberadaan sistem penyelesaian sengketa di luar peradilan, yaitu UUAAPS 1999). 49 Pengkajian ini semakin relevan untuk menentukan kesesuaian atau harmonisasi prinsip yang terkandung dalam UUAAPS 1999 dengan arbitrase berbasis syariah. Meskipun tidak tegas disebut, keberadaan arbitrase syariah juga berpayung kepada UUAAPS 1999. Arbitrase syariah dipandang sebagai arbitrase khusus yang menangani dan menyelesaikan sengketa ekonomi dan bisnis berbasis syariah. Pengaturan dalam perundang-undangan membuktikan, keberadaan arbitrase di Indonesia, termasuk arbitrase syariah, memang dikehendaki oleh pemerintah sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan. 50 Melalui pengkajian ini diharapkan masyarakat pelaku bisnis syariah, khusus yang berhubungan dengan perbankan syariah dapat menentukan pilihan penyelesaian sengketa yang mampu menjaga keharmonisan, silaturrahim, bersifat efektif dan efisien, serta memuaskan pihak yang bersengketa. Penyelesaian yang tetap menjaga silaturrahim, efektif dan efisien akan menjadikan hubungan mitra bisnis antara bank syariah dengan nasabah tetap berjalan secara produktif. Selanjutnya, kajian ini diharapkan menjadi informasi ilmiah bagi teoritisi dan praktisi hukum dalam memahami prinsip arbitrase syariah sebagai salah satu jalur 49
Payung yuridis eksistensi arbitrase di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (LNRI Tahun 1999 No. 138, TLNRI No. 3872). Undang-undang ini telah mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan arbitrase yang memuat Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter, dan Hak Ingkar (Pasal 7-26); Hukum Acara Arbitrase (Pasal 27-51); Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52-58); Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59-72); dan Berakhirnya Tugas Arbiter (Pasal 73-77); Secara normatif dan faktual undangundang ini masih perlu diuji dengan nilai-nilai syariah sebagai landasan fundamental keberadaan arbitrase syariah. 50 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
dalam mendistribusikan keadilan. Dalam cakupan yang lebih luas, kajian ini diharapkan dapat memengaruhi proses pengembanan hukum (rechtsbeoefening), yaitu kegiatan manusia berkenaan dengan ada dan berlakunya hukum di dalam masyarakat.
Kegiatan
itu
mencakup
kegiatan
membentuk,
melaksanakan,
menerapkan, menemukan, meneliti, dan secara sistematika mempelajari dan mengajarkan hukum yang berlaku. 51 Dengan demikian, selain menjadi informasi ilmiah bagi teoritisi dan praktisi hukum, studi ini juga dapat dijadikan sumber dalam penyusunan kebijakan di bidang penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah, khususnya sengketa di bidang perbankan syariah
B. Permasalahan Berbagai persoalan yang menjadi permasalahan utama sekaligus menjadi fokus yang membatasi pembahasan berikut dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana implikasi pengaturan UUPS 2008 terhadap arbitrase syariah untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. 2. Bagaimana validitas dan yurisdiksi arbitrase syariah dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia.
51
Meuwissen, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. vii dan 24. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa pengembanan hukum dapat dibedakan ke dalam pengembanan hukum praktikal dan pengembanan hukum teoritikal. Pengembanan hukum praktikal merupakan kegiatan berkenaan dengan mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit yang meliputi kegiatan pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum. Sementara pengembanan hukum teoritikal berkaitan dengan kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual atas hukum atau pemahaman tentang hukum secara ilmiah, yakni secara metodikal-sistematikal-logika-rasional terargumentasi dan terorganisasi. Be rdasarkan tataran analisisnya, pengembanan hukum teoritikal dibedakan ke dalam tiga bentuk, yakni ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum.
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimana prinsip yang melekat pada arbitrase syariah agar dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
C. Asumsi Asumsi atau disebut juga dengan anggapan dasar adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang harus dirumuskan secara jelas. 52 Asumsi merupakan kejadian atau situasi yang dianggap benar, sehingga kebenarannya tidak diragukan. 53 Asumsi merupakan pernyataan yang diterima sebagai sesuatu yang benar, tanpa harus dibuktikan secara empirik terlebih dahulu. 54 Untuk memberikan arah bagi pelaksanaan kajian ini, disusunlah asumsi-asumsi berikut: Pertama, pengaturan UUPS 2008 berimplikasi pada pemberian penggunaan arbitrase syariah sebagai salah satu pilihan forum dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pengaturan UUPS 2008 memberi penguatan bagi bangunan perbankan syariah yang memungkinkan desentralisasi penyelesaian sengketa melalui pilihan forum arbitrase syariah di luar peradilan agama. Penguatan arbitrase syariah dengan di dukung politik hukum yang memadai akan menempatkan forum ini
52
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 65. Dikatakan selanjutnya, bahwa asumsi berfaedah untuk memperkuat permasalahan, dan membantu peneliti dalam memperjelas menetapkan objek penelitian, wilayah pengambilan data, instrumen pengumpulan data. 53 Consuelo G. Sevilla, et.al., Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 17. Selanjutnya dijelaskan, bahwa asumsi tidak sama dengan hipotesis, karena asumsi tidak memerlukan pengujian atau pembuktian. 54 John J.O.I. Ihalauw, Konstruksi Teori: Komponen dan Proses, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 142-143. Terkait perlunya asumsi dalam penelitian, dijelaskan oleh Ihalauw, bahwa realitas dan masalah yang dihadapi sungguh luas dan kompleks serta senantiasa berubah. Gejala yang tertangkap pengamatan manusia sangat terbatas. Masalah penelitian yang menjadi perhatian peneliti hanyalah secuil dari realitas yang luas dan kompleks itu. Untuk itu, perlu dibuat asumsi, agar ilmu dapat menggambarkan atau menjelaskan secara analitis apa yang ditangkap melalui pengamatan yang terbatas tadi.
Universitas Sumatera Utara
memiliki eksistensi dan prospek signifikan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kedua, arbitrase syariah menjadi pilar penting bagi perbankan syariah sebagai forum resolusi sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah. Prinsip syariah yang melekat pada arbitrase syariah memberi warna terhadap validitas dan karakteristik yang membedakannya dengan arbitrase non syariah. Tujuan utama dari validitas arbitrase syariah sebagai sarana penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah upaya mewujudkan perdamaian. Yurisdiksi arbitrase syariah menampakkan bentuk dalam konteks modern yang meliputi bidang ekonomi syariah, antara lain termasuk perbankan syariah. Fitur arbitrase syariah yang juga melekat pada arbitrase non syariah harus disesuaikan sehingga tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan hukum Islam. Ketiga, pengkajian terhadap prinsip arbitrase syariah perlu dilakukan sebagi upaya memperkuat keberadaan forum arbitrase, terutama setelah UUPS 2008 menetapkan sebagai pilihan penyelesaian sengketa perbankan syariah yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak dalam akad. Prinsip arbitrase syariah perlu di elaborasi untuk mengetahui landasan kerja penyelesaian sengketa muamalah di bidang perbankan syariah.
D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalis implikasi pengaturan UUPS 2008 bagi arbitrase syariah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah serta mengkaji prospek
Universitas Sumatera Utara
penguatan arbitrase syariah sebagai forum resolusi sengketa muamalah di bidang perbankan syariah. 2. Menganalisis validitas dan yurisdiksi arbitrase syariah dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia. 3. Menggali, menemukan, mengelaborasi dan menganalisis prinsip-prinsip yang menjadi dasar arbitrase syariah untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
E. Manfaat Penelitian Atas dasar tujuan yang telah dikemukakan di depan,
penelitian ini akan
memberikan manfaat: 1. Secara teoritis bermanfaat untuk memperkaya khasanah teori ilmu hukum yang berhubungan dengan mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar pengadilan agama yang dilakukan melalui mekanisme arbitrase berbasis syariah. Hasil kajian akan berguna bagi kegiatan pengembangan hukum ekonomi Islam terutama sebagai referensi kegiatan penelitian lebh lanjut. 2. Secara praktis bermanfaat bagi semua pihak berkepentingan, baik masyarakat pelaku bisnis, perbankan maupun perumus kebijakan dan pelaksana
penegakan
hukum,
untuk
menjadi
informasi
maupun
argumentasi hukum yang diperlukan terhadap urgensi arbitrase berbasis syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.
Universitas Sumatera Utara
F. Keaslian Penelitian Sesuai tema pokok tulisan yang berkaitan dengan prinsip arbitrase berbasis syariah dalam penyelesaian sengketa di bidang perbankan syariah, akan diuraikan hasil pelacakan yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu. Gambaran terhadap hasil penelitian terdahulu perlu dikemukakan untuk mengetahui orisinalitas kajian yang akan dilakukan. Berkaitan dengan tema penyelesaian sengketa, Adi Sulistiyono menerbitkan naskah yang berasal dari disertasi dengan judul “Mengembangkan Paradigma NonLitigasi di Indonesia.” Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini berkaitan dengan: (1) Penyebab krisis yang terjadi dalam lembaga peradilan, sehingga sampai menyebabkan paradigma litigasi kehilangan kewibawaan dan kredibilitasnya dihadapan masyarakat. (2) Meskipun paradigma non litigasi untuk menyelesaikan sengketa mempunyai banyak keuntungan, dan masyarakat Indonesia mempunyai budaya musyawarah, namun paradigma ini kurang berkembang untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Langkah apa yang harus diambil agar paradigma non litigasi bisa menjadi salah satu pilihan pendekatan yang dipercaya masyarakat untuk menyelesaikan sengketa bidang bisnis. 55
55
Adi Sulistiyono, Op. Cit., hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
Dari permasalahan yang diajukan, diperoleh kesimpulan, baik menyangkut paradigma litigasi (PLg) maupun paradigma non litigasi (PnLg). 56 Dalam paradigma litigasi antara lain disimpulkan, bahwa kepercayaan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa pada pengadilan dihadapkan pada keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya sarana prasarana untuk mendukung efektivitas dan efisiensi kinerja pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan menjadi birokratis, formalistis, mahal, lama, memihak pada pihak yang kuat dan putusannya sulit diprediksi. Lebih dari itu, penyelesaian yang terjadi di pengadilan telah menjauhkan pihak-pihak yang bersengketa dari nilai kemanusiaan dan keadilan. Pengadilan tidak lagi sebagai tempat mencari keadilan, tetapi telah menjadi tempat untuk mencari kemenangan hukum dengan cara yang bertentangan dengan hukum. 57 Sementara untuk paradigma non litigasi diantaranya disimpulkan, bahwa tidak berkembangnya paradigma ini, di samping belum terkomunikasikan keberadaannya di masyarakat, juga karena budaya gugat menggugat dan kekerasan telah menghinggapi dan menjadi bagian perilaku masyarakat Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena nilai-nilai musyawarah dan konsensus tidak dikembangkan melalui sistem pendidikan, atau teladan dari pemimpin formal atau non formal. Untuk
56
Ibid., hlm. 11. Dalam penelitian yang dilakukan, Adi Sulistiyono menggunakan istilah Paradigma Non Litigasi (PnLg) bukan Alternative Dispute Resolution. Dalam pemahaman yang dikemukakan, arbitrase tidak masuk dalam lingkup paradigma non litigasi, karena arbiter dalam memberikan putusan masih menggunakan pendekatan adversarial (pertentangan) dengan hasil winlose solution. Paradigma Non Litigasi (PnLg) diartikan kesatuan asumsi-asumsi, konsep, nilai-nilai dasar yang diyakini dan digunakan masyarakat secara terus menerus untuk menentukan cara dalam menyelesaikan sengketa dengan tidak menggunakan nilai-nilai yang melekat pada paradigma litigasi atau nilai-nilai adversarial yang menghasilkan penyelesaian sengketa win-lose solution, tapi mendasarkan pada konsensus atau musyawarah demi mencapai kepentingan bersama atau win-win solution. 57 Ibid., hlm. 434-435.
