BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Adapun ruang mengandung pengertian sebagai “wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”. Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap. Sedangkan aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi. Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya
Universitas Sumatera Utara
kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan. Dilihat dari sudut pandang penataan ruang, salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai dalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman mengandung pengertian
adanya
kesempatan
yang
luas
bagi
masyarakat
untuk
mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia. Produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang. Keseluruhan tujuan ini diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan. Secara substansi berbicara mengenai ruang wilayah atau daerah tidak bisa terlepas dari lingkungan hidup, karena lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
Universitas Sumatera Utara
dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya 1 Lingkungan hidup dalam pengertian ekosistem tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah negara (nasional) maupun wilayah administratif dan daerah Provinsi, Kabupaten maupun Kota yang bersifat otonomi. Dalam penataan ruang daerah secara otonomi tetap tidak boleh mengabaikan adanya prinsip-prinsip tersebut karena mengikat secara undang-undang. Manusia dan lingkungan pada hakekatnya adalah satu bangunan yang seharusnya saling menguatkan karena manusia amat bergantung pada lingkungan sedang lingkungan juga bergantung pada aktivitas manusia. Namun dilihat dari sisi manusia maka lingkungan adalah sesuatu yang pasif, sedang manusialah yang aktif, sehingga kualitas lingkungan amat bergantung pada kualitas manusia. Meskipun sudah lewat tujuh tahun dari proses perubahan terakhir UUD 1945 pada tahun 2002, belum banyak pihak-pihak yang menaruh perhatian atas kajian konstitusi yang bersentuhan dengan permasalahan lingkungan hidup. Padahal ketentuan hasil perubahan membawa makna penting sekaligus secercah harapan bagi tersedianya jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di alam khatulistiwa ini. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan di
1
Pengertian, Pasal 1 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: 1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain
Universitas Sumatera Utara
dalam konstitusi. Secara berturut-turut kedua Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Pasal 28H ayat (1)
: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (huruf tebal dicetak oleh Penulis)
Pasal 33 ayat (4)
: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. (huruf tebal dicetak oleh Penulis)
Pasal tersebut di atas sesuai dengan UUD 1945 yang telah mengakomodasi perlindungan konstitusi (constitutional protection) baik terhadap warga negaranya untuk memperoleh lingkungan hidup yang memadai maupun jaminan terjaganya tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak negatif dari aktivitas perekonomian nasional. Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa setiap warga negara berhak dan memperoleh jaminan konstitusi (constitutional guranteee) untuk hidup dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk tumbuh dan berkembang. Ketentuan ini dapat juga disandingkan dengan Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyebutkan, “everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well- being of himself and of his family”. Sedangkan di dalam Pasal 12 ayat (1) ICESCR ditegaskan,
Universitas Sumatera Utara
“The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health”.
Artinya, kebutuhan hidup warga negara Indonesia juga harus terpenuhi sesuai dengan ukuran yang memadai baik terhadap kesehatannya maupun hal-hal lain yang terkait dengan penyokong kehidupan seseorang. Secara lebih luas, norma ini diperkuat pemaknaannya dengan termaktubnya salah satu tujuan negara sebagai cita negara (staatsidee) pada Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai perbandingan interpretasi frasa, Mahkamah Agung India dalam menafsirkan Pasal 21 Konstitusi India mengenai “hak untuk hidup” (right to life) dan “kemerdekaan pribadi” (personal liberty) menggunakan doktrin Public Trust yang erat kaitannya dengan aspek lingkungan hidup dan ekologi. Dalam putusannya disebutkan bahwa: 2 “The major ecological tenet is that world is finite. The earth can support and bear such quantity of pollution. When the pollutants exceed such quantity, the earth cannot bear. Hence the industries are not entitled to pollute the environment and cause danger to the people to live in the surroundings of the industries.”
