1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan imajinasi pengarang tentang peristiwaperistiwa yang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat, oleh karena itu karya sastra mengikuti perkembangan serta perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat. Adapun wilayah sastra meliputi kondisi manusia, yaitu kehidupan dengan segala perasaan, pikiran, dan wawasan (Tarigan, 1995:3). Jadi, uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra dikatakan sebagai
proses kreatif dari imajinasi
manusia yang mengemukakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat yang berasal dari perasaan, pikiran, dan wawasannya dan kemudian dituangkan dalam bentuk karya seni yang disebut karya seni sastra. Genre sastra terdiri atas prosa, puisi, dan drama. Novel merupakan salah satu jenis prosa yang di dalamnya terdapat peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya secara sistematis serta terstruktur. Hal ini sejalan dengan pemikiran Sudjiman (1988:55) bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang, menyuguhkan tokohtokoh, dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara terstruktur. Di antara karya sastra puisi dan drama, novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang
2
paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasanya umum digunakan dalam masyarakat (Ratna, 2004:335--336). I Wayan Artika adalah seorang sastrawan berasal dari Bali. Artika lahir di Batungsel, salah satu desa di Kecamatan Pupuan. Saat ini Ia bekerja di IKIP Negeri Singaraja. Menyelesaikan S2 di UGM untuk Ilmu-Ilmu Humaniora, tahun 2000. Disamping mengajar juga bekerja sebagai pekerja pendidikan di desa terpencil, dimulai di SD desanya yang disebut sebagai Batungsel Projek. Sebagai seorang sastrawan, dia cukup banyak menulis karya sastra berupa cerpen dan novel. Karyanya antara lain: Perempuan Senja (2004), Gringsing (2003), Operasi Cesar (2002), Ngaben (2002). Di antara karya sastranya, novel Incest yang paling menjadi perhatian. Lewat novel Incest yang bertemakan kembar buncing ini I Wayan Artika harus diadili oleh adat Jelungkap, karena tulisannya yang dianggap menceritakan aib desanya kepada masyarakat dan Artika harus membayarnya dengan dikeluarkan dari desa tersebut. Novel
Incest
menceritakan
kehidupan
masyarakat
Bali
yang
masih
mengagungkan kepercayaan terhadap adat. Dalam novel ini diceritakan nasib si kembar buncing, yaitu kembar laki-laki dan perempuan yang harus diasingkan karena dianggap sebagai aib desa setempat. Adat di sebuah desa di Bali menyebutkan bahwa lahirnya bayi kembar buncing merupakan aib bagi desa bersangkutan, karena itu bayi tersebut bersama orang tuanya harus diasingkan selama empat puluh dua hari dan harus menjalani upacara adat untuk membersihkan desa dari aib yang dibawa kembar buncing itu. Kembar buncing harus dipisahkan untuk menghapus kenyataan bahwa
3
pernah ada kembar buncing yang lahir. Namun pada akhirnya, adat akan menyatukan mereka kembali dalam sebuah pernikahan sedarah. Kembar buncing itu akan dinikahkan secara adat. Dalam penelitian ini novel Incest dijadikan objek penelitian, karena ceritanya mengungkapkan masalah-masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Masalah tersebut menyangkut dinamika sosial yang terjadi disebuah desa yang terdapat di Bali. Masalah-masalah tersebut meliputi: pertama, permasalahan sosial yang dialami oleh para tokoh. Kedua, karena dalam novel ini mengisahkan tradisi Hindu yang masih berpedoman pada zaman raja-raja Bali. Ketiga, dilihat dari sudut sisi, novel ini memiliki aspek kemasyarakatan, aspek kemasyarakatan di sini adalah aspek yang berhubungan dengan kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, seperti: etika pergaulan, kemanusiaan, dan budaya. Keempat, informasi dari Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Udayana, serta Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Yassin, novel Incest karya I Wayan Artika belum pernah dijadikan objek penelitian berupa skripsi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka masalah-masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah struktur novel Incest karya I Wayan Artika yang meliputi plot, latar, dan penokohan?
4
2. Bagaimanakah gambaran aspek sosiologi sastra dalam novel Incest karya I Wayan Artika? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum tujuan analisis ini yaitu a.
Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra yang diciptakan pengarang.
b.
Penelitian ini bertujuan menambah khazanah penelitian sastra, khususnya sastra Indonesia.
1.3.2 Tujuan Khusus Sesuai dengan masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini secara khusus bertujuan sebagai berikut. a.
Untuk lebih mengetahui struktur pada novel Incest karya I Wayan Artika yang meliputi plot, penokohan, dan latar.
b.
Untuk mengetahui aspek sosiologi dalam novel Incest karya I Wayan Artika.
1.4 Jangkauan Penelitian Keterbatasan sumber data dan waktu penelitian, menyebabkan penelitian terhadap novel Incest karya I Wayan Artika memfokuskan dan membatasi penelitian pada analisis struktur yang di dalamnya, meliput: plot, latar, dan
5
penokohan serta menjangkau aspek sosiologi yang terkandung dalam novel tersebut. 1.5 Kajian Pustaka 1.5.1
Penelitian Sebelumnya
Novel Incest sebelumnya pernah diteliti oleh Nita Handayani Hasan pada tahun 2007 seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret dengan kajian tinjauan antropologi sastra. Secara rinci Nita mengkaji relasi logis yang terjadi pada antarunit naratif dalam novel Incest untuk mengetahui makna perkawinan sedarah yang terjadi pada kembar buncing, pergeseran pekerjaan dari petani menjadi buruh pabrik, serta perjuangan seorang petani organik yang tetap mempertahankan profesinya sebagai petani dan pola berpikir masyarakat Jelungkap yang didapat melalui relasi logis antarunit naratif. Jadi yang membedakan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan adalah kajiannya. Pada penelitian yang akan dilakukan, novel Insect dianalisis dengan kajian sosiologi sastra. 1.5.2
Konsep Analisis Novel Incest ini merujuk pada beberapa istilah yang akan
menjadi pokok bahasan penelitian. Adapun istilah yang terkandung di dalamnya sebagai berikut. a. Sosiologi Sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat
6
manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi dan perasaan (Endraswara, 2008:79). b. Novel Incest adalah sebuah karya sastra yang dikarang oleh I Wayan Artika seorang putra Bali dan novel ini menceritakan kisah kembar buncing yang diperankan oleh Geo Antara dan Gek Bulan yang akhirnya mereka dinikahkan oleh adat setempat. 1.5.3 Teori Dalam suatu penelitian dan pengkajian ilmiah, teori merupakan salah satu komponen penting untuk mengungkapkan suatu gejala dan selanjutnya memprediksi hasil kajian tersebut. Demikian pula dengan penelitian ini, untuk dapat mencari hasil yang maksimal, digunakan suatu teori sesuai variable yang ingin dibahas. Analisis struktur merupakan langkah awal dalam menganalisis karya sastra karena tanpa analisis yang demikian keutuhan makna intrinsik tidak akan terungkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra (Teeuw, 1983:62). Analisis struktur bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan semua aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw,1984:135). Oleh karena itu, sebelum sampai pada analisis segi lain, analisis struktur dianggap sebagai pijakan awal analisis karya sastra. Struktur karya sastra menyarankan pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi secara bersama
7
membentuk kesatuan yang utuh. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur yang dimaksud seperti: penokohan, latar, plot, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2009:23). Sastra menampilkan kehidupan, sementara kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Sastra dapat menumbuhkan rasa sosial tertentu atau bahkan mencetuskan peristiwa tertentu. Sastra merupakan institusi sosial yang ditentukan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Dari asumsi ini maka lahirlah kajian sastra menggunakan pendekatan sosiologi yang disebut dengan sosiologi sastra. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh Damono (1979:2) disebut sosiologi sastra. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda dengan sosio sastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosio-kultural terhadap sastra. Sosiologi sastra merupakan suatu telaah sosiologis terhadap karya sastra (Semi, 1984:5). Soekanto (dalam Atmaja, 1987:5) mengatakan sosiologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan mempelajari prilaku sosial secara interpretatif supaya diperoleh kejelasan mengenai sebab-sebab, proses, efek. Sementara itu, istilah prilaku sosial diartikan sebagai kegiatan yang bertujuan bagaimana ditafsirkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi tersebut. Fugen membatasi sosiologi sastra sebagai cabang sosiologi umum yang objek dan metodenya adalah perilaku masyarakat, misalnya mengenai hubungan antar manusia (dalam Atmaja, 1987: 6). Maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak lepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa
8
pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial, artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat
tertentu
dan
menceritakan
kebudayaan-kebudayaan
yang
melatarbelakanginya. Sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Sosiologi sastra dalam pengertian ini mencakup berbagai pendekatan. Namun, semua pendekatan tersebut menunjukkan satu kesamaan perhatian terhadap sastra sebagai lembaga sosial, yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat (Damono, 1979 : 2). Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap studi sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan (Ratna, 2003 : 11). Sosiologi sastra sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antar sastra, sastrawan, dan masyarakat sangat penting karena sosiologi sastra tidak hanya membicarakan karya sastra itu sendiri melainkan hubungan masyarakat dan lingkungannya serta kebudayaan yang menghasilkannya. Pada gilirannya sosiologi sastra berasumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan pengarang sendiri ikut berada di dalamnya (Semi, 1993: 73). Sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Wellek dan Warren (1989 : 111) mengklasifikasikan masalah sosiologi sastra menjadi tiga. Pertama, sosiologi pengarang : yang memasalahkan tentang status sosial
9
ideologi, politik dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra : yang memasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan yang hendak disampaikan. Ketiga, sosiologi sastra: yang memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Adapun struktur novel Incest karya I Wayan Artika yang dianalisis terdiri atas unsur plot, latar, dan penokohan. Mengingat ketiga unsur inilah yang secara kontekstual berpengaruh dalam analisis sosiologi sastra. Sedangkan dalam menganalisis sosiologi sastra dalam novel Incest karya I Wayan Artika digunakan teori Wellek dan Warren (1989: 111) yaitu sosiologi karya sastra, yang memasalahkan tentang suatu karya sastra menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa yang hendak disampaikan. 1.6 Metode dan Teknik Penelitian Secara etimologi metodelogi berasal dari methodos, dan logos, yaitu filsafat atau ilmu-ilmu metode. Metodelogi dengan demikian membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah. (Ratna, 2009: 34-35) prosedur yang dimaksudkan tersebut terjadi sejak peneliti menaruh minat pada objek tertentu, menyusun proposal, membangun konsep dan model, merumuskan hipotesis, dan permasalahan, mengadakan pengujian teori, menganalisis data, dan akhirnya menarik kesimpulan. Dalam penelitian ini, mekanisme kerja yang diterapkan melalui tiga tahapan yaitu tahap metode dan teknik pengumpulan data, tahapan metode dan teknik analisis data, dan tahapan metode dan teknik hasil analisis data.
10
1.6.1
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam tahap pengumpulan data adalah studi pustaka.
Metode studi pustaka merupakan data yang dilakukan melalui tempat-tempat penyimpanan hasil penelitian, yaitu perpustakaan (Ratna, 2010:196). Data dalam penelitian adalah data kualitatif berupa kata-kata dan kalimat dalam novel Incest karya Wayan Artika. Setelah data diperoleh, dilakukan teknik lanjutan yaitu teknik membaca, simak, dan catat. Membaca dalam karya ilmiah dilakukan dengan cara memberikan perhatian yang benar-benar terfokus pada objek. Proses membaca dengan memberikan perhatian penuh terhadap objek umumnya disebut sebagai proses menyimak. Membaca dan menyimak tentu tidak cukup sebab kedua kegiatan masih terbatas sebagai proses yang sedang berlangsung. Setelah membaca dan menyimak dilanjutkan dengan mencatat (Ratna, 2010: 246). Sumber data dalam penelitian dari mana data itu diperoleh (Siswantoro, 2005:63). Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut: 1. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah sumber data asli, sumber tangan pertama dari peneliti. Sumber data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber data oleh penyidik untuk tujuan khusus. Sumber data primer dalam penelitian yang akan dilakukan ini adalah novel Incest karya I Wayan Artika
11
dengan jumlah dua ratus enam puluh enam halaman yang di terbitkan oleh Interprebook pada tahun 2008. 2. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh terlebih dahulu dikumpulkan oleh orang luar peneliti, walaupun yang dikumpulkan itu data asli. Selain itu data sekunder merupakan data yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan. Data sekunder membantu peneliti dalam menganalisis data primer dalam sebuah penelitian berupa buku-buku acuan dan data internet yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. 1.6.2 Metode dan Teknik Analisis Data Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode deskriptif analisis, yaitu menganalisis teks untuk mengetahui strukturnya kemudian digunakan untuk memahami lebih lanjut gejala sosial yang berada di luar karya sastra tersebut. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2004:53). Menurut Nazir (1988:63), metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, objek, set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa kini. Whitney (dalam Nazir, 1988:63), menyatakan metode deskriptif adalah sebuah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian ini mendasarkan pada karakter yang terdapat dalam data.
12
1.6.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Langkah terakhir adalah tahapan penyajian hasil analisis data dilakukan dengan pemaparan berupa penyajian yang bersifat informal. Metode informal menyajikan kaidah atau hasil penelitian secara verbalitas (menggunakan kalimat-kalimat) atau dapat dikatakan metode informal merupakan penyajian data (hasil analisis) terurai dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka-angka, bagan, atau statistik (Semi, 1993: 24). Sedangkan dalam teknik penyajian hasil pengolahan data digunakan teknik format skripsi dengan menggunakan Bahasa Indonesia ragam ilmiah.