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan sengketa hukum, nilai musyawarah mengalami kesulitan menemukan ruang yang mampu mewadahinya, diakibatkan adanya kebijakan unifikasi lembaga peradilan pada masa orde lama yang menghapus peradilan desa dan peradilan adat. 58 Penelitian lain yang berhubungan dengan forum arbitrase dilakukan Eman Suparman bertajuk “Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan.” Studi yang di angkat dari disertasi ini dilakukan pada proyeksi masalah utama, yaitu mungkinkah forum arbitrase di masa depan dapat dikembangkan sebagai salah satu forum khusus untuk menyelesaikan sengketasengketa komersial di luar pengadilan negeri yang memiliki kewenangan publik untuk mengeksekusi putusannya, sehingga putusan arbitrase lebih mencerminkan penegakan keadilan substansial yang bermartabat. 59 Hasil yang diperoleh adalah secara faktual putusan arbitrase senyatanya belum merupakan putusan final, tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, dan tidak mandiri. Walaupun secara normatif eksplisit ditentukan bahwa putusan arbitrase bersifat tidak dapat dimohonkan upaya banding dan kasasi, namun bukan itu indikator penentunya. Idealnya, putusan arbitrase yang dikatakan final dan mengikat itu sekaligus juga memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga putusan benar-benar mandiri dan tidak dikondisikan dependen terhadap kewenangan pengadilan negeri. 60 Penelitian yang dilakukan memfokuskan bahasan pada aspek pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat, sehingga para pihak dapat lebih cepat memperoleh
58
Ibid., hlm. 439. Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 17. 60 Ibid., hlm. 234. 59
Universitas Sumatera Utara
hak yang dituntutnya bila dibandingkan dengan menuntut hak melalui pengadilan yang masih dapat menggunakan upaya hukum biasa maupun luar biasa. Cicut Sutiarso melakukan pengkajian dalam disertasi yang diterbitkan menjadi buku dengan judul “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis”. Kajian ini memfokuskan pelaksanaan putusan arbitrase yang mempunyai kekuatan final and binding yang dilaksanakan dengan mamakai prinsip pemeriksaan persidangan melalui pengadilan dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Penyajian dilakukan atas dasar bagaimana sebaiknya pengaturan lembaga arbitrase dapat memberikan peranannya dalam penyelesian sengketa di luar pengadilan berdasarkan asas-asas peradilan yang baik. Mengapa terhadap putusan arbitrase yang bersifat final and binding masih dimungkinkan untuk ditunda atau dinyatakan tidak dapat dilaksanakan atau dibatalkan sama sekali melalui permohonan pembatalan ke pengadilan negeri. 61 Atas permasalahan yang disusun, dikemukakan pendapat bahwa berdasarkan asas peradilan yang baik, proses pemeriksanaan permohonan pembatalan putusan dan proses pemeriksaan permohonan perlawanan eksekusi putusan arbitrase
tidak
menunda eksekusi putusan arbitrase. Dengan demikian, putusan arbitrase yang final and binding bisa dilaksanakan melalui pengadilan negeri dalam waktu yang cepat menurut prosedur yang sesuai dengan penerapan asas peradilan yang baik. 62 Penelitian lain terdapat dalam disertasi Darwinsyah Minin yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan Kesepakatan Di Propinsi
61 62
Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 32. Ibid., hlm. 221.
Universitas Sumatera Utara
Nanggroe Aceh Darussalam.” Penelitian ini dilakukan dengan mengemukakan tiga masalah: a) Bagaimana konsep hukum penyelesaian sengketa lingkungan yang proporsional yang mampu memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat luas. b) Apakah penyelesaian sengketa lingkungan yang berdasarkan kesepakatan secara adat sinkron dan efisien dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c) Mengapa penyelesaian sengketa lingkungan berdasarkan kesepakatan melalui lembaga hukum adat belum secara optimal digunakan di Indonesia, khususnya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 63 Setelah melalui pengkajian, ditemukan hasil yang dirumuskan dalam kesimpulan. 1) Konsep atau bentuk hukum penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang ideal dan proporsional memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat luas adalah kesepakatan damai hasil musyawarah yang dilakukan melalui Lembaga Hukum Adat Plus (LHA-Plus). 64 2) Tidak ditemukan adanya pertentangan yang prinsipil, baik asas dan tujuan maupun fungsi dan peran dari pemangku adat/LHA-Plus dengan fungsi dan peran dari koordinator, konsiliator (Pemerintah), mediator (mediasi) dan arbiter (arbitrase) di dalam menyelesaikan konflik lingkungan hidup. 3) Belum optimalnya penggunaan jasa LHA-Plus dalam penyelesaian konflik lingkungan hidup inconcreto disebabkan oleh faktor kekeliruan dari pejabat berwenang (aparat penegak hukum) di dalam menafsirkan arti hukum dan penegakan
63
Darwinsyah Minin, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan Kesepakatan Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2002), hlm. 28. 64 Lembaga Hukum Adat Plus (LHA-Plus) adalah gabungan antara perangkat adat dan unsur atau komponen Pemerintah Daerah (Pemda), para ahli atau ilmuwan bidang lingkungan hidup, baik yang berasal dari universitas maupun dari organisasi kemasyarakatan non-politik (LSM) yang concern terhadap lingkungan. Ibid. hlm. 310.
Universitas Sumatera Utara
hukum. 65 Fokus penelitian ini terletak pada penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan kesepakatan, berdasarkan hukum adat yang berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berkaitan dengan bidang perbankan syariah beberapa pengkajian telah pernah dilakukan. Muslimin H. Kara melakukan penelitian dengan tajuk “Bank Syariah Di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah.” Publikasi yang berasal dari disertasi ini mengemukakan masalah pokok yang menjadi objek kajiannya, yaitu bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia tentang perbankan Islam. 66 Hasil yang diperoleh, bahwa persoalan perbankan dalam sistem ekonomi Islam merupakan salah satu agenda yang mendapat perhatian serius dari umat Islam, baik di Indonesia maupun negara-negara Islam lainnya. Faktor ekonomi dan politik mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dikeluarkannya peraturan perundangundangan yang mengatur perbankan Islam. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan perbankan Islam dapat diklasifikasikan dalam dua priode, yaitu priode 1992-1998 sebagai peletakan dasar sistem perbankan Islam, dan priode 19981999 sebagai reformasi kebijakan perbankan Islam di Indonesia. 67 Fokus penelitian ini terletak pada bidang politik hukum terhadap keberadaan bank syariah, dan tidak memberikan pembahasan terhadap penyelesaian sengketa yang dapat terjadi dalam hubungan hukum antara bank syariah dengan nasabah.
65
Ibid., hlm. 311-312. Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 9. 67 Ibid., hlm. 231-235. 66
Universitas Sumatera Utara
Utary Maharany Barus telah melakukan penelitian untuk kepentingan penulisan disertasi berjudul “Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-Sama Dengan Hukum Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH. Perdata): Studi Mengenai Akad Pembiayaan Antara Bank Syariah Dan Nasabahnya Di Indonesia” Empat permasalahan pokok yang menjadi dasar penelitian telah dirumuskan, yaitu: 1) Mengapa dalam pelaksanaan akad yang dibuat oleh perbankan syariah dan nasabahnya berdasarkan sistem bagi hasil menurut hukum perjanjian Islam, diperlakukan juga ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2) Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum perjanjian Islam dan hukum perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Mengapa hukum perjanjian Islam berlaku bersama-sama Hukum Perdata Barat (KUH. Perdata) di dalam akad perbankan syariah dapat berdampingan secara harmonis dalam pelaksanaannya. 4. Mengapa penyelesaian sengketa antara perbankan syariah dan nasabahnya selain berdasarkan prinsip syariah Islam juga tunduk pada undangundang nasional lainnya. 68 Dari empat permasalahan itu, diperoleh hasil, pertama, penerapan hukum perjanjian Islam bersama-sama dengan hukum perjanjian menurut KUH. Perdata dikarenakan peraturan perundang-undangan yang mengatur perbankan syariah belum lengkap, sehingga pelaksanaan hukum perjanjian Islam memerlukan hukum lain. Kedua, ada persamaan antara hukum perjanjian dari KUH. Perdata dengan hukum
68
Utary Maharany Barus, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-Sama Dengan Hukum Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH. Perdata): Studi Mengenai Akad Pembiayaan Antara Bank Syariah Dan Nasabahnya Di Indonesia, (Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2006), hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian Islam, meskipun tetap ada perbedaannya. Ketentuan hukum perjanjian dalam KUH. Perdata yang dicantumkan dalam akad pembiayaan bank syariah tidak bertentangan dengan Alquran dan As-Sunnah. Ketiga, karena adanya persamaan, maka hukum perjanjian dari kedua sistem hukum tersebut dapat berdampingan secara harmonis dalam pelaksanaannya. Apabila kodifikasi hukum perjanjian Islam telah terealisasi, akad pembiayaan bank syariah tidak lagi memerlukan hukum perjanjian menurut KUH. Perdata. Keempat, kebutuhan pemakaian hukum lain ternyata lagi terjadi dalam pelaksanaan keputusan lembaga arbitrase yang berdasarkan syariah untuk menyelesaikan sengketa antara bank syariah dan nasabahnya. 69 Meskipun dalam penelitian terakhir ini ada menyinggung mengenai arbitrase berdasarkan syariah, namun tidak menukik pada pengkajian prinsip yang menjadi fundamen kerja arbitrase syariah. Kajian lebih difokuskan pada penerapan hukum perjanjian Islam yang diharmoniskan dengan ketentuan perjanjian menurut KUH. Perdata. Pengkajian lain dilakukan Hirsanuddin dalam suatu disertasi yang diterbitkan dengan judul “Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia: Pembiayaan Bisnis Dengan Prinsip Kemitraan.” Fokus bahasan diarahkan pada salah satu produk bank syariah di bidang
pembiayaan
dalam
bentuk
kemitraan
(mudharabah).
Hasil
kajian
menunjukkan, bahwa dalam praktik, pembiayaan mudharabah masih jauh dari harapan, karena bank syariah tidak terlalu berminat untuk menerapkannya. Hal ini disebabkan karena pembiayaan mudharabah hanya cocok bila mudharib perbankan syariah memiliki karakter yang jujur dan bekerja keras.serta tidak berperilaku 69
Ibid, hlm. 290-292.
Universitas Sumatera Utara
negatif. 70 Pembiayaan dengan skim mudharabah, baik dalam tataran wacana namun sulit dalam tataran aplikasi. Bank-bank syariah, baik di negara-negara yang menerapkan bank Islam secara penuh maupun di negara yang menerapkan sistem dual banking system seperti Indonesia masih sangat kurang dalam menyalurkan dana dengan skim mudharabah. 71 Penelitian ini memfokuskan kajian pada mudharabah sebagai salah satu bentuk produk usaha perbankan syariah. Seperti penelitian sebelumnya, penelitian ini juga tidak memberikan bahasan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat terjadi di bank syariah. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap beberapa penelitian tersebut, dapat ditegaskan bahwa kajian yang dikerjakan memiliki nilai keaslian atau orisinalitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Perbedaan kajian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada rumusan permasalahan dan objek serta fokus penelitian yang mengkaitkan arbitrase syariah dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Keutamaan kajian terletak pada manifestasi syariah yang dijadikan paradigma dalam penyelesaian sengketa perbankan melalui mekanisme arbitrase syariah. Dengan demikian perspektif kajian ini berbeda bila dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Tegasnya, belum ada kajian yang dilakukan terhadap arbitrase berbasis syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Dari perspektif ini diharapkan hasil kajian dapat diakomodasi sebagai informasi dan sumber dalam pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah yang diakui dalam peraturan formal. 70
Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia: Pembiayaan Bisnis Dengan Prinsip Kemitraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hlm. 188.. 71 Ibid., hlm. 192.
Universitas Sumatera Utara
G. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori Kegiatan penelitian sejatinya dimulai dari pengetahuan yang sudah ada sebagai hasil kajian dan studi yang dilakukan para ahli di bidang ilmu masingmasing. Peneliti berikutnya memanfaatkan hasil temuan tersebut untuk kepentingan penelitiannya, dengan mempelajari, mendalami, menelaah dan mengidentifikasi pengetahuan tersebut untuk menjadi acuan atau referensi penelitiannya. 72 Kajian pustaka merupakan aktivitas penelitian yang sangat berguna dalam menemukan teoriteori relevan dengan masalah penelitian yang telah dirumuskan. Kajian pustaka diperoleh melalui buku teks, monograf, jurnal, disertasi maupun hasil-hasil penelitian yang terdokumentasikan. Setelah masalah penelitian dirumuskan, langkah berikutnya yang dilakukan adalah mencari teori, konsep serta generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan landasan teoritis untuk penelitian yang akan dilakukan. 73 Penyusunan kerangka teori menjadi keharusan, agar masalah yang diteliti dapat dianalisis secara komprehensif dan objektif. Kerangka teori disusun untuk menjadi landasan berpikir yang menunjukkan sudut pandang
pemecahan
masalah yang telah disusun. 74 Kegiatan penelitian senantiasa bersaling tindak dengan teori. Melalui penelitian, pengkaji dapat menguji teori dan mengembangkannya sesuai dengan 72
Sudjarwo dan Basrowi, Manajemen Penelitian Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm.
