BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan penyakit darah tinggi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah arteri, dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg dan tekanan diastolik >90 mmHg. Penyakit hipertensi sering disebut sebagai the silent killer atau pembunuh diam – diam, karena umumnya pasien tidak mengetahui dirinya menderita hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya (Chobanian dkk., 2003). Tekanan darah meningkat dengan semakin bertambahnya usia, penyakit hipertensi umum terjadi pada orang dengan usia lanjut. Diperkirakan ada 31% populasi atau 72 juta penduduk Amerika yang mengalami hipertensi (≥ 140/90mmHg). Persentase pria terkena hipertensi sebelum usia 45 tahun lebih tinggi dari pada wanita. Namun, ketika usia > 55 tahun wanita lebih mudah terserang hipertensi dari pada pria (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Hipertensi merupakan penyebab kematian ke-3 setelah stroke dan tuberculosis, yaitu mencapai 6,7% di Indonesia. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 25,8%. Sebagian besar (63,2%) kasus hipertensi di masyarakat tidak terdiagnosis (Kemenkes RI, 2013). Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 menyatakan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan kasus rawat inap terbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan proporsi kasus 57,62% pada wanita dan 42,38% pada pria (Kemenkes RI, 2012).
1
2
Stroke merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan supply darah menuju otak, biasanya disebabkan karena abnormalitas pembuluh darah (termasuk hipertensi) bisa juga disebabkan karena adanya penutupan aliran darah ke sebagian otak tertentu. Stroke muncul secara mendadak, progresif dan cepat. Penyakit stroke dapat menyerang segala usia. Stroke pada usia muda memberikan dampak yang sangat luas dan menimbulkan beban berat baik bagi penderita, keluarga maupun masyarakat. Stroke menjadi penyebab kematian terbesar ke – 3 di Inggris setelah penyakit jantung koroner dan penyakit kanker. Setiap tahun kira – kira 140.000 orang di inggris menderita stroke dan ada sekitar 60.000 kematian yang disebabkan oleh stroke (Rothwel cit Hisham dan Bayraktutan, 2001). Stroke menjadi penyebab kematian ke – 2 di dunia, dan menjadi penyebab kematian ke – 3 di Amerika. Stroke terjadi pada lebih dari 700.000 individu per tahun dan menyebabkan 150.000 kematian (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia cukup tinggi, untuk DI Yogyakarta prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 10,3%, DI yogyakarta merupakan daerah dengan prevalensi stroke tertinggi kedua setelah sulawesi utara yaitu 10,8%. Sedangkan untuk prevalensi stroke terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi, DI Yogyakarta juga menempati urutan kedua setelah sulawesi selatan (17,9%) yaitu sebesar 16,9% (Kemenkes RI, 2013). Terdapat 2 jenis stroke yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Penyakit hipertensi menjadi faktor resiko terkendali yang paling kuat pada penyakit stroke
3
hemoragik (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Ada hubungan langsung antara peningkatan tekanan darah dengan resiko terjadinya stroke. Penderita hipertensi memiliki resiko terkena stroke 2 – 3 kali lebih besar dari pada pasien yang tidak menderita hipertensi. Lebih dari 70% pasien stroke memiliki riwayat hipertensi (Dunbabin dan Sandercock, 1990). 15% pasien stroke memiliki tekanan darah sistolik awal > 184 mmHg (Miller dkk, 2014). Dengan
adanya
peningkatan
tekanan
darah
sistolik
dan
diastolik
meningkatkan resiko terjadinya stroke iskemik ataupun hemoragik pada individu baik perempuan maupun laki – laki pada semua umur. Tekanan darah sistolik merupakan faktor resiko yang lebih kuat untuk stroke dari pada tekanan darah diastolik (Stamler dkk., 1993) dalam beberapa percobaan yang melibatkan 347.978 pria, tekanan darah sistolik ditemukan lebih besar berkorelasi dengan mortalitas stroke dari pada tekanan darah diastolik (Mancia, 2004). Hasil percobaan SHEP (Systolic Hypertension in the Elderly Program) menunjukkan setiap peningkatan tekanan darah 10 mmHg berhubungan dengan peningkatan faktor resiko stroke sebesar 11% dan peningkatan resiko mortalitas sebesar
16%
(Domanski,
1999). Analisis
dari
percobaan PROGRESS
