BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin kompleks, telah menjadikan kebutuhan manusia semakin kompleks pula, khususnya kebutuhan akan pendidikan sebagai suatu investasi. Oleh karena itu, Pemerintah selalu berupaya menyediakan layanan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan melalui suatu kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, pasal 13 ayat (1) yang disebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Berbagai layanan pendidikan tersebut, secara umum ditujukan untuk pemerataan dan perluasan akses pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam amandemen Undang-Undang Dasar negara republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, lalu pada ayat (2) disebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Namun demikan, upaya Pemerintah dalam rangka pemerataan dan perluasan akses pendidikan serta peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia masih belum sepenuhnya berhasil, berdasarkan Human Development Index Report 2011 yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di bidang pendidikan menduduki peringkat ke-119 dari 187 negara di dunia, dan berada pada peringkat ke-12 dari 21 Negara di Asia-Pasifik. Sementara itu, jika dilihat berdasarkan
1
capaian Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar(APK) pada jenjang SD/MI/Paket A dari 19 provinsi telah melampaui target nasional pada tahun 2009 sebesar 95,00%. Sedangkan capaian APM SD/MI/Paket A di 14 provinsi masih di bawah target nasional tahun 2009. Bila dilihat capaian APM SD/MI/Paket A pada tingkat kabupaten/kota, masih ada 155 kabupaten (42% dari 370 kabupaten) dan 18 kota (19% dari 93 kota) yang capaian APK SD/MI/Paket A-nya masih berada di bawah target nasional tahun 2009 (Renstra Depdiknas, 2010-2014:20). Sejalan dengan hal tersebut, dalam rangka mewujudkan salah satu target kebijakan Millenium Development Goals (MDG’s) yaitu mencapai pendidikan dasar untuk semua yang ditargetkan harus sudah tercapai pada tahun 2015. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan wajib belajar sembilan tahun sebagaimana disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 1990 tentang pendidikan dasar pasal 2 yaitu bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan Sembilan tahun, terdiri atas program pendidikan enam tahun d i Sekolah Dasar dan program pendidikan tiga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Namun sampai saat ini penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun atau yang disebut dengan WAJARDIKDAS juga masih belum tercapai. Data Susenas tahun 2010 menunjukan angka putus sekolah jenjang pendidikan dasar masih perlu mendapatkan perhatian serius, angka putus sekolah untuk SD adalah 2,1 % dan angka putus SMP 4,4 %. Data di atas menunjukkan bahwa sampai saat ini masih banyak anak usia sekolah yang tidak tertampung dalam pendidikan formal serta tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya. Jika hal ini dibiarkan ada kecenderungan anak-
2
anak yang putus sekolah ini akan menjadi pengangguran atau pekerja kasar. Bila tidak dilakukan langkah- langkah yang tepat, hal ini kemungkinan besar akan menimbulkan masalah sosial. Masih besarnya angka putus sekolah dan belum maksimalnya angka partisipasi siswa seperti terlihat pada data di atas, memberikan pekerjaan rumah bagi Pemerintah dan seluruh warga bangsa yang peduli akan pendidikan. Pendidikan formal semata sepertinya tidak akan mampu menjamin 100 persen generasi bangsa usia pendidikan dasar dapat menyelesaikan pendidikannya. Dengan demikian, jalur pendidikan non formal dan informal seperti homeschooling menjadi teramat penting untuk mengatasi ledakan anak putus sekolah atau paling tidak untuk mengatasi masalah sosial yang kemungkinan timbul. Oleh sebab itu, homeschooling ini akan menjadi solusi yang perlu mendapat perhatian demi tercapainya akses pendidikan bagi anak yang tidak bisa masuk ke pendidikan formal, baik karena alasan ekonomi, kendala geografis ataupun alasan-alasan lain yang tidak memungkinkan bagi anak tersebut untuk masuk ke pendidikan formal. sehingga tiga tahun mendatang diharapkan seluruh generasi bangsa telah menyelesaikan pendidikan dasar seperti yang ditargetkan MDG’s baik melalui pendidikan formal, nonformal maupun informal seperti homeschooling. Namun demikian, hadirnya homeschooling yang relatif baru, telah menuai kesan negatif dari sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat menganut paradigma yang keliru tentang
homeschooling. Masyarakat berfikir bahwa
homeschooling sama halnya dengan model pendidikan yang hanya ditujukan untuk mendapatkan ijazah semata tanpa pernah terjadi proses pembelajaran. Oleh karena itu, homeschooling dianggap tidak lagi mengarah pada peningkatan mutu
3
melainkan suatu pembodohan yang oleh kalangan tertentu bisa disalahgunakan. Sehingga masyarakat masih mempertanyakan jaminan kualitas homeschooling, yang mengakibatkan masyarakat menjadi ragu bahkan meremehkan mutu output homeschooling. Hal ini senada dengan hasil penelitian Nur (2009) dalam implementasi model homeschooling dalam mengatasi keterbatasan pendidikan formal pada Asosiasi homeschooling-Pendidikan Alternatif (Asah-Pena) dan keluarga homeschooler di kota Malang, yaitu bahwa salah satu faktor penghambat implementasi homeschooling adalah anggapan sepele dari masyarakat, bahwa anak homeschooling itu tidak sekolah, sehingga masyarakat menganggap bahwa homeschooling adalah tidak belajar dan hanya buang-buang waktu saja. Padahal secara undang-undang homeschooling adalah legal dan diakui dalam sistem pendidikan nasional serta lulusannya-pun dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun
sebagian
masyarakat
tetap
saja
memandang
rendah
lulusan
homeschooling. Kesalahan
persepsi
tersebut
antara
lain
disebabkan
karena: 1)
kecendrungan publik untuk tetap berada dalam confort zone yang telah dijalaninya. Segala sesuatu yang baru dan berada diluar mainstream dianggap negatif. Sikap defensif ini sering melahirkan miskonsepsi dan memicu munculnya persepsi yang salah; 2) adanya kesibukan
masyarakat sehingga tidak
memungkinkannya untuk mengkaji lebih dalam mengenai sebuah hal, mereka hanya menanggapi berdasarkan asumsi-asumsi yang dimilikinya; 3) adanya keengganan meneliti lebih dalam, akibatanya terjadi pengulangan persepsi yang salah, tetapi dianggap benar (Sumardiono, 2007: 41).
4
Jika kesalahan persepsi masyarakat dalam memaknai homeschooling tersebut tetap dibiarkan, maka akan terjadi kesenjangan sosial dalam masyarakat, masyarakat akan mengucilkan lulusan homeschooling, dan ada kemungkinan lulusan homeschooling dikesampingkan bahkan sulit untuk diterima pada jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Serta dampak lebih lanjutnya homeschooling akan gagal menjalankan fungsinya sebagai salah satu bentuk pendidikan informal yang turut berperan serta dalam rangka pemerataan dan perluasan akses pendidikan. Di sisi lain, Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini sangat cepat, tiap tahun, tiap bulan, bahkan tiap hari berkembang dengan cepatnya. Dunia teknologi nampak membawa banyak perubahan di segala aspek kehidupan khususnya di bidang pendidikan. Homeschooling sebagai sebuah lembaga pendidikan mau tidak mau harus menghadapinya dan mengharuskan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik agar pendidikan homeschooling menjadi salah satu alternatif pilihan atau bahkan menjadi pilihan utama oleh masyarakat Indonesia. Homeschooling sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari, dan untuk masyarakat harus secepat mungkin melakukan pembenahan diri dalam menjawab tuntutan masyarakat dan dunia. Untuk merespon tuntutan masyarakat dan menjaga jati diri homeschooling sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas, maka homeschooling harus memiliki kurikulum yang berkualitas pula. Karena kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan, sebab berkaitan dengan penentuan arah, isi dan proses pendidikan, yang pada akhirnya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan. Kurikulum merupakan
5
alat yang krusial dalam merealisasikan program pendidikan, baik formal, informal maupun nonformal seperti homeschooling, sehingga gambaran sistem pendidikan dapat terlihat jelas dalam kurikulum tersebut. Dengan kata lain, sistem kurikulum pada hakekatnya adalah sistem pendidikan itu sendiri (Hamalik, 2009). Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan ya ng sangat strategis karena merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran memberikan makna bahwa di dalam kurikulum terdapat panduan interaksi antara guru dan peserta didik. Dengan demikian, kurikulum berfungsi sebagai “nafas atau inti” dari proses pendidikan di sekolah termasuk di homeschooling untuk memberdayakan potensi peserta didik. Tanpa kurikulum, suatu lembaga pendidikan termasuk homeschooling tidak akan mempunyai arah, karena tidak mempunyai rencana yang jelas dan rinci ke mana peserta didiknya akan di arahkan, dengan cara apa mereka akan dididik, dan apa isi pendidikannya. Di samping itu, untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan kurikulum yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik dan juga potensi dari homeschooling tersebut. Untuk
itu,
pengembangan kurikulum tidak lagi sepenuhnya dikembangkan oleh pemerintah, tetapi satuan pendidikan termasuk homeschooling juga diberikan ruang untuk mengembangkan kurikulumnya disesuaikan dengan karakteristik dan potensi masing- masing satuan pendidikan dengan mengacu kepada permendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan permendiknas No. 23 tahun 2006 tentang
6
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Oleh karen itu, sejak bergulirnya era otonomi daerah pada tahun 2001, telah diberlakukan otonomi daerah dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, di antara otonomi yang lebih besar diberikan kepada sekolah adalah menyagkut pengembangan kurikulum yang kemudian di sebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan, maka pengembangan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Menurut Seller dan Miller (1985) proses pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus- menerus. Rangkaian kegiatan pengembangan tersebut, dimulai dari menentukan orientasi kurikulum, dalam hal ini orientasi kurikulum berkenaan dengan proses pengembangan dokumen kurikulum. Berdasarkan orientasi
itu
selanjutnya
kurikulum
dikembangkan
menjadi
pedoman
pembelajaran, diimplementasikan dalam proses pembelajaran dan dievaluasi. Hasil evaluasi itulah kemudian dijadikan bahan dalam menentukan orientasi, begitu seterusnya hingga membentuk siklus. Oleh karena itu, kedudukan kurikulum dan pengembannya sangat penting bagi setiap jenis pendidikan termasuk homeschooling. Homeschooling sebagai pendidikan informal tentunya memiliki kurikulum yang berbeda dengan kurikulum formal, karena kurikulumnya berbeda, maka secara otomatis pengembangan kurikulumnya-pun berbeda dengan pendidikan formal, oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pengembangan kurikulum homeschooling, sehingga dalam penelitian ini mengangkat judul Analisis pengembangan kurikulum homeschooling Malang.