2
R.K. Khitoliya, Environment Protection and the Law, A.P.H. Publishing Corporation, New Delhi, 2002, hal. 27-29.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, hak untuk hidup dan kemerdekaan pribadi dalam Konstitusi India ditafsirkan juga meliputi ‘right to a wholesome environment’. 3 Selanjutnya, walaupun hak untuk hidup dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dapat berdiri sendiri, namun adakalanya hak tersebut sangat berkaitan erat dengan norma konstitusi lainnya yang bersinggungan dengan lingkungan, yaitu norma “pembangunan berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan”. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan standar yang tidak hanya ditujukan bagi perlindungan lingkungan, melainkan juga bagi kebijaksanaan pembangunan, artinya: Dalam penyediaan, penggunaan, peningkatan kemampuan sumber daya alam dan peningkatan taraf ekonomi, perlu menyadari pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan derajat antar generasi, kesadaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat, pencegahan terhadap pembangunan yang desktruktif (merusak) yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan, serta berkewajiban untuk turut serta dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan pada setiap lapisan masyarakat. 4
Pembangunan bertemakan sustainable development sudah dilakukan di banyak negara yang telah menghasilkan berbagai kemajuan di berbagai bidang, baik bidang teknologi, produksi, manajemen ekonomi, pendidikan dan informasi yang kesemuanya itu telah meningkatkan kualitas hidup manusia. 3
Lihat misalnya Putusan Mahkamah Agung India pada perkara M.C. Mehta Vs. Kamal Nath, Ganga Pollution Tanneries, dan Rural Litigation Entitlement Kendra Dehradun Vs. State of U.P. 4
Alvi Syahrin, 1999, Pembangunan Berkelanjutan (Perkembangannya, Prinsip-Prinsip dan Status Hukumnya), Fakultas Hukum USU, Medan, hal. 27. Perhatikan juga, Koesnadi Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Edisi ke-7, Cetakan ke-14, Yogyakarta, hal 18-19.
Universitas Sumatera Utara
Hukum lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda yang perkembangannya baru terjadi pada dua dasawarsa akhir ini. Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan tersebut tergantung daripada apa yang dipandang sebagai “environmental concern”. 5 Menurut Siti Sundari Rangkuti, bahwa “hukum lingkungan sebagai hukum yang fungsional yang merupakan potongan melintang bidang-bidang hukum klasik sepanjang berkaitan dan/atau relevan dengan masalah lingkungan hidup”. 6 Artinya, hukum lingkungan mencakup aturan-aturan hukum administrasi, hukum perdata, hukum pidana dan hukum internasional sepanjang aturan-aturan itu mengenai upaya pengelolaan lingkungan hidup. Pencakupan beberapa bidang hukum ke dalam hukum lingkungan berdasarkan pemikiran para pakar ekologi, bahwa “masalah lingkungan harus dilihat dan diselesaikan berdasarkan pendekatan menyeluruh dan terpadu”. 7 Rasa peduli terhadap lingkungan di dunia ini telah lama dirasakan, namun secara hukum baru dimulai dengan adanya konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm pada bulan Juni 1972. Pada akhir sidang, yaitu pada tanggal 16 Juni 1972, Konferensi mengesahkan hasil-hasilnya yang berupa: 8 (a) Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia, terdiri atas: Preamble dan 26 asas yang lazim disebut Stockholm Declaration. 5
Koesnadi Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, hal. 39 6 Siti Sundari Rangkuti, 1996, Alvi Syahrin, 1997, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Fakultas Hukum USU, Medan, hal. 1. 7 Takdir Rahmadi, Munadjat Danusaputro, 1981, Hukum Lingkungan, Buku I Umum, Binacipta, Bandung, hal. 36. 8 Koesnadi Hardjasoemantri, op. cit, hal. 8-9.
