BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Sistem perbankan di Indonesia menganut dua sistem yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah yang berjalan secara beriringan. Hal itu dapat terjadi karena payung hukum adanya perbankan syariah di Indonesia telah terakomodasi dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengakomodasi adanya dual banking system di Indonesia (Bank Indonesia, 2007). Bank syariah memiliki perbedaan pokok dengan bank konvensional yaitu operasional bank syariah harus sesuai dengan aturan-aturan syariat Islam seperti: menghindari riba (bunga), ketidakpastian besar (gharar besar), dan judi (maisir). Selain itu, bank syariah juga dilarang ikut serta dalam kegiatan perekonomian yang dilarang oleh syariat Islam seperti kegiatan-kegiatan yang tidak halal (misal: ternak babi, produksi minuman beralkohol, penjualan produk rokok, dsb.).Tiga poin terakhir dapat pula dilakukan (walaupun tidak secara keseluruhan) oleh bank konvensional yang peduli pada socially responsible investment (SRI), namun poin pertama yaitu menghindari riba adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional karena menurut Rosly dan Zaini (2008: 695), salah satu landasan dari perbankan Islam adalah larangan riba dan aplikasi perdagangan. Chong dan Liu (2009: 126) berpendapat bahwa fitur unik dari bank syariah adalah paradigma bagi hasil (profit-loss sharing ‘PLS’), yang secara dominan didasarkan oleh konsep kontrak Islami yaitu mudharabah (bagi hasil)
1
dan musyarakah (kerja sama). Dalam paradigma bagi hasil, aset dan kewajiban dari bank syariah terintegrasi dalam hal peminjam membagi laba dan ruginya dengan bank, yang selanjutnya akan membagi laba dan rugi kepada penabung. Dalam kenyataannya, paradigma PLS pada perbankan syariah di Indonesia tidak sepenuhnya diwujudkan terutama pada aspek pembiayaan. Hal itu terlihat dari data Otoritas Jasa Keuangan yang menyebutkan bahwa dari seluruh pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah, hanya 30,14 persennya yang menggunakan akad mudharabah dan musyarakah. Di sisi lain, penerapan paradigma PLS pada simpanan sudah mencapai 86,17 persen dari total dana pihak ketiga bank syariah (Otoritas Jasa Keuangan, 2014). Simpanan ber-akad mudharabah secara teoritis bebas dari bunga dan bersifat seperti ekuitas. Sebagai sebuah produk ekuitas, deposito mudharabah tidak menjamin proteksi modal dan klaim hukum terhadap seluruh bentuk imbal hasil. Untuk mengkompensasi pajanan risiko dalam produk tersebut, penabung mudharabah mengharapkan imbal hasil yang relatif lebih tinggi dibandingkan penabung konvensional dengan imbal hasil tetap yang menghindari risiko (Rosly dan Zaini, 2008). Karena hubungan antara penabung mudharabah dengan bank syariah merupakan hubungan penyedia modal— entrepreneur yang mensyaratkan adanya bagi hasil, evaluasi kinerja bank syariah sangat penting bagi penabung mudharabah. Hal ini disebabkan oleh sifat alami dari kontrak mudharabah; kontrak yang menyebabkan kuantum laba untuk didistribusikan kepada seluruh
2
penabung mudharabah ditentukan oleh kinerja bank syariah (Rosly dan Zaini, 2008).
Oleh karena sifat-sifat itulah, pergerakan imbal hasil deposito
mudharabah secara teoritis tidak jauh berbeda dibandingkan dengan imbal hasil pemegang saham bank syariah yang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Berbeda dengan teori yang seharusnya dipraktekkan oleh perbankan syariah, Mbow (2011) menyatakan bahwa terdapat isu yang cukup penting pada produk simpanan mudharabah yaitu penggunaan cadangan untuk “melembutkan” imbal hasil simpanan mudharabah. Untuk dapat melakukannya, beberapa bank syariah telah membentuk dua macam cadangan yaitu profit equalization reserve (PER) dan investment risk reserve (IRR). PER digunakan oleh bank syariah untuk membayar imbal hasil yang kompetitif kepada penabung mudharabah saat laba dari operasional mereka tidak memungkinkan untuk memberi imbal hasil yang kompetitif, sedangkan IRR bertujuan untuk membayar para penabung mudharabah saat aset yang dibiayai menggunakan mudharabah menimbulkan kerugian. Aplikasi PER dan IRR pada simpanan mudharabah menunjukkan bahwa praktek bagi hasil di perbankan syariah tidak berjalan sesuai dengan prinsip keadilan sehingga lebih mirip dengan praktek perbankan konvensional. Mbow (2011: 240) menemukan bahwa return on investment (ROE) perbankan syariah cenderung dua kali lebih tinggi dari imbal hasil simpanan mudharabah, walaupun risiko yang ditanggung oleh pemegang saham dan penabung mudharabah cenderung mirip. Selain itu, imbal hasil mudharabah berkorelasi lebih kuat pada suku bunga simpanan konvensional dibandingkan dengan ROE. 3
Oleh karena itu, untuk memperkirakan imbal hasil simpanan mudharabah, para investor sebaiknya tidak hanya melihat dari profitabilitas perbankan syariah, namun juga faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi “penetapan” imbal hasil simpanan mudharabah. Anwar et al. (2010) berhasil memprediksi imbal hasil deposito mudharabah tenor satu bulan dari Bank Syariah Mandiri menggunakan metode artificial neural network (ANN) dengan sebelumnya menemukan terlebih dahulu faktor-faktor makroekonomi yang mempengaruhi imbal hasil deposito mudharabah tenor satu bulan dari seluruh perbankan syariah di Indonesia. Adapun penelitian ini akan mencoba menemukan faktor-faktor makroekonomi yang mempengaruhi imbal hasil deposito mudharabah tenor satu bulan bank umum syariah dan unit usaha syariah di Indonesia menggunakan metode yang lebih sederhana yaitu regresi. Pemilihan deposito mudharabah tenor satu bulan didasarkan pada data Otoritas Jasa Keuangan pada Juli 2014 yang memperlihatkan bahwa instrumen deposito berakad mudharabah dengan tenor satu bulan mendominasi komposisi dana pihak ketiga pada bank-bank umum syariah dan unit-unit usaha syariah yaitu mencapai 43,70 persen dari total dana pihak ketiga.