13
BAB II ANALISIS STRUKTUR
2.1 Sinopsis Cerita terjadi di sebuah desa yang bernama Jelungkap. Sepasang suami-istri sedang berbahagia. Nama suami adalah Nyoman Sika dan istrinya, Ketut Artini. Mereka berbahagia karena dikaruniai sepasang bayi kembar yang manis. Namun Nyoman Sika tidak tersenyum lama, karena hal itu dianggap aib bagi desanya. Bayi kembar itu adalah bayi kembar berlainan jenis kelamin dan jika kelahiran ini terjadi di kalangan masyarakat kebanyakan, maka hal itu adalah aib desa. Keluarga bersangkutan menerima sanksi adat seperti upacara penyucian, pembuangan, dan pemisahan si kembar dari pasangannya. Nyoman Sika dan Ketut Artini menerima sanksi dari keputusan adat tersebut. Sika membesarkan hati istrinya dengan mengatakan bahwa mereka tidak bersalah karena tidak pernah meminta kelahiran bayi kembar buncing. Sanksi adat pertama yang harus dijalaninya, mereka harus dikucilkan selama 42 hari di Langking Langkau, yaitu sebuah gubuk bambu sederhana yang dibuat oleh masyarakat setempat. Hari-hari selama di Langking Langkau sangat membuat sedih Ketut Artini, ia menangisi anaknya. Di kala dingin menusuk tulang sewaktu menyusui anaknya Ia bercita-cita untuk membesarkan dengan kasih sayang dan menyekolahkannya ke tempat yang bagus. Impian-impian itu yang menyertai dia dan
14
suaminya selama masa pengucilan. 42 hari berlalu mereka kembali. Masih ada beberapa sanksi lagi yang harus diterima. Sanksi adat kedua, mereka harus melakukan upacara malik sumpah, yaitu suatu ritual yang harus dilakukan oleh keluarga yang melahirkan kembar buncing (berbeda jenis kelamin satu laki-laki dan satu perempuan). Upacara malik sumpah dilaksanakan dengan satu pernyataan dari masyarakat yang mengejutkan Nyoman Sika di tengah-tengah upacara yaitu memisahkan bayi kembar buncing tersebut. Sanksi adat yang ketiga, yaitu memisahkan bayi buncing. Inilah hal yang sangat berat, namun dengan patuh Nyoman Sika menjalankannya. Mereka akhirnya memberi nama bagi si kembar, yaitu Geo Antara bagi si bayi laki-laki, dan Gek Bulan untuk bayi perempuan. Geo Antara diserahkan kepada Gus Eka, sahabat dari Nyoman Sika untuk diangkat sebagai anak, sedangkan Gek Bulan tetap dalam asuhan Nyoman Sika dan Ketut Artini. Waktu pun berjalan. Setelah dewasa Geo Antara menempuh pendidikan di kota Denpasar, sementara Gek Bulan menempuh sekolahnya di kampung halaman. Tanpa disengaja mereka masing-masing melanjutkan perguruan tinggi yang sama yaitu Universitas Gadjah Mada. Geo Antara melanjutkan ke Jurusan Antropologi sedangkan Gek Bulan melanjutkan ke Jurusan Hubungan Internasional. Saatnya mereka kembali ke kampung halaman dan memberi karya dari hasil selama menempuh perkuliahannya. Geo Antara pulang kembali ke desanya, Ia
15
membuka perpustakaan buat anak-anak desa dan memberi pelajaran tambahan gratis. Di desanya, Geo Antara membagi ilmu yang telah didapatkannya selama menempuh pendidikan, dan ia berharap dengan ilmunya itu dapat memajukan dan memodernisasi Desa Jelungkap. Sedangkan Gek Bulan, kembali ke Desa Jelungkap bersama Komang Wiarsa, teman perkuliahan Gek Bulan. Mereka berdua berencana membuat pertanian organik, yaitu sebuah konsep yang tidak menggunakan pupuk kimia dalam mengolah lahan pertanian dan dengan idenya ini mereka berharap dapat memajukan Desa Jelungkap. Seiring berjalannya waktu, masyarakat masih menyimpan rahasia kelahiran bayi kembar berlainan kelamin itu. Tanpa disengaja Geo Antara dan Gek Bulan saling bertemu ketika mereka hendak menjalani rencana mereka masing-masing. Mereka saling mengenal dan tidak jarang Gek Bulan dan Geo Antara bertemu di suatu tempat untuk bertukar pikiran dan membahas rencana untuk memajukan desa mereka sehingga akhirnya tumbuh rasa cinta dari hati mereka masing-masing. Didorong rencana yang matang dari masyarakat Jelungkap bahwa mereka harus dinikahkan maka dinikahkanlah, Geo Antara dan Gek Bulan tanpa sepengetahuan dari kedua mempelai bahwa mereka pernah berada dalam satu rahim yang sama. 2.2. Analisis Struktur Sebelum membicarakan analisis sosiologi dalam novel Incest karya I Wayan Artika, maka struktur akan dianalisis terlebih dahulu sebab merupakan tugas prioritas
16
dan pekerjaan pendahuluan bagi peneliti sastra, struktur yang dianalisis meliputi tiga unsur, meliputi: plot, latar, dan penokohan. Analisis struktur merupakan prioritas dalam penelitian sebuah karya sastra. Dalam sebuah karya sastra selalu terdapat unsur-unsur yang menghadirkan karya sastra tersebut dan secara faktual selalu dijumpai pembaca. Keterpaduan unsur-unsur intrinsik itulah yang membuat terwujudnya sebuah novel. Masing-masing unsur tersebut menduduki fungsi dalam rangka menentukan makna unsur lainya. Teeuw (1984:135)
mengatakan
bahwa
prinsip-prinsip
analisis
struktur
bertujuan
memaparkan dan membongkar secermat, seteliti, semendetail, dan sedalam mungkin keterkaitan, aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan secara menyeluruh. Sejalan dengan itu, bahwa kebulatan makna intrinsik itu hanya dapat digali melalui keterpaduam unsur karya sastra itu sendiri (Teeuw, 1983: 61). Berdasarkan pendapat di atas, maka untuk sampai pada analisis sosiologi diawali analisis struktur novel Incest karya I Wayan Artika. 2.2.1 Plot Plot merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah novel. Wellek dan Warren (1989:285) menyebutkan bahwa plot sendiri dibangun sendiri dari unsur-unsur cerita yang lebih kecil yaitu insiden. Jadi dalam
17
menganalisi novel Incest karya I Wayan Artika digunakan lima tahapan. Menurut Nurgiyantoro (2009:149--150), plot dibagi menjadi lima tahapan, yaitu: 1) Tahapan Situation (penyituasian) berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahapan ini merupakan tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal; 2) Tahapan Generating Circumstances (pemunculan konflik) : masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Tahapan ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik pada tahap-tahap berikutnya; 3) Tahapan Ricing Action (peningkatan konflik) : konflik yang dimuncuklan pada tahapan sebelumnya mulai berkembang kadar intensitasnya. Peristiwaperistiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan; 4) Tahapan Climax (klimak) : konflik atau pertentangan yang terjadi pada tokoh mencapai titik intensitas puncak. Klimaks dialami tokoh utama; 5) Tahapan Denouement (penyelesaian) : konflik yang mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan dan cerita diakhiri. Pada tahapan situasion merupakan pengenalan tokoh-tokoh, peristiwa atau kejadian dalam novel. Pada tahapan ini berisikan pengenalan tokoh, gambaran fisik tokoh, latar, tentang tokoh utama.
18
Diceritakan Nyoman Sika dan Ketut Artini sedang berbahagia, mereka dikaruniai sepasang bayi kembar yang manis. Seperti pada kutipan berikut. Suatu masa ketika senja hari, orang-orang Jelungkap menerima kabar yang berbahagia, sepasang bayi kembar telah lahir di Jelungkap. Orangorang menyampaikan berbisik menyampaikan kabar tersebut (hlm. 43). Berita bahagia yang dialami Nyoman Sika dan Ketut Artini tidak bertahan lama, karena bayi yang mereka lahirkan merupakan bayi kembar buncing yang dianggap membawa aib bagi desa tempat mereka dilahirkan, yaitu Desa Jelungkap. Hal ini terlihat dalam kutipan. Sementara itu di rumah Nyoman Sika, kelahiran sepasang bayi buncing sama sekali tidak menjadi kabar menggembirakan... ...Nyoman Sika dan istrinya menyadari betapa saat ini orang-orang Jelungkap menuduh mereka sebagai pembawa bencana... (hlm. 44). Dalam menerima tuduhan masyarakat desa, sang istri yaitu Ketut Artini merasa sedih dan tidak percaya tentang musibah yang menimpa mereka, seharusnya mereka berbahagia telah dikarunia sepasang bayi yang manis. Namun Nyoman Sika dan keluarga berusaha tabah dan siap menerima sanksi dari adat Jelungkap. Berikut kutipannya. ...Ketut Artini merunduk. Air matanya masih merembes dan ia menarik nafas dengan satu tarikan yang lebih panjang. Air matanya kembali dan kembali berlinang fokus menatap sepasang bayi yang tergolek di ranjang ini. (hlm. 44). “Nyoman sika mencoba tersenyum menyaksikan sepasang bayi mereka yang menggerak-gerakkan tangannya. kita harus tabah, Tut...” (hlm.45).
19
Kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa bagian awal novel Incest karya I Wayan Artika cerita yang akan memunculkan tokoh utama dalam bagian-bagian berikutnya. Tokoh ini berhadapan dengan situasi kesedihan yang mendalam karena kelahiran kembar buncing dianggap membawa aib bagi desa tersebut. Bagian awal ini merupakan penentu atau dasar cerita, sehingga logis tidaknya cerita berikut tergantung pada bagian awal cerita. Plot berkembang menuju konflik. Pada tahapan generating circumsatnces, muncul beberapa peristiwa yang mengarah ke konflik. Cerita diawali dengan kelahiran sepasang kembar buncing yang dianggap membawa aib oleh desanya. Orang tua bayi tersebut berusaha berbesar hati dan siap menerima sanksi yang akan dijatuhkan oleh adat Jelungkap. Sanksi pertama yang harus dihadapi adalah mereka harus dikucilkan selama 42 hari di Langking Langkau. Hari-hari di Langking Langkau membuat sedih Ketut Artini, ia menangisi nasib kedua anaknya. Nyoman Sika memasuki gubuk bambu di Langking Langkau, disusul oleh Ketut Artini. Setelah secara bergantian bayi itu diberikan susu, mereka digolekkan di atas amben bambu yang hanya dialasi tikar klasa (hal.55). Dalam kutipan di atas Nyoman Sika telah memasuki gubuk bambu yang disebut dengan Langking Langkau. Nyoman Sika berjalan paling depan dengan menggendong bayi perempuan sedangkan istrinya yang bernama Ketut Artini berjalan di belakang Nyoman Sika dengan mengendong bayi laki-lakinya. Urutan ini berdasarkan waktu kelahiran bayi kembar buncing tersebut. Di dalam gubuk
20
pengasingan, air mata Artini tidak berhenti menetes, ia berpikir kelakuan apa yang telah ia perbuat pada masa silam sehingga mendapat sanksi adat seperti ini. Sebagai seorang suami, Nyoman Sika tidak berdiam diri, Nyoman Sika berusaha memberikan motivasi dan mengajarkan arti bersyukur kepada Artini walaupun ia sedang menjalani sanksi di dalam pengasingan. Berikut kutipannya. Air mata istrinya memang tidak lagi tampak. Nyoman Sika telah membangun rasa percaya diri istrinya bahwa mereka harus menyambut sepasang bayinya dengan suka cita, walaupun di pengasingan (hlm.59). Sanksi yang diterima sepasang bayi kembar buncing beserta orang tuanya tidak berhenti sampai di situ. Sanksi selanjutnya yang akan diterima adalah mereka harus melakukan upacara malik sumpah, yaitu suatu ritual upacara yang harus dilakukan oleh keluarga yang melahirkan kembar buncing tersebut. Biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan upacara malik sumpah begitu besar, tetapi dalam hal ini keadaan Nyoman Sika yang berkecukupan menyebabkan masyarakat Jelungkap tidak terlalu iba akan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk upacara tersebut. Hal ini dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Mendengar penjelasan awal Jero Mangku Utama, orang-orang yang hadir semuannya berdebar-debar membayangkan berapa ekor babi, ayam, dan itik yang harus dikeluarkan untuk upacara malik sumpah. Orang-orang Jelungkap tidak terlalu iba dengan ketentuan adat ini karena mereka mengerti bahwa keluarga Nyoman Sika pasti mampu menanggung. Untuk ukuran ekonomi di desa Jelungkap, Nyoman Sika memang keluarga yang berkecukupan” (hlm. 74). Sanksi adat yang ketiga, yaitu memisahkan kembar buncing. Ini merupakan sanksi terberat yang harus dijalankan Nyoman Sika dan Ketut Artini. Mereka harus
21
memilih satu di antara dua bayi kembar buncing tersebut. Sebelum pemisahan kedua bayi kembar tersebut, Sika dan Artini memberikan sebuah nama yang indah kepada kedua bayi malang tersebut. Geo Antara untuk bayi laki-laki dan Gek Bulan bagi bayi yang perempuan. Geo Antara diserahkan kepada Gus Eka dan Gek Bulan tetap dalam asuhan Nyoman Sika dan Ketut Artini. Terlihat dalam kutipan. “Memilih satu diantara kedua anak kita. Itulah yang akan kita pelihara. Dan, satunya lagi diberikan kepada orang yang jauh.”bli Nyoman,? Ketut Artini menangis. Sedih sekali ia. Beban yang mulai ringan sejak kemarin sejak usai sudah waktu empat puluh dua hari kembali datang”. (hlm.120). Konflik semakin memuncak, memasuki tahapan rising action. Dalam bagian ini terlihat tokoh utama melanjutkan kuliahnya dalam satu universitas yang sama yaitu Universitas Gadjah Mada. Geo Antara melanjutkan ke Jurusan Antropologi sedangkan Gek Bulan melanjutkan ke Hubungan Internasional. Berikut kutipannya. “Nyoman Sika dan Ketut Artini mengantarkan Gek Bulan, yang akan berangkat menuju Yogyakarta. Sesaat lagi bus Safari Darma Raya akan tiba. Di kota itu untuk waktu yang agak lama Gek Armini akan tinggal, untuk mengambil kuliah Hubungan Internasional atau HI” (hlm. 129). Kutipan di atas menggambarkan Ketut Artini dan Nyoman Sika sedang mengantar Gek Bulan yang akan menuju Yogyakarta untuk melanjutkan kuliahnya. Sedangkan Geo Antara yang diasuh oleh Gus Eka juga melanjutkan studi kuliahnya di Yogyakarta namun mengambil jurusan berbeda dengan Gek Bulan. Geo antara mengambil Jurusan Antropologi. Berikut kutipannya.