Universitas Sumatera Utara
(b) Rencana aksi lingkungan hidup manusia (Action Plan), terdiri dari 109 rekomendasi termasuk didalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia. (c) Rekomendasi
tentang
kelembagaan
dan
keuangan
yang
menunjang
pelaksanaan rencana aksi tersebut diatas, terdiri dari: (i) Dewan pengurus (Governing Council) program lingkungan hidup (UN Environment Programme - UNEP); (ii) Sekretariat yang dikepalai oleh direktur eksekutif; (iii)Dana lingkungan hidup; (iv) Badan koordinasi lingkungan hidup Dalam suatu resolusi khusus, Konferensi yang menetapkan tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup sedunia”. 9 Meskipun bangsa Indonesia telah sadar perlunya pengelolaan lingkungan hidup bagi kelestarian lingkungan hidup di Indonesia, namun secara nyata baru dilakukan pada tahun delapan puluhan. Pada tanggal 25 Februari 1982 Rencana Undang-Undang Lingkungan Hidup disahkan, yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup (Lembaran Negara RI Nomor 12) selanjutnya disingkat dengan UULH. Pada tanggal 19 September 1997 UULH dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (Lembaran Negara tahun 1997 Nomor 68 dan tambahan lembaran Negara No 3699) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan UUPLH) dengan alasan antara lain UULH perlu disempurnakan. 9
Koesnadi Hardjasoemantri, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
Dan pada tahun 2009 bulan Oktober lahirlah Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan UUPPLH) dengan tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059. Adanya pergantian UUPLH dengan UUPPLH, secara filosofis UUPPLH memandang dan menghargai bahwa arti penting akan hak-hak asasi berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara. 10 Munculnya konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1974 oleh Rene Cassin dalam perkembangannya memasukkan juga hak atas lingkungan yang sehat dan baik (the right to a healthful and decent environment). Hal ini dilatarbelakangi adanya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran industri) yang sangat merugikan perikehidupan masyarakat. Secara implisit perlindungan dan fungsi lingkungan hidup telah dinyatakan dalam instrumen hak asasi manusia, International Covenant on Economic, Social and Culture Right (ICESCR), namun pengakuan secara eksplisit hak atas lingkungan hidup yang sehat (right to a healthy environment) dimulai dalam Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio sebagai non binding principle. Dalam berbagai konstitusi ditingkat nasional, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik telah diakui seperti halnya Konstitusi Afrika Selatan, Korea Selatan, Equador, Hungary, Peru, Portugal dan Philippines. 11
10
Penjelasan Umum butir 1 UUPPLH Kajian Polluter Pays Principle, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara, 2010, hal. 14 11
Universitas Sumatera Utara
Untuk Indonesia, pertama kali hak atas lingkungan yang sehat dan baik diakui dalam sebuah UULH yang diganti dengan UUPLH. Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Di salah satu pasal pada Deklarasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,”setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. UUPPLH,
juga
memasukkan
landasan
filosofi
tentang
konsep
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi. Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan ke depan semakin kompleks dan syarat dengan kepentingan investasi. Persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya. Reformasi yang ingin dibangun pada UUPPLH, adanya era otonomi daerah, yang banyak memberi perubahan dalam hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu suatu landasan filosofi yang mendasar dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerahdaerah. Bukan rahasia lagi bahwa dengan otonomi daerah yang ditandai adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberi suatu kekuasaan pada raja-raja baru di daerah dengan membabat habis sumber daya alam kita, baik berupa hutan, tambang, perkebunan dan lain-lainnya. Semua itu tidak memperhatikan lingkungan dan dianggap lingkungan itu tidak penting.
Universitas Sumatera Utara
Secara garis besar, UUPPLH yang disahkan melalui rapat paripurna DPR RI pada tanggal 8 September 2009 terdiri dari 17 bab dan 127 pasal ini, meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Sebenarnya, dalam UUPPLH ada beberapa hal baru yang ditambahkan dan lebih banyak substansi dari UUPLH. Beberapa ketentuan baru yang terdapat dalam UUPPLH antara lain kewajiban penyusunan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan daerah ekoregion (kesamaan ciri wilayah geografis) serta penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) baik di tingkat pusat maupun daerah. UU-PPLH juga mengamanatkan kepada penyusun peraturan dan pemerintah untuk menyertakan aspek lingkungan hidup sebagai basis penyusunan peraturan perundangan dan anggaran. Baik Pemerintah maupun pelaku usaha wajib menyertakan aspek lingkungan dalam kebijakan maupun ekonomi. Beberapa aspek yang mendapat penguatan tersebut antara lain fungsi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pengelolaan perijinan, serta kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Negara Lingkungan Hidup (PPNS-KLH). Penguatan fungsi AMDAL meliputi peningkatan akuntabilitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan. Izin lingkungan merupakan prasyarat untuk mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan. Bahkan, Ijin Usaha/Ijin Kegiatan
Universitas Sumatera Utara
tersebut bisa batal demi hukum, bila izin lingkungan dicabut. Sedangakan semua izin pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh pejabat berwenang wajib diintegrasikan dalam izin lingkungan dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan UU tersebut. Penguatan fungsi penegakan hukum, terdapat pada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yaitu melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup. Sedangkan sanksi pidana diperluas, tidak hanya kepada pelaku kejahatan, tetapi juga pejabat terkait. Dalam UUPPLH diterapkan sanksi pidana seperti yang tercantum dalam pasal 98 - 115 berupa ancaman pidana kurungan minimal 1 tahun dan paling lama 15 tahun. Sedangkan denda minimal 500 juta dan maksimum 15 milyar. Dalam hal sistem hukum, pejabat pengawas berwenang untuk menghentikan pelenggaran seketika di lapangan. Peran masyarakat diberikan lebih luas dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta pengawasan pelaksanaannya. Hal ini terlihat dari keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL maupun penilaiannya seperti yang tercantum dalam pasal 26 dan 30. Selain itu, masyarakat juga dapat mengajukan gugatan atas pencemaran/perusakan lingkungan hidup serta gugatan atas kesalahan yang dilakukan pejabat berwenang. Penegakan hukum lingkungan sebagai suatu tindakan dan/atau proses paksaan untuk mentaati hukum yang didasarkan kepada ketentuan, peraturan perundang-undangan dan/atau persyaratan-persyaratan lingkungan. UUPPLH