58 73
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 18. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 93 74
Universitas Sumatera Utara
keluasan dan ruang lingkup ilmu yang dikaji. Teori akan mengarahkan kegiatan penelitian dalam upaya memperluas cakrawala pengetahuan teoritis. 75 Teori bermanfaat untuk memberi dukungan analisis atas topik yang sedang dikaji, 76 serta bermanfaat sebagai pisau analisis dalam pembahasan terhadap masalah penelitian, berupa fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. 77 Teori dengan demikian dapat digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam memahami masalah yang menjadi objek penelitian. 78 Teori menduduki tempat yang penting dalam penelitian, karena teori memberikan sarana untuk merangkum dan memahami masalah yang dikaji secara lebih baik. Hal-hal yang semula terlihat tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Jadi, teori berfungsi memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dikaji. 79 Tidak terkecuali hukum juga memiliki teori-teori hukum
sebagai hasil
pemikiran mendalam dari pemikir-pemikir hukum. 80 Para ahli hukum melalui karyakaryanya mengemukakan teori hukum sebagai aliran-aliran atau mazhab dalam ilmu 75
Agus Salim, Bangunan Teori: Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 84. 76 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op. Cit., hlm. 144. 77 Ibid., hlm. 146. 78 Secara umum teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction), dan pengendalian (control) suatu gejala. Lihat Sudjarwo dan Basrowi, Op. Cit., hlm. 65. 79 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 253. 80 Bruggink mengatakan, bahwa teori hukum adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum yang untuk suatu bagian penting sistem tersebut memperoleh bentuk dalam hukum positif. JJ.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
hukum, yang lahir dengan pendekatan masing-masing, seperti teori hukum alam, positivisme, utilitarianisme, teori hukum murni, dan sebagainya. 81 Seluruh pemikiran sistematik teori hukum berkaitan dengan filsafat dan teori politik yang mendasarinya. Seringkali titik tolaknya adalah filsafat, dan ideologi politik berperan sebagai pelengkap. Teori hukum selalu berpedoman pada prinsip-prinsip yang dianut pemikirnya yang bermula dari ajaran-ajaran filsafat dan teori politik. Tugas teori hukum dalam formulasi Radbruch, adalah ”the clarification of legal values and postulates up to their ultimate philosophical foundations.” 82. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori maslahah dan sistem hukum (legal system) yang terangkai dengan teori penyelesaian sengketa. Teori-teori di maksud dijadikan pisau analisis sekaligus wacana dalam menganalisis dan menjelaskan masalah yang akan diteliti. Selain itu, kajian didukung teori Economic Analysis of Law yang berkaitan dengan konsep efisiensi penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah. Maslahah dengan bentuk jamak masalih berasal dari bahasa Arab yang kemudian diserap menjadi maslahat dalam bahasa Indonesia merupakan sinonim dari kata ’manfaat’ dan lawan dari kata ’kerusakan’ (mafsadah). 83 Hukum bekerja untuk
81
Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 253 dst. Perhatikan juga W. Friedmann, Legal Theory, (London: Stevens & Sons Limited, 1960). Mengenai kajian perkembangan pemikiran hukum Di Indonesia dapat diperhatikan kajian konprehensif yang dilakukan Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004). 82 W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 3-4. 83 Maslahat secara etimologi atau bahasa berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah, guna atau kegunaan, dan manfaat. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 634.
Universitas Sumatera Utara
sesuatu yang terhubung dengan kemaslahatan (maslahah) manusia, baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. 84 Hukum
Islam
(syariah)
berorientasi
pada
kemanfaatan
dengan
menitikberatkan keserasian hukum untuk memajukan kemaslahatan. Pandangan ini bertolak dari premis dasar, bahwa hukum harus melayani kepentingan masyarakat. 85 Imam Malik memberikan persyaratan untuk menggunakan maslahah, yaitu pertama, bersifat reasonable dan relevan dengan kasus hukum yang ditetapkan. Kedua, harus bertujuan memelihara sesuatu yang dharuri dan menghilangkan kesulitan, dengan cara menghilangkan mudarat. Ketiga, harus sesuai dengan maksud disyariatkan hukum Islam dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i. 86 Al-Haramain al-Juwayni berpandangan, maslahah merupakan indikator dalam penentuan keberadaan hukum. Maslahah pada hakikatnya tidak lain adalah maqasid atau tujuan dari syariat dalam menetapkan hukum. 87 Pemikiran Juwayni tentang maslahah ini kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh muridnya Ghazali. 88
84
Abu Yasid, Islam Moderat, (Jakarta: Erlangga, 2014), hlm. 99. Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogya: Tiara Wacana, 1991), hlm. 129 86 H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Bagian Pertama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 142. Juhaya S. Praja mengemukakan, istilah maslahah diperkenalkan Imam Malik, kemudian diperjelas oleh para juris berikutnya. Juhaya S. Praja, Teori Hukum Dan Aplikasinya, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), hlm. 162. Sementara Nawir Yuslem dengan mengutip penelitian Rudi Paret mengemukakan, penggunaan maslahah sebagai terminologi hukum (technical legal term) pertama kali digunakan al-Haramain al-Juwayni, sebab pada masa Imam Malik dan juga pada masa Syafii terma itu belum eksis, sehingga konsep maslahah tentunya berkembang sesudah masa Syafii. Nawir Yuslem, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh Kitab Induk Usul Fikih (Konsep Mashlahah Imam alHaramain al-Juwayni dan Dinamika Hukum Islam), (Bandung: Citapustaka Media, 2007), hlm. 5. Lihat juga Abdul Mun’im Saleh, Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 152. 87 Nawir Yuslem, Op. Cit., hlm. 213. Juwayni membagi maslahah dalam lima kategori, yaitu: 1. dharuriyah; 2. hajiyah; 3. tahsiniyah; 4. secara substansi pada dasarnya sama dengan ketegori ketiga, namun berbeda secara prosedur; 5. kemaslahatan yang tidak dapat dipahami maknanya secara terpisah antara unsur-unsur aktifitasnya, namun bila dirangkai secara integral baru kemaslahatannya terlihat. 88 Ibid., hlm. 10. 85
Universitas Sumatera Utara
Ghazali mengemukakan, tolok ukur yang menjadi dasar utama dalam menentukan maslahah adalah syariat, yang diarahkan untuk memelihara pencapaian tujuan disyariatkan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 89 Setiap hukum yang mengandung pencapaian tujuan syariat Islam itu (maqasid al-syariah) disebut maslahah, dan sebaliknya yang meniadakan atau menolaknya disebut mafsadah. Menurut Ghazali, maslahah berarti mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan syariat. 90 Para ahli hukum Islam modern kelihatanya telah sepakat terhadap konsep maslahah sebagai tujuan hukum Islam. 91 Betapa eratnya hubungan penerapan maslahah dengan pencapaian tujuan hukum Islam (syariah) dikemukakan Syatibi dengan mengatakan kewajibankewajiban dalam syariah adalah memperhatikan maqasid al-syariah. Jadi, maqasid dan maslahah menjadi istilah yang bisa saling ditukar dalam kajian kewajiban syariah. 92 Dengan pendapatnya itu, Syatibi kemudian mengemukakan tiga karakter yang melekat pada maslahah, yaitu: Pertama, tujuan legislasi adalah untuk menegakkan masalih di dunia dan di akhirat; Kedua, syariah menghendaki masalih harus mutlak; Ketiga, alasan bagi kedua pertimbangan itu adalah bahwa syariah yang
89
Perhatikan Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm.28. 90 Abdul Azis Dahlan, (et.al.) Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1143. Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001), hlm. 127. 91 Abdul Mun’im Saleh, Op. Cit., hlm. 154. 92 Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam Dan Perubahan Sosial, (Surabaya: AlIkhlas, 1995), hlm. 229.
Universitas Sumatera Utara
telah dilembagakan harus abadi, universal, dan umum dalam hubungannya dengan segala macam kewajiban, subjek hukum, dan kondisi-kondisi. 93 Esensi maslahah terletak pada terciptanya kebaikan dan kesenangan serta terhindar dari kerusakan dalam kehidupan manusia. 94 Maslahah dimaksud merupakan kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’, bukan kemaslahatan berdasarkan keinginan hawa nafsu manusia semata. 95 Dengan begitu, maslahah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan kerusakan bagi manusia, sejalan dengan tujuan syarak dalam menetapkan hukum. 96 Dari segi eksistensinya maslahat dapat dibagi atas tiga macam, yakni maslahah muktabarah, maslahah mulghah, dan maslahah mursalah. 97 Muhammad Abu Zahrah. 98.mengatakan, hukum syariah sesungguhnya mencakup pertimbangan 93
Ibid, hlm. 238. H.M. Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi Dan Elastisitas Hukum Islam, (Medan: Program Pascasarjana USU, 2002), hlm. 27. 95 Ibid., hlm. 28. 96 H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 347. 97 H. Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 265; H.M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 29; H. Fathurrahman Djamil, Op. Cit., hlm. 141; Muhammad Muslehuddin, Loc. Cit. Maslahah muktabar adalah kemaslahatan yang diungkapkan atau terdapat petunjuk dalam nash secara tegas mengakui keberadaannya. Maslahat kedua, yaitu maslahah mulghah adalah yang bertentangan dengan ketentuan nash yang terdapat dalam Alquran dan Hadist. Sedang, maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang secara tegas tidak ada petunjuk nash yang mengakuinya maupun menolaknya, dan juga tidak bertentangan dengannya. Maslahat ini sejalan dengan tujuan hukum Islam yang dapat dijadikan dasar dalam mewujudkan kebaikan manusia dan terhindar dari kemudaratan. Maslahah mursalah dapat digunakan sebagai dalil hukum syariat dengan memenuhi tiga syarat, yaitu: 1. Masalah yang didasarkan atas dalil itu harus termasuk masalah mu’amalah, bukan masalah ibadat; 2. Dasar kemaslahatan itu harus sesuai dengan dasar dan jiwa syariat; 3. Kemaslahatan itu harus terdiri dari soal-soal dalam kategori darurat, atau keharusan dan kepentingan mutlak, bukan soal yang bersifat komplementer, kesempurnaan dan kelengkapan. Kategori darurat atau keharusan mutlak adalah mencakup perbuatan-perbuatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan hak milik. Sedang yang tergolong kategori kepentingan mutlak adalah perbuatan-perbuatan yang diperlukan untuk memenuhi hajat kebutuhan hidup. Sedang kategori yang bersifat komplementer, kesempurnaan, dan kelengkapan adalah perbuatan-perbuatan yang termasuk untuk keindahan, dan kebagusan, atau kepantasan. Lihat Sobhi Mahmassani, Op. Cit., hlm. 138 98 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 423. 94
Universitas Sumatera Utara
kemaslahatan manusia. Maslahat yang dapat diterima (muktabarah) adalah maslahat yang bersifat hakiki, meliputi lima jaminan dasar, yaitu keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Kelima jaminan dasar itu merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat manusia hidup aman dan sejahtera. 99 Perlindungan agama berkaitan dengan keimanan yang bisa memengaruhi kepribadian manusia terhadap sesama dan lingkungannya. Agama atau keimanan dapat menciptakan keseimbangan dalam membangun kedamaian serta meningkatkan solidaritas sosial, sehingga mendorong terwujudnya keharmonisan dalam kehidupan bersama. Perlindungan dan pemeliharaan terhadap agama harus dilakukan setiap pemeluk Islam, baik yang berkaitan dengan kehidupan transedental (hablun min Allah) maupun kehidupan bermuamalah sesama manusia (hablun min Annas). Pemeliharaan dan perlindungan jiwa merupakan aspek paling mendasar bagi setiap
manusia.
Keselamatan
jiwa
terimplementasi
dalam
kesempatan
mempergunakan hasil sumber alam untuk dikonsumsi manusia untuk menjaga kesinambungan kehidupan serta adanya hukum qishas untuk menghukum orang yang mendatangkan celaka terhadap kehidupan manusia. Pemeliharaan akal mengacu pada perolehan ilmu pengetahuan, sehingga memungkinkan manusia dapat membedakan yang baik dan buruk. Untuk itu, Allah melarang mengkonsumsi minuman keras, karena dapat merusak akal sehat manusia dalam berperilaku. Pemeliharaan
dan
perlindungan
keturunan
berkaitan
dengan
upaya
memelihara dan melangsungkan kehidupan manusia di muka bumi. Cara yang digunakan untuk melanjutkan keturunan adalah melalui lembaga pernikahan dan 99
Ibid., hlm. 425.