menunjukkan terjadi penurunan resiko relatif stroke berulang pada kelompok dengan tekanan darah sistolik awal 120 – 139 mmHg dibandingkan dengan kelompok dengan tekanan darah sistolik 140 – 159 mmHg atau 160 mmHg dan lebih tinggi (14% dibandingkan 31% dan 39%) (Arima dkk., 2006). Penurunan 10 mmHg tekanan darah sistolik dan 5 mmHg tekanan darah diastolik pada pasien middle aged menurunkan resiko kematian yang disebabkan oleh stroke sebesar
4
40% dan resiko kematian yang disebabkan oleh coronary artery disease sebesar 30% (Widimsky, 2015). Pengobatan rasional hendaknya dilakukan dalam setiap pelayanan kesehatan. Tujuan dari penggunaan obat rasional adalah untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau (Kemenkes RI, 2011). Pengobatan pada pasien hipertensi dengan komplikasi stroke, termasuk didalamnya pemilihan obat hendaknya dilakukan secara tepat, sehingga diharapkan dapat memberikan kesembuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Terapi menggunakan obat antihipertensi menurunkan kejadian penyakit serebrovaskular dan stroke sebesar 40% - 60% (Widimsky, 2015). Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang berperan penting dalam peningkatan derajat kesehatan. Obat yang tersedia saat ini sangatlah beragam, dan banyaknya jenis obat yang ada menyebabkan kesukaran bagi dokter dan pengelola obat untuk memilih obat yang akan digunakan dalam pelayanan
kesehatan.
Dalam
meresepkan
obat
hendaknya
dokter
mempertimbangkan safety, efikasi dan cost effectivenes untuk pasien. Akan tetapi pengambilan keputusan dalam pemilihan obat saat ini seringkali tidak didasarkan pada bukti yang terkini dan valid. Penggunaan obat di rumah sakit sudah diatur dalam formularium rumah sakit dan standar pelayanan medik rumah sakit untuk tiap – tiap penyakit. Kadang terjadi pemberian obat untuk penyakit tertentu yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medik rumah sakit maupun formularium rumah sakit, oleh karena itu peneliti merasa perlu mengkaji seberapa besar adanya
5
ketidaksesuaian pemberian obat untuk penyakit hipertensi dengan komplikasi stroke yang diberikan oleh dokter dengan obat – obat yang tercantum di formularium rumah sakit dan standar pelayanan medik untuk penyakit tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Obat – obat apa saja yang digunakan untuk terapi hipertensi dengan komplikasi stroke pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Yogyakarta? 2. Bagaimana kesesuaian penggunaan obat – obat antihipertensi dengan komplikasi stroke dengan obat – obat yang tercantum dalam formularium rumah sakit cetakan pertama tahun 2015 dan standar pelayanan medik tahun 2012? 3. Berapa persentase pasien rawat inap dengan diagnosis hipertensi dan stroke di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang tekanan darahnya mencapai target berdasarkan Guidelines for hypertension management in adults with or at risk of CAD? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui obat – obat apa saja yang digunakan untuk terapi hipertensi dengan komplikasi stroke pada pasien rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Mengetahui kesesuaian penggunaan obat – obat antihipertensi dengan komplikasi stroke dengan obat – obat yang tercantum dalam formularium
6
rumah sakit cetakan pertama tahun 2015 dan Standar Pelayanan Medik tahun 2012. 3. Mengetahui persentase pasien rawat inap dengan diagnosis hipertensi dan stroke di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang tekanan darahnya mencapai target berdasarkan Guidelines for hypertension management in adults with or at risk of CAD. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi Rumah Sakit a. Memberikan informasi tentang pola pengobatan pada pasien hipertensi dengan komplikasi stroke pada pasien rawat inap di rumah sakit tersebut. b. Memberikan informasi tentang kesesuian pengobatan penyakit hipertensi dengan komplikasi stroke dengan Formularium Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medik c. Sebagai masukan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. 2. Bagi Peneliti a. Meningkatkan pengetahuan akan dunia kesehatan sekaligus sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh. b. Menambah pengetahuan dan memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan profesionalisme di masa yang akan datang.