Universitas Sumatera Utara
telah menegaskan 3 (tiga) langkah penegakan hukum secara sistematis, yaitu mulai dengan (i) penegakan hukum administratif, (ii) penegakan hukum perdata, dan (iii) penegakan hukum pidana dengan melakukan penyidikan atas tindak pidana lingkungan hidup. Hal lain yang baru diatur dalam UUPPLH adalah perihal penegakan hukum pidana. 12 Pada UUPLH, penegakan hukum pidana (hukum acara pidana) hanya berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP), khususnya perihal alat bukti yang secara terbatas (limitative) sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. 13 Dalam UUPPLH perihal pembuktian diatur secara khusus. 14 Kekhususan perihal pembuktian sebagaimana disebutkan dalam Bagian Kedua tentang Pembuktian Pasal 96 menyebutkan “Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; dan/atau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang12
Penjelasan UURI Nomor 32 Tahun 2009 “Penegakan hukum pidana dalam UndangUndang ini memperkenalkan... perluasan alat bukti...” 13 Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenal adanya 5 (lima) jenis alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 14 Pasal 96 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa dan/atau alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
undangan. Pada penjelasan Pasal 96 huruf f, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.
Daud Silalahi menyatakan bahwa 15: “salah satu tantangan yang dihadapi sistem penegakan hukum lingkungan Indonesia adalah masalah pembuktian karena mempersoalkan berbagai kepentingan dan telah merupakan salah satu masalah pokok dan mendasar dalam pelaksanaan hukum lingkungan yang baru. Masalah ini terkait dengan sifat teknis yang rumit, ragam disiplin ilmu yang terlibat dan syarat-syarat sahnya alat bukti dan kesaksian ahli serta peranan laboratorium.”
Menurut Lilik Mulyadi, dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/strafprocesrecht) pada
15
Perhatikan juga, Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, dalam Cahyono, ”Penerapan Sanksi Pidana Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan Hidup”, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV No. 294, Mei 2010, hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
khususnya maka aspek ‘pembuktian’ memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim 16 Selanjutnya dikatakannya bahwa: “Jika dikaji secara umum, ‘pembuktian’ berasal dari kata ‘bukti’ yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.” 17
Tujuan hukum acara pidana dalam pedoman pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana dideskripsikan sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menetukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukakan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” 18
Dalam Hukum Acara Pidana, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) bahwa alat bukti yang sah ialah:
16
Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, hal. 49-50. 17 Pendapat Soedirjo seperti dikutip Lilik Mulyadi dalam bukunya, 1985, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Penerbit CV Akademikia Pressindo, Jakarta, hal. 47. 18 Departeman Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit: Depkeh RI, Jakarta, 1982, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Alvi Syahrin mengatakan bahwa: ”Penegakan hukum lingkungan kepidanaan didasarkan kepada asas legalitas, baik aspek materiel maupun aspek formilnya. Kegiatan penegakan hukum lingkungan kepidanaan hanya sah bila substansi materiilnya didasarkan pada pasal-pasal pidana lingkungan hidup yang sebagian besar bertebaran di luar KUHP, dan kegiatan penegakan dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta berpedoman kepada Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.” 19
Asas legalitas ini dapat terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang berbunyi: suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dalam pembuktian perkara pidana lingkungan hidup telah ditambah alat bukti lain selain yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Alat bukti lain selain yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 berupa alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
19
Alvi Syahrin, 2009, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit Sofmedia,
hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca. Bukti dan alat bukti tidaklah sama. Bukti bukan alat bukti, namun alat bukti pasti merupakan bukti. Adanya alat bukti selain yang diatur dalam KUHAP inilah yang dijadikan dasar pemikiran untuk melakukan kajian dalam melakukan penelitian, disamping menguraikan tentang alat-alat bukti sebagaimana tertera dalam Pasal 184 KUHAP. Adanya ketidakharmonisan aturan perundangundangan yang satu dengan yang lainnya perihal alat bukti yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini. Pentingnya penelitian ini juga dilatarbelakangi Pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
B. Perumusan Masalah
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti antara lain sebagai berikut: 1. Bagaimana perluasan alat bukti yang terdapat dalam UUPPLH? 2. Mengapa terjadi perluasan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan? 3. Bagaimana peranan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang akan menjadi objek pembahasan dalam penelitian ini, maka tujuan yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui perluasan alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. 2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perluasan alat bukti. 3. Untuk mengetahui peranan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan.