Universitas Sumatera Utara
ajaran yang berkaitan dengan kehidupan berkeluarga dengan segala aspek yang berkaitan dengannya, serta larangan perzinaan. Akhirnya, perlindungan terhadap harta kekayaan mengacu pada kesucian kekayaan dengan penekanan pada pendapatan yang sah atau halal. Juga berkaitan dengan berbagai aktivitas transaksi di antara anggota masyarakat, dan untuk itu Islam telah menyediakan hukum yang komprehensif di bidang muamalah. Umer Chapra mengatakan, maqasid ini akan membantu menyediakan kerangka kerja yang lebih bermakna bagi analisis ekonomi. 100 Perlindungan dan pemeliharaan jiwa, akal, dan keturunan, berhubungan dengan manusia itu sendiri, dan kebahagiaannya merupakan tujuan utama syariat. Ketiga aspek ini meliputi kebutuhan intelektual dan psikologis, moral dan fisik manusia dewasa ini maupun masa mendatang. Begitu pula perlindungan terhadap agama (keimanan) dan harta benda, keduanya diperlukan bagi kebahagiaan manusia, tetapi iman atau agamalah yang membantu menyuntikkan disiplin dan makna dalam memperoleh penghidupan yang memungkinkan harta memenuhi tujuannya secara lebih efektif. 101 Kekuatan maslahah terlihat dari segi tujuan syariat Islam dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan lima jaminan dasar yang menjadi hajat hidup manusia (maqasid al-syariah) yang diperlukan bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Secara normatif, maslahah merujuk pada keadaan yang seharusnya ada, yaitu hanya mengedepankan sifat positif dalam kehidupan berupa kebaikan, kenyamanan, serta kedamaian, dengan menolak berbagai sisi 100
M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinajauan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 107. 101 Ibid., hlm. 105-106.
Universitas Sumatera Utara
negatif, yang menimbulkan kerusakan, bahaya, serta kerugian bagi kehidupan manusia. Aspek normatif maslahah itu harus dapat diwujudnyatakan dalam tataran empiris, sehingga keberadaannya dapat dirasakan dan dialami oleh masyarakat. 102 Menurut tingkatannya, maslahah terbagi atas tiga tingkatan, yaitu: maslahah dharuriyah, maslahah hajiyah, dan maslahah tahsiniyah. 103 Perubahan dan perkembangan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan harus sesuai syariah dengan memperhatikan aspek maslahat yang dikaitkan dengan tujuan syariat. Maksud syariat Islam tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, yaitu menarik manfaat, menolak kemudaratan dan menghilangkan kesusahan. 104 Kemaslahatan dijelmakan ke dalam hukum untuk dapat mewujudkan kehidupan yang bahagia, dan damai sesuai dengan keberadaan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Meraih manfaat (maslahah) dan menghindari bahaya (mafsadah) merupakan tujuan dasar semua ketentuan syariah. Tujuan pokok hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Alquran dan Sunnah sangat memerhatikan kemaslahatan. Karena itu, peranan maslahat dalam menentukan hukum
102
Juhaya S. Praja, Op. Cit., hlm. 163. H.M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hlm. 28; H. Amir Syarifuddin,Op. Cit., hlm. 222 dan 348. Maslahah dharuriyah adalah kemaslahatan yang keberadaannya primer dalam kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak sempurna tanpanya. Terpenuhinya kelima jaminan dasar yang menjadi hajat hidup manusia yang menjadi tujuan syariat merupakan kemaslahatan dharuri. Selanjutnya, maslahah hajiyah merupakan kemaslahatan pada tingkat sekunder yang tidak berada dalam tingkatan dharuri. Walaupun tidak sampai merusak kehidupan manusia, namun keberadaannya diperlukan untuk memberi kemudahan dalam kehidupan. Maslahat ini berkaitan dengan keringanankeringanan dalam hukum Islam, seperti kemudahan (rukhsah) dalam ibadah, seperti qashar sholat bagi yang berada dalam perjalanan, dan boleh berbuka puasa bagi orang yang sakit dan musafir. Akhirnya, maslahah tahsiniyah adalah kemaslahatan dalam tingkat tersier untuk melengkapi kebutuhan manusia. Keberadaannya dikehendaki untuk kemuliaan dan kebaikan pergaulan, seperti berpakaian rapi dan berwangi-wangian pada waktu ke mesjid atau beribadah. 104 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), hlm. 106. 103
Universitas Sumatera Utara
sangatlah menentukan, 105 termasuk dalam menentukan hukum untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam kehidupan praktis masyarakat, dalam konteks ini yang dilakukan melalui forum arbitrase syariah. Maslahah memiliki posisi penting dalam menentukan prinsip-prinsip dasar arbitrase syariah yang dielaborasi dari Alquran dan Sunnah. Penggalian prinsip-prinsip dasar arbitrase syariah bermanfaat untuk menentukan bentuk aplikasi penyelesaian sengketa yang terjadi dalam kehidupan perbankan secara khusus dan masyarakat umumnya. 106 Kemaslahatan senantiasa bersandar pada syariah, dan hanya dapat diaplikasikan dalam bidang muamalah yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia yang lebih menerima rasionalitas dibandingkan dengan bidang ibadah yang bersifat transedental. 107 Prinsip dalam bagian ibadah adalah taabbudi dan hukum ibadah itu diketahui dengan dalil-dalil syariah. Bagian muamalah mempunyai makna yang bisa diterima oleh akal dan didasarkan atas kemaslahatan manusia. Maslahat yang menjadi dasar mengantisipasi setiap perubahan dalam kehidupan masyarakat yang dapat memengaruhi keberadaan hukum senantiasa harus serasi dengan tujuan hukum Islam.
105
H. Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 259. Juhaya S. Praja lebih memastikan, bahwa konsep kemaslahatan merupakan ’inti’ dalam menetapkan hukum Islam, dan membimbing masyarakat Islam agar menampakkan wajah Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Perhatikan Juhaya S. Praja, Op. Cit., hlm. 161. 106 Bandingkan Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang PrinsipPrinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Impelementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7. 107 Perhatikan Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 137.; Amin Farih, Kemaslahatan & Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
Teori
maslahah
dalam
hukum
Islam
dapat
dibandingkan
dengan
utilitarianisme dalam filsafat hukum barat. 108 Keduanya mempunyai titik singgung pada aspek makna untuk mencapai dan memberi kebahagiaan serta kebaikan yang terkait dengan tujuan hukum. 109 Penalaran utilitarian menempatkan maksimalisasi kebahagiaan sebagai tujuan hukum. Hukum ditujukan untuk meningkatkan kebahagiaan
masyarakat
dengan
cara
melarang
perbuatan-perbuatan
yang
mendatangkan sengsara. 110 Tujuan akhir perundang-undangan adalah melayani kebahagian yang paling besar dari sejumlah terbesar masyarakat. 111 Bentham mengatakan, kebaikan publik sejatinya menjadi tujuan legislator dengan manfaat umum sebagai landasan penalaranya. 112 Pesan paham utilitarian, menimbulkan beberapa gagasan bagi hukum, yaitu: (i) Hukum seharusnya diperkenankan hanya 108
Abu Yasid, Op. Cit., hlm. 102. Al-‘lzz (‘Izzuddin) ibn Abdi al-Salam sebagaimana dinukilkan Amir Syarifuddin memberi makna maslahah secara hakiki sebagai “kesenangan dan kenikmatan”, sedang dalam bentuk majazi (kiasan) adalah “sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan.” Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 346. Teori maslahah dapat dibandingkan dengan aliran utilitarianisme yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan diartikan sebagai kabahagiaan (happiness). Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 117. Teori utilitarianisme diasosiasikan dengan filosof terkenal Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Keberadaan hukum bergantung kepada eksistensinya untuk membahagiakan masyarakat. baik buruk atau adil tidaknya hukum, terletak pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada sebanyak mungkin manusia atau tidak. Maksim terkenal pemikiran utilitis diambil dari filosofi Bentham yaitu ‘the greatest happiness for the greatest number’ Lihat J. W. Harris, Legal Philosophies, (London: Butterworths, 1997), hlm. 40. Jeremy Bentham sebagai pengusung utilitarianisme mengatakan, terdapat kaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan kesenangan dan kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan, atau tegasnya hukum bertugas memelihara kegunaan atau kemanfaatan. Lihat W. Friedmann, Op. Cit., hlm 268; Dardji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., hlm. 118. Sementara John Stuart Mill melihat keadilan sebagai bagian dari kemanfaatan itu sendiri, bukan prinsip terpisah yang muncul secara independen. Lihat Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 18. Bagi utilitarian keadilan menjadi basis berharga yang muncul dari kebutuhan dukungan masyarakat. Kemanfaatan yang diberi makna sebagai prinsip kebahagiaan terbesar menempatkan keadilan pada tempat penting yang bertugas untuk memberikan kebahagiaan bagi setiap individu. Keadilan senantiasa harus memberi kemanfaatan yang membahagiakan bagi sebanyak-banyak individu. 110 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 122. 111 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 269. 112 Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 25. 109
Universitas Sumatera Utara
jika memberi kontribusi lebih besar pada kebahagiaan manusia. (ii) Hukum seharusnya ditaati karena memang sebagai hukum, dan seharusnya tidak dipatuhi demi untuk menghindari bencana. (iii) Hukum seharusnya dicabut dan diganti bila gagal menjalankan fungsi utilitarian yang semestinya. 113 Tidak seperti utilitarianisme yang berdasarkan rasio semata, barometer maslahah berada pada aspek syariah yang mendasarinya, sehingga kebahagiaan dan kebaikan yang hendak dicapai tidak untuk kepentingan dunia saja melainkan juga kepentingan akhirat. 114 Sementara. kemaslahatan dalam maslahah bernilai ketuhanan, tidak demikian pada utilitarianisme yang tidak mengkaitkannya dengan aspek ketuhanan. Kebahagian dalam maslahah tidak saja kebahagian fisik jasmaniah, melainkan juga kebahagiaan spritual rohaniah. 115 Muhammad Said Ramadan al-Buti juga membandingkan teori maslahah dengan konsep ”kegunaan” dan ”kesenangan” dalam filsafat Bentham dan Mill. Dikemukakan oleh al-Buti, bahwa maslahah yang tidak memenuhi persyaratan dan karakter syariah adalah identik dengan konsep-konsep yang bersifat hedonistik semata. 116 Konsep maslahah yang memenuhi persyaratan dengan sendirinya berbeda dari kegunaan dan kesenangan, karena mempertimbangkan tiga karakter sebagai berikut: Pertama, ia tidak terbatas di dunia ini tetapi juga mencakup akhirat. Kedua, 113
Jonathan Wolff, Pengantar Filsafat Politik, (Bandung: Nusa Media, 2013), hlm. 83. Abu Yasid, Op. Cit., hlm. 106. Hal ini terlihat jelas dalam Q.S. Al-Qashash (28): 77 yang artinya: ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” 115 Perhatikan H. Abdul Manan, Op.Cit., hlm. 264; Ahmad Munif Suratmaputra, Op.Cit., hlm. 29. 116 Muhammad Khalid Mas’ud, Op. Cit., hlm. 188. 114
Universitas Sumatera Utara
nilai baik Islam tidak bersifat material; dan ketiga, pertimbangan agama mendominasi pertimbangan-pertimbangan lain. 117 Dihubungkan dengan forum penyelesaian sengketa di bidang perbankan syariah yang menjadi subjek penelitian ini, sudah seharusnya dijiwai dan disandarkan pada konsep kemaslahatan sesuai dengan maksud ditegakkannya syariat Islam. Forum arbitrase syariah yang dipilih untuk penyelesaian sengketa perbankan syariah dituntut untuk mampu memberikan kemaslahatan dengan mewujudkan perdamaian yang berkeadilan bagi para pihak, sehingga hubungan silaturrahim di antara mereka yang bersengketa tetap terjaga keharmonisannya, dan hubungan muamalah tetap berjalan secara produktif. Teori maslahah menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Bila terjadi sengketa, kabahagiaan dan kesejahteraan jangan sampai terusik, sehingga sedapat mungkin hukum harus mendamaikan yang dalam aktivitas arbiterase diperankan oleh arbiter. David de Santillana memberi pengakuan, bahwa hukum Islam tegak di atas nilai-nilai kemaslahatan yang bersifat universal dan tidak bersifat parsial. 118 Disinilah pentingnya memilih arbitrase sebagai cara utama untuk menyelesaikan sengketa secara kooperatif dan informal guna mewujudkan perdamaian bagi para pihak dalam pencapaian kemaslahatan berdasarkan spirit keislaman. Arbitrase syariah sendiri,
117
Ibid., hlm. 188. Uraian yang tak jauh berbeda dikemukakan Yusuf Hamid yang mengemukakan keistimewaan maslahah syar’i dibandingkan dengan maslahat dalam arti umum, yaitu: 1. Sandaran maslahah syar’i dilekatkan pada syariah, bukan semata berdasarkan akal manusia. 2. Maslahah syar’i tidak tidak terbatas pada kepentingan dunia semata, melainkan juga untuk akhirat. 3. Maslahah syar’i tidak terbatas pada rasa enak dan tidak enak dalam artian fisik jasmani saja, melainkan juga dalam artian ruhaniyah. Lihat H. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 348. 118 Lihat Raghib As Sirjani, Pengakuan Tokoh Nonmuslim Dunia Tentang Islam, (Bandung: Sygma Publishing, 2010), hlm. 292.