7
E. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi a. Pengertian hipertensi Hipertensi adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya peningkatan tekanan darah arteri secara persisten. Diagnosis hipertensi tidak bisa ditegakkan hanya dengan satu kali pengukuran, untuk diagnosis hipertensi diperlukan 2 atau lebih pengukuran bila tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan / atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (Depkes RI, 2006). Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut sebagai The Silent Killer karena biasanya pasien tidak mengetahui dirinya menderita hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Selain itu umumnya penderita hipertensi tidak mengalami suatu tanda dan gejala sebelum terjadi komplikasi (Chobanian dkk., 2003). b. Etiologi hipertensi Hipertensi merupakan kondisi heterogen. Pada sebagian orang bisa disebabkan karena proses patofisiologi yang tidak diketahui (hipertensi esensial atau primer) atau sebagian kecil pasien mengalami hipertensi karena penyebab khusus seperti adanya penyakit atau karena hormonal. Hipertensi primer tidak dapat disembuhkan
namun
dapat
dikontrol,
sedangkan
hipertensi
sekunder
kemungkinan dapat disembuhkan. Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi primer. Faktor genetik dapat berperan penting pada perkembangan hipertensi esensial, faktor genetik dapat menyebabkan kenaikan aktivitas dari sistem renin – angiotensin – aldosteron dan sistem saraf simpatik
8
serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Selain disebabkan oleh faktor genetik, faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya hipertensi primer, antara lain yaitu konsumsi garam, obesitas, dan gaya hidup yang tidak sehat (Depkes RI, 2006). Hipertensi primer (esensial) adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi antara faktor – faktor risiko tertentu. Faktor – faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah : 1) Faktor risiko, seperti : diet dan asupan garam, stres, obesitas, merokok, genetis 2) Sistem syaraf simpatis : tonus simpatis dan variasi diurnal 3) Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi 4) Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin, aldosteron. (Yogiantoro, 2006) Hipertensi sekunder terjadi pada kurang dari 10% pasien. Penyakit yang paling banyak menyebabkan hipertensi sekunder adalah gangguan ginjal. Kondisi lain yang bisa menyebabkan hipertensi sekunder adalah gagal ginjal kronis, pheochromocytoma (tumor adrenal), cushing’s syndrom, gangguan paratiroid, gangguan tiroid, aldosteronism primer. Hipertensi sekunder juga dapat disebabkan karena penggunaan obat, seperti adrenal kortikosteroid, penggunaan alkohol secara kronis, amphetamin, estrogen, NSAID, dekongestan oral, dan lain – lain. Ketika penyebab hipertensi sekunder sudah teridentifikasi maka harus dilakukan pengatasan pada kondisi penyebab (Saseen dan Maclaughlin, 2008).
9
c. Gejala klinis dan diagnosis hipertensi Pada sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan adanya gejala. Hipertensi terkadang dapat menimbulkan terjadinya gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri dada, palpitasi, dan epistaksis. Gejala – gejala tersebut berbahaya bila diabaikan, akan tetapi gejala tersebut bukan merupakan tolak ukur dari keparahan penyakit hipertensi (WHO, 2013). Diagnosis hipertensi rata – rata dilakukan dua kali atau lebih dalam waktu 2 kali kontrol (Depkes RI, 2006)). Pengukuran tekanan darah menggunakan alat sphygmomanometer. d. Patofisiologi hipertensi Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya hipertensi, faktor – faktor tersebut adalah (Depkes RI, 2006) : 1) Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respon terhadap stress psikososial dll. 2) Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor. 3) Asupan natrium atau garam berlebihan. 4) Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium. 5) Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan aldosteron. 6) Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrit oxida (NO), dan peptide natriuretik.
10
7) Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein – kinin yang mempengaruhi tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal. 8) Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah kecil di ginjal. 9) Diabetes mellitus. 10) Resistensi insulin. 11) Obesitas. 12) Meningkatnya aktivitas vascular growth factors. 13) Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular. 14) Berubahnya transport ion dalam sel.
