BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian ini memfokuskan pada kajian wacana nasionalisme yang berkembang dalam perjalanan sejarah politik Aceh. Wacana nasionalisme yang sejatinya hanya sentralistik di level nasional kemudian bergeser pada level lokal, pergeseran hegemonik wacana nasionalisme ini terjadi akibat dari kondisi sosial politik yang berkembang secara tidak menentu di Aceh. Lalu pergeseran wacana ini menjadi masalah baru pada tingkat nasional karena mengganggu keutuhan negara. Nasionalisme kemudian dinilai mendasari perlawanan bersenjata di Aceh. Jika diselami lebih jauh, pewacanaan ini sebenarnya adalah suatu keniscayaan karena sebagai suatu imagined community, nasionalisme memiliki dinamika tersendiri. Kealpaan Pemerintah dalam memahami bekerjanya imajinasi kolektif yang disebut sebagai nasionalisme tersebut justru berpotensi memperumit keadaan di berbagai wilayah di Indonesia. Nasionalisme mempunyai makna beragam dan pemaknaan tersebut dimanfaatkan menurut sudut pandang dan kepentingan masing-masing pengusungnya. Apalagi dengan adanya mobilisasi sentimen nasionalistik yang telah mendasari perlawanan terhadap kolonialis ataupun struktur yang mapan.1 Hanya saja yang menjadikan nasionalisme tersebut memiliki signifikansi politik adalah karena watak ideologis yang melekat dalam imajinasi kolektif tersebut. 1
Anderson, Benedict, 1999, Komunitas-Komunitas Imaginer: Renungan tentang Asal-usul dan Penyebaran Nasionalisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press), halaman v.
1
Masih terbatasnya penulisan nasionalisme dari sudut pandang politik khususnya di Aceh menjadi pendorong dilakukannya kajian ini. Sebenarnya telah banyak kajian nasionalisme Aceh dari sudut pandang historistik, namun tidak mampu menjelaskan landasan kuat tentang bagaimana identitas berkembang dan menjadi faktor utama dari terbangunnya sebuah imajinasi tentang komunitas baru. Penelitian nasionalisme berdasarkan sudut pandang politik akan memetakan wacana nasionalisme di Aceh, kemudian akan berusaha menjelaskan arena dinamika lokalitas yang bersifat otonom dan gejolak-gejolak internal etnisitas akan sangat menarik untuk dilihat, terlebih lagi karena pergerakan-pergerakan pada tingkat lokalitas bisa jadi bersumber dari dalam atau mungkin juga sebagai pengaruh penyebaran ide-ide dari pusat. Perkembangan internalisasi nasionalisme ini yang kemudian menghasilkan tumbuhnya chauvinism orang Aceh terhadap dirinya, dan menutup diri dari keberadaan Indonesia.2 Di Indonesia, politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili pada umumnya oleh para elit dengan artikulasinya masing-masing. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari reaksi kegelisahan politik identitas itu atas ketidaksetaraan politik sentralistis Jakarta. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik, dan sangat sensitif jika bersinggungan dengan politik identitas. Dalam hal ini, identitas mampu merusak nasionalisme itu sendiri sekaligus juga mampu membangkitkan etnonasionalisme yang menjadi dasar perlawanan baru terhadap negara. 2
Elson, Robert Edward, 2009, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta), halaman 401.
2
Identitas menjadi instrumen penting yang membentuk sebuah rasa bersama yang hadir untuk melepaskan diri dari kolonialisasi. Di Aceh, identitas menjadi hal yang paling dipertahankan oleh masyarakatnya. Identitas pula yang membangkitkan semangat nasionalisme untuk melawan kolonialisasi. Dalam sejarahnya, persoalan keinginan bersatu dan berpisah adalah hal yang sangat biasa. Masyarakat Aceh bisa bersatu dengan kelompok manapun, namun identitas yang mengakar secara kuat oleh keyakinan beragama tidak dapat diganggu oleh siapapun yang kemudian menjadi hal paling prinsipil yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Jiwa nasionalisme masyarakat Aceh yang menjadi bagian dari Indonesia merupakan satu nafas dalam perjuangan mereka, walaupun pada akhirnya “kegagalan” nasionalisasi itu sendiri yang menjadi dasar perlawanan mereka terhadap keberadaan Indonesia. Karya tentang nasionalisme dalam lokalitas Aceh dari perspektif politik pernah dikaji oleh Ahmad Taufan Damanik. Damanik dalam bukunya “Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis” yang terbit pada tahun 2010 pada dasarnya mengkaji pemikiran Hasan Tiro tentang wacana pembentukan identitas politik Aceh. Kajian Damanik ini dilakukan dengan pendekatan study linguistik, berupa penelusuran teks-teks atau bahasa yang digunakan DI/TII dan GAM (terutama kedua pemimpinnya), pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk menafikan objek material historis yang meliputi dan melatarbelakangi sejarah perlawanan Aceh kontemporer. Damanik berpendapat bahwa Hasan Tiro membayangkan sebuah komunitas baru berbentuk pemahaman kebangsaan lain
3
dalam bingkai Indonesia. Hal ini yang kemudian menjadi telaah khusus Damanik dalam melihat kasus Aceh. Imagined Communities karya Benedict Anderson menitik beratkan pada persoalan nasionalisme (paham kebangsaan). Anderson menjelaskan bahwa bagaimana nasionalisme terbangun berdasarkan kesadaran yang terbangun dari beberapa atau banyak kaum yang kemudian bersatu dan mendirikan entitas politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Masing-masing kaum tidak mengenal atau punya keterkaitan historis maupun kultural dengan yang lainnya, akan tetapi mereka membentuk sebuah ikatan politis yang bersifat terbatas mengikat dan mengukuhkan kedaulatannya sebagai sebuah bangsa yang baru agar bebas dari segala intervensi dari luar bangsa tersebut. Akhirnya kemudian bangsa ini dibayangkan sebagai sebuah komunitas. Imajinasi tentang sebuah komunitas barulah yang akan terus menerus mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan dinamika sosial politik yang akan terus berkembang secara tidak menentu di Aceh. Dalam hal ini, nasionalisme dianggap mampu memberikan harapan besar dalam sebuah komunitas baru tersebut. Maka konsep Anderson ini kemudian akan menjadi titik pijakan dalam kerangka ilmiah penelitian ini. Dengan demikian, menjadi penting untuk menelaah bagaimana identitas Aceh bertindak sebagai sebuah elemen utama dari nasionalisme, dan secara khusus bagaimana elemen tersebut menyediakan sebuah penafsiran, merespon dan mereaksi proses perkembangan komunitas terbayangkan tersebut. Kemudian bagaimana identitas yang terkemas dalam nasionalisme membangkitkan semangat
4
perlawanan dalam perjalanan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditunjukkan bahwa identitas ke-Aceh-an terus memposisikan diri sebagai ideologi
yang cenderung
bertentangan dengan logika identitas yang dibentuk oleh negara. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan berikut: Bagaimana dinamika identitas Aceh terkait negosiasi antara etnis nasionalisme dengan civic nasionalisme?