Universitas Sumatera Utara
dilihat dari macam maslahah, eksistensinya termasuk maslahah muktabarah, karena mendapat petunjuk langsung dari nash. Setiap sengketa harus diselesaikan agar hubungan kerjasama para pihak tetap berjalan secara dinamis untuk mewujudkan kemaslahatan dengan menghilangkan berbagai kemudaratan. Hukum ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo: 119 Pada waktu timbul suatu sengketa dalam masyarakat, maka ia memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar sengketa itu diselesaikan. Pembiaran terhadap sengketa-sengketa itu tanpa penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. Pada saat itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga diciptakan atau dipulihkan suatu proses kerjasama yang produktif. Terkait dengan penyelesaian sengketa dalam konteks pendekatan sistem hukum, H.L.A. Hart mengemukakan bahwa karakter sistem hukum adalah kombinasi dari aturan-aturan. Suatu sistem hukum merupakan keseluruhan dari ”aturan-aturan primer” (primary rules) dan “aturan-aturan sekunder” (secondary rules). 120 Primary rules berkaitan dengan norma-norma perilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Perhatiannya ditujukan terhadap tindakan preskriptif, yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan oleh individu. Secondary rules berhubungan dengan aturan terhadap aturan itu sendiri. Secondary rules menentukan validitas sahnya pembuatan
119
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 27. 120 H.L.A. Hart, The Concept of Law, (New York: Oxford University Press, 1997), hlm. 81. Primary rules adalah aturan-aturan yang memberikan hak dan membebankan kewajiban kepada anggota-anggota masyarakat. Sedang secondary rules adalah aturan-aturan yang menetapkan bagaimana dan oleh siapa primary rules dibuat, dinyatakan berlaku, diubah dan dinyatakan tidak berlaku. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum .... Op. Cit., hlm. 66.
Universitas Sumatera Utara
peraturan (rules of recognition), cara menegakkan atau menyelesaikan setiap sengketa hukum (rules of adjudication) serta kemungkinan dilakukan perubahan atas aturan-aturan hukum yang ditetapkan (rules of change). 121 Masing-masing kaidah tersebut memegang otoritas untuk menentukan validitas aturan dalam sistem hukum, perubahan peraturan, dan aturan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa. Dengan melihat karakteristik yang melekat pada secondary rules yang mengenal diferensiasi dan institusionalisasi pekerjaan hukum membuat penegakan hukum dan penyelesaian sengketa lebih bersifat rasional dan kompleks. Tipe rules of adjudication memuat aturan yang memberi kekuasaan bagi pengadilan atau pembuat keputusan untuk menyelesaikan sengketa, yang terkandung didalamnya memberikan hukuman bagi yang bersalah. 122 Akses masyarakat terhadap keadilan juga semakin bervariasi, sehingga sengketa yang terdapat dalam masyarakat termasuk namun tidak terbatas pada (included but not limited to) pengadilan saja. Dengan ciri demikian, menurut teori Hart, masyarakat yang berada dalam tatanan secondary rules merupakan masyarakat modern. 123 Dengan kata lain, masyarakat
121
H.L.A. Hart, Ibid., hlm. 94-97. Gambaran dalam bentuk matriks terhadap uraian Hart dapat dilihat Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, t.t.), hlm. 44. Lihat juga M. R. Zafer, Jurisprudence An Outline, (Kuala Lumpur: International Law Books Services, 1994), hlm. 18. Zaper memberi penjelasan atas tiga rules yang menjadi ciri dari secondary rules, yaitu: 1. Rules of recognition. Their main task was to determine the criteria governing the validity of the rules of the legal system .2. Rules of change. The legislation were to repeal old laws and enact new ones. The private citizens created rights and obligations in the form of contracts or wills. 3. Rules of adjudications. Such rules conferred power to adjudicate and defined the procedures of adjudication. 122 Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: International Law Books Services, 2009), hlm. 84. 123 Perhatikan juga Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan .... Op. Cit., hlm. 38 dan 45. Selanjutnya oleh Satjipto Rahardjo dikemukakan, bahwa menurut Max Weber, kecenderungan umum dalam perkembangan hukum modern adalah untuk menjadi makin rasional, dan birokratis merupakan salah satu ciri penegakan hukum yang menonjol dalam masyarakat modern. Birokrasi merupakan salah satu unsur dari masyarakat yang dikelola secara rasional. Rasionalisasi dalampengelolaan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
modern seperti sekarang ini lebih cocok dikategorikan pada tatanan secondary rules., 124 yang sistem hukumnya ditata secara rasional dengan rumusan resmi atau formal, ditegakkan dengan kekuasaan, serta tetap terbuka untuk mendapatkan perubahan. Dikaitkan dengan pengembangan arbitrase secara umum dan arbitrase berbasis syariah khususnya, maka penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase menampakkan aspek modernnya. Seperti dikatakan oleh Gary Goodpaster, salah satu motif untuk memilih arbitrase dalam menyelesaikan sengketa ketimbang melalui peradilan adalah untuk mengikuti kecenderungan yang modern. 125 Para pengusaha atau pelaku bisnis yang termasuk golongan modern, cenderung pada pemanfaatan arbitrase karena sifatnya menjurus kepada privatisasi penyelesaian sengketa yang mengarah kepada posisi win-win dan bukan mempertaruhkan win-lose sebagaimana terjadi di pengadilan. 126 Lawrence M. Friedman mengemukakan, primary rules maupun secondary rules yang dikemukakan Hart merupakan bagian penting dari sistem hukum. Aturanaturan primer maupun aturan-aturan sekunder merupakan output dari sebuah sistem hukum. 127 Friedman mengemukakan tiga unsur yang terdapat dalam sistem hukum,
menjurus pada diferensiasi dan spesialisasi fungsi-fungsi penegakan hukum, yang pada gilirannya menyebabkan dibentuknya badan-badan khusus, seperti kepolisian, pengadilan, dan sebagainya. 124 Adi Sulistiyono, Op. Cit., hlm. 23; Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 36. 125 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum Dan Arbitrase Dagang Di Indonesia”, dalam Agnes M. Toar et.al., (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hlm. 22. Dikatakan, dalam dunia perdagangan internasional, kecenderungan yang terlihat adalah liberalisasi peraturan/undang-undang arbitrase untuk lebih mendorong penggunaan arbitrase daripada penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan umum. 126 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase .... Op. Cit., hlm. 54. 127 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan kultur hukum (legal culture). Dalam operasi aktualnya ketiga elemen sistem hukum tersebut merupakan sebuah organisme kompleks yang saling berinteraksi. 128 Substansi hukum (legal substance) merupakan norma, aturan, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi hukum disini tidak hanya pada aturan tertulis yang terdapat dalam kitab hukum (law books), melainkan mencakup hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Struktur dari sistem hukum (legal structure) berkaitan dengan penataan penegakan atau penyelesaian sengketa hukum. Dalam konteks ini, penyelesaian sengketa tidak semata melalui pengadilan publik dengan segala yurisdiksinya, tetapi juga yang menjurus kepada privatisasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Sementara, budaya hukum (legal culture) adalah suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Substansi, struktur, dan budaya hukum sebagai elemen sistem hukum mempunyai fungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat. Selain berfungsi sebagai kontrol sosial (social control) dan redistribusi atau fungsi rekayasa sosial (social engineering), sistem hukum juga berfungsi sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement). Dengan fungsi sebagai penyelesaian sengketa, sistem hukum menjadi mesin dan tempat yang bisa dituju untuk menyelesaikan dan merampungkan sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Sistem hukum dengan demikian merupakan agen pemecahan konflik atau penyelesaian sengketa. 129 Tentu saja sistem hukum
128 129
Ibid., hlm. 17. Ibid., hlm. 11-12.
Universitas Sumatera Utara
yang baik harus memberi aturan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak bila terjadi sengketa di antara mereka. Untuk membantu mengakhiri sengketa tidak selalu harus dilakukan melalui institusi peradilan, tetapi dapat juga dilakukan melalui negosiasi, mediasi dan arbitrase. Friedman menggambarkan cara kerja ketiga elemen sistem hukum tersebut dengan perumpamaan, struktur hukum sebagai mesin, substansi hukum merupakan hasil yang dikerjakan mesin, dan budaya hukum adalah orang yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin. 130 Dengan demikian, struktur hukum mencakup berbagai institusi dan aparat otoritas yang diciptakan sistem hukum. Substansi hukum meliputi produk materi hukum yang dibentuk struktur hukum, dan budaya hukum berhubungan dengan subjek yang menentukan berjalan dan digunakannya struktur dan substansi hukum. 131 Dikaitkan dengan subjek kajian yang berhubungan dengan arbitrase syariah, struktur hukum mencakup berbagai lembaga yang diciptakan sistem hukum termasuk pembentukan dan ketersediaan forum penyelesaian perselisihan, baik melalui peradilan maupun arbitrase dan fasilitas lain yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa di bidang perbankan syariah. Substansi hukum mencakup berbagai regulasi dan kebijakan yang berkaitan dengan pengakuan atas validitas, prosedur dan kewenangan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Termasuk budaya hukum dalam persoalan arbitrase syariah adalah cara dan kepatuhan aparatur penegak hukum serta para disputants dalam
130
Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika, Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2001), hlm. 6-10. 131 Kusumaningtuti, SS, Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Krisis Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Ketidakpatuhan terhadap klausul arbitrase oleh aparatur dan disputants termasuk budaya hukum yang tidak mendukung pelaksanaan penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui arbitrase. Tentu saja, keadaan itu dapat melemahkan keberadaan arbitrase sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa perbankan syariah yang pada gilirannya dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum secara umum kepada arbitrase yang dianggap tidak memiliki kepastian hukum. Terkait dengan pemberlakuan dan transformasi hukum Islam dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui arbitrase syariah di Indonesia, teori Hart dijadikan sebagai pijakan dalam mengangkat hukum Islam yang berasal dari nash sebagai hukum ideal (the ideal law) untuk diwujudkan dalam sistem formal melalui proses legislasi dengan dukungan pemerintah sebagai produk man made law. 132 Baik arbitrase berbasis syariah maupun perbankan syariah yang tadinya berada dalam tataran the ideal law sebagai primary rules, kini memasuki fase secondary rules, karena telah mendapat pengakuan negara dalam struktur formal resmi. Keberadaan arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah telah menjadi norma hukum yang diakui negara, sehingga memiliki validitas keabsahan resmi. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah tentu
132
Bandingkan Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 67. Hukum Islam (syari’ah) sebagai sistem aturanaturan hukum agama merupakan hukum ideal (the ideal law) karena keberadaannya dilihat sebagai fenomena relijius yang bebas dari campur tangan dan dukungan pemerintah. Lihat Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 289. Sementara man made law merupakan hukum buatan manusia yang dirumuskan dan dijelmakan kedalam produk hukum positif melalui kewenangan pemerintah untuk memerlakukan kepada warganya atau produk hukum yang dibuat melalui kontrak yang dirumuskan para pihak yang mengadakannya. Bandingkan Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syamil, 2000), hlm. 73.