AME = apparent mineralocorticoid excess, CNS = central nervous system, GRA = glucocorticoid-remediable aldosteronism. Gambar 1. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah
Hipertensi dapat menyebabkan kerusakan pada organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa kerusakan organ yang biasanya terjadi adalah :
11
1) Jantung (hipertrofi ventrikel kiri, angina, infark miokardium, gagal jantung, penyakit jantung koroner) 2) Otak (stroke atau transient ischemic attack) 3) Ginjal (penyakit ginjal kronis, proteinuria, mikroalbuminuria, penurunan GFR < 60 ml/min/1,73 m2) 4) Pembuluh perifer (penyakit arteri perifer) 5) Mata (retinopati, pendarahan retina atau eksudat, papiloedema) (Kaplan dan Victor, 2009 ; Saseen dan Maclaughlin, 2008) Hubungan antara peningkatan tekanan darah dan stroke mungkin hasil dari peningkatan kekakuan arteri. Peningkatan tekanan darah dapat memicu remodeling arteri dari arteri ekstrakranial dan intrakranial, yang menyebabkan penebalan dinding arteri dan pengembangan plak (Mancia, 2004). e. Klasifikasi hipertensi Berdasarkan The Sevent Report of the Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluation, and treatment of High Blood Pressure (JNC 7), Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa > 18 tahun tercantum dalam tabel I. Tabel I. Klasifikasi Tekanan Darah Pada Dewasa > 18 tahun (Chobanian dkk., 2003) Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik Normal Prehipertensi Hipertensi Tipe 1 Hipertensi Tipe 2
<120 mmHg 120 – 139 mmHg 140 – 159 mmHg ≥160 mmHg
Dan <80 mmHg Atau 80 – 89 mmHg Atau 90 – 99 mmHg Atau ≥100 mmHg
Prehipertensi merupakan keadaan dimana tidak memerlukan terapi namun termasuk pada kelompok yang memiliki resiko tinggi untuk terkena hipertensi, penyakit jantung koroner dan penyakit stroke. Individu yang termasuk kelompok prehipertensi dianjurkan untuk melakukan modifikasi gaya hidup sehat untuk
12
mencegah peningkatan tekanan darah, seperti penurunan berat badan pada pasien obesitas, diet, olahraga, mengurangi asupan garam dan berhenti merokok dan penggunaan alkohol (Chobanian dkk., 2003). f. Tata laksana terapi Tujuan terapi hipertensi adalah : 1) Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas berhubungan dengan kerusakan organ target (misalnya: kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Target tekanan darah adalah < 140/90 mmHg untuk penyakit hipertensi tanpa komplikasi dan < 130/80 mmHg untuk pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes atau gagal ginjal (Chobanian dkk., 2003). 2) Menurunkan tekanan darah sampai tidak mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup (Depkes RI, 2006). Pasien hipertensi dengan penyakit penyerta memiliki resiko atau kondisi penyakit kardiovaskular yang lebih besar dan harus ditangani secara cepat. Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta lainnya juga harus dilakukan sampai mencapai target terapi masing – masing kondisi (Chobanian dkk., 2003).
13
No 1 2
3
Tabel II. Target nilai tekanan darah (AHA, 2007) Pasien Target penurunan tekanan darah Kebanyakan pasien untuk pencegahan umum / kondisi <140/90 mmHg hipertensi tanpa komlikasi Pasien dengan diabetes (penyakit yang mengarah kepada penyakit arteri koroner memiliki resiko yang sama), penyakit ginjal kronik yang signifikan, penyakit arteri koroner yang diketahui (infark miokard, angina stabil, angina tidak stabil), penyakit pembuluh arterosklerotik <130/80 mmHg non koroner (Stroke iskemia, TIA, penyakit arteri periferal, pembengkakan aortik abdominal yang mengarah ke penyakit arteri koroner, atau skor risiko framingham 10% atau lebih besar. Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (gagal jantung) <130/80 mmHg
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non farmakologi harus dilakukan oleh pasien prehipertensi dan semua pasien hipertensi dengan tujuan untuk menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor – faktor risiko serta penyakit penyerta lainnya. 1) Terapi non farmakologi Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi gaya hidup seperti mengurangi berat badan untuk individu yang mengalami obesitas, perencanaan pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah natrium < 2,4 gram per hari, aktifitas fisik dan mengurangi konsumsi alkohol (Chobanian dkk., 2003), pasien juga disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok (Weber dkk., 2014). Pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan buah dan sayur dan produk susu rendah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh berkurang. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan efikasi dari obat antihipertensi, dan menurunkan resiko kardiovaskuler (Chobanian dkk., 2003).
14
Tabel III. Modifikasi gaya hidup untuk penanganan hipertensi (Chobanian dkk., 2003) Perubahan gaya hidup
Rekomendasi
Perkiraan penurunan tekanan darah sistolik (mmHg)
Berat
Menjaga berat badan normal 5 – 20 mmHg/10 kg (Body Mass Index 18,5 – 2,9 kg/m2)
Perencanaan pola makan (DASH)
Mengkonsumsi diet kaya buah – buahan, sayur – sayuran, produk rendah lemak.