I.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengemban tujuan dan misi akademis guna menjawab rumusan masalah sesuai harapan. Pertama, untuk mengetahui bagaimana identitas Aceh bernegosiasi dan berintegrasi dengan identitas Indonesia secara menyeluruh dalam kerangka Nasionalisme. Hal ini mencoba memberikan gambaran tentang dinamika identitas Aceh yang terus mencari titik akhir dalam kerangka nasionalisme Indonesia. Sejalan dengan motivasi penulis, misi penulisan tesis ini hendak memberikan gambaran ilmiah atas wacana nasionalisme di Aceh yang terus bertransformasi dalam sejarah Indonesia. Bagaimana identitas Aceh tersebut bergerak dari level lokal Aceh sendiri ke level nasional dalam ikatan nasionalisme Indonesia. Lalu bagaimana identitas tersebut menjadi konstruksi nasionalisme,
5
berdasarkan ethnic ataupun civic. Secara teoritik, diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan wawasan pengetahuan yang dipadukan dengan teori yang sesuai dengan realitas sosial dan politik sehingga dapat dijadikan referensi bagi ilmu pengetahuan khususnya bagi masyarakat Aceh.
I.4. Kerangka Teoritik 4.1. Identitas Smith mengemukakan teori tentang etnisitas sebagai awal dari bangkitnya nasionalisme. Etnisitas memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap nasionalisme. Gerakan identitas dari etnis kemudian merekonstruksi nasionalisme yang akhirnya mampu menggerakkan komunitas bangsa untuk membangun sebuah bangsa.3 Sehingga dapat dikatakan bahwa nasionalismelah yang membentuk bangsa, bukan sebaliknya. Antony Giddens4 mengatakan bahwa identitas diri dipahami dengan kemampuan untuk menarasikan tentang diri sendiri, dengan demikian menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas perjalanan hidupnya. Seseorang berusaha mengkonstruksi identitas yang saling bertalian di mana diri membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu menuju masa depan. Dengan kata lain, identitas adalah refleksi seseorang atau sebuah komunitas terhadap diri mereka sendiri dan dikontruksikan sesuai dengan kebutuhan dari komunitas tersebut. Kontruksi dari identitas ini tentunya 3 4
Smith, Anthony D, 2010. Nationalism; Theory, Ideology, History, (Malden USA: Polity Press), halaman 10. Giddens, Anthony, 1991, Modernity and Self Identity, (California: Stanford University Press), halaman 75.
6
menggunakan identifikasi perbedaaan dan persamaan antar invidu maupun kelompok, hal ini untuk menegaskan identitas itu sendiri, misalnya budaya, etnis, agama gender. Identitas kemudian menjadi landasan utama tindakan-tindakan yang defensive dan offensive terhadap identitas itu sendiri, sehingga kemudian membatasi seseorang atau komunitas dengan yang lainnya. Terdapat definisi umum tentang Identitas yaitu karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Kemudian identitas juga merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik masuk bagi orang lain atau komuintas lain untuk mengenalkan mereka. Definisi umum ini kemudian menjadi banyak landasan bagaimana identitas itu dipahami sebagai sebuah simbolisasi dari identifikasi sebuah komunitas. Menurut Stuart Hall dalam Rutherford5, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari sense terhadap ikatan kolektivitas. Dalam hal ini, identitas dapat dijadikan formulasi yang menyadarkan seseorang bahwa dia memiliki beberapa persamaan dengan individu lain, dana pada saat yang bersamaan pula identitas membentuk perasaan bahwa terdapat perbedaan (otherness) yang bergerak di luar persamaan-persamaan yang ada. Maka karakteristik identitas bukan terbentuk dari ikatan kolektifitas, namun juga terbentuk dari kategori pembeda di luar ikatan kolektifitas tersebut. Identitas pasti melekat pada setiap individu dan komunitas karena merupakan karekteristik yang membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain supaya orang tersebut dapat dibedakan dengan yang lain. Identitas 5
Rutherford, Jonathan (ed), 1993, Identity: Community, Culture, Difference, (London: Lawrence and Wishart), halaman 223.