22
Yang jelas tahun ini, anak kita Geo Antara yang diasuh oleh Gus Eka pergi ke Yogyakarta mengambil Jurusan Antropologi sama-sama di UGM (hlm.132).
Setelah menempuh perkuliahan yang begitu panjang, kedua kembar buncing tersebut kembali ke desanya yaitu Jelungkap. Geo Antara pulang kembali ke desanya, ia membuat perpustakaan buat anak-anak desa dan memberikan tambahan belajar gratis sedangkan Gek Bulan kembali ke desanya dengan membawa ilmu yang didapatnya dari kuliahnya, ia berencana membuat pertanian organik, yaitu sebuah konsep yang tidak menggunakan pupuk kimia dalam mengelola lahan pertanian. Terlihat dalam kutipan. Kini di Jelungkap, perhatian mereka lebih banyak pada persoalanpersoalan desa ini. Bulan berencana akan mengembangkan pertanian organik dan untuk hal ini dia akan belajar kepada Komang Wiarsa (hlm. 162). Dalam kutipan di atas terlihat Gek Bulan berusaha membangun dan mengembangkan desanya dengan melakukan upaya pengolahan pertanian organik. Gek Bulan bekerjasama dengan Komang Wiarsa selaku teman kuliahnya ketika di Yogyakarta. Ilmu yang didapatkannya dari masa kuliah disalurkan ke masyarakat. Di sisi lain Geo yang juga ingin mengembangkan desa kelahirannya dengan membuka tempat belajar. Rumahnya dijadikan tempat berdiskusi dengan anak-anak desa setempat. Berikut kutipannya. Namun orang-orang masih bungkam. Bekal intelektualitas seorang pemuda menjelang 25 tahun ini, tampaknya, membuat mereka terdiam sejenak. Ada sejumlah kerja kecil yang kini dilakoni Geo Antara bersama
23
anak-anak desa yang sedang tumbuh. Rumahnya dijadikan tempat berkumpul dan belajar. Meski Geo Antara bukan guru, tapi persoalan persoalan diperbincangkan dan dianalisis (hlm. 35). Seiring berjalannya waktu masyarakat masih menyimpan rahasia tentang kembar buncing tersebut. Setelah masing-masing menempuh aktifitas yang begitu panjang di Desa Jelungkap, akhirnya waktu pun mempertemukan mereka. Hal ini terlihat dalam kutipan. Dibalik semak semak di sisi jalan ini yang di rimbuni bunga sungenge, warna kuning menyala, Jelungkap mengintip untuk pertama kalinya pertemuan antara Geo Antara dan Gek Bulan. Keterpaduan mereka hanya kesamaan cara pandang terhadap persoalan-persoalan untuk kemajuan Desa Jelungkap (hlm.157). Pertemuan untuk pertama kalinya terjadi antara Geo dan Bulan. Dalam kutipan di atas dengan kesamaan visi dan misi untuk membangun desanya diperbincangkan. Beberapa pertanyaan diajukan Geo terhadap Bulan dan sebatang rokok di selah jari-jari Geo serta secangkir kopi menemani perbincangan mereka berdua. Berikut kutipannya. “kapan meninggalkan Yogyakatra Gek?”tanya pertemuan.“aku lebih suka manggil kamu Bulan.”
Geo
diawal
“ya, aku juga lebih suka memanggil kau Geo.”Bulan menoleh kearah Geo, Geo menyalakan rokok dan bersiap minum kopi di mug.” Geo, kamu sadar ga?”Ada apa?”di tatapnya Bulan Garis mata mereka bertemu dalam satu titik lurus...” (hlm. 158). Pertemuan yang mereka alami secara terus menerus mengundang asmara di hati meraka masing-masing. Kisah percintaan mereka semakin memuncak ketika adat akan menyatukan mereka, hal ini menyebabkan adat tidak perlu bersusah
24
payah untuk menyatukan sepasang kembar buncing itu. Mereka bercinta. Terlihat dalam kutipan. “Geo duduk dihadapan Bulan. Bulan meraih tangan-tangan subur Geo. “Geo, apakah ini berlebihan? Kata Bulan. Geo tersenyum. “Tidak. Kita harus jujur dan mengerti perasaan ini, yang datang bersamaan. Kita bertegun diluar-luar rencana akademik, ia datang, satu suasana yang menyatukan. Bulan, aku hanya perlu menikmati dan mengenangnya, dengan cara inilah aku pahami cinta” “Geo, ciumlah keningku!”pinta Bulan Waktu telah mereka mulai, Jelungkap menyaksikan dengan degup masa lalu yang jauh, melewati tahun-tahun yang panjang. Kekawatiran itu datang, dan Jelungkap mengerti seuatu telah dimulai hari ini, di kamar kerja ini, oleh Geo dan Bulan” (hlm. 191). Kutipan di atas menunjukkan kisah percintaan si kembar buncing tersebut. Pertemuan terus menerus yang mengundang asmara di hati mereka masing-masing. Dalam kutipan tersebut terlihat keharmonisan mereka berdua, Geo berada tepat dihadapan Bulan dan mereka saling berpegangan tangan. Geo mengungkapkan perasaannya dan Gek Bulan merespon dengan cara mengijinkan mencium keningnya. Perjalanan asmara mereka tidak luput disaksikan warga Jelungkap dengan degup masa lalu yang jauh. Selanjutnya konflik yang terjadi dalam diri Geo dan Bulan menuju tahapan klimaks. Klimaks dari konflik ini adalah terjalinnya asmara yang dialami kedua kekasih ini merupakan suatu yang begitu kebetulan, dan adat sudah menunggu bahwa suatu saat Geo dan Bulan akan dinikahkan. Berikut kutipannya.
25
Semakin sering Geo dan Bulan terlibat dalam diskusi yang sangat menyegarkan mereka. Mereka akrab. Sementara dibalik semak-semak desa, Jelungkap dingin, semua hanya diam, melihat, dan menunggu bahwa suatu saat Geo dan Bulan akan dinikahkan (hlm.161). Pada tahapan terakhir denoument atau penyelesain dari cerita. Konflik telah mencapai klimaks mulai menurun ketegangan dan menuju penyelesaian. Pada bagian akhir cerita, sepasang kembar buncing yaitu Geo Antara dan Gek Bulan akhirnya dinikahkan oleh adat. Mereka melanjutkan kehidupannya di desa Jelungkap, tempat kelahiran mereka berdua. Pasangan tersebut menjalani hidup yang bahagia tanpa sepengetahuan bahwa mereka pernah berada dalam satu rahim yang sama. Jelungkap masih menyimpan rahasia-rahasia kembar buncing tersebut. 2.2.2 Latar Unsur latar dalam analisis fiksi sangat berperan penting, disamping unsur plot dan penokohan. Pelukisan latar dapat menjadikan cerita terasa lebih hidup dan memberikan lukisan yang jelas mengenai peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, serta aspek sosial yang melatarbelakangi lahirnya sebuah cerita. Latar atau setting disebut juga landasan tumpu, menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2009:216). Berdasarkan pandangan di atas maka pembicaraan latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: tempat, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam masyarakat. Masing-masing dari ketiga unsur menawarkan permasalahan yang
26
berbeda dan dapat dibicarakan secara tersendiri, namun pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Nurgiyantoro, 2009:227). 2.2.2.1 Latar Tempat Latar tempat menunjukakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempattempat dengan nama tertentu (Nurgiyantoro, 2009:227). Tempat terjadinya peristiwa dalam novel Incest karya I Wayan Artika meliputi desa Jelungkap dan Yogyakarta. Dalam desa Jelungkap terlihat fokus beberapa latar yang meliputi Pura Desa, Tibun Jawen, Batu Ringgit, kecamatan Jungjang dan depan Pasar. Suasana tempat terlihat tampak jelas pada kutipan. Pagi ini Jelungkap bangun bersamanya. Telapak tangannya yang dihadapkan ke tungku dapur memberi panas bagi tubuhnya. Dengan panas itu Putu Geo Antara mengusir dingin kawasan Batu Ringgit yang menyisakan embun didaun kopi dan membasahi perkebunan (hlm.29). Kutipan di atas menggambarkan ketika pagi hari di desa Jelungkap. Suasana dinginnya di kawasan Batu Ringgit membuat Geo Antara berusaha mendekatkan diri pada tungku dapur yang dapat memberikan kehangatan pada tubuhnya. Setiap kali orang-orang Jelungkap bertemu dengan Putu Geo Antara, pikiran mereka terbayang kepada masa 25 tahun silam. Suatu masa, ketika senja hari, orang-orang Jelungkap menerima kabar yang tak terduga, lewat suara kulkul, bahwa sepasang bayi kembar buncing lahir di Jelungkap” (hlm. 43).
27
Suasana yang dilukiskan oleh pengarang dalam kutipan diatas adalah ketika kelahiran sepasang bayi kembar buncing yang bernama Geo antara dan Gek Bulan di Desa Jelungkap. Diantar mereka, di pelataran Pura Desa ini, yang paling tajam sorot matanya tengah berdiam di dua titik. Kedua hati mereka tengah menyaksikan Nyoman Sika yang menjadi biang aib desa ini. Kedua titik itu membawa dendam (hlm.77). Kutipan di atas menggambarkan latar di Pura Desa dimana warga Jelungkap akan mendengar sanksi apa yang akan dijatuhkan untuk Nyoman Sika beserta keluarganya. Pura Desa menjadi saksi bisu ketika upacara malik sumpah dilakukan. Upacara ini dilaksanakan untuk menetralisir aib yang dibawa bayi kembar buncing tersebut. Bagian inilah yang paling berat. Apa yang terjadi di Pura Desa barangkali tidak secara mudah orang-orang Jelungkap kalah dan menyerahkan masa lalu adat mereka untuk masa kini dan masa depannya. Dia tergolek tanpa bisa mengerti apa yang diperjuangkan oleh ayahnya saat ini di pelantaran pura desa ketika masa lalu Jelungkap kembali dalam upacara malik sumpah.” (hlm.117). Dalam kutipan di atas melukiskan suasana Pura Desa di Desa Jelungkap yang begitu mencekam menanti berita sanksi-sanksi yang akan diterima selanjutnya oleh keluarga Nyoman Sika. ... di Kota Yogyakarta untuk waktu yang agak lama, Gek Bulan akan tinggal untuk mengambil kuliah Hubungan Internasional atau HI, di Universitas Gadjah Mada. Betapa bangganya Nyoman Sika terhadap anaknya, apalagi Ketut Artini yang begitu menginginkan anaknya melanjutkan kuliah di luar daerah (hlm.129).
28
Dalam kutipan diatas terlihat Yogyakarta sebagai latar ketika Gek Bulan melanjutkan kuliahnya yang mengambil Hubungan Internasional atau HI di salah salah satu Universitas ternama yaitu Gadjah Mada. 2.2.2.2 Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2009:230). Latar waktu yang terlihat dalam novel ini ialah diperkirakan sekitar 25 tahun silam. Latar waktu tersebut dikaitkan dengan perjalanan hidup tokoh yang ada pada novel. Diceritakan 25 tahun silam sepasang bayi kembar buncing terlahir di rumah keluarga Nyoman Sika. Orang-orang desa Jelungkap hanya bertutup mulut dengan kejadian itu. Mereka berpikiran bahwa bencana akan datang bagi desanya. Berbeda dengan situasi di dalam kediaman Nyoman Sika . 25 tahun yang lalu Nyoman Sika begitu berbahagia melihat sepasang bayi manis yang tertawa lepas di atas ranjang mereka. Kebahagiaan itu akan sirna ketika dia mengetahui bahwa beberapa sanksi dari adat akan menimpanya. Hal ini terlihat dalam kutipan. Setiap orang Jelungkap bertemu dengan Putu Geo Antara, pikiran mereka terbayang pada masa 25 tahun silam. Suatu masa, ketika senja hari, orang-orang Jelungkap menerima kabar yang tidak terduga, lewat suara kulkul, bahwa sepasang bayi kembar buncing telah terlahir di Jelungkap. Orang-orang Jelungkap berbisik menyampaikan dan sekaligus menyimpan kabar buruk itu (hlm. 43). Doa itu barang kali akan mengantarkan sepasang bayi kembar buncing yang dua hari lalu dilahirkan bisa menikmati udara Jelungkap yang sejuk.