Diet pengurangan/ pembatasan natrium
Mengurangi intake natrium sampai tidak lebih dari 100 mmol tiap hari ( 2 – 4 gram natrium atau 6 gram NaCl)
Aktivitas fisik
Aktivitas fisik aerobik secara teratur seperti berjalan kaki paling tidak selama 30 menit/hari, beberapa hari/ minggu
4 – 9 mmHg
Pembatasan konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol dibatasi tidak lebih dari 2 gelas tiap hari untuk laki – laki dan tidak lebih dari 1 gelas tiap hari pada wanita dan orang yang kurus
2 – 4 mmHg
Penurunan Badan
5 – 20 mmHg/10 kg penurunan berat badan 8 – 14 mmHg
2 – 8 mmHg
2) Terapi Farmakologi Pemilihan obat pada penatalaksanaan hipertensi tergantung pada tingkat tekanan darah dan keberadaan penyakit penyerta. Obat – obat dalam terapi farmakologi hipertensi dibagi ke dalam 2 macam kelompok yaitu : first line drug dan second line drug. Obat yang termasuk dalam golongan first line drug adalah diuretik, beta blocker reseptor, ACEI (Angiotensin converting enzyme inhibitor), ARB (Angiotensin reseptor blocker), CCB (Calcium Channel Blocker), sedangkan yang termasuk kedalam second line drug adalah golongan alpha 1 receptor blocker, central alpha 2 agonis, vasodilator (Chobanian dkk., 2003).
15
Jenis obat yang sering digunakan dalam terapi hipertensi yaitu : a) Diuretik Diuretik menurunkan tekanan darah dengan cara mengurangi natrium dalam tubuh dan menurunkan volume darah dan curah jantung (Neal dan Benowitz, 2009) Empat sub kelas diuretik yang digunakan untuk mengobati hipertensi yaitu Thiazid, loop diuretik, diuretika hemat kalium, serta antagonis aldosteron. Diuretik terutama golongan thiazid merupakan lini pertama pada pasien hipertensi. Diuretik hemat kalium memiliki efek yang lemah bila digunakan sendiri akan tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan thiazid atau loop diuretik (Depkes RI, 2006). (a) Thiazid Obat golongan thiazid bekerja dengan menghambat transport (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal. Contoh obat golongan thiazid adalah hidroklortiazid (HCT), bendroflumethiazide, indapamid, dan lain – lain. (b) Loop diuretik Obat golongan loop diuretik bekerja dengan menghambat co – transporter Na+/K+/2Cl- pada ascending limb lengkung henle sehinga menghambat reabsorpsi Na+ dan Cl-. Obat ini termasuk diuresis paling poten. Contoh obat golongan loop diuretik yaitu furosemid, bumetanid, piretanid, torasemid, dan asam etakrinat. Selain digunakan untuk pengobatan hipertensi, obat ini juga digunakan untuk menurunkan edema paru – paru pada penyakit gagal jantung. Obat ini tepat digunakan pada pasien hipertensi dengan gangguan ginjal (Nugroho, 2011).
16
(c) Diuretika hemat kalium Diuretika hemat kalium merupakan antihipertensi yang lemah jika digunakan tunggal. Diuretika ini dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan oleh diuretik lainnya (Anonim, 2008). Obat ini beraksi pada duktus kolektivivus (Nugroho, 2011). Contoh obat yang termasuk dalam diureika hemat kalium adalah spironolakton, triamterene, amiloride hidroklorida, dan lain – lain (Anonim, 2008). (d) Antagonis aldosteron Contoh obat yang termasuk antagonis aldosteron adalah spironolakton, spironolakton merupkan inhibitor aldosteron yang menghasilkan efek diuretik hemat kalium (Anonim, 2008). b) Beta blocker reseptor Obat golongan beta blocker bekerja dengan menghambat persyarafan simpatik menuju organ jantung. Obat ini juga digunakan dalam terapi hipertensi karena menurunkan frekuensi denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan enzim renin dari ginjal. Semuanya melibatkan penghambatan pada reseptor beta-1 adrenergik (Nugroho, 2011). Beta blocker yang berikatan dengan reseptor beta-1 bersifat kardioselektif karena tidak menghambat reseptor beta-2 dan tidak menimbulkan bronkokonstriksi. Obat – obat yang termasuk kardioselektif yaitu metoprolol, betaksolol, atenolol, dan bisoprolol. Obat – obat tersebut lebih aman untuk pasien asma, penyakit paru obstruksi kronis, dan penyakit vaskular. Pada penggunaan dosis tinggi, obat ini kehilangan sifat kardioselektifnya (Barranger dkk., 2006).