7
adalah limiter antara suatu komunitas dengan keberadaan komunitas lainnya. Identitas mencitrakan karakteristik sebuah komunitas tersebut bagaimana mereka memposisikan diri sebagai sebuah komunitas yang eksis. Identitas tidak terlepas dari tiga pendekatan pembentukannya, yaitu primordialis, instrumentalis dan konstrukstivis. Primodialisme beranggapan bahwa identitas diperoleh secara alamiah, turun temurun. Primordialisme melihat fenomena identitas dalam ketegori-kategori sosio-biologis. Pendekatan ini umumnya beranggapan bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh gambaran seperti kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa, dan organisasi sosial yang memang disadari secara objektif sebagai hal yang “given”, dari sananya, dan tak bisa dibantah. Hal
tersebut
berbeda
dengan
pendekatan
instrumentalisme
yang
menyebutkan bahwa identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan. Instrumentalisme lebih menaruh perhatian pada proses manipulasi dan mobilisasi politik manakala kelompok-kelompok sosial tersebut tersusun atas dasar atribut-atribut awal etnisitas seperti kebangsaan, agama, ras, dan bahasa. Sedangkan konstruktivis mengganggap bahwa identitas sebagai sesuatu yang dibentuk dan hasil dari proses sosial yang kompleks. Identitas dapat terbentuk melalui ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat. Konstruktivis memandang bahwa identitas sebagai hasil dari proses sosial yang kompleks, manakala batasan-batasan simbolik terus-menerus membangun dan dibangun oleh manfaat mitologi, suatu konstruksi historistik dari bahasa dan pengalaman masa lampau. Pada dasarnya, konstruksi identitas adalah produk
8
sejarah yang kemudian dijadikan pijakan untuk menciptakan simbol identifikasi baru yang lebih jelas. Teori tentang identitas kontemporer (contemporary identity theories) menggambarkan, bahwa tidak ada ketegori identitas yang berada di luar konstruksi sosial oleh budaya yang lebih besar. Manusia memperoleh identitasnya dari konstruksi yang ditawarkan dari berbagai kelompok sosial di mana mereka menjadi bagian di dalamnya seperti keluarga, komunitas, subkelompok budaya, dan berbagai ideologi yang berpengaruh. Identitas tersebuut kemudian bergerak sesuai atau berlawanan dengan substansi identitas itu sendiri,hal ini menunjukkan bahwa identitas manusia yang hidup dalam komunitas tertentu berada dalam “proses untuk menjadi”(the process of becoming) yaitu ketika bereaksi terhadap konteks dan situasi yang mengelilingi komunitasnya tersebut. Dari hal ini dapat dikatakan identitas merupakan tindakan yang selalu berubah setiap saat mengikuti kebutuhan dari komunitas yang melekatkannya. Identitas dalam ilmu social maupun ilmu politik dibagi dua kategori, yakni identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan (citizenship)). Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness).6
6
Setyaningrum, Arie, 2005, Memetakan Lokasi bagi Politik Identitas, (Mandatory, Journal Institute for Research and Empowerment (IRE), vol. 2, no. 2, 2005), halaman 13-34.
9
Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan “politik identitas” (politic of identity). Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam suatu ikatan komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik. Politik identitas lahir ketika identitas menjadi dasar bagi gerakan sosial, limitasi antara sebuah komunitas dengan komunitas lainnya menjadi ide untuk menegaskan dan mempertahankan perbedaaan yang ada. Ketika komunitas sudah bersatu, kontruksi negative antara self terhadap other dapat dilakukan secara berkelanjutan, membentuk identifikasi self dan other menjadi termanifetasi secara utuh. Akan tetapi ketika kontruksi positif atas self dan others mampu merekatkan keduanya dengan membentuk sebuah identitas baru yang lebih mengikat perbedaan yang ada. Dari hal tersebut kemudian dibutuhkan sebuah power yang cukup besar untuk menjamin keterikatan identitas tersebut, yaitu Negara bangsa. Negara bangsa merupakan entitas yang terbentuk untuk meng-overgeneralize identitas kepada setiap penduduk yang tinggal di wilayahnya, dengan harapan bahwa para anggota komunitas ini harus mempertahankan kontruksi identitasnya yang besar tersebut. Dengan adanya proses tersebut, maka terbentuklah identitas kolektif. Konsep mengenai identitas kolektif merujuk pada pengakuan terhadap makna keanggotaan atau makna kebersamaan, batas-batas dan aktivitas-aktivitas ke dalam suatu kelompok. Jadi identitas kolektif itu adalah identitas yang dimiliki
10
oleh anggota-anggota kelompok yang mereka bangun melalui interaksi, sesama anggotanya dan untuk kepentingan bersama atau untuk kepentingan kelompok. Terdapat proses transformasi dari identitas menjadi rasa kebersamaan kebangsaan atau yang lebih dikenal dengan nasionalisme. Pembentukan Negara bangsa di dunia yang menjadikan nasionalisme sebagai pengiktanya tetap mengakui keberadaan etnis dalam komunitas baru tersebut. Terlepas dari keberadaan etnik tersebut sebagai etnik itu sendiri atau dalam rangka sebuah bangsa. Artinya terdapat hubungan antara etnisitas dan nasionalisme, namun kemudian berhadapan dengan bentuk etnik baru karena arus modernisasi ketika bangsa tersebut mulai dibentuk. Dalam hal ini kemudian Anderson pada tahun 1983 berpendapat bahwa bangsa adalah suatu komunitas abstrak atau imagined community dari sebuah bangsa, khususnya kelompok etnik. Negara memiliki peran yang strategis untuk merekontruksi identitas kebangsaan. Negara merekonstruksi identitas sebagai sebuah bangsa dengan banyak cara, yaitu pendidikan, media massa, institusi agama dan kebudayaan. Kemudian dalam proses rekonstruksi identitas, negara juga harus mencari faktor lain dari pembentukan bangsa, misalnya membentuk musuh bersama. Dalam hal ini bukan hanya geografis, tapi juga tentang kedaulatan. Konstruksi identitas merupakan proses refleksi internal komunitas dengan perbedaan self dan others. Dengan adanya keberadaan orang lain di luar komunitas tertentu, maka eksistensi komunitas tersebut dipertegas dan semakin memperkuat sense of belonging anggota komunitas tersebut. Dalam hal ini Negara sebagai sebuah komunitas harus mampu menjustifikasi keberadaannya dengan cara tersebut.