D. Manfaat Penelitian Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang terkait, diharapkan memberikan manfaat
Universitas Sumatera Utara
yang berguna secara teoritis dan praktis. Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, penelitian ini bermanfaat untuk: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum pembuktian khususnya pemahaman tentang alat bukti secara umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan khusus dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan dan harmonisasi berbagai perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang alat bukti, yang secara khusus mengenai tindak pidana lingkungan di Indonesia; 2. Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum dari tingkat penyidikan (Penyidik Polri dan PPNS), penuntutan (Penuntut Umum), persidangan (Hakim), dan Advokat/Pengacara/Penasihat Hukum, serta aparat penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System) dalam menangani perkara tindak pidana lingkungan. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Hamrat Hamid, sebagai berikut: ”Pelaksanaan penegakan hukum lingkungan kepidanaan dalam praktek di lapangan bermula dari kegiatan pengumpulan bahan keterangan (penyelidikan), dilanjutkan dengan kegiatan penyidikan, Penuntutan,
Universitas Sumatera Utara
Putusan Hakim dan eksekusi putusan hakim, harus pula memperhatikan sifat-sifat khas dan kompleksitas dari suatu kasus lingkungan hidup. Karena itu, sesuai dengan asas pengelolaan lingkungan hidup, maka penegakan hukum lingkungan kepidanaan juga dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dengan aparat sektoral, terutama yang berwenang dalam bidang penerbitan izin, pengawasan, pemantauan lingkungan dan penegakan hukum lingkungan administratif.” 20
E. Keaslian Penelitian Untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya peneliti telah melakukan pemeriksaan pada beberapa judul penelitian/tesis, antara lain berjudul ”Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucuian Uang”, ”Analisis Yuridis Sistem Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)”, ”Proses Pembuktian Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Studi Kasus Pencemaran Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang)”. Judul penelitian sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak memiliki kesamaan substansi maupun permasalahan yang sama dengan judul yang diteliti oleh peneliti mengenai ”Kajian Alat Bukti Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Sistem Pembuktian Perkara Pidana Lingkungan”. Judul yang dipilih peneliti memiliki perbedaan yang mendasar yakni memfokuskan pada masalah
20
Pendapat Hamrat Hamid seperti dikutip Alvi Syahrin dalam bukunya, 2009, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit Sofmedia, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
”Alat Bukti Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Sistem Pembuktian Perkara Pidana Lingkungan”. Oleh karena itu, berdasarkan pemeriksaan judul-judul penelitian yang ada baik di perpustakaan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan yang berada di luar kampus Universtas Sumatera Utara serta di institusi lain mengenai judul ”Alat Bukti Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Sistem Pembuktian Perkara Pidana Lingkungan”, ternyata belum pernah dilakukan oleh peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa penelitian ini asli, murni, dan belum pernah
diteliti
oleh
peneliti
terdahulu
sehingga
peneliti
dapat
mempertanggungjawabkan hasil penelitian ini di sidang terbuka untuk umum.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1.