17
Beberapa obat beta blocker memiliki aktivitas intrinsik simpatomimetik, seperti asebutolol, karteolol, penbutolol, dan pindolol. Obat ini bekerja secara agonis pada beta reseptor parsial (Depkes RI, 2006). Obat propranolol, labetolol memiliki efek stabilitas membran (Anonim, 2008). c) ACEI (Angiotensin converting enzyme inhibitor) Mekanisme obat ACEI yaitu dengan menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II merupakan vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron. ACEI juga dapat mencegah degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis senyawa vasodilator lainnya termasuk prostaglandin E dan prostasiklin (Anonim, 2008). Efek samping yang paling sering terjadi adalah batuk kering, ruam, dan pusing. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal atau diabetes (Barranger dkk., 2006). Contoh obat ACEI adalah captopril, enalapril, ramipril, dan lain – lain (Saseen dan Maclaughlin, 2008). d) ARB (Angiotensin reseptor blocker) Obat ini beraksi dengan menghambat Reseptor Angiotensin II khususnya AT –I. Aksi ARB mirip dengan ACEI, bedanya ARB menghambat angiotensin II pada reseptornya. Secara teori obat ini lebih menguntungkan dibandingkan ACEI karena tidak menghasilkan efek samping batuk kering (Nugroho, 2011). Contoh obat ARB adalah valsartan, candesartan, losartan, dan irbesartan (Chobanian dkk., 2003).
18
e) CCB (Calcium Channel Blocker) Obat ini beraksi dengan menghambat influks ion kalsium pada kanal ion kalsium di pembuluh darah dan otot jantung. Penurunan ion kalsium intraseluler menyebabkan penurunan kontraksi otot polos pembuluh darah, lalu meningkatkan diameter pembuluh darah arteri namun tidak pada vena, sehingga menimbulkan vasodilatasi. Vasodilatasi menyebabkan penurunan resistensi perifer. Penurunan ion kalsium intraseluler di jantung menyebabkan penurunan kontraksi sel otot jantung, sehingga menurunkan curah jantung. Penurunan baik curah jantung maupun resistensi perifer menyebabkan penurunan tekanan darah. Secara klinik, CCB digunakan dalam terapi hipetensi dan angina pektoris (menurunkan beban akhir jantung sehingga menurunkan kebutuhan oksigen) (Nugroho, 2011). Ada 2 jenis CCB yaitu Dihidropiridin dan Nondihidropiridin. Dihidropiridin seperti
amlodipin
dan
nifedipin
bekerja
mendilatasi
arteri,
sedangkan
nondihidropiridin seperti verapamil dan diliazem bekerja mendilatasi arteri dengan efek yang lebih lemah dari dihidropiridin, namun memiliki efek mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas. Verapamil dan diltiazem dapat mempercepat progesifitas congestive heart failure pada pasien dengan kelainan fungsi jantung pengguaan kedua obat tersebut harus dihindari kecuali untuk terapi pasien angina, hipertensi, atau aritmia (Barranger dkk., 2006 ; Weber dkk., 2014). f) Alpha-1 reseptor blocker Obat – obat golongan alpha-1 reseptor blocker yaitu prazosin, terazosin, dan doxazosin. Obat ini bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilatasi dan
19
menurunkan tekanan darah (Depkes RI, 2006). Alpha-1 blocker harus dihindari pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena dapat meningkatkan resiko kematian (Barranger dkk., 2006). g) Central alpha-2 agonis Contoh obat central alpha-2 agonis adalah klonidin, guanabenz, guanfacine dan metildopa. Obat – obat tersebut sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi awal. Kerja dari obat ini adalah merangsang reseptor alpha-2 adrenergik di otak, rangsangan ini menurunkan aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak, curah janrung, dan tahanan perifer (Barranger dkk., 2006). h) Vasodilator Obat vasodilator menyebabkan relaksasi langsung otot polos arteriol. Contoh obat yang termasuk vasodilator adalah hydralazine, minoksidile. Kedua obat ini menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik, sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin (Anonim, 2008). Indikasi khusus sebagai komorbid memerlukan penanganan antihipertensi khusus berdasarkan luaran positif pada uji klinik. Daftar indikasi khusus yang memerlukan penggunaan obat anti hipertensi lain sebagai terapi awal dapat dilihat pada tabel IV. Tabel IV. Indikasi khusus dan terapi yang direkomendasikan (Chobanian dkk., 2003) Obat Indikasi Khusus Diuretik BB ACEI ARB CCB Aldosteron antagonis Gagal Jantung * * * * * Infark postmiokard * * *