29
Dan ketika agustus tiba, mereka akan bermain dengan bunga-bunga kopi yang harum (hlm.45). Selain latar waktu yang dalam kutipan di atas, pengarang juga mencantumkan suasana ketika pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari dalam novel Incest. Berikut penjelasanya. A. Suasana pagi digambarkan pengarang sebagai berikut. Pagi ini, Jelungkap memang sangat dingin. Ada sayong kelabu muda yang disebarkan angin. Gerimis tiba dalam untaian lembut lunglay seperti untai-untai serat kapas yang terpintal atau jerami-jerami padi yang tua pucat di tengah musim (hlm. 30). Selain itu, suasana pagi yang dilukiskan pengarang di tempat yang berbeda, dapat dilihat dalam kutipan berikut. Pagi ini di Pura Desa, Pemangku Utama mengumumkan apa yang akan dikerjakan oleh orang-orang Jelungkap karena tiga hari lagi masa pembuangan Nyoman Sika akan berakhir di Langking Langkau (hlm. 74). B. Suasana siang digambarkan pengarang sebagai berikut. Tepat pukul 12.00 mereka menepati sanksi adat. Bayi yang perempuan didekap oleh Nyoman Sika, berjalan paling depan (hlm. 53). Kutipan diatas dapat diketahui pengarang menggambarkan suasana yang terjadi pada siang hari. Hal ini ditandai dengan kata “pukul 12.00”.
C. Suasana sore dilukiskan pengarang sebagai berikut. Senja akan datang beberapa saat lagi. Orang-orang mulai melintas di Langking Langkau. Semuanya merunduk seperti tidak pernah tau apa yang terjadi (hlm. 62). Dari kutipan diatas dapat diketahui pengarang menggambarkan suasana yang terjadi pada sore hari. Hal ini ditandai dengan kata “senja akan datang”.
30
D. Suasana malam dilukiskan pengarang sebagai berikut. Malam itu Jelungkap diselimuti pertanyaan-pertanyaan. Semuanya tertuju pada keluarga Nyoman Sika (hlm. 48). Dari beberapa kutipan diatas penulis mengambil beberapa keadaan suasana yang terjadi pada pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari. Hal ini dilakukan untuk melengkapi latar waktu dalam penelitian ini. 2.2.2.3 Latar sosial Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro,2009:233). Latar sosial yang ditampilkan pengarang dalam novel ini adalah nilai spiritualitas dan moralitas menyangkut aspek adat istiadat, bahwa terkadang nilai tradisi yang bottom up lebih arif ketimbang nilai yang dibuat daripada struktur kenegaraan yang top down. Berikut kutipannya. Warga desa adat Jelungkap, untuk kelahiran buncing dikeluarga Nyoman Sika, adat kembali mesti dijalankan. Sehabis makan pagi, silakan pergi ke Langking Langkau, bekerja untuk membuat gubuk. Selama empat puluh dua hari, kita akan mengasingkan kembar buncing tersebut. Dingin dan ketus namun kharismatik. Di Rumah keluarga Nyoman Sika, hanya ada kebisuan dan kepasrahaan menerima adat, menantikannya. Mereka akan dibuang selama empat puluh dua hari di Langking Langkau. Tempat ini diakui oleh orang-orang Jelungkap sebagai bagian dari kuburan mereka. Mendengar namanya saja, orang-orang sudah merinding. Apalagi akan tinggal siang-malam empat puluh dua hari disini. Sementara itu orang Jelungkap harus melupakannya. Tidak boleh ada yang datang dan menjenguk, kecuali keluarga dekatnya. Secara adat, empat puluh dua hari itu, mereka lenyapkan atau dibunuh (hlm.51).
31
Nilai romantisme cinta, bahwa kembar buncing atau yang disebut Incest merupakan kelahiran saudara kembar yang memiliki kelamin yang berbeda. Di Desa Jelungkap kelahiran kembar buncing dianggap membawa aib buruk bagi desa dengan demikian keluarga maupun bayi kembar tersebut harus menjalani beberapa sanksi apa yang telah diberikan oleh adat dan ketika kelak dewasa nanti mereka akan dinikahkan oleh adat tersebut. Kedua bayi ini mungkin juga tahu, pernah hidup dalam Sembilan bulan dalam kandungan, hidup, secara biologis, dalam satu rahim yang sama. Kedua orang tua merekalah yang menganggap mereka saling kenal (hlm. 117). Adat memaksa kita agar kita hanya mengakui satu anak. Yang akan kita pilih sendiri. Biasanya yng dipilih adalah yang laki-laki. Karena nanti setelah mereka dewasa dan siap berumah tangga, mereka akan dikawinkan dan disini untuk sekali lagi adat akan menjalankan kuasanya. Selama itu Jelungkap telah menyiapkan satu rahasia. Jika ini dilanggar, maka yang bersangkutan dikutuk agar dia atau siapa saja dikeluarganya, kelak, juga akan melahirkan bayi buncing (hlm. 121). Dari penjelasan diatas menyatakan bahwa pernikahan sedarah sebenarnya representasi dari sikap cultural, bisa karena sistem yang patrilinier untuk menjaga keamanan desa dan menjaga nama baik desa setempat. 2.2.3 Penokohan Jones (dalam Nurgiyantoro, 2009:165) mendefinisikan penokohan adalah pelukisan gambaran jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Esten (1990:27) penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak-watak tokoh dalam sebuah cerita. Kriteria yang digunakan
32
untuk menentukan tokoh utama bukan frekuensi kemunculan tokoh itu dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita (Sudjiman, 1988:18). Tokoh dan perwatakan semestinya merupakan suatu struktur. Ia memilih fisik dan mental secara bersama-sama membentuk suatu totalitas prilaku yang bersangkutan. Segala tindakan dan perilaku yang bersangkutan merupakan jalinan hubungan kerja yang logis, walaupun apa yang dikatakan masuk akal itu mempunyai tafsiran yang relatif. Hubungan antara tindakan yang satu dengan tindakan yang lainnya dalam suatu prosa fiksi merupakan hubungan kausalitas sebagai hukum sebab akibat (Karmini, 2011: 19). Menurut Sayuti dalam (Wiyatmi, 2009:31) tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh karena itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya digambarkan secara alamiah. Arti tokoh-tokoh itu memiliki “kehidupan” atau memiliki derajat lifelikeness (seperti kehidupan). Pada hakikatnya alur dan penokohan dalam karya sastra tidak dapat diceritakan secara terpisah, sebab kedua unsur tersebut mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama di dalam karya sastra. Sebuah cerita tidak mungkin terbentuk apabila salah satu unsur dalam strukturnya tidak dipenuhi oleh karya tersebut.
33
Menurut Lagos Egri (dalam Sukada, 1987:62) mengatakan perwatakan seorang tokoh memiliki tiga dimensi sebagai struktur pokoknya, yaitu fisiologi, sosiologi, dan psikologi. Ketiga dimensi tersebut adalah unsur yang membangun perwatakan dalam sebuah karya sastra. Sesuai dengan fungsinya, tokoh dalam karya sastra dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu tokoh utama, tokoh sekunder, dan tokoh komplementer. Dalam novel Incest, yang menjadi tokoh utama adalah Geo antara dan Gek Bulan, tokoh sekunder adalah Nyoman Sika dan ketut Artini, sedangkan tokoh komplementer adalah Dodi Irawan, Gus Eka, Bidan Floren, Luh Wiratmi, Dalang Jingga, Bagus Dengkek, dan Komang Wiarsa. 2.2.3.1 Tokoh Utama Geo Antara dan Gek Bulan Secara sosiologis Geo Antara merupakan seorang pemuda yang hidup dalam rantauan sejak tamat SMA. Geo merupakan salah satu putra kebanggaan desa Jelungkap yang berhasil melanjutkan kuliah di salah satu Universitas ternama di Yogyakarta
yaitu
Gadjah
Mada,
Sehingga
masyarakat
Jelungkap
begitu
mengharapkan dirinya sebagai pembangun desa agar kedepannya Desa Jelungkap tidak dianggap sebagai sebuah Desa yang terpinggirkan. Sebagai putra Jelungkap yang berhasil melanjutkan kuliah di luar daerah ayah Geo Antara begitu bangga dan senang terhadap keberhasilan anaknya. Berikut kutipannya. “Tu, kamu biasa bekerja diproyek itu. Mungkin kamu bisa jadi managernya. Jadi, tepat sekali kan, kamu kan sarjana dan berpengalaman di
34
Yogyakarta. Wah, kamu akan jadi atasan kami-kami ini. Kau pasti maukan Putu?” “Itu sudah tentu karena Geo antara punya ijasah sarjana, sedangkan kita hanya tamatan SMP. Ya, kita harus bersyukur bisa jadi pegawai seorang tamatan luar daerah. Biar jadi tenaga kasar, sudak cukupkan?” kata-kata ini diucapkan oleh yang lain, seorang yang biasa dipanggil Dik Bagor. (hlm. 40). Selama pemisahan dengan saudara kembarnya, Geo diasuh oleh Gus Eka yang merupakan teman dari Nyoman Sika. Geo melanjutkan sekolahnya di daerah Denpasar dan melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta. Mendengar berita tersebut Nyoman Sika selaku ayah kandung dari Geo Antara merasa bangga dan berpuas hati setelah melihat anaknya Geo Antara sukses dalam pendidikannya. Berikut kutipannya. Yang jelas, tahun ini juga anak kita yang selama ini diasuh oleh Gus Eka pergi ke Yogyakarta untuk mengambil Jurusan Antropologi sama-sama di UGM”. “Bli Nyoman, anak kita cerdas, ya? Nyoman Sika cukup tersenyum mengomentari kata-kata Istrinya (hlm.132) Dalam kehidupan sehari-hari Geo Antara merupakan sosok pria yang mulia, dia mengajarkan remaja-remaja di desa untuk dapat membantu perekonomian Desa Jelungkap. Ilmu yang didapat dari perkuliahannya tidak semata-mata dipendam saja, namun ia salurkan kepada remaja-remaja desa Jelungkap. Hal ini terlihat dalam kutipan. Ada sejumlah kerja kecil yang kini dilakoni Putu Geo bersama anakanak desa yang sedang tumbuh. Rumahnya dijadikan tempat berkumpul dan belajar. Meski Geo bukan guru, tapi persoalan-persoalan diperbincangkan dan dianalisis (hlm. 35).
35
Pelukisan fisiologis tokoh Geo terlihat halnya laki-laki lain, artinya dia ditampilkan dalam keadaan normal dan tidak cacat. Pengarang hanya melukiskan fisik Geo sebagian saja, misalnya bentuk wajah, postur tubuh, dan tatto dalam tubuhnya. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. Kali pertama sejak senja di pancuran seperti ini, tato di dada kanannya tetap dilirik orang lain. Dia akhirnya berfikir bahwa hal itu sudah biasa. bahkan akhirnya lebih sering Putu Geo Antara menikmati mandi di pancuran ini dengan seratus persen telanjang (hlm. 154). Dari kutipan diatas belum ditunjukan fisik dari Geo secara detail. Hanya digambarkan tato yang berada di dada kanannya. Beberapa ciri-ciri fisik masih terlihat dalam kutipan selanjutnya. Berikut kutipannya. Toh cara mandi seperti ini menjadikan orang-orang Jelungkap tahu benar, bukan hanya nama atau ciri-ciri fisik umum seseorang, tetapi juga ciri-ciri lain yang lebih tersembunyi di tubuh seseorang, misalnya,tai lalat atau tompel dekat pusar seseorang. Dan, demikian juga orang-orang Jelungkap lebih mengenal Putu Geo sebagai laki-laki bertubuh tidak terlalu tinggi dengan tato kecil di dadanya. Tato itu akan menjadi sebutan dan identitas yang sangat kuat untuk dekenali dan dibedakan dengan yang lain di Jelungkap. Dihadapan cara-cara pengidentitasan seperti ini, Geo Antara tidak dapat menghindar. Ya, ikuti saja. Sedikit unik, dan memang hanya harus diterima dan di mengerti (hlm. 155). Pelukisan psikologi tokoh Geo terlihat ketika Geo lulus dari perkuliahannya lalu kembali ke Desanya. Dalam perjalanan hidupnya, Geo begitu keras memikirkan keadaan yang dialami Desa Jelungkap dan begitu berniat mengembangkan Desa dimana dia dilahirkan. Hal ini terlihat dalam kutipan Tatapan mata itu seperti berlalu ke masa lain yang jauh. Keputusan yang hanya dimengerti seorang diri. Putu Geo kembali ke Jelungkap tanpa
36
alasan yang jelas. Namun, selaku antropolog muda, Ia optimis, di desa ini akan bisa mengerjakan apa saja (hlm. 30). Disamping memiliki psikologi yang keras, Geo merupakan pria yang lebih suka menyendiri dalam memikirkan kemajuan Desanya. Di dalam kesendiriannya Geo tak lepas ditemani dengan sebatang rokok yang menurut dirinya dapat menyejukkan pikiran. Hal ini terlihat dalam kutipan , Geo meneguk kembali kopinya. Agak dingin sudah. Rokok telah dinyalakan beberapa menit yang lalu dan tersisa setengah, terselip diantara telunjuk dan jari tengahnya. Sebatang rokok berwarna putih tak lepas dari jemarinya ketika Geo hendak berpikir dan membayangkan masa depan desanya silam (hlm. 31). Di sisi lain Geo memiliki sifat cemburu terhadap teman dari Gek Bulan, karena sewaktu kuliah, Gek Bulan sempat dekat dengan Dodi Erawan. Namun Geo memiliki rasa percaya diri yang begitu tinggi, sehingga Geo yakin dirinyalah yang akan dipilih oleh Gek Bulan. Gek Bulan merupakan saudara kembar dari Geo Antara. Perbedaan Gek Bulan dengan Geo Antara adalah dalam melanjutkan hidupnya Gek Bulan diasuh oleh orang tua kandungnya yaitu Sika dan Armini sedangkan Geo merupakan anak yang diasuh oleh teman dari Sika yaitu Gus Eka. Dilihat dari sosiologinya Gek Bulan melanjutkan kuliahnya disalah satu Universitas di daerah Yogyakarta dan masuk pada Jurusan Hubungan Internasional. Selama masa kuliah Gek Bulan begitu disegani oleh teman-temannya karena dirinya
37
dianggap memiliki pikiran yang cerdas dan mudah bergaul. Hal ini terlihat dalam kutipan. Senja ini di depan Pasar Bajera, Nyoman Sika bersama istrinya, dan dua orang anaknya yang lain, mengantarkan Gek Bulan, yang akan berangkat menuju Yogyakarta. Sesaat lagi bus Safari Darma Raya akan tiba. Dikota itu untuk waktu yang agak lama, Gek Bulan Armini akan tinggal, untuk mengambil kuliah hubungan internasional atau HI, di Universitas Gadjah Mada (hlm. 129). Kini di Jelungkap, perhatian mereka lebih banyak pada persoalanpersoalan desa ini. Bulan berencana akan mengembangkan pertanian organik dan untuk hal ini dia akan belajar kepada Komang Wiarsa (hlm. 162).