Kerangka Teori Kerangka teori merupakan bagian penting dalam penelitian ini, yang
dipergunakan sebagai pijakan ataupun pedoman dalam menata bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini. Kerangka teori ini merupakan pisau analisis untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang dirumuskan.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian hukum dalam rangka penulisan tesis ini penekanannya lebih kepada pembahasan mengenai alat bukti dalam rangka pembuktian perkara pidana lingkungan. Pada prinsipnya, teori hukum yang digunakan akan selalu dipengaruhi oleh hukum positif yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari sembarang macam prokonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya, rasionalistik yang ditandai oleh sifat peraturan yang prosedural. Dan dalam upaya mencari keadilan (searching for justice) bisa gagal karena terbentur dengan pelanggaran prosedural sehingga upaya itu dianggap lebih penting dari keadilan itu sendiri. Pemikiran di luar peraturan hukum dianggap sebagai out of legal thought (illegal). Dasar pemikiran di atas mencerminkan Teori Hukum Modern dengan prosedural hukum yang berlaku melekat di dalamnya sehingga keadilan dianggap telah diberikan dengan membuat hukum positif itu sendiri. Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) 21, adalah suatu teori antara sistem pembuktian rnenurut undang-undang secara positif dengan sistern pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif "menggabungkan" ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian 21
M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta hal. 277
Universitas Sumatera Utara
menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu terwujudlah suatu "sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif'. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakirn yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah rnenurut undang-undang. Berdasar rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-rnata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu "dibarengi" dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari uraian di atas, untuk rnenentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif. terdapat dua komponen: a.
pernbuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
b.
dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan bukti yang sah menurut undang-undang Dengan demikian, sistern ini rnemadukan unsur "objektif' dan "subjektif'
dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dorninan di antara kedua unsur tersebut. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak ada,
Universitas Sumatera Utara
tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya. ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat bukti yang sah rnenurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim "tidak yakin" akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguhsungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pernbuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, di antara kedua komponen tersebut harus "saling mendukung". Sepintas lalu pembuktian menurut undang-undang secara negatif, rnenempatkan keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Umpamanya. walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti menurut cara dan dengan alat bukti yang sah, pembuktian itu dapat "dianulir" atau "ditiadakan" oleh keyakinan hakim. Apalagi jika pada diri hakim terdapat motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi, dengan suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum, atas alasan hakim "tidak yakin" akan kesalahan terdakwa. Terbukti memang cukup terbukti secara sah. Namun sekalipun terbukti secara sah. hakim tidak yakin akan kesalahan yang telah terbukti tersebut. Oleh karena itu, terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum. Barangkali di sinilah letak kelemahan sistem ini. Sekalipun secara teoretis antara kedua komponen itu tidak saling dominan. tapi dalam plaktek, secara terselubung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan dapat
Universitas Sumatera Utara
melemparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang tangguh benteng iman dan moralnya, garnpang sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa. Akan tetapi, kita sadar. Di manakah dijumpai di dunia ini suatu sistem yang sempurna tanpa cacat. Bagaimanapun baik atau buruknya suatu sistem, semuanya tergantung kepada manusia yang berada di belakang sistem yang bersangkutan. Teori sistem pembuktian sebagaimana telah diuraikan di atas selanjutnya akan diperbandingkan dengan sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk menjawab sistem pembuktian mana di antara salah satu sistem tersebut yang diatur dalam KUHAP 22. Pembuktian merupakan suatu proses yang dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang diajukan ke pengadilan adalah benar atau tidak seperti yang dinyatakan 23.
2.
Kerangka Konsep
22
M. Yahya Harahap, Ibid, hal. 280. Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penerbit PT. Sofmedia, hal. 13. 23
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kerangka teori sebagaimana telah diuraikan di atas, maka perlu diuraikan definisi secara operasional untuk menghindari adanya penafsiran yang berbeda dalam pelaksanaan penelitian ini. 1.
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa 24.
2.
Evidence is something (including testimony, documents and tangible objects) that tends or disprove the existence of an alleged fact the bloody glove is the key piece of evidence for the prosecution 25.
3.
Evidence is the collective mass of things, esp. testimony and exhibits presented before a tribunal in a given dispute the evidence will show that the defendant breached the contract 26.
4.
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya 27.
24
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Penerbit CV. Mandar Maju, hal. 11. 25 Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, hal. 576. 26 Bryan A. Garner, 1999, Ibid, hal. 576 27 Pasal 1 butir 1 UU No. 11 Tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara
5.
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya 28.
6.
Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memproses,
mengumumkan,
menganalisis,
dan/atau
menyebarkan informasi 29. 7.
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya 30.
8.
Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi menyimpan,
mempersiapkan, menampilkan,
mengumpulkan, mengumumkan,
mengolah,
menganalisis,
mengirimkan,
dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik 31. 9.
Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat 32.
28
Pasal 1 butir 2 UU No. 11 Tahun 2008. Pasal 1 butir 3 UU No. 11 Tahun 2008 30 Pasal 1 butir 4 UU No. 11 Tahun 2008 31 Pasal 1 butir 5 UU No. 11 Tahun 2008 32 Pasal 1 butir 6 UU No. 11 Tahun 2008 29
Universitas Sumatera Utara
10. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka 33. 11. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang 34. 12. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik 35. 13. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik 36. 14. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik 37. 15. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi 38.
33
Pasal 1 butir 7 UU No. 11 Tahun 2008 Pasal 1 butir 8 UU No. 11 Tahun 2008 35 Pasal 1 butir 9 UU No. 11 Tahun 2008 36 Pasal 1 butir 10 UU No. 11 Tahun 2008 37 Pasal 1 butir 11 UU No. 11 Tahun 2008 38 Pasal 1 butir 12 UU No. 11 Tahun 2008 34
Universitas Sumatera Utara
16. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik 39. 17. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan 40. 18. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan 41. 19. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya 42. 20. Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya 43 21. Evidence is the body of law regulating the burden of proof, admissibility, relevance, and the weihgt, and sufficiency of what should be admitted into the record of a legal proceeding (under the rules of evidence, the witness’s statement is inadmissible hearsay that is not subject to any exception) 44.
G. Metode Penelitian
39
Pasal 1 butir 13 UU No. 11 Tahun 2008 Pasal 1 butir 14 UU No. 11 Tahun 2008 41 Pasal 1 butir 15 UU No. 11 Tahun 2008 42 Pasal 1 butir 16 UU No. 11 Tahun 2008 43 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Loc. Cit. 44 Bryan A. Garner, Loc. Cit. 40
Universitas Sumatera Utara
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah 45. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 46. Dalam pelaksanaan penelitian ini digunakan serangkaian kegiatan yang didalamnya merupakan proses sejak dari pengumpulan data, pengolahan data, analisis data sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan. Metode penelitian ini menjelaskan jenis penelitian, sifat penelitian yang dilakukan, sumber data yang diperoleh, teknik pengumpulan data, dan pengolahannya. 1.
Jenis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka pengumpulan data ditujukan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif) sebagai dasar hukum, oleh sebab itu penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengumpulan bahan-bahan hukum untuk diolah dan dianalisa berupa ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan alat bukti dan sistem pembuktian perkara pidana, khususnya pembuktian perkara pidana lingkungan.
45
Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Peneltian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1. 46 Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
2.
Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Dalam penelitian ini akan
dikumpulkan fakta-fakta dan gejala untuk selanjutnya dipaparkan berbagai permasalahan yang ada berkaitan dengan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan.
3.
Sumber Data Penelitian Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan data-data sekunder untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran secara konseptual yang ada kaitannya dengan objek yang sedang diteliti. Adapun sumber-sumber bahan hukum dalam penelitian ini sebagai berikut: a.
Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP beserta Penjelasannya, Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; b.
Bahan hukum sekunder, terdiri dari majalah Varia Peradilan, berbagai artikel dari
internet
seperti
hukumonline.com,
mahkamahagung.go.id,
mahkamahkonstitusi.go.id; c.
Bahan hukum tersier, terdiri dari berbagai kamus, antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia On Line, Black’s Law Dictionary;
4.
Tehnik Pengumpulan Data Menurut Bambang Sunggono 47: ”Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut adakan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.”
Oleh karenanya, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research (studi pustaka) dimana alat pengumpulan
47
Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, hal. 195-196.
Universitas Sumatera Utara
datanya adalah studi dokumentasi yang dilakukan dengan cara memilih data-data yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Data-data yang telah dipilih kemudian dipilah-pilah dengan cara mengkaitkannya dengan permasalahan yang sedang diteliti untuk selanjutnya dianalisa sehingga mendapatkan kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat terjawab.
5.
Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni
pemilihan teori-teori pembuktian, asas-asas hukum, peraturan perundangundangan tentang hukum acara pidana, undang-undang tentang transaksi elektronik yang berkaitan dengan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian dibuat sistematika pasal-pasal yang relevan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data dipilih dan dipilah untuk diolah, selanjutnya dianalisis secara deskriptif sehingga disamping akan menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, tetapi juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
Universitas Sumatera Utara