11
4.2. Nasionalisme Gagasan nasionalisme lahir dari kehendak untuk merdeka dari penjajahan bangsa lain serta adanya persamaan nasib bangsa yang bersangkutan. Nasionalisme muncul dan berkembang menjadi sebuah paham yang dijadikan sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat dan berbudaya yang dipengaruhi oleh kondisi historis dan dinamika sosio kultural yang ada di masingmasing negara. Dengan kata lain, nasionalisme tidak terlepas dari pembentukan awal identitas yang mengikat komunitas tertentu sehingga menjadi paham kebangsaan ini. Nasionalisme dapat menunjukkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan yang populer berdasarkan pendapat warga negara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. Pada mulanya unsur-unsur pokok nasionalisme itu terdiri atas persamaanpersamaan darah (keturunan), suku bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan agama, bahasa dan kebudayaan. Nasionalisme akan muncul ketika suatu kelompok suku yang hidup di suatu wilayah tertentu dan masih bersifat primordial berhadapan dengan manusia-manusia yang berasal dari luar wilayah kehidupan mereka. Lambat laun ada unsur tambahan, yaitu dengan adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakat (demokrasi politik dan demokrasi sosial) serta adanya persamaan kepentingan ekonomi.
12
Sebagaimana yang didefinisikan Anthony Smith, nasionalisme merupakan suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan dan identitas bagi suatu populasi, yang kemudian sejumlah anggota komunitasnya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial.7 Definisi ini mengikat nasionalisme sebagai ideologi yang manifest pada gerakan yang memiliki orientasi sasaran tertentu. Ideologi dalam hal ini dapat dipandang sebagai struktur keyakinan, yang memberikan makna kepada aksi.8 Karena sebagai ideologi, nasionalisme menetapkan jenis-jenis tindakan tertentu. Dengan nuansa konsep inti ideologi tersebutlah sasaran gerakan ditetapkan, sehingga melalui orientasi yang khas ini kemudian yang membedakan dengan jenis gerakan sejenis lainnya. Fenomena ideologi terlihat sebagai tipe wacana tertentu yang digolongkan ke dalam tatanan spesifik imajinasi.9 Ideologi merupakan tipe wacana yang membenarkan legitimasi dengan mengacu pada realisme transedental. Wacana ideologis tercermin dalam kehidupan sosial, wacana ini berusaha membiaskan pembagian sosial dan temporalitas tanpa mempertimbangkan dunia lain, ini yang terjadi dalam nasionalisme yang telah tertanam dalam benak masyarakat.10 Dengan demikian terdapat relasi tunggal antara ideologi dan masyarakat historis. Ideologi kemudian berfungsi membangun
7 8 9 10
Smith, Anthony D, 2003, Nationalism and Modernism, (London; Routledge) halaman 3. Marsh, David dan Stoker, Gerry, 2012, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik, (Bandung: Penerbit Nusa Media), halaman 91. Thompson, John B (ed). 2003. Analisis Ideologi; Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. (Yogyakarta: IRCiSoD), halaman 48. Sargent, Lyman Tower, 1987, Contemporary Political Ideologies, Seventh Edition, (California: Brooks/Cole Publishing Company), halaman 16.
13
kembali dimensi masyarakat “tanpa sejarah” pada masyarakat historis yang paling pokok.11 Kontroversi akan selalu ada dalam karakter politik dari nasionalisme. Nasionalisme pada satu sisi menjadi positif sebagai pemersatu, dengan menawarkan kebebasan dan menjadi kekuatan progresif untuk para penganutnya untuk mempertahankan komunitas mereka dari berbagai ancaman. Tapi pada sisi lain, nasionalisme menjadi negatif, karena menjadi batasan tegas yang sangat memisahkan antar komunitas manusia, menjadi dasar pemicu perang dan mampu membangkitkan perlawanan terhadap stuktur yang mapan. Namun nasionalisme juga mampu membiaskan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh beberapa komunitas yang telah ada sebelumnya, untuk membentuk komunitas yang lebih besar dengan mengkontruksikan identitas baru sebagai simbol nasionalisme baru yang mengikat setiap komunitas yang bergabung di dalamnya. Nasionalisme merupakan sebuah ide irasional dan reaksioner yang memungkinkan para pengikutnya menjadi sangat berbahaya untuk mewujudkan bangsa hasil manifestasi dari nasionalisme itu sendiri. Nasionalisme sebagai sebuah ideologi menjadi paham yang sangat dinamis, dimanfaatkan oleh para penganutnya sesuai dengan kebutuhan yang akan mereka hadapi. Selain sebagai ideologi, nasionalisme juga berperan sebagai pergerakan atau movement. Pergerakan ini jelas berhubungan dengan self determination. Hal ini berarti hak stiap bangsa dan Negara untuk menntukan nasibnya sendiri. hak untuk menntukan nasibnya sendiri hanya dapat diklaim dalam rangka untuk 11
Thompson, John B (ed)., op. cit., halaman 48.
14
mendirikan suatu Negara yang merdeka.12 Dengan kata lain, nasionalisme dapat menimbulkan pergerakan di suatu bangsa untuk memerdekakan dirinya dan membentuk sebuah Negara yang berdaulat. Berdasarkan hal tersebut di atas, nasionalisme menjadi sebuah fenomena politik yang kompleks, sebagai sebuah jalinan ajaran-ajaran dalam berbagai komunitas bangsa yang memiliki satu karakteristik yang sama secara masing-masing, dengan caranya sendiri mengakui bahwa terdapat peran politik dalam pembentukan bangsa.13 Anderson14
menjelaskan
bahwa bagaimana
nasionalisme terbangun
berdasarkan kesadaran yang terbangun dari sejumlah kaum yang kemudian bersatu. Atas dasar nasionalisme tersebut mereka membentuk entitas politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Masing-masing kaum yang pada awalnya tidak saling mengenal atau tidak punya keterkaitan historis maupun kultural dengan yang lainnya, membentuk sebuah ikatan politis yang bersifat terbatas dan mengikat, namun mengukuhkan kedaulatannya sebagai sebuah bangsa. Dengan ikatan itu kemudian mereka bebas dari segala intervensi dari luar bangsa tersebut. Dalam hal ini nasionalisme diimajinasikan sebagai suatu komunitas, karena, meskipun ada ketimpangan dan eksploitasi, bangsa selalu dipandang sebagai suatu perkawanan yang horisontal dan mendalam. Pada akhirnya, fraternity inilah yang memungkinkan, selama dua abad terakhir, jutaan orang bukan saja membunuh, tapi lebih dari itu mereka rela mati demi imajinasi terbatas ini.