Pelukisan fisiologis Gek Bulan terlihat sebagian saja, misalnya bentuk rambut atau warna rambut dan bibir Gek Bulan yang tanpa terpulas gincu, lebih tepatnya Gek Bulan memiliki wajah yang alami. Terlihat dalam kutipan. Gek Bulan menatap senja ini dengan bias sinar tersisa di rambut yang bercat merah. Bibirnya yang tidak terpulas gincu ungu tampak pucat karena Jelungkap hari ini sangat dingin (hlm. 144). Pelukisan psikologi Gek Bulan adalah perempuan yang baik dan mempunyai keperdulian yang tinggi terhadap desa Jelungkap. Gek Bulan memiliki rasa iba terhadap apa yang telah dilihatnya yang sedang terpuruk. Seperti halnya ketika Gek Bulan melihat keadaan situasi Desa tempat ia dilahirkan begitu terbelakang dan terpuruk. Orang-orang Jelungkap telah kehilangan harum bunga kopi, sejak beberapa musim yang lalu. Gek bulan bangkit. Pelan-pelan matanya yang sembab menatap pura. Barangkali telinganya hendak kembali menemukan
38
suara-suara masa lalu orang-orang Jelungkap diperapian purba, di Inggu (hlm. 175). Demi menyelamatkan Desanya, Gek Bulan selalu meminta pendapat dengan teman kuliahnya. Semua itu ia lakukan hanya untuk membantu perekonomian desa tempat ia dilahirkan. Hal ini terlihat dalam kutipan. Gek Bulan semakin antusias memperbincangkan lingkungannya tersebut, hal yang tidak asing lagi bagi perempuan ini karena itulah kesehariannya sejak menamatkan HI UGM di Yogyakarta, apalagi ia adalah aktifis lingkungan. Pasti masyarakat tidak diberi tahukan? (hlm. 150). Betapa terharunya Gek Bulan Armini. Di sebuah desa yang sangat terbelakang, ditemukan anak yang tidak pernah menikmati tradisi akademik dan tradisi kritis mandirinya, berbicara dengan jujur dan jelas sekali titik berdirinya (hlm. 151). Pada akhirnya Gek Bulan menaruh hati pada Geo Antara, pria yang pernah dilahirkan satu rahim dengan dirinya. Cerita cinta mereka pada akhirnya menuju ke pelaminan dan Gek Bulan bersama Geo Antara menjalani masa-masa bahagianya di Desa kelahirannya. “Geo,” desah lembut ini adalah bagian kelelahan Bulan dari hujamanhujaman waktu yang telah dimulai oleh Geo. “Sejak pertama aku temukan kamu di Jelungkap, di desa ini, aku mengerti bahwa inilah waktu bagiku untuk jatuh cinta. Namun, harus kualihkan karena aku semula mencoba tidak mau tahu” (hlm. 193). Dalam kutipan diatas disampaikan kisah percintaan Geo Antara dan Gek Bulan, dibalik kisahnya orang-orang Jelungkap masih teguh menyimpan rahasia mereka. Hingga pada akhirnya pernikahan sedarah terjadi. Beberapa permasalahan yang mereka alami tidak menutupi kegembiraan Geo dan Bulan karena pada akhirnya
39
Gek bulan dinyatakan positif hamil oleh Dokter Sahadewa. Air mata dari Gek Bulan tidak luput menemani kabar gembira tersebut. Berikut kutipannya. “Bu, ada berita yang sangat menggembirakan ibu. Selamat ya, ibu positif hamil, “kata Dokter Sahadewa kepada Bulan. Air mata Bulan menetes. Masih tersangkut di kelopak matanya. Kedipan berikutnya memecahkannya dan tumpah pelan ke pipi. Dipandangi dokternya. Kata Bulan terdengar sangat lemah dan mengupas perutnya yang mengupasi selimut. “Saya hamil Dokter?” Bulan tersenyum. “Geo sudah tau?”. „saat ini juga dia tau. Teman saya yang bertugas menyampaian kabar gembira ini” kata Dokter kepada Bulan. Bulan menangis terharu (hlm. 263). 2.2.3.2 Tokoh Sekunder Tokoh Sekunder Nyoman Sika Dilihat dari sosiologi tokoh Nyoman Sika adalah ayah dari Gek Bulan dan Geo Antara. Berikut kutipannya. Hal itu merupakan harapan Nyoman Sika selaku ayah dari Gek Bulan dan Geo Antara. Sedikit dia tampak menghibur. Mungkin seperti inilah setiap orang tua di Jelungkap berharap banyak kepada anak-anak mereka. Tetapi, banyak anak yang tidak mengerti harapan-harapan itu. Barangkali baru dipahami ketika anak-anak telah menjadi orang tua, mengambil peran itu dari objek menjadi subjek (hlm. 46). Nyoman Sika tersenyum menyaksikan sepasang bayi mereka yang menggerak-gerakkan tangan-tangannya. “kita harus tabah, Tut”. Ketabahan adalah bekal tanggung jawab kita dan dengan hal itu kita sanggup berdoa yang tulus agar anak-anak kita ini selamat(hlm. 45). Pelukisan fisiologi dari Nyoman Sika terlihat seperti laki-laki lainnya. Dia ditampilkan dalam keadaan normal dan tidak cacat. Pengarang menggambarkan sosok Nyoman Sika seorang laki-laki tampan, memiliki kulit yang bersih, dan rambut legam tertata rapi. Terlihat dalam kutipan.
40
Seorang laki-laki tampan, yang sendiri. Kulitnya bersih, bermata senyap putih seperti mata kelinci dikandangnya. Rambutnya legam tertata rapi. Pada bibir dan dagu itu tersisa warna biru dari tonggak-tonggak pendek rambut yang telah dicukur (hlm. 83). Dilihat dari psikologi tokoh Nyoman Sika memiliki sifat yang tegar. Nyoman Sika berusaha menutupi kesedihannya di depan istrinya ketika ia menerima berita bahwa anaknya terlahir kembar buncing dan dia tahu apa yang ia akan dapat bersama anak istrinya. Hal ini terlihat dalam kutipan : Nyoman Sika menyadari bahwa saat ini orang-orang Jelungkap tengah menuduh mereka sebagai pembawa bencana. Walaupun demikian, Nyoman Sika harus menyembunyikan apa yang ia rasakan , tak siap dituduh sebagai pembawa aib untuk Jelungkap. Selaku seorang suami muda, bagaimanapun ia harus tabah, menguatkan istrinya dan mensyukuri kelahiran kedua bayinya. “Jika benar kelahiran kembar buncing ini adalah aib, kita masih mungkin menyambut gembira kelahiran anak-anak kita,”pikirnya (hlm.44). Disamping sifat tegar yang dimiliki, Nyoman Sika selalu memberikan motivasi terhadap istrinya agar jangan terlalu bersedih ketika hendak menjalani sanksi dari adat yang didapat olehnya. Berikut kutipannya. Air mata istrinya memang tak tampak lagi. Hanya wajah itu murung. Nyoman Sika tengah membangun rasa percaya diri istrinya bahwa mereka berdua harus menyambut sepasang bayi dengan rasa suka cita, walaupun dipengasingan. Kemampuan Nyoman Sika berfikir logis memberinya kekuatan untuk mengatasi dan melewati masa pengasingan ini, terutama dari tuduhan adat bahwa bayi buncing yang dilahirkan oleh istrinya adalah noda bagi Jelungkap. Baginya, yang paling penting untuk saat ini adalah meyakinkan istrinya, agar ia tidak terbebani oleh tuduhan masa lalu. Cara pikir ini setidaknya meringankan tekanan dan sesal yang dipaksakan kepada istrinya (hlm.59). Dalam kutipan diatas terlihat ketegaran dan kebesaran hati dari Nyoman Sika dalam melewati dan mengatasi permasalahannya. Sebagai kepala rumah tangga
41
Nyoman Sika berusaha memberikan motivasi terutama pada istrinya yaitu Ketut Artini agar tidak terlarut dalam kesedihan yang dialami. Baginya yang paling penting untuk meyakinkan istrinya agar tidak terbebani tuduhan masa lalu. Begitulah selayaknya seorang pria dalam menghadapi berbagai masalah. Nyoman Sika tetap tegar dan berusaha menghibur Ketut Artini. Tokoh Sekunder Ketut Artini Ketut Artini adalah Ibu dari Geo Antara dan Bulan Armini. Dalam pelukisan sosiologinya Ketut Artini merupakan istri dari Nyoman Sika. Ketut Artini membayangkan bagaimana anaknya itu nanti tumbuh subur. Mereka akan dibesarkan dengan kasih sayang sepasang orang tua yang terdidik (hlm. 61). Pelukisan fisiologi tokoh Ketut Artini tidak ditemukan sehingga tidak diuraikan. Dilihat dari psikologi tokoh Ketut Artini, merupakan tokoh yang begitu mudah meneteskan air mata dan tak bisa menutupi kesedihannya, disaat ia menyadari bahwa orang-orang Jelungkap tengah menuduh mereka sebagai pembawa bencana. Terlihat dalam kutipan. Istrinya menangis. Dikamar tidur sepasang bayi itu tergolek sehat dengan tatapan matanya yang damai sekali. Ni Ketut Artini menyadari betapa saat ini orang-orang Jelungkap tengah menuduh mereka sebagai pembawa bencana. Bencana untuk Jelungkap dan masa depannya. dan air matanya pun semakin memgalir tak terkedali (hlm. 44).
42
Dalam kutipan diatas Ketut Artini tidak kuasa membendung air matanya. Armini menyadari saat ini orang-orang Jelungkap tengah membicarakan mereka dan keluarganya sebagai pembawa bencana bagi desa setempat. Ketut Artini menangis. Berita ini menghancurkan harapan-harapannya yang telah di susun beberapa minggu yang lalu , disana pada malam yang seram itu, di Langking Langkau. Tiba-tiba Artini lupa dengan cerita-cerita untuk sepasang anaknya (hlm. 121). Kutipan diatas menggambarkan hati Artini yang terluka ketika dia mengetahui anak kembarnya harus dipisahkan satu dengan yang lain. Sebagai seorang Ibu air mata Artini terus mengalir membayangkan masa depan anaknya kelak, beberapa harapan-harapan yang disusun telah hancur. 2.2.3.3 Tokoh Komplementer Gus Eka, Bidan Floren, Dodi Irawan, Luh Wiratmi, Mas Tog-tog, Dalang Jingga, Bagus Dengkek, Komang Wiarsa Gus Eka Dilihat dari segi sosiologi tokoh Gus Eka adalah teman atau sahabat dari Nyoman Sika. Karena begitu dekatnya, maka Nyoman Sika mempercayai Gus Eka sebagai pengasuh anaknya yaitu Geo Antara. Berikut kutipannya. Untuk memulai pertama kali, agar Gus Eka memberi tahu apa sebenarnya, tentu sangat kita harapkan sebenarnya, ya mudah-mudahan saja. Yang jelas, tahun ini juga anak kita yang selama ini diasuh oleh Gus Eka pergi ke Yogyakarta untuk mengambil Jurusan Antropologi, sama-sama di UGM (hlm.132).
43
Dalam kutipan diatas terlihat Nyoman Sika mendapat informasi dari Gus Eka, bahwa anak yang diasuhnya yang juga merupakan anak kandung dari Sika melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta untuk mengambil Jurusan Antropologi. Dilihat dari fisiologi tokoh Gus Eka terlihat sebagian saja seperti warna kulit dan bentuk tubuh. Terlihat dalam kutipan. Gus Eka tidak tampak seperti siapa-siapa, hanya sebagian dirinya. Laki-laki berkulit putih bersih yang rajin mencukur kumis dan cambangnya, yang bersuara maskulin. Tubuhnya berotot lembut, pangkal lengan kanannya terselip tato mungil yang tidak berlebihan jika dibandingkan dengan warna kulitnya (hlm. 85). Dilihat dari sisi psikologi tokoh Gus Eka memiliki sifat yang baik dan mudah merasa iba terhadap orang lain termasuk Nyoman Sika. Berikut kutipannya. Malam ini Gus Eka melihat Nyoman Sika yang tengah jadi tontonan orang-orang Jelungkap. “kamu sedang diadili sekarang, aku begitu iba dengan mu dan dengan kejadian ini.” Dilihatnya Nyoman Sika tengah ditelanjangi orang-orang Jelungkap. Satu-satu pakaian dilepas sendiri. Tunduk dan tidak menolak. Melihat kondisi Nyoman Sika, Gus Eka hanya merunduk. (hlm. 84). Bidan Floret Dilihat dari sosiologis bidan Floret adalah seorang bidan desa yang membantu persalinan Ketut Artini ketika hendak melahirkan anak kembar buncing yaitu Geo dan Bulan. Hal ini terlihat dalam kutipan. Sempat ingat ucapan bahagia bidan Floret, untuk persalinan istrinya. “Pak Nyoman, selamat ya, kembar, laki-laki-perempuan, sekali melahirkan mendapat sepasang bayi. Sekali lagi selamat ya” (hlm. 53).