Universitas Sumatera Utara
harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sebagai pedomannya. Penetapan arbitrase syariah sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa telah melengkapi dan memperkuat struktur perbankan syariah. Eksistensi perbankan syariah telah memiliki landasan legalitas yang kokoh, telah memiliki sistem penyelesaian sengketa, serta tidak tertutup kemungkinan mengalami perubahan akibat perkembangan yang terjadi. 133 Arbitrase syariah sebagai transformasi tahkim senantiasa bekerja fungsional sesuai dengan prinsip syariah yang mendasarinya. Proses penyelesaian sengketa melalui tahkim dilakukan subjek pelaku yang disebut hakam yang terambil dan berasal dari bahasa Arab dari kata hakama dengan arti mengalihkan hukum dan keadilan serta mendamaikan. Makna ini menunjuk pada subjek pelakunya, yaitu pihak ketiga yang mendamaikan perselisihan antarpihak, dan proses perdamaian itulah yang disebut tahkim. 134 Penelusuran ini menunjukkan, tahkim dalam perspektif hukum Islam yang dalam konsep saat ini dikenal dengan sebutan arbitrase diorientasikan untuk mewujudkan perdamaian pihak yang bersengketa, sehingga silaturrahim tetap terjaga dengan baik. Konsep ini sekaligus menjadi misi dari resolusi sengketa perbankan syariah, sehingga hubungan kontraktual bisnis antara bank syariah dengan nasabah tetap terjalin dan berlangsung secara langgeng.dan harmonis.
133
Bandingkan Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hlm. 167. 134 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jilid 1, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 339.
Universitas Sumatera Utara
Metode penyelesaian sengketa yang terjadi di lingkungan perbankan syariah, tidak dimonopoli oleh satu forum saja, melainkan telah berkembang di berbagai jalur, sesuai dengan pilihan berdasar kesepakatan mereka yang bersengketa. Dalam menghadapi sengketa, para pihak selalu mengatur penyelesaian sengketa dalam kontrak, apakah melalui jalur peradilan atau di luar jalur peradilan. Akses mencari keadilan melalui berbagai jalur ini disebut Marc Galanter dengan ”justice in many rooms,” yaitu bahwa pencarian keadilan tidak hanya melalui dan berada dalam satu kamar atau jalur saja, melainkan terdapat dalam banyak ruangan. Ungkapan ini menunjukkan bahwa pengadilan bukan satu-satunya forum penyelesaian sengketa untuk menegakkan keadilan. Disamping pengadilan sebagai forum formal yang disediakan negara, terdapat forum yang bersumber pada lingkungan sosial dimana sengketa itu timbul yang disusun guna menangani sengketa dalam pencapaian penyelesaiannya. 135. Keadilan yang dicari atau didistribusikan secara eksklusif oleh negara melalui pengadilan, oleh Galanter dinamakan sentralisme hukum (legal centralism), 136 sementara keadilan yang diusahakan melalui forum di luar proses peradilan dengan mendasarkan pada hukum rakyat yang ada pada lingkungan sosial tempat sengketa timbul, dinamakan desentralisme hukum. 137 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah dapat dikategorikan sebagai bagian dari desentralisme hukum yang didasarkan pada pilihan para pihak yang terikat dalam hubungan hukum.
135
Marc Galanter, Op. Cit., hlm. 97. Ibid., hlm. 95. 137 Adi Sulistiyono, Op. Cit., hlm. 19. 136
Universitas Sumatera Utara
Berbagai gejala yang berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa dalam mencari keadilan tidak seluruhnya terlaksanakan melalui forum peradilan sebagai ide sentralisme hukum. Galanter menunjukkan, bahwa kebanyakan sengketa yang menurut aturan-aturan berlaku seharusnya dapat diajukan ke lembaga peradilan, ternyata tidak pernah tercatat pada registrasi lembaga peradilan manapun. Banyak kasus diselesaikan dengan cara menarik diri, membiarkan saja (lumping it), mengelak (avoidance), keluar saja (exit), atau main hakim sendiri (self-help), yaitu tindakan dari satu pihak. 138 Begitu pula Nader dan Todd, 139 telah menunjukkan aneka ragam cara mengatasi sengketa untuk mewujudkan perlakuan yang adil, yakni: Pertama, membiarkan saja (lumping it), yaitu mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah yang menjadi sengketa dan tetap meneruskan hubungannya dengan pihak yang dirasa merugikannya. Kedua, mengelak (avoidance), yaitu pihak yang merasa dirugikan memilih untuk mengurangi hubungannya dengan pihak yang merugikannya atau sama sekali menghentikan hubungan tersebut. Ketiga, paksaan (coercion), yaitu satu pihak memaksakan pemecahan pada pihak lain. Keempat, perundingan (negosiation), yaitu dua pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Kelima, mediasi (mediation), yaitu pemecahan menurut perantara pihak ketiga yang membantu para pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan. Keenam, arbitrase (arbitration), yaitu dua belah pihak yang bersengketa sepakat meminta perantara pihak ketiga yang berwenang untuk memberi keputusan. 138
Marc Galanter, Op. Cit., hlm. 96. T.O. Ihromi, “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa Yang Digunakan Dalam Antropologi Hukum”, dalam T.O. Ihromi, peny. Op. Cit., hlm. 210. 139
Universitas Sumatera Utara
Ketujuh, peradilan (adjudication), yaitu pihak ketiga berwenang mencampuri pemecahan masalah dan juga berhak membuat putusan serta menegakkan keputusan itu. Nader dan Todd telah memperlihatkan bahwa selain pengadilan terdapat aneka cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat dan salah satu di antaranya melalui arbitrase. Dalam masyarakat telah berkembang arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang bisa dipilih untuk memulihkan hubungan mereka, sesuai dengan kesepakatan. Gerald Turkel, 140 mengklasifikasi tipe-tipe penyelesaian sengketa secara berjenjang (hierarchy of types of dispute resolution) dari tipe penyelesaian sengketa yang paling rational informal dan tidak berdasarkan hukum (the most informal and nonlegally rational type) sampai tipe yang paling rasional formal dan berdasarkan hukum (the most formal and legally rational type). Penjenjangan atau hirarkhi bergerak dari negosiasi pada tipe terbawah yang paling informal kepada mediasi, arbitrase dan akhirnya adjudikasi pada tipe puncak yang sangat formal. Dengan demikian, arbitrase merupakan salah satu tipe yang menjadi forum dalam penyelesaian sengketa atau perselisihan. Meskipun arbitrase diklasifikasikan sebagai tipe penyelesaian sengketa yang lebih formal bila dibandingkan dengan negosiasi dan mediasi, namun arbitrase tidak lebih formal dari penyelesaian secara adjudikasi melalui peradilan. Dikatakan oleh Gerald Turkel, 141 “arbitration does not have formal rules of evidence and is not subject to technical legal rules. While the parties play adversarial roles in the 140
Gerald Turkel, Law and Society: Critical Approaches, (Needham Heights: A Simon & Schuster Company, 1996), hlm. 208. 141 Ibid., hlm. 215.
Universitas Sumatera Utara
arbitration hearing, their communication is not completely formal and controlled by legal procedure.” Pendapat Turkel bersesuaian dengan Nader dan Todd yang menempatkan arbitrase sebagai salah satu metode penyelesaian sengketa. Perbedaannya terletak pada kedudukan berjenjang (hierarchy), dimana menurut Turkel, arbitrase dapat dilakukan setelah negosiasi dan mediasi mengalami kegagalan. Sementara Nader dan Todd tidak menempatkannya berdasarkan jenjang, melainkan sebuah pilihan. Kajian ini didukung pula dengan menggunakan teori Analisis Ekonomi Terhadap Hukum (Economic Analysis of Law). Meski konsep-konsep ekonomi digunakan sebagai dasar kajian, namun tetap berada dalam koridor hukum sebagai hasil akhir pembahasan. Hukum tetap menjadi fokus kajian yang dibantu dengan menggunakan konsep-konsep ekonomi untuk lebih memahami secara mendalam hakikat subjek bahasan yang dikaji. Teori
Economic
Analysis
of
Law
didasarkan
pada
konsep-konsep
fundamental, yakni pilihan rasional (rational choice), nilai (value), utilitas (utility), dan efisiensi (efficiency). 142 Konsep pilihan rasional didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk rasional. Richard Posner mengemukakan konsep fundamental berdasarkan tujuan ekonomi dengan memakai premis ”man is a rational maximizer of his ends in life, his satisfactions – what we shall call his “selfinterest”. 143 Selanjutnya Posner menjelaskan, ”Behavior is rational when it conforms
142
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, (Boston: Little, Brown and Company, 1992), hlm.3 dan 12 143 Ibid., hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
to the model of rational choice, whatever the state of mind of the chooser.” 144 Dengan akal sehat (rational) manusia diberi berbagai alternatif untuk menemukan pilihan terbaik yang dapat memberi kepuasan yang sesuai dengan kepentingannya. Dikaitkan dengan forum penyelesaian sengketa, penjelasan itu memberi makna, bahwa para pihak dapat memilih forum penyelesaian sengketa yang sedapat mungkin bisa dipertanggungjawabkan secara ekonomis berdasarkan akal sehat (rational). 145 Terkait nilai secara ekonomis dapat dilihat dari keinginan manusia untuk menghargai sesuatu agar dapat diperolehnya (the economic value of something is how much someone is willing to pay for it, or if he has it already, how much money he demands for parting with it). Konsep utiliti oleh Posner dikaitkan dengan konsep risiko (utility in this sence isi entwined with the concept of risk). Dengan konsep demikian, utility digunakan untuk melihat ketidakpastian biaya atau keuntungan untuk membedakannya dari kepastian lain (.... the value of an uncertain cost or benefit as distinct from a certain one). 146 Utiliti digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh manusia untuk memperoleh manfaat keuntungan yang diharapkan. Keputusan diambil dengan mempertimbangkan untung rugi yang pasti, dan untung rugi yang tak pasti. Ketidakpastian merupakan risiko yang harus dihadapi. 147 Ruang lingkup teori Economic Analysis of Law selanjutnya adalah penggunaan konsep ekonomi untuk mengkaji dan menjelaskan efek penerapan
144
Ibid., hlm. 4. Bandingkan Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 6. 146 Richard A. Posner, Op. Cit., hlm. 12. 147 Fajar Sugianto, Economic Analysis Of Law: Seri Analisis Ke-ekonomian Tentang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 39 145
Universitas Sumatera Utara
hukum, apakah efisien secara ekonomi, 148 tentunya tanpa mengorbankan ketertiban yang menjadi tujuan utama dari hukum, 149 maupun keadilan. 150 Tujuan peningkatan efisiensi menjadi tema sentral lainnya dari teori Economic Analysis of Law. 151 Richard Posner mengartikan efisiensi sebagai “... to denote that allocation of resources in which value is maximized.” Efisiensi memberikan pembagian sumbersumber daya yang sebanyak mungkin bernilai atau berharga. Efisiensi ini terbatas pada kriteria etis pembuatan keputusan sosial (social decision making) untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. 152
148
Johnny Ibrahim, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, (Surabaya: ITS Press, 2009), hlm. 9. Dalam kepustakaan seperti dituliskan Johnny Ibrahim, sebutan Analisis Ekonomi Terhadap Hukum selalu dipertukarkan dengan Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum (The EconomicApproach To Law) maupun Hukum dan Ekonomi (Law and Economics). 149 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 3. 150 Erman Rajagukguk mengemukakan, pendekatan analisa ekonomi dalam hukum menekankan kepada cost-benefit ratio, yang terkadang oleh sebagian orang dianggap tidak mendatangkan keadilan. Konsentrasi ahli ekonomi terhadap efisiensi, tidak terlalu merasakan perlunya unsur keadilan. Hal ini tentu dibantah oleh penganut pendekatan analisis ekonomi dalam hukum dengan beberapa argumen. Pertama, tidak benar kalangan ekonom tidak memikirkan keadilan. Dalam usaha menentukan klaim normatif mengenai pembagian pendapatan dan kesejahteraan, seseorang mesti memiliki philosofi politik melebihi pertimbangan ekonomi semata. Kedua, ekonomi menyediakan kerangka di dalam mana pembahasan mengenai keadilan dapat dilakukan, terutama terkait dengan efisiensi pareto. Ketiga, norma dalam masyarakat lahir bersamaan dari ketertiban yang damai. Kontrol yang artifisial oleh hukum di atas ketertiban yang spontan adalah tidak tepat. Karena itu, bagi mereka yang menganut paham ini tidak percaya bila insentif dapat mengontrol hukum dan ekonomi. Lihat Erman Rajagukguk, Butir-Butir Hukum Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum Dan Ekonomi Fakultas Hukum UI, 2011), hlm. 307. 151 Zafer mengemukakan terdapat empat tema sentral dari Economic Analysis, yaitu: 1. hukum bertujuan untuk peningkatan efisiensi; 2. konsep efisiensi bermakna maksimalisasi kekayaan; 3. interpretasi ekonomi terhadap hukum memberi sumbangan penting bagi kesejahteraan masyarakat; 4. menolak utilitariansme dan felicific calculous, karena tidak dapat dimenej. Perhatiakan Zafer, Op. Cit., hlm. 117. 152 Richard A. Posner, Op. Cit., hlm. 13. Konsep efisiensi yang hampir selalu digunakan adalah Kaldor-Hicks Efficiency. Konsep Kald or-Hicks Efficiency merupakan penyempurnaan dari ide Pareto Efficiency yang berisi suatu hasil lebih efisien bila seorang membuat lebih baik, sedangkan tidak ada orang yang membuat buruk. Erman Rajagukguk, Butir-Butir.... Op. Cit., hlm. 310. Pareto Effeciency ditegakkan berdasarkan beberapa premis etis berikut: 1. that the individual is the best judge of his own welfare; 2. that the welfare of society depends on the welfare of individuals that compromise it; 3. that any change that increases the welfare of at least one individual without diminishing the welfare of any other improves social welfare.