4
Komposisi DPK Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Juli 2014 2.61%
4.81% 0.00% 7.53%
Giro Wadiah 5.78%
11.26%
Tabungan Wadiah Tabungan Mudharabah Deposito Mudharabah 1 bulan
24.30%
Deposito Mudharabah 3 bulan Deposito Mudharabah 6 bulan
43.70%
Deposito Mudharabah 12 bulan Deposito Mudharabah >12 bulan
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (diolah)
Gambar 1.1 Komposisi DPK Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Juli 2014. Simpanan ber-akad mudharabah mendominasi. 2. Rumusan Masalah Simpanan mudharabah memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh bank konvensional yaitu mekanisme bagi hasil, sehingga imbal hasil yang didapatkan oleh penabung akan berfluktuasi tergantung kinerja bank syariah yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan penabung mudharabah juga terpapar risiko yang tidak jauh berbeda dengan pemegang saham bank syariah, sehingga penting bagi penabung untuk mengevaluasi kinerja bank syariah tempatnya menabung. Oleh karena itu, faktor-faktor makroekonomi yang mempengaruhi kinerja bank syariah yaitu produk domestik bruto Indonesia, BI Rate, suplai uang, pasar saham
5
dan tingkat inflasi tahunan juga ditengarai akan mempengaruhi imbal hasil perbankan syariah. Penerapan dual banking system di Indonesia membuat persaingan dalam perebutan dana pihak ketiga antara bank syariah dengan bank konvensional selalu terjadi, padahal motif penabung dalam menempatkan dananya di bank syariah adalah mencari imbal hasil tinggi. Karena itulah, saat imbal hasil investasi di bank syariah sedang turun dan suku bunga bank konvensional naik, jumlah deposito mudharabah di bank syariah menurun. Hal ini ditengarai membuat beberapa bank syariah menggunakan sistem cadangan untuk “melembutkan” imbal hasil produk deposito mudharabah mereka sehingga jumlah simpanan mereka dapat terhindar dari penurunan tajam. Dengan demikian, faktor-faktor makroekonomi yang mempengaruhi jumlah simpanan mudharabah yaitu tingkat suku bunga deposito perbankan konvensional juga ditengarai akan mempengaruhi imbal hasil deposito mudharabah.
3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor makroekonomi yang mempengaruhi imbal hasil deposito mudharabah tenor satu bulan pada bank umum syariah dan unit usaha syariah di Indonesia.
4. Manfaat Penelitian Penelitian ini dirancang menggunakan metode statistik sederhana agar praktisi investasi, terutama investor syariah, dapat menggunakannya untuk
6
membantu
mengambil
keputusan
berinvestasi
pada
instrumen
deposito
mudharabah sebagai salah satu sarana diversifikasi portofolio investasi mereka. Hal ini cukup penting bagi investor syariah mengingat investasi syariah tidak mengenal instrumen investasi bebas risiko sehingga instrumen deposito mudharabah dapat disejajarkan dengan instrumen-instrumen investasi lainnya seperti saham dan obligasi walaupun penelitian lebih lanjut mengenai tingkat imbal hasil dan risiko investasi deposito mudharabah masih perlu dilakukan. Selain itu, bagi para akademisi, penelitian ini diharapkan mampu menjadi pelengkap kerangka kerja untuk menyusun instrumen prediktor imbal hasil deposito mudharabah. Selain itu, diharapkan perbankan syariah dapat lebih meningkatkan profitabilitasnya sehingga dapat memberikan imbal hasil yang lebih baik bagi penabung. Dengan imbal hasil yang lebih baik, diharapkan dana pihak ketiga perbankan syariah dapat meningkat dengan pesat sehingga perbankan syariah dapat meningkatkan pembiayaannya untuk mendapatkan profitabilitas yang lebih tinggi lagi, dengan tetap menjaga kemurnian kesyariahannya.
7
5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa batasan yaitu: a. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Bank Indonesia. b. Penelitian ini hanya membahas mengenai deposito mudharabah bertenor satu bulan pada bank umum syariah dan unit usaha syariah di Indonesia. c. Deposito konvensional merupakan deposito tenor satu bulan di bank umum.
8