44
Dilihat dari fisiologi tokoh bidan Floren tidak begitu jelas sehingga tidak diuraikan. Dilihat dari psikologi tokoh bidan Floren merupakan sosok yang sangat baik. Bidan Floren begitu tulus memberikan selamat kepada Nyoman Sika atas kelahiran kedua anak kembar buncingnya, biarpun bidan tau bahwa musibah akan terjadi dalam keluarga Nyoman Sika beserta desa tempat tingganya. Hal ini terlihat dalam kutipan. Nyoman Sika ditengah perjalanan menuju Langking Langkau, sempat ingat ucapan bidan Floret, untuk persalinan istrinya. “Pak Nyoman, selamat ya, kembar laki-perempuan, sekali melahirkan mendapat sepasang bayi. Sekali lagi selamat ya.” Ucapan selamat ini tentu tidak penting atau sama sekali tidak ada artinya. Kembar buncing sama sekali bukan anugrah baginya apalagi bagi Jelungkap, kembar buncing adalah aib bagi Jelungkap, hukuman, dan mungkin kutukan dari masa silam, tapi Nyoman sika harus tetap menyambut ucapan selamat Bidan Floret yang tulus itu (hlm.53). Dalam kutipan diatas ditampilkan sosok Bidan Floren yang begitu perduli dengan keadaan yang dialami oleh keluarga Nyoman Sika. Bidan Floren memberikan ucapan selamat kepada Nyoman Sika karena telah dikaruniai sepasang bayi yang begitu lucu, namun ketulusan dari ucapan yang diberikan Bidan Floren tidak sematamata membuat Nyoman Sika berbahagia karena Sika sudah mengetahui sanksi apa yang telah menunggu bayi beserta keluarganya. Dodi Erawan Pelukisan psikologi Dodi memiliki sifat yang mulia, tapi dibalik semua itu Dodi memiliki rasa cemburu yang sangat tinggi, hal ini terlihat ketika Geo berusaha mendekati Gek Bulan.
45
Didesa ini, tanpa bayang-bayang cinta dan pernikahan, Dodi terpikat seseorang yaitu Bulan. Tiba-tiba ia harus merasa dekat dan jatuh cinta kepada Jelungkap. Dipikirnya Jelungkap yang bodoh, bukan hanya kesempatan untuk cari hidup, amalkan ilmu tetapi keberpihakan terhadap orang-orang Jelungkap. Ya, mereka yang sama-sama menghuni desa ini, tentu juga bersama perempuan cerdas yang diliriknya (hlm. 196). Dalam kutipan diatas terlihat perasaan yang optimis untuk mendapatkan hati dari Gek Bulan, tapi perasaan itu pupus ketika Dodi Erawan mengetahui bahwa Geo Antara juga mendekati Bulan, Dodi telah mengakui bahwa Geo lebih cocok dengan Bulan. Berikut kutipannya. Dodi terpukul oleh sesuatu yang tidak pernah singgah dibayangannya, diruang kerjanya ia tetap tampak biasa. Mau tidak mau, dia akui betapa Geo adalah seseorang yang telah mendahului langkahnya merebut hati Gek Bulan. Di bedeng lampu warna susu telah dinyalakan, kabut turun di lereng Batu Ringgi, badannya seperti menolak udara senja yang dingin(hlm. 198). Dilihat dari segi sosiologi tokoh Dodi Erawan tidak dilukiskan, sehingga sosiologi disini tidak diuraikan. Pelukisan fisiologi tokoh Dodi Erawan terlihat sebagian saja, misanya warna kulit, tinggi badan dan rambut berikut kutipannya. Di tanahmu yang dingin dua tubuh laki-laki tergolek. Warna kulitnya hampir sama, bersih berbulu halus dilengan. Kliatannya kira-kira tiga Cm Dodi lebih tinggi daripada Geo. Rambut Dodi rapi sekali, dicukur pendek, memperlihatkan warna putih kulit kepalanya (hlm. 181). Tokoh Luh Wiratmi, Mas Tog-tog, Dalang Jingga, Bagus Dengkek, Komang Wiarsa
46
Analisis tokoh komplementer di atas tidak dilakukan karena tokoh-tokoh tersebut hanya berfungsi untuk melengkapi insiden-insiden. Selain itu dimensi perwatakan tiap tokoh tidak diungkapkan secara lengkap. 2.2.4 Hubungan Antarunsur Struktur Analisis struktur sebuah karya sastra merupakan prasarana bagi studi manapun yang lebih lanjut. Pada esensinya pendekatan strukturalisme terhadap karya sastra tak lain dan tak bukan adalah usaha untuk mengeksplisitkan dan mensistematikkan sebaik mungkin apa yang dilakukan dalam proses pembaca dan memahami karya sastra (Teeuw, 1984: 154). Setelah ketiga unsur dianalisis, yaitu penokohan, plot, dan latar, ketiga unsur tersebut dikaitkan satu sama lain. Analisis struktur tidak hanya merinci unsur-unsur yang ada dalam karya sastra, melainkan mencari keterkaitan antara unsur penokohan, unsur plot, dan unsur latar. Unsur penokohan, plot, dan latar adalah unsur-unsur pembagi cerita. Dalam bagian ini, keterkaitan antarunsur dibahas satu persatu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui terjadinya konflik dalam novel Incest. Pada tahapan penyituasian, menceritakan di sebuah desa yang bernama Jelungkap sepasang suami istri sedang berbahagia karena telah dikaruniai sepasang bayi kembar yang begitu manis. Pada tahap ini tokoh-tokoh yang terlibat, antara lain: Nyoman Sika dan Ketut Artini. Latar tempat ada kejadian tersebut adalah Desa Jelungkap yang tepatnya berada di rumah keluarga Nyoman Sika. Latar waktu pada kejadian ini terjadi pada pagi hari. Pada tahap pemunculan konflik yang masih melibatkan latar desa Jelungkap, terlihat
47
terlihat ayah dari kembar buncing tersebut berusaha tabah dan berbesar hati, karena bayi kembarnya dianggap akan membawa aib bagi desa setempat dan beberapa sanksi sudah disiapkan oleh adat setempat untuk dapat menetralisir aib yang dibawa kembar buncing tersebut. Tokoh yang terlibat dalam tahap ini adalah Nyoman Sika, Ketut Artini, Warga Jelungkap, serta Bayi Kembar tersebut. Konflik semakin memuncak memasuki ricing action (peningkatan konflik). Setelah beberapa permasalahan dialami keluarga Nyoman Sika mulai dari pengasingan di gubuk bambu yang bernama Langking Langkau hingga pemisahan bayi kembar tersebut, sekarang kembar buncing yang bernama Geo Antara dan Gek Bulan tersebut akan melanjutkan kuliahnya disalah satu universitas yang sama. Geo Antara melanjutkan ke jurusan Antropologi sedangkan Gek Bulan melanjutkan ke jurusan Hubungan Internasional. Dalam tahap ini tokoh-tokoh yang terlibat adalah kedua kembar buncing tersebut yakni Geo Antara dan Gek Bulan. Latar tempat yang ditampilkan adalah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahapan konflik, pertentangan yang terjadi pada tokoh mencapai titik intensitas puncak. Hal ini terlihat ketika sepasang kembar buncing tersebut kembali kampung halaman dan memberi hasil karya selama menempuh kuliahnya. Dalam ceritanya, Geo Antara membuka perpustakaan untuk anak-anak desa dan memberikan pelajaran tambahan gratis. Didesanya Geo membagi ilmu yang telah didapatkannya selama menempuh pendidikan dan Ia berharap dengan ilmunya itu ia dapat memajukan dan memodernisasi desanya, sedangkan Gek Bulan kembali kedesanya dengan membawa program untuk membuat pertanian organik dan dengan idenya ini
48
mereka berharap dapat memajukan desa Jelungkap. Seiring berjalannya waktu masyarakat masih menyimpan rahasia kelahiran bayi kembar berkelainan kelamin itu. Tanpa disengaja Geo Antara dan Gek Bulan saling bertemu ketika hendak menjalani rencana mereka masing-masing. Mulai dari sana mereka saling kenal dan tidak jarang Gek Bulan dan Geo Antara bertemu disuatu tempat untuk bertukar pikiran dan membahas rencana untuk memajukan desa sehingga akhirnya tumbuh rasa cinta dari diri mereka masing-masing. Dengan didorong rencana yang matang dari masyarakat Jelungkap maka dinikahkanlah mereka. Latar tempat terjadi di desa Jelungkap. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam tahap ini adalah Geo Antara, Gek Bulan dan anakanak desa Jelungkap. Pada tahapan penyelesaian hanya diceritakan pernikahan dari sepasang kembar buncing tersebut dan pernikahan Geo dan Bulan terjadi tanpa sepengetahuan dari kedua mempelai bahwa mereka pernah berdua berada dalam satu rahim yang sama. Tokoh yang terlibat adalah Geo Antara dan Gek Bulan. Demikianlah keterkaitan antara penokohan, plot, dan latar. Ketiga unsur inilah yang membangun cerita dalam novel Incest. Masing-masing tahapan cerita memiliki kekuatan untuk mendukung kelangsungan cerita. Peristiwa yang dialami masing-masing tokoh membuat alur cerita dalam novel Incest semakin menarik.
49
BAB III ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA NOVEL INCEST
Semi (1984:53) menyebutkan Sosiologi sastra merupakan suatu telaah sosiologis terhadap karya sastra. Fugen membatasi sosiologi sastra sebagai cabang sosiologi umum yang objek dan metodenya adalah prilaku masyarakat, misalnya mengenai hubungan antarmanusia (dalam Atmaja, 1987:6). Sosiologi sastra merupakan
pendekatan
terhadap
sastra
yang
mempertimbangkan
segi-segi
kemasyarakatan. Sosiologi sastra dalam pengertian ini mencakup berbagai pendekatan. Namun, semua pendekatan tersebut menunjukan satu kesamaan perhatian terhadap sastra sebagai lembaga sosial, yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat (Damono, 1979:2). Sastra diciptakan oleh masyarakat untuk dipahami, dinikmati, dan dimanfaatkan masyarakat (Semi, 1984: 52). Sastra merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa (Wellek dan Warren, 1989:109). Wellek dan Warren (1989:111) dalam klasifikasi masalah sosiologi yang dibuatnya, khususnya sosiologi karya sastra yang memasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan yang hendak disampaikan. Hal ini berarti unsur dalam sastra bersifat sosiologis, artinya norma yang dapat tumbuh dalam masyarakat.
50
Analisis terhadap unsur plot, latar dan penokohan novel Incest yang telah dilakukan sebelumnya, ternyata banyak sekali menimbulkan titik-titik terang tentang aspek sosiologi novel Incest ini. Keadaan semacam, ini tentu banyak membantu memuluskan kajian-kajian aspek sosiologi novel Incest yang akan dilakukan berikutnya. Keadaan ini memberikan semacam legitimasi terhadap pandangan Teeuw (1983:61) yang mengatakan bahwa, analisis struktural merupakan langkah prioritas sebelum melakukan analisis dengan pendekatan-pendekatan lain. Berikut ini novel Incest akan dianalisis sosiologi sastra yang meliputi aspek kemasyarakatan, aspek budaya, dan aspek moral. 3.1 Aspek Kemasyarakatan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) kemasyarakatan adalah perihal mengenai masyarakat (hlm.635). Aspek kemasyarakatan adalah aspek yang berhubungan dengan kejadian-kejadian sehari-hari dalam masyarakat seperti etika pergaulan, kemanusiaan, dan budaya. Aspek kemasyarakatan pada novel Incest terlihat jelas ketika di rumah keluarga Nyoman Sika menerima takdir lahirnya sepasang kembar buncing. Namun sang istri tidak kuat menahan air matanya, karena sang istri yang bernama Ketut Artini menyadari betapa orang-orang desa Jelungkap telah menuduh mereka sebagai pembawa bencana karena kelahiran bayi kembar buncing dianggap membawa aib bagi desa setempat. Hal ini terlihat dalam kutipan
51
Nyoman Sika dan Istrinya, Ketut Artini menyadari betapa saat ini orang-orang Jelungkap tengah menuduh mereka sebagai pembawa bencana. Bencana untuk Jelungkap dan masa depannya. ,meskipun demikian, Nyoman Sika harus menyembunyikan apa yang sesungguhnya ia rasakan, tak siap di tuduh sebagai pembawa aib untuk Jelungkap (hlm.44). Kelahiran kembar buncing itu mengundang perhatian masyarakat Jelungkap, karena dalam Desa Jelungkap bayi yang terlahir kembar buncing dianggap membawa malapetaka untuk desa. Untuk ini adat Desa Jelungkap siap memberikan sanksi kepada orang tua kembar buncing tersebut beserta sepasang bayinya. Besok pagi akan tiba dan ini menjadi hari yang berkata kepada keluarga Nyoman Sika. Adat Jelungkap telah siap satu sanksi. Harus. Ketika ini orang-orang Jelungkap bekerja demi adat yang telah dijalankan. Walaupun mereka sesungguhnya hanya buta dan jalan berfikir telah ditutup entah kemana (hlm.50). Warga desa adat Jelungkap, untuk kelahiram buncing di keluarga Nyoman Sika, adat kembali mesti dijalankan. Sehabis makan pagi, silakan pergi ke Langking Langkau, bekerja untuk membuat gubuk. Selama empat puluh dua hari, kita akan mengasingkankan sepasang bayi itu”. Dingin dan ketus. Namun kharismatik (hlm.51). Pernyataan diatas menunjukkan bahwa peristiwa yang dialami oleh keluarga Nyoman Sika menyebabkan masyarakat Jelungkap menganggap Nyoman Sika telah membawa aib bagi desa dan untuk menetralisir aib tersebut, Nyoman Sika beserta keluarga harus menjalani beberapa sanksi dan ritual yang diberikan pada dirinya dari adat Jelungkap. Di sisi lain terlihat tokoh Geo dan Bulan. Cerita ini terjadi terhadap tokoh Geo dan Bulan. Cerita ini terjadi ketika Geo telah menyelesaikan kuliahnya di perguruan tinggi Yogyakarta. Geo kembali ke desanya dan memberikan pendidikan kepada
52
anak-anak desa tentang apa yang ia dapat dari masa-masa perkuliahanya. Geo memberikan pendidikan kepada masyarakat agar ilmu yang mereka terima dapat sedikit membantu perkembangan dan perekonomian warga Jelungkap. Namun orang-orang masih bungkam. Bekal intelektualitas seorang muda menjelang 25 tahun ini, tampaknya, membuat mereka seperti diam sejenak. Ada sejumlah kerja kecil yang dilakonnya dalam masyarakat Putu Geo bersama anak-anak desa yang sedang tumbuh. Rumahnya dijadikan tempat berkumpul dan belajar. Meski Geo bukan guru, tapi persoalanpersoalan mengenai Jelungkap di perbincangkan dan di analisis (hlm. 35). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sikap yang ada pada Geo termasuk masalah sosial. Geo memberikan pendidikan gratis kepada masyarakat Jelungkap karena ia ingin melihat perkembangan desa yang sekarang sudah tertinggal dengan desa tetangganya. Di sisi lain masalah percintaan yang dialami Geo dan Gek Bulan menjadi perbincangan masyarakat. Masyarakat Jelungkap menginginkan hubungan yang mereka jalani tidak lepas sampai di situ, mereka akan dinikahkan oleh adat. Diluar perkiraan masyarakat Jelungkap, jalinan asmara mereka sudah tumbuh dan berjalan. Dengan ini masyarakat Jelungkap menjadi agak tenang dengan hubungan yang mereka jalani. Hal ini terlihat dalam kutipan Gek Bulan dan Geo tidak tahu, bahwa orang-orang Jelungkap tengah membicarakan dirinya. Percintaan mereka. Berkaitan rahasia yang harus dijaga oleh seluruh warga, selama pasangan kembar buncing itu hidup dan bahkan terhadap para keturunannya. Dengan demikian yang bersangkutan, khususnya sepasang suami istri terlanjur menikah antarsaudara mereka, tidak pernah tau bahwa diri mereka adalah bersaudara (hlm. 219).