Universitas Sumatera Utara
Dengan pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum, pilihan forum penyelesaian sengketa yang dipilih adalah penyelesaian sengketa yang efisien, sebagai wujud dari pilihan rasional para pihak. Penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase berbasis syariah memang lebih efisien di bandingkan litigasi. Dalam konteks ini efisiensi bukan diberi makna secara kuantitatif tetapi memuat sifat kualitas karakter yang melekat pada arbitrase syariah. Dengan makna kualitas karakter ini, efisiensi forum arbitrase syariah tercermin dari proses yang relatif lebih cepat dan murah, tidak formal, putusannya yang bersifat final and binding, tanpa prosedur yang panjang karena adanya banding dan kasasi. Forum arbitrase akan menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara damai, sehingga makna efisiensi juga mencakup tidak terputus hubungan silaturrahim, dan tetap menjaga kelangsungan hubungan bisnis mereka yang bersengketa. Erman Rajagukguk secara tegas menekankan, harus ada keberanian untuk memutus suatu tindakan hukum berdasarkan Economic Analysis of the Law. Penyelesaian sengketa hutang piutang adalah lebih efisien dilakukan secara damai atau arbitrase, daripada ke pengadilan yang lebih memakan waktu lama dan biaya yang besar. 153 Tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah, tidak terlepas dari penegakan prinsip persaudaraan yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam. Prinsip persaudaraan menunjukkan bahwa hubungan yang dibina sesuai dengan syariah adalah mempertahankan harmoni dalam kehidupan bersama. Erman Rajagukguk mengatakan, bahwa budaya yang menekankan pada komunalitas, kekerabatan, harmoni, primus inter peres telah mendorong penyelesaian sengketa di luar 153
Erman Rajagukguk, Butir-Butir .... Op. Cit., hlm. 342.
Universitas Sumatera Utara
pengadilan yang formal. Begitu pula dengan budaya yang menekankan kepada efisiensi dan efektifitas sama kuatnya mendorong penyelesaian sengketa perdata tanpa melalui pengadilan. 154 Berbagai pemikiran yang terurai di depan menjadi dasar bagi kajian prinsip arbitrase berbasis syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah ternyata memiliki landasan teoritis dan argumentasi yang kuat untuk dikaji, terutama dalam mengelaborasi prinsip fundamental yang menjadi landasan operasionalnya. Pemahaman dan pelaksanaan prinsip arbitrase syariah menjadi penting sebagai pedoman kerja bagi arbiter dan pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa di lingkungan perbankan syariah. Pengembangan arbitrase syariah harus dilakukan dalam menegakkan keadilan untuk terwujudnya kedamaian yang dibutuhkan dalam menyelesaikan konflik antara bank syariah dengan nasabah. Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui arbitrase syariah akan tetap menjaga hubungan baik para pihak yang telah berlangsung maupun yang akan datang
2. Konsep Konsep adalah kata yang menyatakan abstraksi yang di generalisasi dari halhal yang khusus. 155 Kerangka konsep atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian sebagai pegangan atas konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya 154
Erman Rajagukguk, “Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan,” Jurnal Magister Hukum, Vol. 2, No. 4 Oktober 2000, hlm. 14. Simpulan ini dikemukakan Erman Rajagukguk melalaui pembahasan mengenai alasan budaya yang menyebabkan kecenderungan masyarakat mengenyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa di Jepang dan Cina. 155 Sumadi Suryabrata, Op. Cit., hlm. 4
Universitas Sumatera Utara
kerangka konsepsional dirumuskan sekaligus dengan definisi-definisi tertentu, yang menjadi pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data. 156 Kerangka konsep yang dirumuskan sebagai definisi operasional merupakan definisi yang didasarkan atas sifat-sifat dari
yang
didefinisikan yang dapat di observasi. Konsep dapat diamati ini penting untuk membuka kemungkinan bagi orang atau peneliti lain untuk melakukan hal yang serupa, sehingga terbuka untuk diuji kembali oleh peneliti lain. 157 Selain itu, definisi operasional penting diberikan untuk menghindarkan terjadinya penafsiran ganda atau mendua dari suatu istilah yang dipakai. 158 Dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsep yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau bahan hukum tertier lainnya, seperti kamus hukum dan ensiklopedia. Secara konsepsional, penelitian ini merupakan kajian terhadap prinsip arbitrase berbasis syariah, sebagai forum untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi karena adanya hubungan hukum antara nasabah dengan bank syariah yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan usahanya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian sengketa dilakukan mengikuti pola sulh, sehingga tidak mengganggu hubungan kerjasama yang produktif di antara pihak yang terlibat konflik. Arbitrase berbasis syariah merupakan metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan memakai arbiter atas persetujuan para pihak yang bersengketa dan
156
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 137. Sumadi Suryabrata, Op. Cit., hlm. 29. 158 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 30. 157
Universitas Sumatera Utara
keputusannya mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah. Untuk menghindari kesalahpahaman dan untuk memberi kesamaan persepsi mengenai pengertian konsep yang dipakai dalam tulisan ini, perlu dikemukakan makna konseptualnya. Beberapa istilah yang perlu diberi makna yang dipergunakan dalam penelitian ini dikemukakan berikut. Prinsip (principle) yang disebut juga asas adalah dasar yang
menjadi
fundamen bagi keberadaan dan cara kerja arbitrase berbasis syariah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Mengikuti pendapat Mahadi, principle atau asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan. 159 Prinsip atau asas menjadi landasan operasional arbitrase syariah dalam menyelesaikan sengketa di lingkungan perbankan syariah. Arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui arbiter yang mempunyai kewenangan untuk memberi putusan yang bersifat final dan mengikat (final and binding) dan harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase dipilih berdasarkan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam akad atau perjanjian. Arbitrase syariah (tahkim) per se mempunyai makna yang sama dengan makna arbitrase umumnya dengan penambahan unsur sesuai dengan prinsip syariah. Dengan penambahan unsur ini cara kerja arbitrase syariah dilakukan sesuai dengan atau tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kata syariah yang menyertai arbitrase 159
Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 119.
Universitas Sumatera Utara
menjadi karakter yang membedakannya dari arbitrase non syariah. Jika terdapat persamaan antara prinsip arbitrase non syariah dengan arbitrase syariah, maka persamaan itu diakui karena tidak bertentangan dengan syariat Islam. Arbiter atau arbitrator (hakam) adalah pihak ketiga netral yang ditunjuk langsung oleh para pihak yang bersengketa serta diberi kepercayaan dan otoritas untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.syariah. Dalam perkembangannya arbiter dapat pula ditentukan oleh badan arbitrase yang ditunjuk, 160 atau oleh ketua pengadilan. 161 Klausul arbitrase adalah suatu ketentuan yang dicantumkan dalam perjanjian oleh para pihak yang mengharuskan penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan materi perjanjian akan diajukan kepada arbitrase syariah untuk diberi putusan. Klausul arbitrase dapat dicantumkan menjadi satu kesatuan dalam naskah perjanjian pokok sebelum terjadi sengketa (arbitration clause; pactum de compromittendo), dan dapat dibuat terpisah dari naskah perjanjian pokok setelah timbul sengketa (submission agreement; acta compromis). Akad (aqad) disamakan dengan sebutan perjanjian, persetujuan atau kontrak adalah kesepakatan tertulis antara bank syariah dengan nasabah yang memuat hak dan kewajiban mereka sesuai dengan ajaran atau prinsip syariah. Akad merupakan
160
Peraturan Prosedur BASYARNAS Pasal 7 menentukan, ”apabila klausula arbitrase atau perjanjian yang menyerahkan penyelesaian sengketa kepada BASYARNAS sudah mencukupi, maka Ketua BASYARNAS segera menetapkan dan menunjuk arbiter tunggal atau arbiter majelis yang akan memeriksa dan memutus sengketa.” 161 UUAAPS 1999 Pasal 13 ayat (2) menyebutkan, ”dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan ariter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbiterasi.”
Universitas Sumatera Utara
perbuatan hukum yang mempertemukan kehendak para pihak sehingga melahirkan hubungan hukum yang berisi hak dan kewajiban berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah yaitu prinsip hukum Islam dalam penyelesaian sengketa yang berlandaskan pada Alquran dan Sunnah yang dioperasionalkan dalam aktivitas arbitrase syariah. Kedua sumber tekstual yang otoritatif menjadi bahan baku terhadap sumber derivatif yang disebut ijtihad dan diformulasikan melalui penalaran berwujud fikih. Dengan demikian, prinsip syariah dimaksud digali dari sumber utama Alquran dan Sunnah maupun yang telah terformulasi dalam wujud fikih. Sengketa (dispute) adalah perselisihan atau beda pendapat yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah yang berkaitan dengan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban karena terjadi pelanggaran akad (breach of contract) yang terjadi dalam hubungan hukum mereka. Istilah sengketa (dispute) lebih berdimensi hukum dibandingkan dengan konflik (conflict) yang menampakkan nuansa politik. Perbankan syariah yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan bank syariah dan unit usaha syariah, terutama yang mencakup kegiatan usaha serta cara dan proses pelaksanaan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Bank syariah merupakan badan usaha yang bergerak dibidang keuangan dengan melakukan aktivitas penghimpunan dana (funding) dan penyaluran dana (lending) serta jasa keuangan (service fee) yang dipandu berdasarkan prinsip syariah. Perdamaian (ishlah; sulh) adalah upaya yang dilakukan arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Upaya yang sekaligus menjadi tujuan arbitrase syariah ini adalah untuk menjaga hubungan silaturrahim yang harmonis antara perbankan syariah dengan nasabah. Sulh merupakan akad untuk
Universitas Sumatera Utara
mengakhiri sengketa antara pihak-pihak yang berselisih, 162 dalam hal ini antara bank syariah dengan nasabah.
H. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research) yang bersifat teoritis. 163 Pokok kajian penelitian mengenai prinsip arbitrase berbasis syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Berdasarkan subjek kajian dan dari segi sifat serta tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif yang holistik. 164 Melalui penelitian hukum normatif, kajian ini ingin menemukan prinsipprinsip hukum, aturan hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab isu atau permasalahan hukum yang dihadapi. 165 Dengan demikian, penelitian atau kajian ini tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya, 166 tidak sampai pada perilaku 162
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Jilid 3, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008), hlm. 497. Gulo menyebut penelitian pada hakikatnya bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang dianggap benar melalui proses bertanya dan menjawab. Penelitian bertitik tolak dari pertanyaan dan dari pertanyaan muncul suatu proses untuk memperoleh jawaban yang dipercaya sebagai kebenaran. Demikianlah penelitian tidak pernah berakhir sehingga ilmu pengetahuan bisa berkembang terus. W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 10. M. Solly Lubis mengatakan penelitian secara filsafat ilmu merupakan upaya epistemologis untuk mendapatkan sesuatu, yakni kebenaran sebagai jawaban atas sesuatu yang semula dipertanyakan sebagai sebab maka terjadi sesuatu. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Jakarta: Sopmedia, 2012), hlm. 66. Dengan demikian, penelitian merupakan proses bertanya-menjawabyang berlangsung secara terus menerus, sehingga penelitian tidak berhenti setelah mendapat jawaban, melainkan terus dapat diuji. 164 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op. Cit., hlm. 34. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma, yaitu mengenai asas-asas, norma, kaedah dari peraturan perundangan,putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran); Perhatikan juga Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 101-102. penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum, dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan. 165 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 35. Perhatikan pula Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Di Indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2002), hlm. 17. 166 Abdulkadir Muhammad, Loc. Cit. 163
Universitas Sumatera Utara
manusia yang merumuskan atau menerapkan peraturannya, tetapi berhenti pada lingkup konsepsi hukum, asas hukum dan kaedah peraturan saja. 167 Fokus penelitian diarahkan pada pencarian dan penemuan prinsip atau asas hukum yang menjadi dasar kerja arbitrase berbasis syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. 168 Pencarian dan penemuan asas hukum ini dilakukan melalui proses pembacaan berbagai sumber, 169 yaitu Alquran, Hadis, maupun peraturan perundang-undangan serta tulisan-tulisan para ahli dibidangnya, untuk kemudian dapat dimanfaatkan guna merumuskan norma hukum dalam hukum positif melalui tangga norma. 170 Pemberlakuan hukum di tengah masyarakat sangat memerlukan perangkat legislasi (taqnin), sehingga produk hukum yang dirumuskan sebagai kerja penelitian mempunyai kekuatan untuk diterapkan. Bagaimanapun kerja penelitian mempunyai tujuan untuk menemukan preskripsi (istinbath) dan menerapkannya di tengah masyarakat. 171 Bahan utama penelitian ini berasal dari pustaka yang secara teknis dikategorikan
sebagai
penelitian
hukum
normatif
atau
penelitian
hukum
kepustakaan. 172 Dalam penelitian kepustakaan ini peneliti berhadapan langsung
167
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op. Cit., hlm. 37; Dalam penelitian hukum normatif, pencarian dan penemuan asas hukum menjadi salah satu cakupan atau objek yang perlu dilakukan dalam upaya pembentukan hukum positif. Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm. 51; Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 15. 169 Perhatikan Mahadi, Suatu Perbandingan Antara Penelitian Masa Lampau Dengan Sistem Metode Penelitian Dewasa Ini Dalam Menemukan Asas-Asas Hukum, Kuliah pada Pembinaan Tenaga Peneliti Hukum di Jakarta, November 1980 (Proyek BPHN), hlm. 37. 170 Perhatikan Mahadi, Falsafah Hukum .... Op. Cit., hlm. 124. 171 H. Abu Yazid, Aspek-Aspek Penelitian Hukum: Hukum Islam-Hukum Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 87. 172 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 14 168
Universitas Sumatera Utara
dengan teks, pustaka bersifat siap pakai (ready made), data pustaka umumnya sumber sekunder, dan kondisi data pustaka yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. 173 Bahan hukum yang dipakai berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. 174 Pertama, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat, dalam hal ini berupa Alqur’an dan hadis serta peraturan perundangundangan di bidang arbitrase (UUAAPS 1999), maupun di bidang perbankan (UUP 1992, UUP 1998 dan UUPS 2008), dan peraturan kekuasaan kehakiman yang telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir dengan UUKK 2009). Kedua, bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberi penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer berupa disertasi atau tesis, buku teks, artikel yang termuat dalam jurnal, majalah, kertas kerja dalam temu ilmiah, dan laporan penelitian yang berhubungan dengan subjek kajian. Ketiga, bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum, kamus bahasa, kamus istilah maupun ensiklopedia. 175 Bahan hukum yang tersedia di analisis secara ilmiah, sehingga bahan atau sumber-sumber pustaka dimaksud dapat saling memberikan verifikasi, koreksi, perlengkapan, pemerincian, dan pengkhususan. 176 Bahan-bahan hukum tersaji dimaksudkan untuk mendalami landasan yuridis arbitrase berbasis syariah dengan studi penyelesaian sengketa perbankan syariah. Oleh karena itu, bahan-bahan yang
173
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
hlm. 4-5. 174
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 13. Lihat Faisar Ananda Arfa, Metodologi Penelitian Hukum Islam, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), hlm. 94. Bandingkan Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hlm. 141 176 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 94. 175
Universitas Sumatera Utara
tersedia diungkapkan secara menyeluruh dan di analisis secara mendalam. Dengan metode demikian, akan diperoleh berbagai pemikiran dalam menjawab persoalan yang diajukan. Pemahaman terhadap bahan-bahan hukum tersebut menjadi sandaran dalam membangunan argumentasi (legal reasoning) untuk memecahkan isu atau masalah yang telah disusun terdahulu. 177 Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan, yaitu penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan filosofis, pendekatan perundang-undangan,
pendekatan
konsep,
dan
pendekatan
perbandingan. 178
Pendekatan filosofis (philosophical approach) dilakukan untuk memahami esensi arbitrase berbasis syariah secara radikal dan mengupasnya dengan mendalam. Dari masalah hukum yang dirumuskan, penelitian mengacu pada dasar filosofis arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa secara damai, khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa di lingkungan perbankan syariah. 179 Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan untuk mengkaji aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan kedudukan arbitrase berbasis syariah sebagai alternatif penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk mengetahui konsep-konsep maupun prinsip-prinsip dasar 177
Model argumentasi yang lazim adalah argumentasi deduksi dengan memakai metoda sillogisme. Argumentasi deduksi bertitik tolak dari aturan (rules) terhadap kasus, sehingga dalam model argumentasi deduksi merupakan penerapan aturan hukum pada kasus yang akan diselesaikan. Model argumentasi ini populer dalam Civil Law System yang disebut argumentation besed on rules atau disebur juga rule-based reasoning. Dalam Common Law System dikenal model argumentasi yang beranjak dari kasus (case) tertentu, yang disebut argumentation based on precedents atau principle based reasoning. Lihat Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 22 dan 36. 178 Perhatikan Johnny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 245-268. 179 Perhatikan Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum UI, 2003), hlm. 39.
Universitas Sumatera Utara
arbitrase berbasis syariah yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Sementara pendekatan perbandingan (comparative approach) dimanfaatkan untuk membandingkan prinsip-prinsip arbitrase berbasis syariah dengan arbitrase non syariah. Dari perspektif prospek, subjek penelitian yang dikemukakan termasuk penelitian hukum yang akan datang (futuristic), yaitu berkenaan dengan rencana pembangunan hukum dalam menciptakan hukum untuk masa datang atau untuk menyusun kebijakan baru di bidang hukum, 180 dalam hal ini penyusunan kebijakan dalam bentuk penyiapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan arbitrase berbasis syariah. Pengolahan dan analisis data atau bahan yang ditemukan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. 181 Menganalisis pada hakikatnya menemukan makna yang terkandung dalam datanya. Secara teknis metode kualitatif lebih banyak berupa narasi yang lebih menekankan kedalaman analisisnya pada hubungan antarbahan yang diamati. Analisis telah dimulai sejak awal dan sepanjang penelitian
180
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hlm. 146. 181 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, Terjemahan Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 4. W. Lawrence Neuman mengemukakan, “Qualitative data are in the form of text, written words, phrases or symbols describing or representing people, action and events in social life. Qualitative researches rarely use statistical analysis. Their data analysis can be systematic and logically rigorous, although in a different way from quantitative or statistical analysis.” Lebih lanjut dikatakan, “…… In fact, a common criticism of qualitative research was that data analysis was not made explicit or open to inspection. Qualitative data analysis has moved to more explicit and systematic step-by-step approach. Nevertheless, no single qualitative data analysis approach is wedely accepted.” W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Sixth Edition, (Boston: Pearson Education Inc., 2006), hlm. 457.
Universitas Sumatera Utara
dengan menyatukan pengumpulan dan penyajian data dengan analisisnya. 182 Untuk mendapatkan gambaran yang utuh, dan mendalam, pendekatan analisis kualitatif dilakukan secara holistic 183 dalam mengamati objek yang diteliti. Analisis dengan sendirinya terlakukan bila bahan yang diperoleh ditafsirkan. Untuk itu subjek peneliti menjadi instrumen pengumpul bahan penelitian yang utama. Aktivitas penelitian dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan pengumpulan bahan pustaka yang relevan dengan masalah, membaca, mencatat, serta mengolah bahan penelitian. 184 Kegiatan yang dilalui tidak saja merupakan aktivitas membaca dan mencatat melainkan juga merupakan aktivitas intelektual sehingga ditemukan relevansi bahasan dengan topik yang menjadi inti pembahasan. Aktivitas intelektual semakin kental ketika mengadakan analisis atas bahan yang dikaji sehingga terbangun pemikiran yang sistematik dan terpaparkan secara utuh dalam memberi pemahaman pada hasil penelitian dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
I.
Sistematika Penulisan Secara keseluruhan naskah ini terdiri atas 5 (lima) Bab yang kemudian
diorganisasikan kedalam beberapa Sub Bab yang diuraikan berikut. Bab I merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang dengan menguraikan dasar pemikiran perlunya dilakukan pengkajian terhadap arbitrase
182
Ibid., hlm. 36. lihat juga Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 69. Lihat Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, 2001), hlm. 18. 184 Mestika Zet, Op. Cit., hlm. 3. 183
Universitas Sumatera Utara
berbasis syariah terutama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Dengan petunjuk latar belakang itu lalu dirumuskan masalah sebagai isu utama, dan diikuti dengan perumusan asumsi dasar serta mengungkapkan tujuan serta manfaat penelitian. Keaslian penelitian dikemukakan dengan pengungkapan beberapa penelitian
sebelumnya
untuk
menunjukkan
perbedaan
pembahasan
dan
keorisinalitasan kajian ini. Selanjutnya, dikemukakan kerangka teori dan konsepsi yang menjadi landasan dan pisau analisis atas seluruh aspek yang menjadi isu utama kajian ini. Dikemukakan pula metode penelitian yang dipergunakan, termasuk jenis penelitian, data penelitian, pendekatan yang digunakan serta analisis data. Bab II memuat pokok bahasan bertajuk implikasi pengaturan perbankan syariah bagi arbitrase syariah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pembahasan bab ini didahului dengan memberi uraian terhadap dinamika pengaturan perbankan syariah dalam upaya memperkuat keberadaannya dalam sistem perbankan nasional. Uraian berikut dikemukakan, prinsip transaksi dan pengelolaan perbankan syariah serta diikuti dengan analisis atas fungsi intermediasi dan pola hubungan hukum yang terjadi pada perbankan syariah dan produk perbankan syariah.. Dibahas pola penanganan pembiayaan bermasalah pada perbankan syariah serta peranan hukum dalam penyelesaian sengketa. tipologi penyelesaian sengketa perbankan syariah dan implikasi undang-undang perbankan syariah bagi arbitrase syariah menjadi dua sub bahasan akhir pada bab ini. Bab III bertajuk validitas dan yurisdiksi arbitrase dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Sesuai dengan tajuk, bab ini mengadakan analisis terhadap legalitas dan kewenangan arbitrase dari perspektif hukum Islam dan hukum yang
Universitas Sumatera Utara
berlaku di Indonesia. Tercakup dalam bab ini pembahasan terhadap konsep arbitrase dalam hukum Islam yang dilanjutkan dengan mengemukakan tempat arbitrase syariah dalam bangunan hukum Islam. Validitas atau kesahihan serta yurisdiksi arbitrase syariah sesuai ketentuan hukum Islam menjadi topik bahasan berikut yang dilanjutkan dengan pembahasan terhadap keberadaan arbitrase syariah dalam hukum positif Indonesia. Pembahasan dilanjutkan dengan uraian BASYARNAS sebagai institusi arbitrase syariah di Indonesia. Berikutnya dikemukakan doktrin dan karakter arbitrase serta relevansinya bagi arbitrase syariah, dan uraian terhadap penguatan arbitrase syariah melalui etika bisnis. Bab ini diakhiri dengan topik keutamaan arbitrase syariah, serta validitas arbitrase syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PPU-X/2012.. Bab IV mengkedepankan prinsip arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Bab ini didahului dengan mengemukakan hakikat prinsip atau disebut juga asas sebagai landasan kerja kegiatan arbitrase syariah. Di analisis prinsip-prinsip dalam kegiatan arbitrase syariah terutama menyangkut prinsip tauhid, perjanjian arbitrase sebagai landasan pemberi kewenangan arbitrase syariah, perdamaian sebagai tujuan utama penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah. Penegakan keadilan melalui arbitrase syariah dan prinsip itikad baik dalam pelaksanaan arbitrase syariah menjadi pokok bahasan berikut. berikut dianalisis prinsip pilihan hukum dalam arbitrase syariah, putusan bersifat final dan mengikat, kedudukan arbiter sebagai pedamai beragama Islam dan prinsip kerahasiaan (confidentiality) dalam proses arbitrase syariah.
Universitas Sumatera Utara
Bab V merupakan simpulan dan saran. Kesimpulan memuat jawaban terhadap permasalahan yang diajukan, dan saran berisi rekomendasi yang dapat dijadikan referensi dalam penyusunan regulasi terhadap arbitrase berbasis syariah.
Universitas Sumatera Utara