7
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas, maka masalah penelitian ini dapat diidentifikasikan, yaitu bahwa fokus penelitian ini adalah pengembangan kurikulum, pengembangan kurikulum ini dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus- menerus (Seller dan Miller, 1985). Rangkaian kegiatan pengembangan tersebut dapat digambarkan dalam gambar berikut.
Gambar 1.1 Rangkaian kegiatan pengembangan kurikulum (diadaptasi dari Seller dan Miller, 1985)
Gambar di atas, menunjukkan bahwa rangkaian kegiatan pengembangan kurikulum ini meliputi: 1) orientasi kurikulum, hal ini berkenaan dengan mekanisme pengembangan dokumen kurikulum; 2) development; merupakan pengembangan kurikulum dalam bentuk dokumen tertulis untuk dijadikan sebagai pedoman pembelajaran/merupakan hasil pengembangan dokumen kurikulum; 3) implementasi kurikulum; dan 4) evaluasi kurikulum. Hasil evaluasi itulah kemudian dijadikan bahan dalam menentukan orientasi, begitu seterusnya hingga membentuk siklus (Seller dan Miller, 1985).
8
Berdasakan uraian latar belakang serta identifikasi masalah penelitian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimanakah mekanisme pengembangan dokumen kurikulum komunitas homeschooling program paket A Malang? 2. Bagaimanakah
hasil
pengembangan
dokumen
kurikulum
komunitas
homeschooling program paket A Malang? 3. Bagaimanakah Implementasi Kurikulum komunitas homeschooling program paket A Malang? 4. Bagaimanakah evaluasi Kurikulum komunitas homeschooling program paket A Malang? C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini dapat ditinjau dari segi tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut. 1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini betujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis pengembangan kurikulum komunitas homeschooling program paket A Malang. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mendiskripsikan mekanisme pengembangan dokumen kurikulum komunitas homeschooling program paket A Malang. b. Untuk mendiskripsikan hasil pengembangan dokumen kurikulum komunitas homeschooling program paket A Malang c. Untuk mendiskripsikan implementasi kurikulum komunitas homeschooling program paket A Malang
9
d. Untuk mendiskripsikan evaluasi yang digunakan dalam proses pembelajaran peserta didik sebagai acuan dalam evaluasi kurikulum komunitas homeschooling program paket A Malang D. Manfaat Penelitian Berdasarkan pada tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat antara lain sebagai berikut. 1. Manfaat teoritis. a. Dapat menambah dan memperdalam pengetahuan di bidang kajian pengembangan homeschooling
kurikulum serta
homeschooling
seluruh
bagi
masyarakat
penyelenggara
yang
tertarik
untuk
menyelenggarakan homeschooling. b. Dapat
dijadikan
homeschooling
dan
sumber seluruh
referensi/rujukan masyarakat
bagi
yang
penyelenggara
menyelenggarakan
homeschooling dalam rangka mengembangkan kurikulumnya. c. Dapat dijadikan referensi ilmiah bagi peneliti di masa mendatang yang hendak melakukan penelitian tentang pengembangan kurikulum. 2. Manfaat Kebijakan Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan sistem pengembangan kurikulm homeschooling khususnya di malang, sehingga diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap
peningkatan
mutu
homeschooling
10
3. Manfaat Praktis Sebagai bahan masukan bagi penyelenggara komunitas homeschooling dalam rangka pengembangan kurikulum homeschooling selanjutnya. 4. Manfaat Isu Dapat dijadikan sebagai sumber isu untuk mensosialisasikan homeschooling kepada masyarakat lewat pengembangan kurikulumnya, sehingga dapat mengurangi persepsi yang keliru dari masyarakat terhadap homeschooling.
11