12 13 14
Mayall, J., Nationalism In The Study Of International Relations., In A.J.R. Groom, & M. Light, 1994, Contemporary International Relations: A Guide to Theory, (Pinter), halaman 184. Heywood, Andrew, 2014, Politik: edisi ke – 4, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), halaman 197. Anderson, Benedict, op. cit., halaman 7.
15
Pada akhirnya kemudian bangsa ini tidak hanya dapat dibayangkan sebagai sebuah komunitas. Kaum-kaum yang tergabung dalam komunitas terbayang ini juga mempunyai nasionalisme tersendiri jauh sebelum bangsa baru yang terbentuk seperti diutarakan Anderson. Tapi kemudian ketika tergabung dalam sebuah bangsa baru, nasionalisme ini menjadi etnonasionalism. Perubahan istilah nasionalisme ke etnonasionalisme merujuk pada makna yang berbeda konteksnya dan berdasarkan perspektif empirik terbentuknya sebuah entitas baru yang disebut oleh Anderson sebagai komunitas terbayang yang berwujud sebuah bangsa. Etnonasionalisme merupakan paham kebangsaan yang didasarkan pada sentimen suku, ras, agama sebagai dasarnya. Etnisitas atau semangat etnosentris kemudian dimanifestasikan ke dalam suatu entitas politik yang sering disebut dengan etnonasionalisme. Dari kerangka di atas, terdapat dua jenis nasionalisme berdasarkan identifikasi diri pada sub-bangsa dan negara-bangsa, yaitu civic dan ethnic. Nasionalisme atau rasa kebangsaan ini dibedakan menurut level kebangsaan: nasionalisme etnis (Ethnic nationalism), yaitu nasionalisme yang merupakan ikatan kebangsaan yang dibangun berdasarkan persamaan bahasa, kebudayaan, dan darah keturunan kelompok etnis tertentu. Sedangkan nasionalisme kewarganegaraan (Civic nationalism), merupakan kebangsaan yang dibangun lewat adanya pengakuan dan kesetiaan pada otoritas konstitusional dan kerangka perpolitikan dalam sebuah negara, selain sejarah yang sama sebagai negarabangsa dan digunakannya bahasa yang sama oleh semua kelompok bangsabangsa. Atau dengan kata lain, ikatan yang dibangun nasionalisme ini didasarkan
16
atas kewarganengaraan di dalam sebuah wilayah teritorial dan batas-batas yang berlaku bagi negara-bangsa.15 Keduanya sebagai dua kutub yang dinamis, dapat dikembangkan berdasarkan kepentingan pengikutnya. Civic, bersifat positif sebagai nasionalisme yang sudah melebur dalam sebuah state berupa Negara. Dalam civic, nilai nasionalisme telah mengkristal dan cenderung dianggap selesai tanpa masalah apapun. Sedangkan pada ethnic, nasionalisme belum selesai dan terus berusaha menemukan titik akhir pembentukannya. Namun hal ini bukan berarti bahwa ethnic tidak dapat menuju ke civic, karena ada nilai yang mungkin tidak diterima oleh kaum ethnic. Dalam ethnic, rasa saling kepercayaan dan rasa memiliki didasarkan pada ikatan etnis. Civic nationalism atau nasionalisme kewarganegaraan adalah ketika sebuah pemerintahan berdiri bukan semata-mata pada basis kesamaan sejarah, etnisitas atau bahasa, tapi ide bahwa negara dan sekelompok masyarakat bersatu di bawah perangkat hak dan kewajiban yang disediakan pemerintah. Dalam kondisionalitas yang seperti itu, mustahil jika hukum dilandaskan pada etnisitas, karena perbedaan yang nyata antar kebudayaan dapat dengan mudah dilihat. Kemudian yang dapat dilakukan adalah menyusun perangkat kewarganegaraan dan norma yang berdasarkan identitas dan kesepakatan bersama. Sebuah faktor pemersatu (unifying factor) mau tidak mau harus diciptakan agar negara dapat bertahan dan tidak terpecah-belah. Sementara itu, ethnic nationalism atau nasionalisme etnis dapat kita temukan di negara-negara dimana terdapat latar belakang sejarah dan identitas yang hampir persis. Dalam kasus seperti ini, pembentukan negara terjadi 15
Soeseno, Nuri.,2010, Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-isu Kontemporer, (Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI), halaman 102.