53
Penjelasan diatas menunjukkan hubungan antara Geo dan Bulan yang semestinya dijodohkan oleh masyarakat akan tetapi karena atas dasar cinta diantara mereka masing-masing, menyebabkan warga Jelungkap tidak perlu bersusah payah menyatukan mereka kembali. 3.2 Aspek Moral Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro,2009:321). Menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2009:321) moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab petunjuk itu dapat ditampilkan atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampikkan dalam cerita lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya. Analisis aspek moral ini dilakukan bertolak dari asumsi dasar bahwa salah satu
tujuan
sastra
ditengah-tengah
masyarakat
pembaca
adalah
berupaya
meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk berbudaya. Sebuah karya sastra yang dinilai tinggi adalah karya sastra yang mengandung moral yang tinggi dan
54
dapat mengankat harkat dan martabat umat manusia. Karya sastra yang diciptakan pengarang tidak semata-mata mengandalkan bakat kemahiran berekpresi. Seorang pengarang melahirkan karya sastra karena ia juga memiliki visi, aspirasi, itikat baik, sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki nilai yang tinggi (Subagia, 2002:51). Semi (1984: 49) mengatakan bahwa karya sastra adalah medium yang paling efektif membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang dianggap tinggi oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Beberapa pendapat tentang moral di atas dapat disimpulkan bahwa moral merupakan hasil prilaku setiap tindakan manusia berdasarkan norma-norma etik yang baik dan luhur dalam lingkungan masyarakat. Ini berarti moral mempermasalahkan sifat yang baik dalam perilaku manusia sebagai hasil tindakannya. Akan tetapi, dalam kehidupan manusia sifat baik dan buruk sulit dipisahkan, untuk mengetahui sifat baik harus mempelajari sifat buruk, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian moral merupakan ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan (KBBI, 1989:665). Aspek moral yang terkandung dalam novel Incest mengutamakan tingah laku, sikap hidup manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya serta melaksanakan peranannya sebagai anggota masyarakat. Membicarakan tentang moralitas tentu saja tidak akan lepas dari metanlitas manusia dalam bentuk sebagai isi hati atau keadaan
55
perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan. Selanjutnya akan dipaparkan aspek moral yang terkandung dalam novel Incest. Tokoh Artini adalah sosok seorang Ibu yang begitu bangga dan bahagia melihat kelahiran anaknya, Nyoman Sika yang merupakan suami dari Artini juga dengan bangga meluapkan kebahagiaannya. Beberapa hayalan pun tak luput dari pikiran mereka maing-masing. Berikut kutipannya. Ketut Artini membayangkan anaknya tumbuh subur, mereka akan dibesarkan dengan kasih sayang oleh sepasang orang tua yang terdidik. Mereka akan dimasukkan TK, diajarkan bernyanyi dan bermain, menyekolahkan di SD dan belajar bahasa inggris. Keduanya akan dititipkan di Malang untuk masa SMU. Harapan dan hayalan ini mungkin bukan sebuah bualan karena Nyoman Sika termasuk keluarga yang kaya di Jelungkap (hlm. 61) Penjelasan di atas merupakan penggambaran sosok seorang Ibu yang begitu bangga dan bahagia melihat kehadiran anaknya, namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama, karena Artini melahirkan anak kembar buncing. Kelahiran tersebut dianggap membawa aib bagi desanya, sehingga kebahagian yang mereka rasakan lenyap seketika, karena keluarga tersebut harus menjalani beberapa sanksi yang dijatuhkan oleh adat. Hal ini terlihat dalam kutipan Istrinya menangis. Di kamar tidur, sepasang bayi itu tergolek sehat dan tatap mata yang damai sekali. Sika dan istrinya menyadari betapa saat ini orang-orang Jelungkap tengah menuduh mereka sebagai pembawa bencana. Bencana untuk Jelungkap dan kedepannya. (hlm. 44) Sepasang bayi ini masih tergolek di ranjang. Kasur empuk itu tak bisa dibawa. Di Langking Langkau mereka hanya tidur beralaskan tikar, di atas amben bambu. Mereka tidak tau, apa yang sedang menyambut kelahirannya.
56
Sanksi adat. Mereka tidak tahu bahwa ibu mereka tengah bersedih karena kelahiran mereka adalah aib bagi Jelungkap (hlm. 52). Penjelasan di atas menggambarkan moral seorang ibu yang begitu perduli kepada anaknya. Sang ibu merasa iba karena bayi yang baru dilahirkan yang tak bersalah tersebut sudah siap dijatuhan sanksi oleh adat dan sanksi yang mereka jalani dianggap cukup berat untuk bayi seusia mereka. Di sisi lain moral baik yang ditunjukkan oleh tokoh utama ketika Geo memberikan pendidikan gratis kepada masyarakat desanya. Hal mulia tersebut dilakukan Geo untuk dapat menunjang ekonomi desanya yang diangap pada saat itu masih tertinggal dengan desa yang berada di daerah tersebut. Semua hal yang dilakukan Geo semata-mata hanya untuk desanya dan kemajuan pemikiran masyarakat desanya. Sikap baik Geo disambut dan diterima baik oleh masyarakat Jelungkap. Berikut Kutipannya. Bekal intelektualitas seorang pemuda menjelang 25 tahun ini, tampaknya membuat mereka diam sejenak. Ada sejumlah kerja kecil yang dilakoni Geo bersama anak-anak desa yang edang tumbuh. Dengan iklas rumahnya dijadikan tempat berkumpul dan belajar. Meski geo bukan guru namun persoalan-persoalan di perbincangkan dan dianalisis (hlm. 35). Di sisi lain terlihat salah satu moral yang baik yang terlihat pada diri Gek Bulan yang dalam cerita ini ia bersedia membagi ilmunya untuk memajukan desanya. Bulan begitu prihatin akan keadaan desanya tentang apa yang ia liat dan apa yang ia rasakan saat ini.
57
Di sisi lain tersirat moral yang kurang baik yang ditunjukkan oleh beberapa anggota masyarakat Jelungkap. Terlihat ketika Nyoman Sika dan Ketut Artini berjalan menggendong anaknya menuju Langking Langkau, mereka akan siap menerima sanksi dari apa yang mereka hasilkan. Dalam ceritanya masyarakat Jelungkap begitu acuh tak acuh terhadap mereka berdua, biarpun mereka berpapasan tetapi sedikit katapun tak keluar dari mulut masyarakat tersebut, hal ini dikarenakan Nyoman Sika dianggap akan membawa aib untuk desanya dan untuk masyarakat setempat. Jarak Langking Langkau dan rumahnya tidak jauh, hanya dua kilometer. Tetapi siang, beberapa ini orang-orang Jelungkap menutup pintu mereka rapat-rapat, untuk melepaskan keberangkatan sepasang buncing itu dan kedua orang tuanya menuju langking langkau. Dalam rumah-rumah jelungkap yang dirapatkan pintunya ini, terjadi bisik-bisik untuk mengenang kembali apa yang telah dilakukan, dan lebih khusus lagi kepada keluarga nyoman sika. Di ujung Jelungkap yang jauh terdengar bisik-bisik begini “ini memang pantas diterima oleh keluarga Nyoman Sika” (hlm. 53--54). Senja akan datang beberapa saat lagi. Orang-orang mulai melintas di Langking Langkau. Semuanya merunduk, seperti tidak pernah tahu apa yang terjadi. Dengan hal itu, mereka yang lewat, yang datang dari kebun dan pulang kerumah masing-masing melewati Langking Langkau, dapat menikmati kepura-puraan (hlm. 62). 3.3 Aspek Budaya Dalam kehidupan masyarakat itu, sastra dan kebudayaan memperoleh tempat khusus, karena terjadinya hubungan erat di antara keduanya. Sastra sebagai karya seni merupakan bagian integral suatu masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri merupakan pemilik suatu kebudayaan. Keseluruhan permasalahan dalam masyarakat
58
yang dibicarakan dalam sastra, tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang melatarbelakanginya (Ratna,2005:23). Budaya menyangkut pikiran, atau akal budi. Kebudayaan menurut Soejono (dalam Ahmad, 1995:95), mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Budaya yang menjadi pegangan individu maupun pegangan kolektif dalam novel Incest dihubungkan dengan nilai-nilai kepercayaan yang ada yaitu nilai kedaerahan Bali khususnya adat istiadat masyarakat Jelungkap. Desa Jelungkap masih mengenal adanya kelahiran kembar buncing. Di dalam Desa Jelungkap Kembar buncing di sebut kelahiran sepasang bayi yang memiliki jenis kelamin yang berbeda. Kelahiran semacam ini masih dianggap membawa aib bagi desa setempat khususnya Jelungkap, dengan mengantisipasi bencana yang akan datang dari kelahiran kembar buncing masyarakat Jelungkap biasanya melakukan beberapa prosesi yang akan diberikan untuk orang tua sang bayi beserta untuk bayi yang terlahir kembar buncing tersebut. Di novel Incest pengarang tidak terlepas dari budaya-budaya tersebut. Hal ini di buktikan dalam kutikan berikut: Saat ini gubuk telah rampung. Secepatnya orang-orang Jelungkap kembali kerumah dan mengunci pintu mereka. Tanda duka dan simpati dan sekaligus sesal kolektif. Lima orang pemangku tengah memukul kulkul desa. “Tuuung, tuuung, tuuung”. Ini adalah tanda untuk memanggil sepasang kembar buncing dan kedua orang tuanya, yang di sertai beberapa keluarga dekatnya menuju Langking Langkau. Tepat pukul 12.00 mereka
59
menepati sanksi adat. Bayi perempuan di dekap oleh Nyoman Sika, berjalan paling depat. Disusul Ketut Artini mendekap bayi laki-laki. Urutan itu menandakan urutan kelahiran pada saat persalinan itu terjadi (hlm. 52--53). “Sesuai adat yang kita hormati, tiga hari lagi keluarga Nyoman Sika dan sepasang anak buncingnya akan selesai menjalani masa pengasingan di Langking Langkau, maka akan ada upacara pembersihan atau malik sumpah di desa yang di mulai di tiga pura utama, yaitu di Pura Desa, Pura Dalem, dan Badang Bangking” (hlm. 74) “Memilih satu diantara kedua anak kita. Itulah yang akan kita pelihara, dan yang satu lagi diberikan kepada orang jauh. Ini artinya, rahimmu tidak diterima mengandung sepasang janin berlainan jenis. Inilah sanksi terberat yang dirasakannya…” (hlm. 120).