20
Tabel IV. Lanjutan Indikasi khusus dan terapi yang direkomendasikan (Chobanian dkk., 2003) Obat Indikasi Khusus Diuretik BB ACEI ARB CCB Aldosteron antagonis Risiko penyakit jantung koroner * * * * tinggi Diabetes * * * * * Penyakit ginjal * * Kronik Stroke * * Keterangan : ACEI ( Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor), ARB (Angiotensin Reseptor Blocker), CCB (Calcium Channel Blocker), BB (Beta Blocker)
2. Stroke a. Pengertian stroke Stroke
adalah
suatu
sindrom
klinis
yang
ditandai
oleh
serangan
akut/mendadak yang mengakibatkan kelumpuhan salah satu sisi badan secara persisten. Menurut WHO tahun 1988, stroke adalah tanda – tanda klinis mengenai gangguan fungsi serebral secara fokal ataupun global, yang berkembang dengan cepat, dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, atau mengarah ke kematian tanpa penyebab yang kelihatan, selain tanda – tanda yang berkenaan dengan aliran darah di otak. Menurut ISO Farmakoterapi, Stroke didefinisikan sebagai penurunan syaraf utama secara tiba – tiba yang berlangsung selama 24 jam dan diperkirakan berasal dari pembuluh darah. Serangan iskemia sementara atau Transient ischemic attacks (TIAs) adalah iskemia sistem syaraf utama menurun selama kurang dari 24 jam dan biasanya kurang dari 30 menit (Anonim, 2008).
21
b. Etiologi stroke Terdapat 2 jenis stroke yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Kejadian stroke iskemik lebih besar dari pada stroke hemoragik. Kejadian stroke iskemik sekitar 88% sedangkan kejadian stroke hemoragik sekitar 12%. Stroke hemoragik terbagi menjadi subarachnoid hemoragik, intracerebral hemoragik dan subdural hemoragik. Terjadinya stroke hemoragik sering dikaitkan dengan tekanan darah yang tinggi. Meskipun kejadian stroke hemoragik lebih sedikit dari pada stroke iskemik namun stroke hemoragik lebih letal (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Stroke iskemik disebabkan oleh adanya pembentukan trombus atau oleh adanya fenomena emboli yang menyebabkan oklusi pada arteri serebral. Aterosklerosis, terutama pada pembuluh darah otak, merupakan faktor penyebab pada banyak kejadian stroke (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Faktor resiko terjadinya stroke terbagi menjadi 3 tipe yaitu faktor resiko yang dapat di modifikasi, potensial di modifikasi, dan tidak dapat di modifikasi. Faktor resiko yang dapat di modifikasi seperti hipertensi, dyslipidemi, diabetes, atrial fibrilation, penyakit kardiovaskuler, alkohol, merokok, penyakit sickle cell, hormon terapi, obesitas, diet, dan lain – lain. Faktor resiko yang tidak dapat di modifikasi seperti umur, ras, jenis kelamin, riwayat keluarga. Sedangkan faktor resiko yang potensial di modifikasi adalah penggunaan kontrasepsi oral, migraine, dan lain – lain (Saseen dan Maclaughlin, 2008). c. Gejala klinis dan diagnosis stroke Informasi bisa didapat dari anggota keluarga atau kerabat pasien, karena umumnya pasien tidak dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya, karena
22
penurunan kemampuan kognitif atau bahasanya. Pasien umumnya mengalami kelemahan pada satu sisi tubuh, ketidakmampuan berbicara, kehilangan penglihatan, vertigo, atau jatuh. Pada stroke hemoragik dapat menyebabkan sakit kepala yang berat (Anonim, 2008). d. Patofisiologi stroke Stroke iskemik dapat terjadi akibat penurunan atau berhentinya sirkulasi darah sehingga neuron – neuron tidak mendapatkan substrat yang dibutuhkan. Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 – 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut, karena kemungkinan terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri seperti aterosklerosis dan trombosis, berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah seperti syok atau hiperviskositas darah, gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium, ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid (Hartwig, 2006). Stroke hemoragi atau pendarahan diklasifikasikan menjadi pendarahan subarakhnoid, pendarahan intraserebral, dan hematomas subdural. Pendarahan subarakhnoid dapat terjadi dari luka berat atau rusaknya aneurisme intrakranial atau cacat arteriovena. Pendarahan intraserebral terjadi ketika pembuluh darah
23