17
secara ideal dan pemerintahannya dijalankan dengan cara yang demikian pula. Dengan adanya kesamaan norma atau etnisitas yang kuat, maka hukum yang mengatur tata negara juga dapat disesuaikan. Dalam
hal
kekuatan
sebagai
ideologi
konstruktif,
nasionalisme
kewarganegaraan dipercaya lebih realistis sebagai sumber kepemilikan daripada nasionalisme etnis. Etnisitas yang sama memang akan membuat sekelompok orang bersatu, tetapi menjadi lemah terhadap perbedaan-perbedaan kecil yang memungkinkan perpecahan yang lebih besar. Nasionalisme kewarganegaraan mengajukan kerangka berpikir dalam ruang rapat, partisipasi, serta kemungkinan legislatif untuk menyatukan perpecahan. Dengan kata lain nasionalisme kewarganegaraan adalah nasionalisme di mana legitimasi politik negara berasal dari partisipasi aktif rakyatnya, yang merupakan "kehendak rakyat (the will of the people)”. Dalam perjalanan wacana nasionalisme, kekuatan nasionalisme etnis memiliki durabilitas yang jauh lebih lama dan lebih kuat karena sifatnya yang netral dan alamiah. Meskipun demikian, praktiknya tidak semudah itu, dan dalam kasus ini nasionalisme kewarganegaraan memiliki kemungkinan implementatif yang jauh lebih besar. Perbedaan utama antara nasionalisme kewarganegaraan dan etnis dapat dilihat sebagai berikut16:
16
Michael Ignatieff, “Civic Nationalism & Ethnic Nationalism”, https://www.msu.edu/user/hillrr/161lec16.htm diakses 8 Juni 2015, pkl. 11.44 WIB.
18
Tabel I.1. Perbedaaan Dasar Ethnic Nationalism dan Civic Nationalism Nasionalisme Kewarganegaraan Hukum
Kesamaan asal (darah)
Kewarganegaraan
Pilihan
Warisan
"Dilahirkan dalam"
Ikatan rasional Kesatuan berdasarkan konsensus Pluralisme demokratis
Ikatan emosional Kesatuan berdasarkan askripsi Mayoritas etnis berkuasa
Pengadilan, bendera
Kebebasan
Persaudaraan
Individu membentuk bangsa
Bangsa membentuk individu
Nasionalisme Etnis
Contoh
Town hall, tribe CA, Singapura ALCU, kampung halaman Mitos pembentukan
Selanjutnya Ignatieff membedakan antara nasionalisme kewarganegaraan dengan Nasionalisme etnis dengan memberikan label liberal atau illiberal (tidak liberal) pada kedua nasionalisme tersebut. Nasionalisme etnis dicap sebagai nasionalisme yang illiberal karena cara merumuskan keanggotaan nasionalnya mengikuti garis persamaan bahasa, budaya, atau darah keturunan etnis, sedangkan nasionalisme kewarganegaraan dicap sebagai nasionalisme yang liberal karena nasionalisme kewarganegaraan beroperasi dalam kerangka demokrasi, penetapan keanggotaan nasional
secara murni dilakukan mengikuti prinsip-prinsip
demokrasi. Lebih lanjut Michael Ignatieff menyebutkan bahwa nasionalisme etnik merupakan: "...maintains that a nation should be composed of all people—regardless of race, color, creed, gender, language or ethnicity—who subscribe to the nation's political creed”. Kemudian tipe nasionalisme yang disebut “kewarganegaraan” antara lain karena “bangsa” dilihat sebagai sebuah konsep egaliter, yaitu:
19
"...community of equal, rights-bearing citizens united in patriotic attachment to a shared set of political practices and values." Hal
ini
kemudian
menandai
sifatnya
yang
demokratis.
Nasionalisme
kewarganegaraan dapat dikatakan demokratis ketika setiap warganegara diakui kedaulatannya, terdapat klaim terhadap hak self-governing, serta hak warga negaranya tetap dilindungi di negara lain. Alulo17 memiliki pendekatan lain dalam membedakan nasionalisme etnis dan nasionalisme kewarganegaraan. Menurutnya, nasionalisme etnis merupakan sebuah fenomena sosial yang kompleks. Di satu sisi, nasionalisme dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan mengenai superioritas dan perbedaan antara sebuah kelompok etnis serta melahirkan keinginan membela kepentingannya di atas hal-hal lainnya. Pada saat yang bersamaan, istilah tersebut juga mengacu kepada identifikasi individu terhadap kelompok etnis tertentu, kebudayaan, kepentingan, serta tujuannya. Etnosentrisme-lah yang memutuskan kesetiaan dari hal-hal lain kecuali satu kelompok etnis. Dalam opini Lijiphart18, seluruh bangsa multietnis merupakan "...profoundly divided along religious, ideological, linguistic, cultural, ethnic or racial lies." Apa yang disebutnya sebagai “kebohongan” dijelaskan oleh para antropolog modern sebagai instrumen state-building. Dia juga percaya bahwa dalam masyarakat yang tcrdiri dari berbagai sub-masyarakat dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda, fleksibilitas yang dibutuhkan untuk sebuah demokrasi 17 18
Alulo, M. A. O., 2003. Ethnic Nationalism and the Nigerian Democratic Experience in the Fourth Republic, (Anthtropologist, vol. 5, no. 4, 2003), halaman 253-259. Lijphart, Arend., 1984, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries. (New Haven: Yale University Press), halaman 22.