Penjelasan diatas merupakan refresentasi dari budaya, biasa disebabkan sistem patrilinier, biasa untuk keamanan desa, dan mencegah aib yang ditimbulkan dari kedua bayi kembar buncing tersebut. Dalam novel Incest pengarang melukiskan tentang upacara malik sumpah. Upacara malik sumpah merupakan upacara terhadap bayi kembar buncing. Upacara malik sumpah dilaksanakan setelah dilakukan upacara pengasingan dalam Langking Langkau (gubuk dekat kuburan). Upacara malik sumpah dihadiri dan disaksikan lima Pemangku dan dari lima pemangku ini merupakan orang-orang teratas dan paling dihormati oleh masyarakat Jelungkap. Kepatuhan terhadap masa lalu yang terus dibangun dan dihidupkan, menyebabkan para pemangku tersebut dihormati dan dipatuhi, cara atau jalan bagi orang-orang Jelungkap untuk menjadi bagian masa silam dan bangga terhadap Jelungkap.
60
Ada juga beberapa hal yang sudah menjadi budaya masyarakat Bali khususnya Desa Jelungkap yaitu tempat pengasingan orang tua maupun bayi yang terlahir kembar buncing tersebut. Tempat ini disebut dengan Langking Langkau. Tempat ini terbuat dari bambu yang menyerupai gubuk yang diletakkan dekat kuburan desa setempat. Dalam novel Incest, tokoh Sika dan Artini serta sepasang bayi kembarnya adalah tokoh yang pernah diasingkan di Langking Langkau tersebut. Biasanya pengasingan tersebut ditujukan untuk keluarga yang memiliki anak kembar yang memiliki jenis kelamin yang berbeda dan mereka diasingkan di tempat tersebut selama 42hari. Jarak Langking Langkau dengan rumahnya tidak jauh hanya dua kilometer. Tetapi siang ini, ketika ketika langit biru Jelungkap sedemikian rasanya hampa dan orang-orang Jelungkap telah merelakan sanksi adat dijatuhkan dengan pintu rumah-rumah mereka yang dirapatkan, untuk melepaskan keberangkatan kembar buncing itu dan kedua orang tuanya menuju Langking Langkau, jarak itu terasa sangat jauh dan melelahkan, jarak yang dibangun oleh adat, jalan dari masa lalu ke masa depan, tetapi ke masa silam, yang menjadi masa depan (hlm. 53) Nyoman Sika memasuki gubuk bambu di Langking Langkau, disusul oleh Ketut Artini. Setelah secara bergantian sepasang bayi itu diberi susu mereka digolekkan diatas amben bambu yang hanya di alasi tikar klasa, dari pandan kering yang dianyam. Keluarga dekatnya yang lain tengah mempersiapkan lampu. Saat ini senja telah datang dan mereka akan melewati malam-malam pengasingan di sebuah gubuk bambu yang bernama Langking Langkau (hlm. 55)
Penjelasan di atas merupakan salah satu budaya yang terdapat di Bali khususnya desa Jelungkap. Langking langkau merupakan tempat pengasingan bagi keluarga kembar buncing. Pengasingan tersebut dilakukan selama 42 hari tanpa
61
adanya komunikasi dengan masyarakat setempat. Hal ini dianggap dapat menetralisir aib buruk yang dibawa dari bayi tersebut. Masyarakat Jelungkap juga memiliki tradisi pemisahan terhadap bayi kembar buncing. Dalam hal ini sepasang bayi kembar tersebut dipisahkan sehingga kelak dewasa mereka tidak pernah tahu bahwa mereka adalah saudara kandung atau sedarah. Dalam novel Incest, hal ini merupakan pukulan terberat yang dirasakan Nyoman Sika dan Ketut Artini. Mereka harus memilih satu diantara dua bayi kembar tersebut dan yang tidak mereka pilih mereka harus melepas dan memberikan bayi tersebut kepada orang lain, saudara atau teman, dan warga Jelungkap diminta oleh peraturan adat untuk merahasikan. Selanjutnya adalah masyarakat Jelungkap yang diwakili ketua adat akan berusaha menikahkan pasangan kembar buncing tersebut menjadi suami istri, karena menurut kepercayaan adat, bayi tersebut merupakan bayi yang telah dijodohkan sejak dalam rahim. Ada juga beberapa hal yang merupakan budaya dalam masyarakat di Bali, yaitu pembakaran mayat atau ngaben. Hal ini terlihat dalam kutipan. Tahun yang ditandai sebuah dinamika yang diduga Geo, akan mengguncang Jelungkap. Guncangan-guncangan yang silih berganti sebagaimana dulu kakeknya selalu bercerita tentang Jelungkap dan orangorang yang tidak melakukan pengabenan (hlm 41). Pada suatu tahun, orang-orang Jelungkap harus menemukan asal-usul kasta mereka karena Jelungkap akan diikutkan dalam proyek pengabenan massal di Bali (hlm. 139).
62
Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan umat Hindu di Bali, Upacara ini dilakukan untuk menyucikan roh leluhur yang sudah meninggal menuju tempat peristirahatannya terakhir. Menurut Kaler ngaben dalam bahasa alussinggihnya adalah melebuang atau atiwa-tiwa. Inilah klimaks dari pitra yadnya tahap pertama atau penyelesaian secara tuntas bagi pitra yadnya mengupacarai sawa atau mayat, jadi bila dilihat dari sasarannya ngaben ada dua jenis, yakni mesawa atau mewatang alias ada jenasahnya secara nyata dan ada yang menggunakan pengawak dengan memakai suatu benda sebagai lambang badan. Upacara ngaben dianggap penting bagi umat Hindu di Bali dikarenakan upacara ngaben merupakan perwujudan dari rasa hormat dan sayang dari orang yang ditinggalkan, juga menyangkut status sosial dari keluarga orang yang meninggal, dengan ngaben keluarga yang ditinggalkan dapat membebaskan roh atau arwah dari perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan di duniawi dan mengantarkan menuju surga abadi dan kembali berenkarnasi kembali dalam wujud yang berbeda. Ngaben dilakukan dengan beberapa rangkaian upacara, terdiri dari berbagai rupa sesajen dan tidak lupa dibubuhi simbol-simbol layaknya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu di Bali. Upacara ngaben biasanya dilakukan secara besarbesaran, ini semua memerlukan waktu yang lama, tenaga yang banyak dan biaya yang tidak sedikit dan mengakibatkan ngaben sering dilakukakan dalam waktu yang lama setelah kematian.
63
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ngaben adalah upacara pembakaran mayat di Bali yang sangat disakralkan dan diagungkan. Upacara ini adalah upacara rasa hormat yang ditujukan untuk orang-orang yang sudah meninggal. Semua yang berasal dari Sang Pencipta pada masanya akan kembali lagi dan semua itu harus diyakini dan diiklaskan. Manusia dilahirkan dan meninggal semua itu erat berhubungan dengan amal perbuatannya di dunia. Di samping itu, masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang kaya akan warisan budaya secara tradisional. Artinya antara satu generasi ke generasi berikutnya tetap menjalin hubungan yang erat dari sejak dulu hingga sekarang ini salah satunya menggunakan kulkul sebagai alat komunikasi. Apabila terdengar suara kulkul maka hal itu sebagai pertanda panggilan kepada warga untuk berkumpul. Panggilan tersebut bisa karena kesepakatan atau karena situasi mendadak. Dalam novel Incest. Hal ini terlihat dalam kutipan. Saat ini gubuk bambu telah rampung. Secepatnya orang-orang Jelungkap kembali ke rumah dan mengunci pintu mereka. Tanda duka dan simpati aib, dan sekaligus sesal kolektif. Lima orang pemangku tengah memukul kulkul desa “tung…tung…tung” saat ini tanda untuk memanggil sepasang bayi buncing dan kedua orang tuanya, yang disertai beberapa keluarga dekatnya menuju Langking Langkau, tepat pukul 12.00 mereka menepati sanksi adat. Bayi yang perempuan di dekap oleh Nyoman Sika, berjalan paling depan, disusul oleh Ketut Artini yang mendekap bayi lakilakinya. Urutan itu menandakan urutan kelahiran pada saat persalinan itu terjadi (hal. 52) Ada empat jenis kulkul yang dikenal masyarakat Bali yaitu Kulkul Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusa, dan Kulkul Hiasan. Kulkul Dewa adalah kulkul yang
64
digunakan saat upacara Dewa Yadnya. Kulkul Dewa dibunyikan apabila akan memanggil
para
dewa.
Ritme
yang
dibunyikan
sangat
lambat,
seperti:
tuuung...tiiit...tuuung...tiiiit...tuuung… tiiit dan seterusnya. Kulkul Bhuta adalah kulkul yang digunakan saat upacara Bhuta Yadnya. Kulkul Bhuta dibunyikan apabila akan memanggil para Bhuta Kala guna menetralisir alam semesta sehingga keadaan alam menjadi aman dan tenteram. Kulkul Manusa adalah kulkul yang digunakan untuk kegiatan masyarakat, baik itu rutin maupun mendadak. Di kedua kegiatan inilah saat membunyikan Kulkul Manusa. Kulkul Manusa terbagi atas tiga yaitu Kulkul Tempekan, Kulkul Sekeha-sekeha, dan Kulkul Siskamling. Ritme yang dibunyikan kulkul manusa lambat dan pendek, sedangkan pada kegiatan mendadak terdengar cepat dan panjang. Kulkul Hiasan disebut karena kulkul ini diberi hiasanhiasan untuk menambah keindahannya. Biasanya kulkul ini dianggap sebagai barang antik oleh wisatawan yang datang ke Pulau Bali, sering dijadikan oleh-oleh atau buah tangan. Kulkul biasa banyak dijual di toko-toko, di pasar dengan harga relatif murah. Penjelasan di atas merupakan suatu budaya yang terdapat dalam masyarakat Bali untuk pertanda memanggil agar masyarakat segera berkumpul atau memberi tanda akan terjadinya sesuatu hal seperti yang dialami dalam keluarga Nyoman Sika dalam novel Incest. Suara kulkul yang ditunjukkan dalam novel tersebut pertanda sepasang bayi buncing beserta kedua orang tuanya siap menerima sanksi yang dijatuhkan oleh adat.
65
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Berdasarkan analisis yang diuraikan dalam bab sebelumnya, maka penelitian ini diakhiri dengan simpulan sebagai berikut. Novel Incest merupakan sebuah karya sastra yang menceritakan tentang pernikahan sedarah yang terjadi dalam desa Jelungkap. Novel ini menceritakan tokoh Geo Antara dan Gek Bulan yang merupakan pasangan kembar buncing dan dalam desa Jelungkap kembar buncing merupakan aib. Beberapa sanksi mereka hadapi untuk melewati pandangan negatif dari masyarakat. Sika dan Artini yang merupakan orang tua dari bayi kembar buncing tersebut merasa sedih ketika beberapa sanksi yang siap dijatuhkan adat, yaitu berupa upacara pengasingan di Langking Langkau, malik sumpah, pemisahan dari kembar buncing tersebut dan akhirnya mereka dinikahkan oleh adat. Plot novel Incest diurutkan secara kronologis, dengan sedikit gerak balik pada beberapa tahapan. Plot novel Incest dibagi beberapa tahapan yaitu tahap situation (penyituazian), tahap generating (pemunculan konflik), tahap rising action (peningkatan konflik), tahap climax (klimak), tahap denouement (Penyeleaian). Penyebab terjadinya plot adalah adanya konflik diantara para tokoh dalam suatu cerita, sehingga plot berkaitan dengan tokoh-tokohnya. Plot dalam novel Incest
66
didukung oleh tokoh utama yaitu Geo Antara dan Gek Bulan, tokoh kedua Nyoman Sika dan Ketut Artini, serta tokoh ketiga yaitu Gus Eka, Bidan Floren, dan Dodi Erawan. Puncak konflik pada novel Incest terjadi pada tahap klimaks, yaitu ketika sepasang kembar buncing akan dinikahkan oleh adat. Tahap penyelesaian menceritakan kebahagiaan yang dialami Geo dan Bulan ketika mengetahui Bulan mengandung anak dari Geo. Latar Incest dibagi menjadi tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat dalam novel Incest berlangsung di Jelungkap dan Yogyakarta. Latar waktu dalam novel Incest waktu dari pagi hingga malam, sedangkan latar sosial dalam cerita memaparkan beberapa aspek yaitu, situasi dalam keluarga Nyoman Sika, Perilaku masyarakat Desa Jelungkap, dan sistem kemasyarakatan Desa Jelungkap. Analisis sosiologi sastra novel Incest adalah hubungan tokoh utama dengan keluarga, dan tokoh utama dengan masyarakat. Analisis sosiologi sastra meliputi beberapa aspek, yaitu aspek kemasyarakatan, aspek moral, dan aspek budaya. Aspek kemasyarakatan yang digambarkan oleh pengarang dalam novel Incest adalah hubungan antarmanusia dalam kehidupan masyarakat, misalnya hubungan antara Geo dan Bulan dengan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel sangat baik walaupun sempat berselisih dengan masyarakat Jelungkap. Aspek moral dibedakan menjadi dua yaitu moral baik dan moral yang kurang baik. Geo dan Bulan memperlihatkan moral baik ketika membagi ilmu kepada
67
masyarakat demi menunjang perekonomian desa. Moral yang kurang baik ditunjukkan oleh beberapa warga desa Jelungkap kepada keluarga Nyoman Sika. Aspek budaya yang ditampilkan pengarang dalam novel Incest adalah dihubungkan dengan nilai kepercayaan yang ada di desa Jelungkap. 4.2 Saran Penelitian-penelitian sastra dilakukan memang senantiasa mempunyai kecenderungan belum tuntas. Oleh karena itu masih terbuka kemungkinan untuk diadakan penelitian lanjutan, agar memperoleh hasil yang lebih memuaskan khususnya pada novel Incest yang baru dianalisis berdasarkan sosiologi sastranya, sehingga masih banyak peluang pada bagian-bagian lain yang belum dianalisis. Disarankan juga membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang memadai mengenai pendekatan yang digunakan dalam penelitian, dengan usaha ini akan dapat dihasilkan suatu penelitian yang memiliki kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.