rusak dalam parenkim otak menyebabkan pembentukan hematoma. Hematoma subdural kebanyakan terjadi karena luka berat. Adanya darah dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitar melalui efek masa dan komponen darah yang neurotoksik dan produk urainya. Penekanan terhadap jaringan yang dikelilingi hematomas dapat mengarah pada iskemia sekunder. Kematian karena stroke pendarahan kebanyakan disebabkan oleh peningkatan kerusakan dalam penekanan intrakranial yang mengarah pada herniasi dan kematian (Anonim, 2008). e. Klasifikasi stroke Berdasarkan American Hearth Association, stroke dibagi menjadi 2 macam tipe, yaitu : tipe hemoragik atau perdarahan adalah stroke yang disebabkan karena perdarahan intrakranial, dan tipe oklusif atau penyumbatan yang disebut juga stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan karena adanya penyumbatan pembuluh darah (Saseen dan Maclaughlin, 2008). f. Tata laksana terapi Tujuan utama penatalaksanaan stroke adalah mengurangi kerusakan syaraf dan menurunkan mortalitas dan kerusakan lebih lanjut, mencegah komplikasi sekunder terhadap mobilitas dan kerusakan syaraf, serta mencegah stroke berulang (Saseen dan Maclaughlin, 2008). 1) Terapi farmakologi Peningkatan tekanan darah sangat umum terjadi pada pasien stroke. Pengobatan pada pasien berhubungan dengan penurunan resiko terjadinya stroke berulang. Obat yang di rekomendasikan untuk pengobatan hipertensi dengan
24
komplikasi stroke yaitu ACEI dan Diuretik. Penggunaan kedua obat ini dapat menurunkan resiko terjadinya stroke berulang (Saseen dan Maclaughlin, 2008). 3. Formularium Formularium Rumah Sakit merupakan daftar obat yang disepakati beserta informasinya yang harus ditetapkan di rumah sakit. Formularium Rumah Sakit disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)/ Komite Farmasi dan Terapi (KFT)
rumah
sakit
berdasarkan
DOEN
dan
disempurnakan
dengan
mempertimbangkan obat lain yang terbukti secara ilmiah dibutuhkan untuk pelayanan di rumah sakit tersebut. Penyusunan Formularium Rumah Sakit juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku. Penerapan Formularium Rumah Sakit harus selalu dipantau. Hasil pemantauan dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran (Depkes RI, 2013). Formularium Rumah sakit disusun mengacu kepada Formularium Nasional. Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis resep, pemberi obat, dan penyedia obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap Formularium Rumah Sakit harus dilakukan secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan rumah sakit. Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan obat agar dihasilkan Formularium rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional (Depkes RI, 2014). Formularium yang digunakan dalam penelitian ini adalah Formularium Rumah Sakit edisi pertama tahun 2015. Dalam Formularium Rumah Sakit berisi
25
obat – obat yang digunakan di dalam Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta beserta macam – macam nama sediaan yang digunakan, dosis, indikasi, kontraindikasi, interaksi obat, keamanan, perhatian, efek samping obat serta pemberian obat. 4. Standar Pelayanan Medik Standar Pelayanan Medik di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta berisi pedoman bagi dokter dalam pemilihan obat untuk terapi. Dalam penelitian ini digunakan standar pelayanan medik untuk penyakt hipertensi tahun 2012, dimana di dalamnya berisi golongan obat – obat yang digunakan dalam pengobatan hipertensi termasuk di dalamnya penyakit hipertensi yang disertai dengan penyakit penyerta seperti hipertensi dengan penyakit stroke. Tabel V. Petunjuk Pemilihan Obat Pada Compelling Indication Berdasarkan Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2012 Kondisi Obat – obat yang direkomendasikan resiko tinggi dengan Aldosteron Diuretic β Blocker ACEI ARB CCB compelling antagonis indication Gagal √ √ Jantung Pasca Infark √ √ √ Miokard Resiko Tinggi √ √ √ √ Penyakit Koroner Pencegahan Stroke √ √ √ √ Berulang DM √ √ √ Penyakit Ginjal √ √ √ Kronik Keterangan : ACEI : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor ARB : Angiotensin Reseptor Blocker CCB : Calcium Channel Blocker DM : Diabetes Melitus
26
F. KETERANGAN EMPIRIS Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola pengobatan dan mengetahui tingkat ketepatan pengobatan pasien Hipertensi komplikasi Stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari – Desember 2014.