20
modern tidak mungkin tercipta. Dalam situasi yang seperti ini, penggunaan aturan mayoritas bukan saja menjadi tidak demokratis tapi juga berbahaya karena akan terjadi eksklusi terhadap kelompok minoritas yang mungkin berujung pada usaha melawan pemerintahan. Nasionalisme
kewarganegaraan
berasumsi
bahwa
identitas
kolektif
masyarakat dan kedaulatan politik berdasarkan kepada kaitannya dengan nilainilai politik ataupun teritori tertentu. Tidak seperti nasionalisme etnis yang mendahulukan kelompok etnis tertentu dalam masyarakat, nasionalisme kewarganegaraan mengakomodasi seluruh populasi yang tinggal dalam sebuah negara. Di Indonesia, pemerintah tidak mau tahu bahwa nasionalisme terbentuk karena akar pembentukan kesadaran kebangsaan Indonesia awalnya justru terbentuk dari gerakan-gerakan etnonasionalime di nusantara. Keinginan bersama ini adalah untuk mewujudkan sebuah bangsa baru yang kemudian disebut sebagai komunitas terbayang. Di sini Anderson mempersepsikan nasionalisme sebagai wujud hasil budaya dari sebuah komunitas, untuk memahaminya harus dilihat bagaimana rasa kebersamaan dalam bingkai nasionalisme dapat muncul secara historis. Nasionalisme muncul sebagai hasil akulturasi berbagai kekuatan historis beberapa kaum, lalu diikat dengan sebuah ideologi kesadaran masing-masing kaum bahwa akan adanya sebuah rasa kepentingan bersama, dan akhirnya dibentuk suatu tatanan politis sebagai simbol persatuan sebuah komunitas baru tersebut. Kemudian semua kaum dalam bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Dasar ini sangat tidak kuat jika dikaji lebih lanjut untuk
21
kasus Indonesia dikarenakan masing-masing etnis terbangun atas kerajaankerajaan yang pernah ada sebelum Indonesia terbentuk dan sangat menyatu dengan segala sisi kehidupan masing-masing bangsa. Sehingga primordialistik yang mengarah ke etnonasionalisme tidak serta merta hilang begitu saja hanya untuk ikatan kesatuan entitas baru. Kemudian pemahaman yang didapat dalam “Imagined Community” bahwa bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa (yang kecil sekalipun) tidak tahu dan tidak kenal dengan anggotaanggota lainnya. Konteks nasionalisme Indonesia tidak berjalan sesuai dengan kehendak ideal dari nasionalisme itu sendiri. Dalam meredam hal tersebut, seharusnya rakyat diberikan perangkat hak untuk mengembangkan kebudayaan dan identitasnya, dengan penekanan pada penghargaan yang tinggi atas budaya dan identitas yang berbeda dengannya. Sehingga pemberian hak itu tidak disertai dengan munculnya primordialitas baru. Dalam kondisi inilah nasionalisme rawan menimbulkan perpecahan yang pada gilirannya meninggalkan cita-citanya untuk bersatu.19
4.3. Skema Kerangka Teoritik Terdapat tiga dimensi bangsa yang merupakan hasil konstruksi dari identitas, yaitu sosial, politik dan ideologis. Ketiga dimensi tersebut lalu mengaitkan diri dengan yang lainnya sehingga membentuk sebuah komunitas berbasis identitas yang kuat. Komunitas tersebut secara secara sosial menjadikan dirinya sebagai basis bangsa dari ikatan kebersamaan historis. Secara politik lalu 19
Hamzah, Fahri, 2011, Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan, (Jakarta: Faham Indonesia), halaman 93.
22
mempersatukannya dalam sebuah bentuk negara bangsa, lalu mengikat setiap anggota komunitasnya secara ideologis dengan ikatan nasionalisme.
Bangsa = entitas sosial yang lahir dari ikatan afektif historis dengan beragam basis (etnis, bahasa, nilai bersama, dsb). Elemen penting: • Ikatan atas kelangsungan hidup dalam jangka panjang. • Sejarah bersama yang terjadi di masa lalu Anderson: Bangsa adalah imagined community
Sosial
Ideologi
Nasionalisme self determination doktrin bahwa setiap bangsa punya hak untuk menentukan nasib sendiri Ethnic-Nationalism
Civic-Nationalism
Politik Nation-state (negara-bangsa): Sebuah entitas yang mampu konsolidasikan kekuasaan atas sebuah wilayah dengan batasbatas yang tegas, diiringi oleh monopoli pengunaan kekerasan fisik
Nasionalisme berbasis identitas askriptif atau ikatan sosial diantara kelompok dalam sebuah wilayah.
Nasionalisme berbasis nilai-nilai & institusi bersama, pola interaksi sosial, atau komunitas teritorial
23
I.5. Metode Penelitian 5.1. Jenis Penelitian Studi ini ditempatkan dalam kategorisasi yang lebih umum yakni dengan menggunakan penelitian kualitatif yang dinyatakan melalui deskripsi mendalam. Metode kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami.20 Strauss dan Corbin21 mengatakan bahwa penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi, dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri. Selanjutnya, penyusunan hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif; yaitu berusaha memberikan gambaran secara jelas tentang kenyataan-kenyataan yang di temukan dalam praktek dan memaparkan hasil penelitian lapangan disertai dengan uraian dasar teori yang ada dan mengaitkannya dengan data kepustakaan. Namun penelitian ini juga
20 21
Creswell, John W., 2008, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, (California: Sage Publication), halaman 15. Strauss, Anselm and Corbin, Juliet., 1998, Basics of Qualitative Research Techniques and Procedures for Developing Grounded Theory (2nd edition). (London: Sage Publications), halaman 27.
24
menggunakan pendekatan kajian historistik untuk mendapatkan data akurat yang berkaitan dengan kepentingan penelitian ini. Untuk metodenya, peneliti menggunakan studi kasus karena sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini. Tipe rumusan yang dikedepankan dalam masalah ini ialah pada pertanyaan “bagaimana” yang merupakan salah satu kondisi yang mengarahkan untuk menggunakan metode studi kasus. Kondisi lainnya yang perlu diperhatikan adalah luas kontrol yang dimiliki oleh peneliti terhadap objek material dan fokus penelitian terhadap peristiwa kontemporer sebagai kebalikan dari peristiwa historis.22 Penelitian dengan rumusan masalah yang diajukan seperti ini akan lebih tepat apabila menggunakan metode studi kasus. Untuk itu, ada beberapa cara atau taktik yang dilakukan untuk seoptimal mungkin menjawab kelemahan tersebut, salah satunya dapat didekati dengan snowball sampling. Setiap informan akan memunculkan informan lainnya untuk diwawancarai.
5.2. Unit Analisis Data Studi ini mengambil totalitas dari karakter atau unit yang diteliti, yakni di kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Pilihan ini didasarkan pertimbangan dikarenakan kabupaten tersebut merupakan kabupaten berpenduduk terbanyak dan sangat plural, lalu kabupaten tersebut juga merupakan wilayah yang intensitas konfliknya terparah dan merupakan basis-basis perjuangan bersenjata. Kemudian peneliti juga membatasi tiga kekuasaan di Indonesia, yaitu Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Kemudian dengan beberapa informan 22
Yin, Robert K., 2011, Studi Kasus: Desain dan Metode, (Jakarta: Rajawali Pers), halaman 13.
25
lainnya yang penulis jadikan sebagai informan utama dalam penelitian ini yakni para elit di Aceh. Untuk mendukung studi ini, penulis mencoba menambahkan beberapa informan lainnya yang diambil dari beberapa lembaga atau komunitas yang relevan dengan studi ini. Studi ini dilakukan di mana para informan berdomisili dan juga di pusat studi dan kajian lintas keilmuan di Aceh Adapun informan tersebut adalah dalam table berikut: Tabel I.2. Daftar Informan Penelitian No Nama
Waktu Wawancana
1
Damien Kingsbury (via email)
17 Desember 2014
2
Effendi Hasan
10 November 2014
3
Haikal Afifa
23 Oktober 2014
4 5 6 7
Hasanuddin Yusuf Adan Iromi Ilham Irwan Adaby Musanna Tiro (via email)
17 November 2014 28 Maret 2015 12 Februari 2015 29 Oktober 2012
8
Nazaruddin Sjamsuddin
12 November 2014
9
Nur Djuli (via email)
21 Oktober 2014
10
Rusdi Sufi
18 Desember 2014
11
Syarifuddin Hasyim
4 Desember 2014
12
Yusni Sabi
17 Desember 2014
13
Zahrul Fadhi Johan
12 Januari 2014
Keterangan Penasehat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ketika MoU Perdamaian Aceh 15 Agustus 2005 di Helsinki Mantan Aktivis 1998 dan Ketua Prodi Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Korban konflik Aceh dan Direktur Institut Peradaban Aceh Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh Antropolog Etnis Aceh Sejarahwan Muda Aceh Keluarga / Keponakan Hasan Tiro dan mantan Elit GAM Akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) asal Aceh Mantan Juru Runding GAM dan mantan Elit GAM Akademisi dan Sejarahwan Aceh Pengamat Politik Hukum dan Dekan FISIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Rekonsiliator Perdamaian Aceh dan Mantan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Pengamat Sastra dan Bahasa Aceh 26
14
Zaini Abdullah
22 Oktober 2014
Mantan Elit GAM dan Gubernur Aceh
5.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam studi ini adalah observasi lapangan dan wawancara mendalam. Sebelum penelitian dilakukan terlebih dahulu melakukan observasi di setiap unit usaha yang mengindikasikan adanya realitas terbaru tentang perkembangan sosial politik pasca perdamaian antara RI dan GAM. Observasi lapangan ini dilakukan guna mengetahui informasi-informasi, isu-isu aktual nilai-nilai, pola tingkah laku, dan perilaku sosial politik dari masyarakat. Setelah itu, kemudian ditentukan informan mana saja yang layak untuk diteliti dengan memperhatikan juga kesediaan mereka untuk bekerjasama dan memberikan data yang akurat. Teknik kedua yakni wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan utama. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam ini dilakukan karena peneliti meyakini bahwa melalui wawancara suatu pandangan, perilaku, dan pola kultural dapat diketahui. Oleh karena itu, isu-isu yang terungkap dalam penelitian nanti akan menjadi data primer. Adapun data sekunder yang akan dijadikan data pendukung yakni berupa jurnal, catatan, buku-buku, majalah, notulensi, agenda, media massa, laporan penelitian, dan lain sebagainya.
27
5.4. Teknik Analisis Data Data-data yang didapatkan di lapangan akan dianalisis secara interpretatif dan dijabarkan secara kualitatif. Data diperoleh dengan cara pengamatan dan wawancara. Untuk memudahkan penelitian, penulis membangun jaringan dan komunikasi dengan sejumlah informan, sehingga dapat menemukan informan utama (kunci). Keterlibatan ini memudahkan penulis untuk melakukan observasi sekaligus menemui berbagai informan. Kemudian data dipilah dan dipilih untuk menentukan kesesuaian data dengan topik penelitian tanpa meninggalkan data sekunder tertulis dari berbagai sumber terkait. Penulis juga mengidentifikasi katakata kunci yang diperoleh dari informan. Lalu data-data yang didapatkan dari pengamatan langsung dan wawancara dengan para informan ditempatkan sebagai sumber utama (primer), kemudian sumber tertulis sebagai data sekunder untuk mendukung keabsahan sumber utama.
I.6. Sistematika Penulisan Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab pertama ini berisi landasan pemikiran tesis dan operasional kerja tesis. Bab pertama ini bertujuan untuk memberi pemahaman kepada pembaca tentang masalah mendasar penelitian ini, termasuk didalamnya mengapa masalah penelitian ini penting untuk dikaji. Bab II akan menjelaskan paradigma masyarakat Aceh tentang civic nasionalisme versus ethnic nasionalisme yang terus berusaha mendapatkan
28
legimitasi ideologis dari masyarakat Aceh. Bab ini menjelaskan pandangan umum masyarakat Aceh tentang ethnic nasionalisme dan civic nasionalisme terkait dengan eksistensi ideologis yang berkembang dalam konstruksi identitas masyarakat Aceh. BAB III membahas negosiasi ethnic nasionalisme versus civic nasionalisme pada setiap rezim di Indonesia, dimulai sejak Orde Lama, Orde Baru sampai masa Reformasi. Bab ini juga memberikan gambaran tentang refleksi dialektika identitas masyarakat Aceh terkait dengan negosiasi ethnic nasionalisme dan civic nasionalisme di Aceh. Bab IV berisi kesimpulan dan saran yang merupakan catatan akhir terkait wacana nasionalisme yang berkembang selama perjalanan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
29